“Teeeet...”, suara alarm
menyalak membelah hingar bingar deru mesin penggiling. Jutaan bahkan milyaran
biji gandum digiling di tempat itu tiap harinya, menghasilkan ribuan kwintal
tepung terigu yang siap dipasarkan ke seluruh penjuru Nusantara. Suara alarm
seperti itu adalah penanda ada yang tidak beres.
Mata perempuan itu segera
memindai layar monitor, mencari sebuah titik yang berkelip-kelip. Hanya
beberapa detik kemudian, tangannya meraih walky talki, berbicara cepat dan
pendek-pendek. Tak lama, masih dengan menggenggam walki talki, dia bergegas
keluar dari ruang panel. Tanpa banyak bertanya, Rashad mengekor di belakang
perempuan yang rambutnya diekor kuda itu dengan rasa penasaran.
Rashad tercengang
melihat perempuan itu dengan sigap menaiki tangga monyet, ke atas tangki
stainless setinggi 5 meter. Tanpa disuruh, Rashad juga melakukan hal yang sama.
Rashad melihat perempuan
itu memeriksa pipa-pipa berdiameter setengah inci dan slang-slang polyurethane
berdiameter 6 mili yang saling silang di atas tangki. “Sensornya macet, makanya
valvenya tidak bisa otomatis terbuka, kalau dibeginikan biasanya bisa bertahan
sampai beberapa batch mixing”, katanya sambil menekan sebuah roda kecil dan
kemudian terdengarlah bunyi “cesss...” seperti suara kentut.
“Nanti tolong hubungi
orang maintenance untuk cek sistem pneumatiknya. Posisi bypass gini biasanya
ngga tahan lama”, katanya lagi sambil memandang ke arah slang pneumatik itu
dengan tatapan prihatin. Lantas pandangannya beralih ke Rashad.
Rashad sedikit
tergagap, karena sebenarnya sedari tadi dia tidak benar-benar memperhatikan apa
yang dilakukan perempuan itu dengan pipa angin, slang polyurethane dan roda
kecilnya. Seorang perempuan bertubuh mungil yang nangkring di atas tangki besi
dengan bakground pipa-pipa berisi terigu lebih menarik perhatiannya.
Alih-alih menyentuh
benda-benda yang lebih feminin seperti bedak atau lipstik, dia malah sibuk
mengutak-atik jalur pneumatik yang memungkinkan proses produksi terigu di
tempat itu berjalan otomatis.
Sesungguhnya perempuan
itu berwajah biasa saja. Perempuan-perempuan yang selama ini dikencaninya jauh
lebih cantik. Tapi yang satu ini sungguh menarik. Walaupun bedak di wajahnya
sudah luntur karena pabrik ini memang sangat panas, entah kenapa Rashad tidak
kuasa melewatkan pemandangan yang tidak biasa itu.
“Hoi...!”, suara itu
membuyarkan lamunan Rashad.
“Eh iya Bu”, Rashad
tergagap. Dan semakin gagap kala perempuan itu mencondongkan tubuhnya ke arah
Rashad. Sangat dekat hingga Rashad bisa mencium aroma cologne-nya. Jarak bibir
perempuan itu dengan pipi Rashad hanya beberapa senti saja sekarang.
“Tolong kasih tahu
maintenance! Kita punya masalah dengan valve pneumatiknya!”, setengah teriak,
perempuan itu memberikan instruksi. Rupanya dia mengira Rashad tidak mendengar
suaranya karena tertelan deru puluhan mesin-mesin yang berintensitas lebih dari
100 desibel.
Rashad mengangguk,
masih tidak bisa melepaskan pandangannya.
Perempuan itu, Indi
namanya, di mata Rashad adalah anomali.
Sebagai lulusan teknik
mesin, Indi adalah perempuan satu-satunya yang pernah direkrut di bagian
produksi pabrik penggilingan terigu terbesar di Indonesia ini. Selama lebih
dari 3 dekade pabrik ini berdiri, Indi seakan menodai sejarah panjang dominasi
kaum laki-laki di bagian produksi dengan kehadirannya. Selama 4 tahun, Indi
menjadi bagian dari sebuah tim yang semuanya punya jenis kelamin yang
berlawanan dengannya. Termasuk Rashad, yang baru saja bergabung sebulan yang
lalu.
Tugas Rashad di
bulan-bulan pertamanya menjadi karyawan di departemen Flour Blending ini cukup
berat. Dia harus mampu menguasai teknologi produksi sekaligus pengemasan tepung
“tailor made” dalam waktu 3 bulan. Hanya 3 bulan, dan setelah itu dia harus mampu
mengambil alih posisi Indi sebagai pemimpin di departemen tersebut. Sementara
Indi harus menerima tugas dan tanggung jawab di departemen lain. Namun sebelum
Indi resmi dimutasi, sebagai satu-satunya orang yang menguasai detil proses di Flour
Blending, dia harus mendampingi Rashad selama masa percobaannya, melakukan alih
pengetahuan dan memastikan Rashad siap menggantikan dirinya 3 bulan ke depan.
Judul departemennya
memang tampak mudah. Flour Blending. Tinggal diaduk lantas dikemas, beres kan?
Tapi ternyata semua di luar dugaan. Rashad harus memahami cara perhitungan
formula (yang menurut Indi gampang sekali, cuma soal tambah kurang kali bagi
seperti pelajaran sekolah dasar), menjalankan mesin-mesin yang katanya otomatis
tapi ternyata tidak seotomatis yang dia bayangkan, belum lagi segala macam troubleshoot
yang di luar dugaan, plus urusan sumber daya manusia yang juga cukup menguras
pikiran.
Namun urusan pekerjaan
sama sekali tidak mengganggu pikiran Rashad. Ada 2 masalah yang membuat Rashad
kebingungan. Sepele sebenarnya, Rashad jatuh cinta, pada mentor, guru dan satu-satunya
rekan kerja berjenis kelamin perempuan di pabrik itu. Sebenarnya masalah
pertama ini tidak akan jadi masalah jika tidak ada masalah yang kedua; Indi
sudah menikah.
Sejak awal pertama
mereka berkenalan, Rashad sudah menyadari cincin polos yang melingkari jari
manis Indi. Tapi itu tidak bisa mencegah Rashad untuk tidak jatuh cinta pada
pandangan pertama dan pandangan-pandangan berikutnya. Rashad telah jatuh cinta
pada sebentuk anomali di tengah-tengah rimba mesin penggiling biji gandum yang
menderu-deru.
Tapi cincin di jari
manis itu adalah penghalang yang lebih tebal dibanding tembok Cina. Sebaris
kalimat singkat yang biasanya dengan gampang Rashad ucapkan pada gadis-gadis
yang dikencaninya semacam; “Aku cinta kamu” atau “Aku sayang kamu” seakan terbungkam
hanya oleh sebuah logam berbentuk lingkaran. Rashad tahu cincin itu menandakan
banyak hal. Dan sebagian besar menyiksa perasaan Rashad.
Cincin itu membuat
Rashad membenci malam. Rashad sadar, kapan saja di malam hari, pemilik cincin
itu tengah menyerahkan segenap raga dan meledakkan perasaan cintanya pada
seseorang. Seseorang yang sayangnya bukan dia.
Sebenarnya Rashad
sudah berusaha menggunakan logikanya, yang selama ini telah membawanya lulus
kuliah sebelum waktunya, berpredikat Cum Laude dan langsung direkrut perusahaan
besar menjadi pemimpin sebuah departemen. “Please Rashad, she’s years older
than you”, sebuah suara pernah berbisik seperti itu di kepalanya. “Besides,
she’s married”, suara itu berbisik lagi. Rashad mahfum. Suara itu benar. Ada banyak
gadis-gadis muda berstatus lajang yang pasti mengantri untuk dipacarinya.
Mengapa dia harus jatuh cinta pada orang yang sudah menikah?
Tapi cinta tidak
pernah bisa dilogika. Rashad tidak butuh banyak alasan untuk jatuh cinta. Hanya
karena Indi adalah sebuah anomali. Outstanding. Tidak wajar. Itu saja.
Untungnya Rashad masih
cukup waras untuk tidak frustrasi. Dia juga cukup cerdas untuk tetap terlihat
profesional walaupun dengan perasaan yang amburadul.
Sayangnya Rashad
melupakan satu hal. Serapat-rapatnya dia berusaha menutupi perasaan, ada satu
celah yang tidak mampu dia tutupi, sorot mata. Mata yang lekat memandang Indi
tiap kali Indi bicara, Indi bergerak, Indi memberi intruksi, Indi membuat
laporan, Indi mengemasi tasnya, Indi memakai jaketnya. Rashad hampir tak pernah
melawatkan tiap transisi gerakan otot dan sendi di tubuh Indi, walaupun itu
hanya sekedar tarikan sudut bibir yang membentuk senyum tipis.
Namun tanpa Rashad
sadari, Indi menyadari itu semua.
Sebenarnya Rashad
bukan orang pertama yang melayangkan pandangan seperti itu padanya. Apalagi
saat masuk di perusahaan ini dulunya dia masih berstatus lajang. Tidak hanya
sorot mata, dulu Indi sering menerima puisi, sms cinta, surat cinta, dan bahkan
wedding proposal. Namun dia tak acuh hingga akhirnya semua berakhir dengan
sendirinya semenjak dia menikah. Tepatnya sejak benang merah tak kasat mata
membentang menghubungkan jari manisnya dan jari manis suaminya.
Tapi ketika Rashad
hadir, ketika Rashad menghujaninya dengan sorot mata yang tidak biasa, entah
kenapa Indi mulai melihat benang merah kedua. Dan benang merah itu terhubung dengan
anak kemarin sore yang ujug-ujug datang mengobrak-abrik ruang hatinya.
Sama dengan Rashad,
logika Indi juga kerap bicara; “Tidak mungkin laki-laki yang lebih muda jatuh
hati sama orang yang lebih tua, sudah menikah lagi. Memangnya di dunia ini
sudah kehabisan anak perawan?”. Untuk sesaat, Indi bisa menerima apa yang
dibilang logikanya. Dan untuk beberapa saat, Indi berhasil menghentikan
gempuran perasaan aneh setiap bertatapan mata dengan Rashad.
Sebenarnya Indi akan
terus berada di bawah kendali logikanya seandainya dia tidak membaca status
Rashad di twitter; “Aku positif menderita Oedipus complex”.
Tanpa Indi sanggup
mengelak, benang merah kedua itu muncul lagi setelah sempat lenyap beberapa
lama. Indi tidak suka, karena kehadiran benang merah kedua membuat dia tertarik
ke dua arah yang berlawanan.
Namun kini Indi lega karena
Rashad berhasil menyelesaikan masa percobaannya. Indi menjabat tangan Rashad
saat dia dinyatakan lulus masa percobaan dan resmi diangkat menjadi leader di
Flour Blending. Bagi Indi, jabat tangan itu punya macam-macam makna; ucapan
selamat bagi Rashad dan dirinya sendiri (yang sama-sama telah melalui masa 3
bulan yang berat) dan juga perpisahan. Dia tidak harus berjumpa dengan Rashad 8
jam sehari dan merasakan hunjaman pandangan mata Rashad yang sama dengan yang
dilihatnya dari mata suaminya, tiap kali mereka selesai bercinta.
Pertemuan-pertemuan
dengan Rashad berikutnya hanya akan jadi pertemuan singkat di kantin, sesekali
di ruang meeting atau mungkin sekejap di tempat parkir. Indi yakin benang merah
kedua akan segera menghilang segera setelah dia tidak lagi menghabiskan
waktunya dalam sehari dengan Rashad, lebih lama ketimbang dengan suaminya sendiri.
---
Sore itu, Rashad
mengundang Indi makan malam untuk merayakan kelulusannya melewati masa
percobaan.
Tergopoh-gopoh, Indi
memarkir mobilnya dan masuk ke sebuah kafe yang dipilih Rashad. Rashad sudah
menunggu. Duduk sambil mengutak-atik sebuah beri hitam, tubuh atletisnya
tenggelam di sofa berukuran sedang yang terlihat cozy.
“Aduh sori Pak, agak
telat, macet, mana yang lain?”, Indi terengah-engah sambil mengedarkan
pandangan ke seluruh penjuru kafe.
“Ngga ada Bu, yang
lain sudah saya traktir kemarin”, jawab Rashad ringan.
“O ya? Kok ngga
bilang-bilang?”, Indi setengah mati menelan kegugupannya, ketika menyadari hanya akan berdua saja dengan
Rashad di tempat seperti ini.
“Bu Indi kan spesial”,
jawab Rashad.
Deg, jantung Indi
serasa meloncat.
“Bu Indi kan sudah
ngajarin saya macam-macam, sudah bantuin saya melewati masa percobaan, jadi
wajar kan kalau saya pingin membalas budi? Jadi nraktirnya juga harus beda
dengan yang lain dong”, jelas Rashad dengan ekspresi lucu, tepatnya
dilucu-lucukan karena dia juga setengah mati menahan rasa gugup.
Indi tersenyum, antara
lega dan nervous. “Oalah, yang kaya gitu kok dipikir sih? Itu kan memang sudah
tugas saya”, katanya sambil mengambil tempat duduk di sebelah Rashad.
Kafe itu sangat
nyaman. “Cafe Sofas” namanya. Sesuai namanya, di dalamnya memang hanya terdapat
sofa-sofa aneka bentuk dan rupa. Semuanya cozy. Dan pilihan Rashad jatuh pada
sebuah sebuah sofa ukuran dobel dengan meja mungil panjang di depannya. Pilihan
yang membuat Indi tidak punya pilihan lain selain duduk bersebelahan dengan
Rashad. Sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa ini bukan hanya sekedar makan
malam biasa.
Tak lama kemudian,
meja kecil itu sudah dipenuhi makanan dan minuman yang sebentar saja sudah
licin tandas.
“Tambah lagi Bu?”, tawaran
Rashad disambut gelengan Indi yang sibuk menyendoki potongan pisang di atas
banana split.
“Bu Indi”, panggil Rashad
tiba-tiba. Indi menatapnya sambil membiarkan segumpal es krim meleleh perlahan di
mulutnya. “Pernah dengar dongeng tentang Dermaga dan Samudra?”
Kening Indi
mengernyit, “Memangnya ada dongeng seperti itu?”. Dia penggemar dongeng dari
kecil dan seingatnya tidak ada dongeng dengan judul seperti itu.
“Mau dengar
ceritanya?”, Indi mengangguk samar, masih dengan dahi mengernyit.
“Begini, Samudra sering
bersekongkol dengan angin untuk mengombang-ambingkan banyak bahtera yang sedang
berlayar di atasnya. Membawa mereka ke mana-mana, mengunjungi tempat-tempat
yang luar biasa. Namun jika Samudra sudah bosan, dia akan menyuruh angin
berhenti bertiup dan membuat banyak bahtera hanya bisa diam memandang tenangnya
permukaan Samudra seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Mereka berharap Samudra
akan bergelombang lagi dan kembali membawa berpetualang. Terkadang gelombang
memang kembali, namun tak jarang Samudra benar-benar tak berangin hingga sekian
lama. Sehingga bahtera-bahtera itu harus berupaya sekuat tenaga untuk bisa
mencapai pulau terdekat”. Rashad terdiam sebentar. Indi sibuk membuka-buka file
virtual di kepalanya, mencoba mengingat-ingat koleksi dongeng masa kecilnya.
“Banyak bahtera yang
membenci Samudra karena ulahnya, namun banyak juga yang setia menanti-nanti
datangnya gelombang Samudra demi merasakan sensasi petualangan dengannya”
Rashad mengambil nafas
lagi. Matanya menatap dalam ke dalam mata lawan bicaranya. Indi menghentikan acara
menyantap Banana Splitnya, mulai sadar bahwa dongeng itu memang tidak pernah
ada.
“Suatu hari Samudra
berjumpa dengan sebuah Bahtera. Samudra ingin mengundang Bahtera tersebut
merasakan ombaknya. Tapi apa daya, Bahtera itu ternyata terhubung dengan sebuah
Dermaga. Si Dermaga sebenarnya jauh lebih kecil dan tak berarti dibanding
Samudra yang maha luas. Si Dermaga sebenarnya juga tidak terlalu banyak
bertingkah. Dia hanya diam, namun mengikat Bahtera sangat erat hingga Bahtera
tersebut tidak bisa ke mana-mana”, Rashad melanjutkan sementara Indi semakin
yakin, lelaki di hadapannya ini bukannya sedang mendongeng, melainkan sedang
bermetafora.
“Namun Samudra tidak
putus asa. Lagi-lagi dia menyuruh angin untuk bertiup sekencang-kencangnya agar
Bahtera bisa lepas dari Dermaganya. Sang angin pun menurut dan meniup Samudra
sekuat tenaga. Gelombang besarpun tercipta dan akhirnya Bahtera itu lepas dari
Dermaganya. Namun Samudra membuat kesalahan besar, angin yang terlalu kencang
membuat kerusakan yang parah di lambung Bahtera. Luka itu membuat Bahtera
perlahan tenggelam. Samudra menelan Bahtera itu bulat-bulat beserta lukanya
yang menganga”. Rashad diam lagi. Menatap Indi dengan sedih.
“Seharusnya Samudra
merasa puas, kini Bahtera sudah menjadi miliknya sendiri. Tapi yang ada malah
penyesalan. Samudra tidak pernah lagi bisa membawa Bahtera mengarungi ombak.
Dia tidak akan pernah bisa menunjukkan indahnya matahari terbit tenggelam di
cakrawala, yang memburatkan aneka warna yang pasti akan dicintai para pelukis. Samudra
tidak akan pernah bisa memperkenalkan Bahtera pada sahabat-sahabatnya; biota
laut aneka rupa. Karena Bahtera kini hanya bisa diam di dasarnya, berkawan
dengan gelap, dingin dan lumut yang perlahan beranak pinak di dinding-dinding
palka”.
Indi terdiam mendengar
cerita Rashad. “Lantas, apa yang terjadi dengan Dermaga?”
“Gelombang laut juga
telah melukai dermaga. Tapi tidak butuh waktu lama bagi Dermaga untuk
diperbaiki dan kembali menjadi tambatan bahtera-bahtera lain. Demikian juga
Samudra, dengan cepat dia melupakan Bahtera yang sudah ternggelam. Dia kembali
lagi mencari-cari bahtera lain untuk diombang-ambingkan di atas permukaannya
yang berombak”.
Sambil menghela napas
Indi bersuara, “Cerita yang menyedihkan. Seandainya saja Samudra tahu, bahwa tanpa
bersekongkol dengan angin pun, sebenarnya Bahtera sudah sangat ingin berlayar
kembali ke tengah Samudra”, ujar Indi kemudian. Rashad terhenyak. Sama sekali
tidak menyangka Indi akan berkata seperti itu.
“Bahtera tahu Samudra
menawarkan banyak hal yang menarik, termasuk indahnya semburat warna langit
saat matahari terbit dan tenggelam. Bagi Bahtera, Samudra menawarkan
petualangan yang tak terbatas. Tapi, Bahtera sudah punya rumah. Tempat di mana dia
bersandar. Bahtera tidak mungkin selamanya berlayar di Samudra bukan? Akan ada
saatnya dia harus berhenti bertualang, bersandar di Dermaga dan merasakan kehidupan
yang sama sekali lain, tetapi tidak kalah menariknya”
Rashad terpana, “Benarkah
begitu? Benarkah Bahtera sebenarnya juga merindukan Samudra?”.
“Iya, bahkan sangat”,
Indi mendesis.
Sesaat tidak ada lagi
yang bersuara. Perlahan, pelan sekali seperti gerakan slow moving di film-film,
Rashad mendekati Indi. Indi tidak bergerak. Tanpa mereka sadari, kini bibir
mereka hanya berjarak beberapa inci.
Indi merasakan hangat
hembusan napas Rashad yang dirasanya mengalir melalui setiap pembuluh darahnya.
Untuk sedetik, dia merasa sukmanya tidak bersatu dengan raga. Namun di detik
berikutnya, berbarengan dengan tangan Rashad yang menyentuh lembut bahunya,
Indi bagai mendengar suara timer oven listriknya. “Ting...!!!”. Indi tersadar. Sukmanya
kembali.
Ia menarik tubuhnya
menjauhi tubuh Rashad. Masih dengan gerakan slow moving, tapi cukup membuat
Rashad mengerti. “Tapi Bahtera tidak akan pernah sanggup meninggalkan Dermaga.
Sebesar apapun kerinduan Bahtera pada Samudra, Samudra tetap bukanlah rumahnya”
“Seharusnya Samudra
tidak perlu bersedih. Kapan saja, Samudra bisa mendapatkan bahtera-bahtera lain
untuk diajaknya bertualang. Namun selamanya, Bahtera tidak akan pernah bisa melupakan
Samudra yang pernah membawanya melihat dunia”, lanjut Indi disambut hangat
senyum Rashad.
“Tapi, bagaimana jika
Samudra tidak sanggup melupakan
Bahteranya?”, tanya Rashad.
“Samudra tidak perlu
melupakan, bukankah Bahtera yang juga tidak akan pernah bisa menghapus
kenangannya akan Samudra?”
Indi mengemasi tasnya.
Sejenak dia menyayangkan Banana Splitnya yang sudah meleleh. “Pak Rashad, saya
pulang dulu ya. Terima kasih atas undangannya. Juga atas dongengnya. It’s
beautiful”. Indi tersenyum. Bahagia dan lega. Malam ini, Indi sudah memperoleh
satu jawaban atas pertanyaan yang dia sendiri tidak bisa mendefinisikan.
Perlahan, Indi melihat benang merah kedua di jarinya memudar dan menghilang.
“Saya yang harusnya
terima kasih Bu. Saya baru tahu dongeng itu ada lanjutannya”. Katanya ketika
mengantarkan Indi sampai ke tempat dia memarkir mobilnya.
Rashad memandang mobil
Indi yang segera menghilang di balik lampu merah. Dia sadar, selamanya dia dan
Indi akan saling memanggil “Pak” dan “Bu”. Tapi setidaknya mulai sekarang,
Rashad tidak lagi membenci malam.....
9 Maret 2013, 21.00
Photo credit: http://www.123rf.com/photo_9418550_boat-and-harbour.html
bahasanya lugas dan keren. alurnya oke. idenya mantab ttg analogi samudra, bahtera, dermaga. two thumb up! dan keplok-keplok :)
BalasHapusditunggu fiksi lainnya ^^
Duh, jadi semangat nulis fiksi kalau mbak cerpenis yang ngasih komen. Makasih ya dek :)
HapusBagus bangett mbaaak :) :)
BalasHapusTrima kasih Dek. By the way, selamat ya cerpen pop urbannya masuk seleksi berikutnya. ^-^
Hapus