Selasa, 12 Maret 2013

Dermaga dan Samudra


“Teeeet...”, suara alarm menyalak membelah hingar bingar deru mesin penggiling. Jutaan bahkan milyaran biji gandum digiling di tempat itu tiap harinya, menghasilkan ribuan kwintal tepung terigu yang siap dipasarkan ke seluruh penjuru Nusantara. Suara alarm seperti itu adalah penanda ada yang tidak beres.
Mata perempuan itu segera memindai layar monitor, mencari sebuah titik yang berkelip-kelip. Hanya beberapa detik kemudian, tangannya meraih walky talki, berbicara cepat dan pendek-pendek. Tak lama, masih dengan menggenggam walki talki, dia bergegas keluar dari ruang panel. Tanpa banyak bertanya, Rashad mengekor di belakang perempuan yang rambutnya diekor kuda itu dengan rasa penasaran.
Rashad tercengang melihat perempuan itu dengan sigap menaiki tangga monyet, ke atas tangki stainless setinggi 5 meter. Tanpa disuruh, Rashad juga melakukan hal yang sama.
Rashad melihat perempuan itu memeriksa pipa-pipa berdiameter setengah inci dan slang-slang polyurethane berdiameter 6 mili yang saling silang di atas tangki. “Sensornya macet, makanya valvenya tidak bisa otomatis terbuka, kalau dibeginikan biasanya bisa bertahan sampai beberapa batch mixing”, katanya sambil menekan sebuah roda kecil dan kemudian terdengarlah bunyi “cesss...” seperti suara kentut.
“Nanti tolong hubungi orang maintenance untuk cek sistem pneumatiknya. Posisi bypass gini biasanya ngga tahan lama”, katanya lagi sambil memandang ke arah slang pneumatik itu dengan tatapan prihatin. Lantas pandangannya beralih ke Rashad.
Rashad sedikit tergagap, karena sebenarnya sedari tadi dia tidak benar-benar memperhatikan apa yang dilakukan perempuan itu dengan pipa angin, slang polyurethane dan roda kecilnya. Seorang perempuan bertubuh mungil yang nangkring di atas tangki besi dengan bakground pipa-pipa berisi terigu lebih menarik perhatiannya.
Alih-alih menyentuh benda-benda yang lebih feminin seperti bedak atau lipstik, dia malah sibuk mengutak-atik jalur pneumatik yang memungkinkan proses produksi terigu di tempat itu berjalan otomatis.
Sesungguhnya perempuan itu berwajah biasa saja. Perempuan-perempuan yang selama ini dikencaninya jauh lebih cantik. Tapi yang satu ini sungguh menarik. Walaupun bedak di wajahnya sudah luntur karena pabrik ini memang sangat panas, entah kenapa Rashad tidak kuasa melewatkan pemandangan yang tidak biasa itu.
“Hoi...!”, suara itu membuyarkan lamunan Rashad.
“Eh iya Bu”, Rashad tergagap. Dan semakin gagap kala perempuan itu mencondongkan tubuhnya ke arah Rashad. Sangat dekat hingga Rashad bisa mencium aroma cologne-nya. Jarak bibir perempuan itu dengan pipi Rashad hanya beberapa senti saja sekarang.
“Tolong kasih tahu maintenance! Kita punya masalah dengan valve pneumatiknya!”, setengah teriak, perempuan itu memberikan instruksi. Rupanya dia mengira Rashad tidak mendengar suaranya karena tertelan deru puluhan mesin-mesin yang berintensitas lebih dari 100 desibel.
Rashad mengangguk, masih tidak bisa melepaskan pandangannya.
Perempuan itu, Indi namanya, di mata Rashad adalah anomali.
Sebagai lulusan teknik mesin, Indi adalah perempuan satu-satunya yang pernah direkrut di bagian produksi pabrik penggilingan terigu terbesar di Indonesia ini. Selama lebih dari 3 dekade pabrik ini berdiri, Indi seakan menodai sejarah panjang dominasi kaum laki-laki di bagian produksi dengan kehadirannya. Selama 4 tahun, Indi menjadi bagian dari sebuah tim yang semuanya punya jenis kelamin yang berlawanan dengannya. Termasuk Rashad, yang baru saja bergabung sebulan yang lalu.
Tugas Rashad di bulan-bulan pertamanya menjadi karyawan di departemen Flour Blending ini cukup berat. Dia harus mampu menguasai teknologi produksi sekaligus pengemasan tepung “tailor made” dalam waktu 3 bulan. Hanya 3 bulan, dan setelah itu dia harus mampu mengambil alih posisi Indi sebagai pemimpin di departemen tersebut. Sementara Indi harus menerima tugas dan tanggung jawab di departemen lain. Namun sebelum Indi resmi dimutasi, sebagai satu-satunya orang yang menguasai detil proses di Flour Blending, dia harus mendampingi Rashad selama masa percobaannya, melakukan alih pengetahuan dan memastikan Rashad siap menggantikan dirinya 3 bulan ke depan.
Judul departemennya memang tampak mudah. Flour Blending. Tinggal diaduk lantas dikemas, beres kan? Tapi ternyata semua di luar dugaan. Rashad harus memahami cara perhitungan formula (yang menurut Indi gampang sekali, cuma soal tambah kurang kali bagi seperti pelajaran sekolah dasar), menjalankan mesin-mesin yang katanya otomatis tapi ternyata tidak seotomatis yang dia bayangkan, belum lagi segala macam troubleshoot yang di luar dugaan, plus urusan sumber daya manusia yang juga cukup menguras pikiran.
Namun urusan pekerjaan sama sekali tidak mengganggu pikiran Rashad. Ada 2 masalah yang membuat Rashad kebingungan. Sepele sebenarnya, Rashad jatuh cinta, pada mentor, guru dan satu-satunya rekan kerja berjenis kelamin perempuan di pabrik itu. Sebenarnya masalah pertama ini tidak akan jadi masalah jika tidak ada masalah yang kedua; Indi sudah menikah.
Sejak awal pertama mereka berkenalan, Rashad sudah menyadari cincin polos yang melingkari jari manis Indi. Tapi itu tidak bisa mencegah Rashad untuk tidak jatuh cinta pada pandangan pertama dan pandangan-pandangan berikutnya. Rashad telah jatuh cinta pada sebentuk anomali di tengah-tengah rimba mesin penggiling biji gandum yang menderu-deru.
Tapi cincin di jari manis itu adalah penghalang yang lebih tebal dibanding tembok Cina. Sebaris kalimat singkat yang biasanya dengan gampang Rashad ucapkan pada gadis-gadis yang dikencaninya semacam; “Aku cinta kamu” atau “Aku sayang kamu” seakan terbungkam hanya oleh sebuah logam berbentuk lingkaran. Rashad tahu cincin itu menandakan banyak hal. Dan sebagian besar menyiksa perasaan Rashad.
Cincin itu membuat Rashad membenci malam. Rashad sadar, kapan saja di malam hari, pemilik cincin itu tengah menyerahkan segenap raga dan meledakkan perasaan cintanya pada seseorang. Seseorang yang sayangnya bukan dia.
Sebenarnya Rashad sudah berusaha menggunakan logikanya, yang selama ini telah membawanya lulus kuliah sebelum waktunya, berpredikat Cum Laude dan langsung direkrut perusahaan besar menjadi pemimpin sebuah departemen. “Please Rashad, she’s years older than you”, sebuah suara pernah berbisik seperti itu di kepalanya. “Besides, she’s married”, suara itu berbisik lagi. Rashad mahfum. Suara itu benar. Ada banyak gadis-gadis muda berstatus lajang yang pasti mengantri untuk dipacarinya. Mengapa dia harus jatuh cinta pada orang yang sudah menikah?
Tapi cinta tidak pernah bisa dilogika. Rashad tidak butuh banyak alasan untuk jatuh cinta. Hanya karena Indi adalah sebuah anomali. Outstanding. Tidak wajar. Itu saja.
Untungnya Rashad masih cukup waras untuk tidak frustrasi. Dia juga cukup cerdas untuk tetap terlihat profesional walaupun dengan perasaan yang amburadul.
Sayangnya Rashad melupakan satu hal. Serapat-rapatnya dia berusaha menutupi perasaan, ada satu celah yang tidak mampu dia tutupi, sorot mata. Mata yang lekat memandang Indi tiap kali Indi bicara, Indi bergerak, Indi memberi intruksi, Indi membuat laporan, Indi mengemasi tasnya, Indi memakai jaketnya. Rashad hampir tak pernah melawatkan tiap transisi gerakan otot dan sendi di tubuh Indi, walaupun itu hanya sekedar tarikan sudut bibir yang membentuk senyum tipis.
Namun tanpa Rashad sadari, Indi menyadari itu semua.
Sebenarnya Rashad bukan orang pertama yang melayangkan pandangan seperti itu padanya. Apalagi saat masuk di perusahaan ini dulunya dia masih berstatus lajang. Tidak hanya sorot mata, dulu Indi sering menerima puisi, sms cinta, surat cinta, dan bahkan wedding proposal. Namun dia tak acuh hingga akhirnya semua berakhir dengan sendirinya semenjak dia menikah. Tepatnya sejak benang merah tak kasat mata membentang menghubungkan jari manisnya dan jari manis suaminya.
Tapi ketika Rashad hadir, ketika Rashad menghujaninya dengan sorot mata yang tidak biasa, entah kenapa Indi mulai melihat benang merah kedua. Dan benang merah itu terhubung dengan anak kemarin sore yang ujug-ujug datang mengobrak-abrik ruang hatinya.
Sama dengan Rashad, logika Indi juga kerap bicara; “Tidak mungkin laki-laki yang lebih muda jatuh hati sama orang yang lebih tua, sudah menikah lagi. Memangnya di dunia ini sudah kehabisan anak perawan?”. Untuk sesaat, Indi bisa menerima apa yang dibilang logikanya. Dan untuk beberapa saat, Indi berhasil menghentikan gempuran perasaan aneh setiap bertatapan mata dengan Rashad.
Sebenarnya Indi akan terus berada di bawah kendali logikanya seandainya dia tidak membaca status Rashad di twitter; “Aku positif menderita Oedipus complex”.
Tanpa Indi sanggup mengelak, benang merah kedua itu muncul lagi setelah sempat lenyap beberapa lama. Indi tidak suka, karena kehadiran benang merah kedua membuat dia tertarik ke dua arah yang berlawanan.  
Namun kini Indi lega karena Rashad berhasil menyelesaikan masa percobaannya. Indi menjabat tangan Rashad saat dia dinyatakan lulus masa percobaan dan resmi diangkat menjadi leader di Flour Blending. Bagi Indi, jabat tangan itu punya macam-macam makna; ucapan selamat bagi Rashad dan dirinya sendiri (yang sama-sama telah melalui masa 3 bulan yang berat) dan juga perpisahan. Dia tidak harus berjumpa dengan Rashad 8 jam sehari dan merasakan hunjaman pandangan mata Rashad yang sama dengan yang dilihatnya dari mata suaminya, tiap kali mereka selesai bercinta.
Pertemuan-pertemuan dengan Rashad berikutnya hanya akan jadi pertemuan singkat di kantin, sesekali di ruang meeting atau mungkin sekejap di tempat parkir. Indi yakin benang merah kedua akan segera menghilang segera setelah dia tidak lagi menghabiskan waktunya dalam sehari dengan Rashad, lebih lama ketimbang dengan suaminya sendiri.
---
Sore itu, Rashad mengundang Indi makan malam untuk merayakan kelulusannya melewati masa percobaan.
Tergopoh-gopoh, Indi memarkir mobilnya dan masuk ke sebuah kafe yang dipilih Rashad. Rashad sudah menunggu. Duduk sambil mengutak-atik sebuah beri hitam, tubuh atletisnya tenggelam di sofa berukuran sedang yang terlihat cozy.
“Aduh sori Pak, agak telat, macet, mana yang lain?”, Indi terengah-engah sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kafe.
“Ngga ada Bu, yang lain sudah saya traktir kemarin”, jawab Rashad ringan.
“O ya? Kok ngga bilang-bilang?”, Indi setengah mati menelan kegugupannya,  ketika menyadari hanya akan berdua saja dengan Rashad di tempat seperti ini.
“Bu Indi kan spesial”, jawab Rashad.
Deg, jantung Indi serasa meloncat.
“Bu Indi kan sudah ngajarin saya macam-macam, sudah bantuin saya melewati masa percobaan, jadi wajar kan kalau saya pingin membalas budi? Jadi nraktirnya juga harus beda dengan yang lain dong”, jelas Rashad dengan ekspresi lucu, tepatnya dilucu-lucukan karena dia juga setengah mati menahan rasa gugup.
Indi tersenyum, antara lega dan nervous. “Oalah, yang kaya gitu kok dipikir sih? Itu kan memang sudah tugas saya”, katanya sambil mengambil tempat duduk di sebelah Rashad.
Kafe itu sangat nyaman. “Cafe Sofas” namanya. Sesuai namanya, di dalamnya memang hanya terdapat sofa-sofa aneka bentuk dan rupa. Semuanya cozy. Dan pilihan Rashad jatuh pada sebuah sebuah sofa ukuran dobel dengan meja mungil panjang di depannya. Pilihan yang membuat Indi tidak punya pilihan lain selain duduk bersebelahan dengan Rashad. Sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa ini bukan hanya sekedar makan malam biasa.
Tak lama kemudian, meja kecil itu sudah dipenuhi makanan dan minuman yang sebentar saja sudah licin tandas.
“Tambah lagi Bu?”, tawaran Rashad disambut gelengan Indi yang sibuk menyendoki potongan pisang di atas banana split.
“Bu Indi”, panggil Rashad tiba-tiba. Indi menatapnya sambil membiarkan segumpal es krim meleleh perlahan di mulutnya. “Pernah dengar dongeng tentang Dermaga dan Samudra?”
Kening Indi mengernyit, “Memangnya ada dongeng seperti itu?”. Dia penggemar dongeng dari kecil dan seingatnya tidak ada dongeng dengan judul seperti itu.
“Mau dengar ceritanya?”, Indi mengangguk samar, masih dengan dahi mengernyit.
“Begini, Samudra sering bersekongkol dengan angin untuk mengombang-ambingkan banyak bahtera yang sedang berlayar di atasnya. Membawa mereka ke mana-mana, mengunjungi tempat-tempat yang luar biasa. Namun jika Samudra sudah bosan, dia akan menyuruh angin berhenti bertiup dan membuat banyak bahtera hanya bisa diam memandang tenangnya permukaan Samudra seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Mereka berharap Samudra akan bergelombang lagi dan kembali membawa berpetualang. Terkadang gelombang memang kembali, namun tak jarang Samudra benar-benar tak berangin hingga sekian lama. Sehingga bahtera-bahtera itu harus berupaya sekuat tenaga untuk bisa mencapai pulau terdekat”. Rashad terdiam sebentar. Indi sibuk membuka-buka file virtual di kepalanya, mencoba mengingat-ingat koleksi dongeng masa kecilnya.
“Banyak bahtera yang membenci Samudra karena ulahnya, namun banyak juga yang setia menanti-nanti datangnya gelombang Samudra demi merasakan sensasi petualangan dengannya”
Rashad mengambil nafas lagi. Matanya menatap dalam ke dalam mata lawan bicaranya. Indi menghentikan acara menyantap Banana Splitnya, mulai sadar bahwa dongeng itu memang tidak pernah ada.
“Suatu hari Samudra berjumpa dengan sebuah Bahtera. Samudra ingin mengundang Bahtera tersebut merasakan ombaknya. Tapi apa daya, Bahtera itu ternyata terhubung dengan sebuah Dermaga. Si Dermaga sebenarnya jauh lebih kecil dan tak berarti dibanding Samudra yang maha luas. Si Dermaga sebenarnya juga tidak terlalu banyak bertingkah. Dia hanya diam, namun mengikat Bahtera sangat erat hingga Bahtera tersebut tidak bisa ke mana-mana”, Rashad melanjutkan sementara Indi semakin yakin, lelaki di hadapannya ini bukannya sedang mendongeng, melainkan sedang bermetafora.
“Namun Samudra tidak putus asa. Lagi-lagi dia menyuruh angin untuk bertiup sekencang-kencangnya agar Bahtera bisa lepas dari Dermaganya. Sang angin pun menurut dan meniup Samudra sekuat tenaga. Gelombang besarpun tercipta dan akhirnya Bahtera itu lepas dari Dermaganya. Namun Samudra membuat kesalahan besar, angin yang terlalu kencang membuat kerusakan yang parah di lambung Bahtera. Luka itu membuat Bahtera perlahan tenggelam. Samudra menelan Bahtera itu bulat-bulat beserta lukanya yang menganga”. Rashad diam lagi. Menatap Indi dengan sedih.
“Seharusnya Samudra merasa puas, kini Bahtera sudah menjadi miliknya sendiri. Tapi yang ada malah penyesalan. Samudra tidak pernah lagi bisa membawa Bahtera mengarungi ombak. Dia tidak akan pernah bisa menunjukkan indahnya matahari terbit tenggelam di cakrawala, yang memburatkan aneka warna yang pasti akan dicintai para pelukis. Samudra tidak akan pernah bisa memperkenalkan Bahtera pada sahabat-sahabatnya; biota laut aneka rupa. Karena Bahtera kini hanya bisa diam di dasarnya, berkawan dengan gelap, dingin dan lumut yang perlahan beranak pinak di dinding-dinding palka”.
Indi terdiam mendengar cerita Rashad. “Lantas, apa yang terjadi dengan Dermaga?”
“Gelombang laut juga telah melukai dermaga. Tapi tidak butuh waktu lama bagi Dermaga untuk diperbaiki dan kembali menjadi tambatan bahtera-bahtera lain. Demikian juga Samudra, dengan cepat dia melupakan Bahtera yang sudah ternggelam. Dia kembali lagi mencari-cari bahtera lain untuk diombang-ambingkan di atas permukaannya yang berombak”.
Sambil menghela napas Indi bersuara, “Cerita yang menyedihkan. Seandainya saja Samudra tahu, bahwa tanpa bersekongkol dengan angin pun, sebenarnya Bahtera sudah sangat ingin berlayar kembali ke tengah Samudra”, ujar Indi kemudian. Rashad terhenyak. Sama sekali tidak menyangka Indi akan berkata seperti itu.
“Bahtera tahu Samudra menawarkan banyak hal yang menarik, termasuk indahnya semburat warna langit saat matahari terbit dan tenggelam. Bagi Bahtera, Samudra menawarkan petualangan yang tak terbatas. Tapi, Bahtera sudah punya rumah. Tempat di mana dia bersandar. Bahtera tidak mungkin selamanya berlayar di Samudra bukan? Akan ada saatnya dia harus berhenti bertualang,  bersandar di Dermaga dan merasakan kehidupan yang sama sekali lain, tetapi tidak kalah menariknya”
Rashad terpana, “Benarkah begitu? Benarkah Bahtera sebenarnya juga merindukan Samudra?”.
“Iya, bahkan sangat”, Indi mendesis.
Sesaat tidak ada lagi yang bersuara. Perlahan, pelan sekali seperti gerakan slow moving di film-film, Rashad mendekati Indi. Indi tidak bergerak. Tanpa mereka sadari, kini bibir mereka hanya berjarak beberapa inci.
Indi merasakan hangat hembusan napas Rashad yang dirasanya mengalir melalui setiap pembuluh darahnya. Untuk sedetik, dia merasa sukmanya tidak bersatu dengan raga. Namun di detik berikutnya, berbarengan dengan tangan Rashad yang menyentuh lembut bahunya, Indi bagai mendengar suara timer oven listriknya. “Ting...!!!”. Indi tersadar. Sukmanya kembali.
Ia menarik tubuhnya menjauhi tubuh Rashad. Masih dengan gerakan slow moving, tapi cukup membuat Rashad mengerti. “Tapi Bahtera tidak akan pernah sanggup meninggalkan Dermaga. Sebesar apapun kerinduan Bahtera pada Samudra, Samudra tetap bukanlah rumahnya”
“Seharusnya Samudra tidak perlu bersedih. Kapan saja, Samudra bisa mendapatkan bahtera-bahtera lain untuk diajaknya bertualang. Namun selamanya, Bahtera tidak akan pernah bisa melupakan Samudra yang pernah membawanya melihat dunia”, lanjut Indi disambut hangat senyum Rashad.
“Tapi, bagaimana jika Samudra  tidak sanggup melupakan Bahteranya?”, tanya Rashad.
“Samudra tidak perlu melupakan, bukankah Bahtera yang juga tidak akan pernah bisa menghapus kenangannya akan Samudra?”
Indi mengemasi tasnya. Sejenak dia menyayangkan Banana Splitnya yang sudah meleleh. “Pak Rashad, saya pulang dulu ya. Terima kasih atas undangannya. Juga atas dongengnya. It’s beautiful”. Indi tersenyum. Bahagia dan lega. Malam ini, Indi sudah memperoleh satu jawaban atas pertanyaan yang dia sendiri tidak bisa mendefinisikan. Perlahan, Indi melihat benang merah kedua di jarinya memudar dan menghilang.
“Saya yang harusnya terima kasih Bu. Saya baru tahu dongeng itu ada lanjutannya”. Katanya ketika mengantarkan Indi sampai ke tempat dia memarkir mobilnya.
Rashad memandang mobil Indi yang segera menghilang di balik lampu merah. Dia sadar, selamanya dia dan Indi akan saling memanggil “Pak” dan “Bu”. Tapi setidaknya mulai sekarang, Rashad tidak lagi membenci malam.....


9 Maret 2013, 21.00

4 komentar:

  1. bahasanya lugas dan keren. alurnya oke. idenya mantab ttg analogi samudra, bahtera, dermaga. two thumb up! dan keplok-keplok :)
    ditunggu fiksi lainnya ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duh, jadi semangat nulis fiksi kalau mbak cerpenis yang ngasih komen. Makasih ya dek :)

      Hapus
  2. Balasan
    1. Trima kasih Dek. By the way, selamat ya cerpen pop urbannya masuk seleksi berikutnya. ^-^

      Hapus

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)