Rabu, 20 Maret 2013

Titel Ibu, Perlukah?


“Saya tidak bekerja, hanya ibu rumah tangga biasa”
“Enak ya jadi ibu rumah tangga, bisa dekat sama anak terus”
“Kasihan ya anak-anak itu, ibunya kerja sih, jadi cuma dijaga pembantu aja”
“Wah, sudah sekolah tinggi-tinggi kok cuma jadi ibu rumah tangga
“Kalau ibunya kerja ya gitu itu, anaknya jadi ngga keurus”

Jika ada ibu-ibu yang merasa hebat karena mereka menjadi ibu bekerja, itu salah besar. Tapi jika ada ibu-ibu yang merasa paling hebat karena mereka memilih menjadi ibu rumah tangga, itu juga sama salahnya.
Semua ibu itu hebat. Catat, semua ibu, titik. Ibu, tidak perlu embel-embel “bekerja” atau “rumah tangga” untuk membuatnya menjadi hebat.
Seorang ibu rumah tangga, yang semenjak matahari belum muncul sudah bangun. Membereskan ini, menyiapkan itu, mengurus ini, membersihkan itu. Seorang ibu rumah tangga akan terus bekerja hingga anak-anak bangun, hingga mereka berangkat sekolah, hingga mereka pulang, hingga mereka berangkat les, hingga mereka pulang les, bahkan hingga mereka tidur. Pekerjaan seorang Ibu rumah tangga tidak akan pernah ada habisnya. It’s 24/7.
Lantas, bagaimana dengan golongan ibu bekerja? Apakah mereka tidak bangun di pagi buta? Apakah mereka lantas tidur sore-sore karena lelah seharian bekerja di kantor? Apakah mereka lantas sepenuhnya menyerahkan semua urusan rumah tangga pada sang asisten rumah tangga? Mungkin saja ada yang demikian, tapi yang tidak pun juga tidak kalah banyak. Sebab tidak semua ibu bekerja didampingi seorang asisten rumah tangga.
Banyak dari ibu bekerja yang juga bangun di pagi buta. Sebagian dari mereka terburu-buru ke pasar dan memasak untuk sarapan. Sebagian lagi masih menyempatkan diri untuk beres-beres rumah atau mencuci pakaian. Sepulang kerja pun, banyak dari mereka yang masih menyempatkan diri menemani anak-anaknya belajar. Dan setelah anak-anak berangkat tidur, mereka juga masih menyempatkan diri untuk setidaknya mencuci piring atau menata pakaian di lemari.
Bagi ibu bekerja pun tidak ada hari Minggu atau tanggal merah. Karena di hari-hari itulah kesempatan untuk membersihkan rumah secara paripurna, atau membuat kue atau membuat masakan istimewa untuk orang-orang tercintanya. Pada akhirnya sama saja, seorang ibu bekerja pun memiliki jam kerja yang 24/7.
Jika ada seorang Ibu bekerja yang hanya mementingkan karir dan tidak menghiraukan keluarga, maka golongan ibu rumah tangga yang lebih asyik menikmati sinetron dan ngerumpi juga banyak.
Oleh karena itu, sudahlah, kita stop saja perdebatan mana yang lebih baik; menjadi ibu bekerja atau ibu rumah tangga.
Ibu ya ibu. Dari judulnya, sudah jelas tugasnya adalah merawat, membesarkan dan mendidik anak. Itu adalah hal yang mutlak tak bisa ditolak. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah proses perawatan dan pendidikan anak tidak butuh biaya? Bagaimana jika penghasilan sang ayah masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga? Bukankah itu juga tugas Ibu untuk membantu? Bukan demi sang ayah, tapi demi para buah hati.
Banyak ibu-ibu yang beruntung mendapatkan suami yang penghasilannya lebih dari cukup. Tapi yang tidak pun juga banyak, sehingga mereka dengan sangat berat hati, harus meninggalkan buah hatinya di rumah dan menjemput rejeki bagi keluarganya di tempat lain. Mereka dengan sangat berat hati pula terpaksa menitipkan mata pada orang lain agar tetap bisa mengawasi buah hatinya. Mereka merasa bersalah karena terpaksa mendelegasikan urusan perawatan anak-anak kepada orang lain. Tapi terkadang hidup tidak banyak memberikan pilihan.
Ketika sedang hamil, banyak Ibu-ibu yang beruntung bisa menjalani kehamilan dengan tenang di rumah. Tapi banyak juga yang harus melewati masa kehamilannya di jalanan, di kantor atau di pabrik. Namun apakah golongan yang terakhir ini lantas mengabaikan keselamatan dan kesehatan si jabang bayi dalam kandungan?
Ketika masa menyusui, banyak dari ibu yang beruntung dapat berdekatan sepanjang hari dengan buah hatinya, memberikan ASI kapan saja sang bayi meminta. Tapi banyak juga ibu-ibu yang dengan effort tak kenal lelah, melakukan pemerahan ASI  di sela-sela waktu bekerja, bahkan terkadang sampai mengorbankan waktu istirahatnya, demi memenuhi kebutuhan ASI eksklusif bagi bayinya.
Sama saja. Effort tiap ibu, mau ibu rumah tangga atau ibu bekerja, sama besarnya. Mereka akan melakukan apa saja demi yang terbaik bagi putra-putrinya.
Banyak dari ibu-ibu, yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi, memilih tinggal di rumah untuk memastikan anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang benar. Ibu-ibu ini mengabaikan cita-cita dan ambisi masa mudanya demi mendidik generasi penerus bangsa. Sementara kawan-kawan kuliahnya dulu mungkin saja telah menginjakkan kaki di banyak negara, ibu-ibu ini memilih untuk tetap tinggal di rumah, memastikan anak-anak dapat bertemu ibunya saat pulang sekolah.
Menjustifikasi ibu-ibu rumah tangga yang menyia-nyiakan pendidikan tingginya dengan hanya tinggal di rumah, sebenarnya sama kejamnya dengan menjustifikasi ibu-ibu bekerja yang menyia-nyiakan pendidikan tingginya dengan menyerahkan pendidikan anak-anaknya pada seorang pembantu rumah tangga.
Sebenarnya, masih perlukah kita memperdebatkan mana yang lebih baik? Ibu rumah tangga atau ibu bekerja? Masih perlukah kita memberikan titel “bekerja” atau “rumah tangga”?
Ibu, di manapun berada dan apapun profesinya, tetaplah seorang Ibu, yang telah Tuhan bekali naluri untuk membesarkan anak-anak. Naluri yang tidak bisa tergantikan oleh siapapun.
Ibu ya Ibu. Menjadi seorang Ibu jelas merupakan anugerah. Tapi menjadi ibu yang bekerja atau tinggal di rumah adalah sebuah pilihan. Mana yang lebih baik mungkin hanya Tuhan yang bisa menilai...

1 komentar:

  1. Saya sangat terinspirasi dari artikel ini...sangat menyentuh hatiku..sebenarnya saya ingin jd ibu rumah tangga dikarenakan ada satu alasan yg kini merubahku ingin bekerja..jd q sangat berterimakasih dg artikel ini. Karena dengan aku bekerja pun aku masih tetap ibu bagi anak2ku dengan berusaha menjadi yg terbaik bagi mereka....terimakasih karena artikel ini ibu bekerja bkn lantas jadi masalah dan tidak bisa menjadi ibu seutuhnya

    BalasHapus

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)