Dini hari. Seperti kemarin,
kemarinnya lagi dan kemarin-kemarin sebelumnya, aku terjaga sebelum alarm
penanda waktu Shubuh menyalak. Kelopak mata ini sulit terpejam lagi, padahal
mentari belum juga muncul menyinari bumi Hong Kong. Ya, Hong Kong, bukan di
Indonesia, bukan di pulau Jawa, bukan di Blitar, bukan di desa kecil tempat
lima buah hatiku sekarang berada.
Hampir dua tahun sudah aku
meninggalkan kampung halaman. Waktu itu, Firdaus, si sulung baru kelas 3 SD.
Adik bungsunya, Azimat, baru 1 tahun lebih sedikit.
Waktu itu memang banyak orang yang
mencela keputusanku untuk meninggalkan seorang bayi yang masih menyusu. Tapi
tahukah mereka apa yang kualami? Tahukah mereka bagaimana rasanya ketika tumpuan
hidupmu tiada? Terlebih lagi, ketiadaannya itu meninggalkan 5 jiwa berusia
muda, dengan hanya aku satu-satunya bentuk organisme dewasa yang menjadi
harapan mereka. Sementara aku sendiri, belum pernah merasakan arti frasa
“mencari-uang”.
Aku memang
bukan orang yang tidak pernah mencicipi sekolah. Ketika menamatkan SMA, angka
10 bulat untuk Matematika dan Bahasa Inggris bertengger di surat tanda
kelulusanku. Sayangnya, surat lulus itu tidak pernah dipakai untuk mendaftar ke
jenjang pendidikan berikutnya.
Takdir telah
menempatkan aku menjadi anak sepasang petani miskin di sebuah desa kecil di
kabupaten Blitar, Jawa Timur. Seperti kebanyakan anak-anak gadis seusiaku di
desa kecil itu, aku dijodohkan dengan seorang pemuda, anak orang yang cukup berada,
dari kabupaten tetangga, Jombang.
Doktrin
agama yang sudah dicokolkan dalam kepalaku untuk selalu patuh pada orang tua
membuatku tidak punya pilhan lain selain menyetujui rencana perjodohan itu. Walau
itu berarti aku harus mengubur dalam-dalam impianku untuk menjadi guru.
Dengan
menikah, orang tuaku berharap kehidupanku bisa lebih baik. Namun keinginan itu
nyatanya hanyalah tinggal impian yang dibawa ke dalam kubur. Cakram kehidupan
yang terus berputar menempatkan kondisi ekonomi rumah tangga kami di titik
terbawah. Usaha keluarga suamiku di bidang pertanian dan perkebunan bangkrut.
Suamiku berhutang sana-sini dan akhirnya meninggal karena kecelakaan saat lari
menghindari penagih hutang, tepat ketika anak kelima kami melihat dunia untuk
pertama kalinya. Tak tahan melihat kenyataan yang menimpa putri mereka, orang
tuaku pun akhirnya meninggal tak lama kemudian.
Selama satu
tahun berikutnya, aku bagaikan ikut mati. Ingin rasanya menyusul ke alam baka
sehingga aku tidak perlu bingung memikirkan bagaimana caranya aku dan kelima
anak kecil ini bertahan hidup. Tapi nyatanya aku tidak mati-mati juga, sehingga
mau tidak mau aku mulai berpikir untuk berbuat sesuatu. Sayangnya, perempuan
seusiaku, yang hanya berbekal ijazah SMA
dan tidak punya pengalaman kerja, tidak punya banyak pilihan.
Melihat
Firdaus dan Rara yang terancam putus sekolah serta tubuh adik-adik mereka yang
kurus kering karena kurang gizi membuat aku memutuskan untuk menjadi TKW. Aku
melihat Hong Kong sebagai sebuah pintu harapan yang masih terbuka. Roda nasib
akhirnya membawaku ke sini, di sebuah apartemen di jantung pulau Hong Kong. Aku
menjadi pembantu rumah tangga merangkap pengasuh di sebuah keluarga kecil dengan
dua anak berusia 9 dan 5 tahun.
Keberuntungan
mulai berpihak padaku. Aku bekerja pada sepasang suami istri yang taat beragama.
Sungguh bersyukur rasanya mendapat majikan seperti mereka. Walaupun ritual
ibadah dan keyakinan kami berbeda, namun mereka bersikap baik pada orang asing
seperti aku. Mereka tidak pernah melarang aku mengerjakan shalat. Tidak pernah
melarang aku berjilbab. Tidak pernah melarang aku berpuasa.
Anak-anak
mereka pun adalah anak yang baik. Andrew dan Raymond. Mereka menjadi pelarian
rasa rinduku terhadap buah hatiku yang tidak bisa kupeluk dan kupandangi tiap
hari. Andrew, si kakak yang waktu pertama kali bertemu masih berusia 7 tahun
bahkan kemudian sangat senang belajar bersamaku. Dia bilang pada ibunya bahwa
aku pintar matematika dan setiap hari selalu minta ditemani belajar.
Majikanku
tampak senang karena aku tidak pernah bertingkah aneh-aneh. Alih-alih keluar
rumah, waktu liburku kupakai untuk ikut membaca buku-buku bacaaan anak-anak
yang berbahasa Inggris (aku belum bisa membaca huruf Cina). Melihat itu,
majikanku meminjamkanku buku-buku bacaan untuk kubaca di waktu libur. Sesekali,
waktu liburku juga kupakai untuk mengunjungi Islamic Center, karena di tempat
itu biasanya kerap menjadi tempat pengajian saat libur nasional.
Hong Kong
mulai menjadi titik harapan. Setiap bulan aku bisa mengirim 3-4 juta rupiah ke
rumah bapak ibu mertuaku. Memang tidak banyak, tapi itu lumayan untuk membantu
biaya hidup mereka ber-7 dan biaya sekolah anak-anak. Jauh lebih mendingan
daripada jika menjadi pembantu rumah tangga di tanah air yang hanya dibayar
paling banyak 800 ribu-1 juta rupiah.
Namun uang
itu bukannya tanpa pengorbanan. Aku melewatkan momen tumbuh kembang dan masa
kecil anak-anakku. Aku terpaksa menyerahkan pengasuhan mereka di tangan kakek
nenek yang sudah mulai renta. Aku terpaksa kehilangan kesempatan untuk mengukir
kenangan di awal-awal kehidupan mereka.
Namun aku
harus memilih; melihat anak-anakku tumbuh menjadi anak yang kurang gizi dan
putus sekolah atau melintasi Borneo dan Laut Cina Selatan demi menjadikan
mereka anak-anak yang berani punya impian. Aku memilih yang kedua, agar
anak-anakku tidak berakhir seperti aku, menjalani hidup di jalur yang tidak sesuai
dengan panggilan hati.
Kini aku di
sini, menatap kosong pada jam dinding yang baru menunjukkan pukul 4 dini hari.
Sudah beberapa hari ini begini, bangun di pagi buta dengan perasaan gelisah. Sebongkah
resah memang menggelayut di pikiranku akhir-akhir ini. Beberapa minggu lagi
kontrak kerjaku akan berakhir. Aku harus segera memutuskan untuk melanjutkan
kontrak atau berhenti bekerja.
Sejujurnya
aku ingin...kata ini seolah menjadi hantu bergentayangan di kepalaku selama dua
tahun ini...pulang. Seluruh jengkal
kulit dan setiap serabut sarafku merindukan anak-anak yang selama ini hanya
bisa kutemui lewat mimpi. Seperti apa Azimat sekarang? Apakah Rara,
satu-satunya anak perempuanku, sudah bisa membantu menjaga adik-adiknya?
Tapi jika
aku pulang ke desa, lantas apa yang bisa kukerjakan? Menjadi pembantu lagi?
Menjadi guru les privat? Opsi kedua tampak lebih masuk akal. Aku bisa berhijrah
ke Surabaya untuk mencari murid sekolah dasar yang membutuhkan les privat Matematika
dan Bahasa Inggris. Surabaya dan kampungku hanya terpisah 6 jam perjalanan
darat. Tidak dekat memang, tapi setidaknya aku tidak perlu menyeberang laut.
Ah, tapi itu
berarti aku harus memulai dari nol lagi. Sedangkan di sini penghasilanku sudah
lumayan. Majikanku bahkan berkata akan menambah gajiku karena melihat aku rutin
menjadi guru bagi kedua anak mereka, juga bagi sepupu mereka yang kerap
dititipkan di apartemen untuk belajar bersama Andrew dan Raymond.
Bayangan
Firdaus, Rara, Iqbal, Ibrahim dan Azimat bersliweran di kepalaku. Ibu mertuaku
jelas-jelas memohon agar aku jangan pulang dulu. Permohonannya beralasan.
Selama dua tahun ini, kehidupan mereka sudah sinambung berkat uang kirimanku
tiap bulan, walau tidak bisa dibilang hidup berlebih.
Aku menghela
napas dengan susah payah. Kerinduan akan kampung halaman sudah seperti
sebongkah bisul yang siap meletus. Tak tertahankan. Namun, mana tahan juga aku
melihat mereka menderita karena suplai biaya hidup mereka terpaksa terhambat
karena aku berhenti bekerja?
Aku berhenti
melamun dan melirik kalender. Hari ini adalah hari libur nasional, sekaligus
hari libur bagi kami para TKI. Sejurus kemudian aku ingat hari ini ada
pengajian di Islamic Center. Mungkin pergi ke sana bisa membuatku mendapatkan
pencerahan dan akhirnya bisa memutuskan harus berbuat apa.
***
Ada
pemandangan yang tidak biasa di Islamic Center hari ini. Sekelompok orang
tampak mengerubuti seorang pria berwajah oriental sambil memberi ucapan
selamat. Bisik-bisik di sekitarku menyebutkan bahwa orang itu baru saja menjadi
muallaf hari ini.
Ternyata
muallaf itu adalah orang yang kukenal, Richard Yuen Ming-fai, ayah Susie. Susie
adalah sepupu anak majikanku yang selama ini juga ikut belajar bersama Andrew
dan Raymond. Richard adalah single parent dengan satu anak berusia 5 tahun ketika
bercerai dengan istrinya 4 tahun yang lalu. Selama ini kami jarang berbicara,
hanya sepintas menyapa saat dia mengantar atau menjemput anaknya di apartemen
majikanku.
“Dewi!”,
panggilnya begitu dia menyadari kehadiranku. “Aku sudah menduga kamu bakal ke
sini hari ini”, ujarnya riang.
Aku pun
menghampirinya, “Alhamdulillah, kabarnya hari ini sudah jadi muallaf”
“Alhamdulillah,
aku sudah pikirkan ini sejak lama. Aku punya beberapa teman muslim. Dari mereka
saya banyak belajar. Tapi sesungguhnya pemicunya adalah kamu”
“Saya?”, rahangku
melorot tanda heran.
“Aku kagum padamu.
Aku tahu hidupmu tidak mudah. Ada 5 anak yang kamu tinggalkan jauh di seberang
lautan sana. Tapi aku melihatmu tabah luar biasa, padahal kamu tidak punya siapa-siapa
di sini. Aku bertanya-tanya apa yang membuatmu bisa sekuat itu. Uang? Kekasih?
Saudara? Sepertinya bukan itu semua. Lantas aku sadar kamu hanya punya Tuhan,
yang biasa kau sebut Allah. Kamu membuatku ingin mengenal Sang Penguatmu lebih
jauh. Aku banyak berdiskusi dengan teman-temanku yang muslim dan lantas
memantapkan hati untuk bersyahadat di sini”. Penjelasan Richard membuat
sebersit keharuan menyusup dalam hatiku.
“Kamu jadi
kembali ke Indonesia?”, tanyanya tiba-tiba. “Kontrakmu sebentar lagi habis kan?
Lily bilang sebenarnya dia berat melepas kamu”. Lily Tam Kam-lan adalah nama
majikanku, kakak Richard.
“Iya, saya
masih belum memutuskan. Sebenarnya saya rindu anak-anak, tapi...”, aku terdiam
berusaha mencari kata-kata yang pas untuk melanjutkan.
“Tidak hanya
Lily, aku juga berat melepas kamu”, tanpa permisi dia melanjutkan kalimatku. Bola
mataku membulat, tanda tak percaya pada apa yang kudengar. Belum juga aku
bertanya, dia sudah melanjutkan.
“Pulanglah
ke Indonesia untuk beberapa minggu. Setelah itu kembalilah ke sini dan tinggallah
2 tahun lagi. Kemudian, aku akan ikut kamu kembali ke Indonesia menemui
anak-anakmu. Aku hendak minta ijin pada mereka”.
“Minta ijin
anak-anak saya? Untuk apa?”, aku menatapnya tak mengerti.
“Untuk
menjadi ayah baru mereka”, jawabnya cepat.
Rahangku yang
semenjak tadi melorot kini jatuh hingga ke lantai. Menjadi ayah anak-anakku?
Orang ini bicara apa sih sebenarnya? Kok bisa seenaknya dia membuat rencana
yang melibatkan hidup dan masa depanku?
“Maaf,
sebenarnya belum waktunya aku berkata begitu. Semakin aku yakin hendak
bersyahadat, semakin aku tidak bisa berhenti memikirkan kamu. Aku yakin kamu
pasti tidak akan percaya. Seharusnya aku mengatakan ini nanti, saat aku sudah
berkesempatan untuk menunjukkan kesungguhanku. Tapi Lily bilang kontrakmu akan
berakhir sebentar lagi dan aku takut kamu memutuskan untuk pulang”
Ah, pulang, kata itu kembali menusuk ulu
hati, terus menembus kerongkongan dan membuatku tak bisa menahan air mata.
Sungguh, aku ingin pulang. Aku kangen. Tapi rentetan kata-kata dari mulut
seorang lelaki yang selama ini jarang bertegur sapa denganku membuat aku
samar-samar melihat sebuah kata lain, keluarga.
Lelaki ini membuatku mengangankan dua kata itu bisa melebur bersatu.
“Tapi saya hanya
seorang pembantu”, aku berbisik lirih di sela isak yang sekuat hati kutahan.
Aku tak mengira dia mendengar bisikanku.
“Kamu berbeda Dewi. Kamu istimewa”, katanya
singkat, membuat isakku tak lagi terbendung. “Kuharap kamu mau kembali untuk
membuktikan bahwa aku tidak main-main”, kalimat itu mengakhiri perbincangan
kami hari itu. Aku tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan pada Richard selain
berterima kasih.
Di dalam bis
kota, aku memandangi jalan-jalan pulau Hong Kong dengan pikiran
melayang-layang. Kejadian hari ini terlalu
too good to be true. Segala hal yang too good to be true hanya ada di
film-film. Tapi bukankah hidup ini memang sebuah film hasil besutan Sang
Sutradara yang Maha Agung?
Kejadian
barusan memang seperti mimpi kanak-kanak yang muncul dari dalam buku-buku fantasi.
Tapi bukankah Tuhan menciptakan dua kaki agar satu kaki bisa berdiri di negeri
impian dan satunya lagi menapak di negeri realita? Seimbang antara mimpi dan
kenyataan.
Aku
menyadari selama ini aku terlalu terpaku pada segenap kenyataan pahit yang
kualami. Lebih dari 3 dekade masa hidupku kuhabiskan dengan menelan pil pahit
satu demi satu hingga tak lagi berani berharap bisa menelan gula-gula. Selama
ini aku hanya mengikuti ke mana arus membawaku tanpa berani memilih sungai mana
yang kelak akan membawaku ke samudra bebas.
Kembali di
kamar mungilku di apartemen, aku membuka sebuah buku yang kupakai untuk merekam
sejarah hidupku. Aku menuliskan sebuah tanggal, sebuah nama bulan dan bertahun
2 tahun setelah tahun ini, hanya satu kata yang kutulis di sana dengan huruf
kapital; PULANG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.