Kamis, 02 Januari 2014

Mereka Bilang Dia Gila



How can he decide to go back to zero when he was already half way to become a hero?
Dulu aku tak pernah memahami jalan pikirannya, yang dengan mudah melepas pekerjaannya di sebuah BUMN demi sebuah passion yang menurutku absurd. Coba bayangkan, laki-laki ini sudah sangat mapan, sudah nyaman dengan jabatan dan gaji mentereng, di sebuah perusahaan yang menguasai sebagian besar lahan perkebunan di Indonesia. Dan tiba-tiba itu semua dilepasnya, untuk kemudian kembali ke desa kelahirannya, demi sebuah impian gila.
G-u-l-a. Ya, gula telah membuatnya gila, bukan hanya sekedar tergila-gila. Demikian yang sering dibilang orang tentang dia. Mereka bilang laki-laki itu sudah gila karena meninggalkan zona nyaman demi sebuah mimpi yang tidak lumrah, membangun pabrik gula. Laki-laki itu...Papa.
Dua puluh dua tahun yang lalu, aku tak pernah benar-benar mengerti apa yang terjadi dalam keluarga kami. Yang aku tahu, semenjak Papa tak lagi mengenakan kemeja putih dan celana biru gelapnya di waktu pagi, semenjak Pak Sopir yang biasa mengantarnya ke kantor tak lagi bekerja di rumah kami, segalanya berubah. Tak ada lagi acara makan-makan di restoran, tak ada lagi acara memborong buku di Gramedia atau membeli mainan baru. Segalanya harus serba hemat, serba apa adanya.
Namun di luar segala hal yang tiba-tiba harus serba ngirit, perubahan terbesar yang kurasakan adalah, lelaki berhidung mancung itu mulai sering tidak kelihatan di rumah. Papa lebih sering ada di Jombang, di desa kelahirannya, untuk mulai mewujudkan blue print pabrik yang didesainnya sendiri. Pabrik yang dia sebut Pabrik Gula Mini itu menurutnya akan memiliki banyak keunggulan dibanding pabrik gula konvensional.
Demi impiannya itu Papa berhutang. Angkanya lumayan besar, besar sekali malah. Dan hasilnya...nol besar. Kebijakan pembebasan bea masuk gula impor di masa pemerintahan Presiden Abudrrahman Wachid membuat usahanya kolaps, bersamaan dengan meruginya ratusan petani tebu kala itu. Akibatnya mesin dan peralatan yang didesainnya berakhir sebagai monumen belaka. Hanya menjadi besi tua.
Setelah itu, Papa lebih sering berada di sawah. Macam-macam yang dilakukannya. Mulai dari bertanam padi, jagung, semangka, beternak ikan gurami, membuat usaha sujen (tusuk sate) dan lain-lain. Insinyur Teknik Mesin yang anak petani itu menjelma menjadi petani betulan. Petani dengan hutang menggunung yang entah bagaimana cara melunasinya.
Bagi orang normal, mengalami keterpurukan seperti itu mungkin sudah membuat jera. Tapi karena Papa terlalu gila pada gula, tak pernah ada kata menyerah. Seorang diri, dia menjaga bara impian terhadap zat pemanis itu tetap hidup dalam dirinya, sambil menggarap sawah dan ladang selama bertahun-tahun. Hingga kemudian, sebagai buah kesabarannya, Tuhan mulai memberinya jalan keluar.
Tahun 2005, Tuhan mempertemukannya dengan seorang pengusaha dari Kediri, Jawa Timur. Pengusaha itu lah yang kemudian membantu Papa menutup hutangnya dan meminta Papa mendesainkan pabrik gula tebu sebagai gantinya. Akhirnya keinginan Papa untuk membuat pabrik gula sendiri kesampaian. Untuk pertama kali, digenggamnya butiran kristal gula putih yang dihasilkan oleh  pabrik rancangannya di tahun 2006, lima belas tahun sejak dia memposisikan dirinya kembali ke titik nol.
Tapi seberapa pun bangganya lelaki jebolan ITS Surabaya itu pada maha karya pertamanya, dia masih belum merasa puas, sebab pabrik itu bukan miliknya dan bukan dibangun di desa kelahirannya. Lantas sedikit demi sedikit, dengan uang tabungannya sendiri, Papa mulai mengumpulkan material untuk membangun pabrik gula lagi.
Ketika pada akhirnya impiannya itu terwujud, Papa mulai memperlihatkan banyak hal luar biasa yang kemudian membuatnya lagi-lagi mendapat cap “gila”. Kali ini dalam artian berbeda. Pernah dengar kan jika “jenius” dan “gila” itu beda tipis?
Papa tidak hanya menggunakan pabrik gula mininya sebagai laboratorium uji coba segala jenis tanaman pemanis (tebu, nira kelapa dan sorghum) dalam berbagai bentuk (gula pasir, gula cair, gula batok, gula semut), namun tempat seluas 20 x 20 meter persegi itu juga dia gunakan sebagai tempat uji coba pemanfaatan limbah pertanian sebagai sumber energi baru pengganti bahan bakar fosil.
Ya, sumber energi hijau juga telah membuat Papa tergila-gila. Papa banyak mengeksplorasi penggunaan sekam padi, cangkang kelapa sawit, kulit kemiri, sekam kopi dan masih banyak lagi sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah atau solar.
Papa mendesain sebuah mesin pengering padi, mesin pengering kopi, mesin pengering tembakau, juga sebuah tungku untuk memasak nasi bagi ratusan santri Pondok Pesantren Tebu Ireng di Jombang. Semuanya menggunakan bahan bakar limbah pertanian yang tersedia dalam jumlah yang sangat meruah di negara agraris seperti Indonesia. Karya-karyanya itu telah memberikan solusi alternatif terhadap problema terbesar umat manusia saat ini; krisis energi.
Di mataku, Papa telah menjadi seorang ahli yang tak tertandingi di bidang gula dan eksplorasi energi terbarukan. Dia adalah profesor tanpa titel yang tak henti-hentinya berkarya.
Tiga tahun yang lalu, dengan bangga Papa memamerkan hasil karyanya pada kami. Sirup gula cair yang terbuat dari nira kelapa, dengan warna yang cerah. Umumnya gula kelapa akan memiliki warna gelap karena proses pemanasan secara terbuka yang mengakibatkan terjadinya karamelisasi (penggosongan gula). Namun Papa bisa membuat gula cair dengan warna cerah, yang menjadi pertama dan satu-satunya di dunia karena mengaplikasikan teknologi triple effect vacuum evaporator yang belum pernah digunakan di belahan dunia manapun. Produk ini lah yang kelak membuat namanya dikenal hingga ke manca negara.
Di usianya yang saat itu menginjak kepala enam, Papa masih meluangkan waktunya untuk membuat blog. Di blog inilah Papa mempublikasikan karya-karyanya yang kemudian membuat seorang Benjamin Ripple menemukan Papa. Ben adalah seorang pengusaha asal Texas. Melalui Ben lah, Papa mulai memasarkan produk gula cairnya ke Negeri Paman Sam untuk pertama kali. Bahkan, di tahun-tahun berikutnya Papa juga mengirimkan gula cair dari nira kelapa itu ke Hong Kong, Australia dan Tahiti. Perlahan, produk Pabrik Gula Mini rancangannya mulai menembus pasar dunia. Siapa sangka itu semua bermuara dari sebuah impian absurd seorang anak petani yang insinyur (atau seorang insinyur yang anak petani)?
Kini impian Papa telah tercapai, bahkan mungkin melebihi ekspektasinya. Tidak hanya mewujudkan desain pabrik gulanya menjadi sebuah kenyataan, tapi juga membuat produk yang lantas dieksport ke luar negeri. Papa juga banyak diminta membuat pabrik gula yang serupa dengan desain Pabrik Gula Mininya di beberapa daerah, semisal di Banyuwangi dan Pasuruan.
Sementara itu, di bidang konversi energi, Papa bahkan menjadi salah satu referensi bagi orang-orang yang juga mengeksplorasi penggunaan energi terbarukan. Papa sering diminta banyak lembaga untuk memberikan pelatihan seputar aplikasi sumber energi alternatif pengganti bahan bakar fosil.
Tapi di luar segala keberhasilan itu, ada satu hal yang aku yakini (yang kurasa juga Papa yakini), bahwa semua impian itu hanya akan menjadi mimpi di siang bolong tanpa dukungan seseorang; Mama.
Wanita yang sudah lebih dari 3 dekade mendampingi Papa itu memang bukan insinyur, bukan pula ilmuwan. Ia juga tidak memiliki kadar kegilaan tertentu terhadap ilmu pengetahuan dan rahasia alam. Ia adalah ibu rumah tangga yang juga kebetulan bekerja di sebuah lembaga kursus bahasa asing. Namun ia rela menjadi penopang ekonomi keluarga ketika belahan jiwanya bersikeras mempertahankan idealismenya untuk tidak terus bertahan di perusahaan BUMN yang korup. Dengan besar hati, dia rela membiarkan Papa melepas jabatan beserta gaji yang pastinya bisa membuatnya ongkang-ongkang kaki sepanjang hari. Demi menyalurkan gairah Papa terhadap ilmu pengetahuan, Mama sendiri harus bekerja demi bisa menyekolahkan dan memberi makan ketiga buah hatinya.
Mama tidak pernah mengeluh ketika statusnya harus berubah dari menjadi istri seorang pejabat BUMN, menjadi “hanya” istri seorang petani. Mama tak pernah mengkomplain ketika usaha Papa mengalami keterpurukan dengan hutang yang besar. Mama selalu mempercayai impian Papa hingga Papa dengan gigih terus mempertahankan bara impiannya tetap menyala.
Sementara aku, seorang notulen yang kebetulan lewat dalam kehidupan mereka, turut mendapatkan pelajaran berharga. Bahwa sukses bukanlah diukur dari deretan mobil mewah, rumah di daerah elit atau jabatan selangit, melainkan terus berkarya dan menyebarkan manfaat, kebesaran hati untuk rela berkorban, serta selalu percaya pada impian, betapapun besarnya rintangan yang menghadang.
Untuk Papa dan Mama, you’re always be my Hall of Fame.

2 komentar:

  1. Itu kisah sahabatku Ir. Slamet Sulaiman ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe...iya betul Pak. Terima kasih sudah mampir baca ^-^

      Hapus

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)