How
can he decide to go back to zero when he was already half way to become a hero?
Dulu aku tak pernah memahami
jalan pikirannya, yang dengan mudah melepas pekerjaannya di sebuah BUMN demi
sebuah passion yang menurutku absurd. Coba bayangkan, laki-laki ini
sudah sangat mapan, sudah nyaman dengan jabatan dan gaji mentereng, di sebuah
perusahaan yang menguasai sebagian besar lahan perkebunan di Indonesia. Dan
tiba-tiba itu semua dilepasnya, untuk kemudian kembali ke desa kelahirannya,
demi sebuah impian gila.
G-u-l-a. Ya, gula telah
membuatnya gila, bukan hanya sekedar tergila-gila. Demikian yang sering
dibilang orang tentang dia. Mereka bilang laki-laki itu sudah gila karena meninggalkan
zona nyaman demi sebuah mimpi yang tidak lumrah, membangun pabrik gula. Laki-laki
itu...Papa.
Dua puluh dua tahun yang lalu,
aku tak pernah benar-benar mengerti apa yang terjadi dalam keluarga kami. Yang
aku tahu, semenjak Papa tak lagi mengenakan kemeja putih dan celana biru gelapnya
di waktu pagi, semenjak Pak Sopir yang biasa mengantarnya ke kantor tak lagi
bekerja di rumah kami, segalanya berubah. Tak ada lagi acara makan-makan di
restoran, tak ada lagi acara memborong buku di Gramedia atau membeli mainan
baru. Segalanya harus serba hemat, serba apa adanya.
Namun di luar segala hal yang
tiba-tiba harus serba ngirit, perubahan terbesar yang kurasakan adalah, lelaki
berhidung mancung itu mulai sering tidak kelihatan di rumah. Papa lebih sering
ada di Jombang, di desa kelahirannya, untuk mulai mewujudkan blue print pabrik yang didesainnya
sendiri. Pabrik yang dia sebut Pabrik Gula Mini itu menurutnya akan memiliki banyak
keunggulan dibanding pabrik gula konvensional.
Demi impiannya itu Papa
berhutang. Angkanya lumayan besar, besar sekali malah. Dan hasilnya...nol
besar. Kebijakan pembebasan bea masuk gula impor di masa pemerintahan Presiden
Abudrrahman Wachid membuat usahanya kolaps, bersamaan dengan meruginya ratusan petani
tebu kala itu. Akibatnya mesin dan peralatan yang didesainnya berakhir sebagai
monumen belaka. Hanya menjadi besi tua.
Setelah itu, Papa lebih sering
berada di sawah. Macam-macam yang dilakukannya. Mulai dari bertanam padi,
jagung, semangka, beternak ikan gurami, membuat usaha sujen (tusuk sate) dan
lain-lain. Insinyur Teknik Mesin yang anak petani itu menjelma menjadi petani
betulan. Petani dengan hutang menggunung yang entah bagaimana cara melunasinya.
Bagi orang normal, mengalami
keterpurukan seperti itu mungkin sudah membuat jera. Tapi karena Papa terlalu
gila pada gula, tak pernah ada kata menyerah. Seorang diri, dia menjaga bara
impian terhadap zat pemanis itu tetap hidup dalam dirinya, sambil menggarap
sawah dan ladang selama bertahun-tahun. Hingga kemudian, sebagai buah
kesabarannya, Tuhan mulai memberinya jalan keluar.
Tahun 2005, Tuhan mempertemukannya
dengan seorang pengusaha dari Kediri, Jawa Timur. Pengusaha itu lah yang
kemudian membantu Papa menutup hutangnya dan meminta Papa mendesainkan pabrik
gula tebu sebagai gantinya. Akhirnya keinginan Papa untuk membuat pabrik gula
sendiri kesampaian. Untuk pertama kali, digenggamnya butiran kristal gula putih
yang dihasilkan oleh pabrik rancangannya
di tahun 2006, lima belas tahun sejak dia memposisikan dirinya kembali ke titik
nol.
Tapi seberapa pun bangganya
lelaki jebolan ITS Surabaya itu pada maha karya pertamanya, dia masih belum
merasa puas, sebab pabrik itu bukan miliknya dan bukan dibangun di desa
kelahirannya. Lantas sedikit demi sedikit, dengan uang tabungannya sendiri,
Papa mulai mengumpulkan material untuk membangun pabrik gula lagi.
Ketika pada akhirnya impiannya
itu terwujud, Papa mulai memperlihatkan banyak hal luar biasa yang kemudian membuatnya
lagi-lagi mendapat cap “gila”. Kali ini dalam artian berbeda. Pernah dengar kan
jika “jenius” dan “gila” itu beda tipis?
Papa tidak hanya menggunakan
pabrik gula mininya sebagai laboratorium uji coba segala jenis tanaman pemanis
(tebu, nira kelapa dan sorghum) dalam berbagai bentuk (gula pasir, gula cair,
gula batok, gula semut), namun tempat seluas 20 x 20 meter persegi itu juga dia
gunakan sebagai tempat uji coba pemanfaatan limbah pertanian sebagai sumber
energi baru pengganti bahan bakar fosil.
Ya, sumber energi hijau juga
telah membuat Papa tergila-gila. Papa banyak mengeksplorasi penggunaan sekam
padi, cangkang kelapa sawit, kulit kemiri, sekam kopi dan masih banyak lagi
sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah atau solar.
Papa mendesain sebuah mesin
pengering padi, mesin pengering kopi, mesin pengering tembakau, juga sebuah
tungku untuk memasak nasi bagi ratusan santri Pondok Pesantren Tebu Ireng di
Jombang. Semuanya menggunakan bahan bakar limbah pertanian yang tersedia dalam
jumlah yang sangat meruah di negara agraris seperti Indonesia. Karya-karyanya
itu telah memberikan solusi alternatif terhadap problema terbesar umat manusia
saat ini; krisis energi.
Di mataku, Papa telah menjadi
seorang ahli yang tak tertandingi di bidang gula dan eksplorasi energi
terbarukan. Dia adalah profesor tanpa titel yang tak henti-hentinya berkarya.
Tiga tahun yang lalu, dengan
bangga Papa memamerkan hasil karyanya pada kami. Sirup gula cair yang terbuat
dari nira kelapa, dengan warna yang cerah. Umumnya gula kelapa akan memiliki
warna gelap karena proses pemanasan secara terbuka yang mengakibatkan
terjadinya karamelisasi (penggosongan gula). Namun Papa bisa membuat gula cair
dengan warna cerah, yang menjadi pertama dan satu-satunya di dunia karena
mengaplikasikan teknologi triple effect
vacuum evaporator yang belum pernah digunakan di belahan dunia manapun.
Produk ini lah yang kelak membuat namanya dikenal hingga ke manca negara.
Di usianya yang saat itu
menginjak kepala enam, Papa masih meluangkan waktunya untuk membuat blog. Di
blog inilah Papa mempublikasikan karya-karyanya yang kemudian membuat seorang
Benjamin Ripple menemukan Papa. Ben adalah seorang pengusaha asal Texas. Melalui
Ben lah, Papa mulai memasarkan produk gula cairnya ke Negeri Paman Sam untuk
pertama kali. Bahkan, di tahun-tahun berikutnya Papa juga mengirimkan gula cair
dari nira kelapa itu ke Hong Kong, Australia dan Tahiti. Perlahan, produk
Pabrik Gula Mini rancangannya mulai menembus pasar dunia. Siapa sangka itu
semua bermuara dari sebuah impian absurd
seorang anak petani yang insinyur (atau seorang insinyur yang anak petani)?
Kini impian Papa telah
tercapai, bahkan mungkin melebihi ekspektasinya. Tidak hanya mewujudkan desain
pabrik gulanya menjadi sebuah kenyataan, tapi juga membuat produk yang lantas
dieksport ke luar negeri. Papa juga banyak diminta membuat pabrik gula yang
serupa dengan desain Pabrik Gula Mininya di beberapa daerah, semisal di
Banyuwangi dan Pasuruan.
Sementara itu, di bidang
konversi energi, Papa bahkan menjadi salah satu referensi bagi orang-orang yang
juga mengeksplorasi penggunaan energi terbarukan. Papa sering diminta banyak
lembaga untuk memberikan pelatihan seputar aplikasi sumber energi alternatif
pengganti bahan bakar fosil.
Tapi di luar segala
keberhasilan itu, ada satu hal yang aku yakini (yang kurasa juga Papa yakini),
bahwa semua impian itu hanya akan menjadi mimpi di siang bolong tanpa dukungan
seseorang; Mama.
Wanita yang sudah lebih dari 3
dekade mendampingi Papa itu memang bukan insinyur, bukan pula ilmuwan. Ia juga
tidak memiliki kadar kegilaan tertentu terhadap ilmu pengetahuan dan rahasia
alam. Ia adalah ibu rumah tangga yang juga kebetulan bekerja di sebuah lembaga
kursus bahasa asing. Namun ia rela menjadi penopang ekonomi keluarga ketika
belahan jiwanya bersikeras mempertahankan idealismenya untuk tidak terus
bertahan di perusahaan BUMN yang korup. Dengan besar hati, dia rela membiarkan
Papa melepas jabatan beserta gaji yang pastinya bisa membuatnya ongkang-ongkang
kaki sepanjang hari. Demi menyalurkan gairah Papa terhadap ilmu pengetahuan,
Mama sendiri harus bekerja demi bisa menyekolahkan dan memberi makan ketiga
buah hatinya.
Mama tidak pernah mengeluh
ketika statusnya harus berubah dari menjadi istri seorang pejabat BUMN, menjadi
“hanya” istri seorang petani. Mama tak pernah mengkomplain ketika usaha Papa
mengalami keterpurukan dengan hutang yang besar. Mama selalu mempercayai impian
Papa hingga Papa dengan gigih terus mempertahankan bara impiannya tetap
menyala.
Sementara aku, seorang notulen
yang kebetulan lewat dalam kehidupan mereka, turut mendapatkan pelajaran
berharga. Bahwa sukses bukanlah diukur dari deretan mobil mewah, rumah di
daerah elit atau jabatan selangit, melainkan terus berkarya dan menyebarkan
manfaat, kebesaran hati untuk rela berkorban, serta selalu percaya pada impian,
betapapun besarnya rintangan yang menghadang.
Untuk Papa dan Mama, you’re always be my Hall of Fame.
Itu kisah sahabatku Ir. Slamet Sulaiman ?
BalasHapusHehe...iya betul Pak. Terima kasih sudah mampir baca ^-^
Hapus