Sabtu, 16 Maret 2013

Bule


"Tulisan ini diperuntukkan untuk Indonesia, tanah kelahiranku dan tanah tempat kelak aku dimakamkan"

Aku benci bule. Menurutku mereka sombong, sok. Hanya karena mereka kebetulan berasal dari ras Kaukasian, mereka seolah menjadi Homo sapiens dengan bentuk paling sempurna di muka bumi.
Sayang faktanya memang begitu, wujud mereka rata-rata memang perfect; hidung mancung, kulit terang, mata dan rambut aneka warna, bibir tipis plus badan yang rata-rata tinggi menjulang.
Mereka datang ke negaraku, Indonesia, seakan-akan ini masih jaman kolonial dan kami adalah negara jajahan. Nanti akan kuceritakan pengalamanku ketika berhubungan dengan dunia perbulean ini, karena sebelumnya aku ingin menceritakan dulu bagaimana kami, orang Indonesia memperlakukan mereka.
Aku tidak mengerti kenapa kami sering menganggap bule bagaikan titisan dewa dewi. Apapun yang dibilang atau diminta orang bule, sekonyol apapun itu, akan langsung dianggap sebagai sabda yang harus ditunaikan. Di depan orang-orang bule, kami seperti kerbau yang dicocok hidungnya.
Sedih sebenarnya, tapi memang begitulah kenyataan yang sering terjadi di lapangan tempatku bekerja. Lapangan yang kumaksud bukan lapangan sepak bola atau lapangan upacara, melainkan sebuah bangunan beton setinggi 9 lantai. Di dalamnya terdapat ratusan motor-motor listrik yang menjalankan puluhan jenis mesin dengan tugasnya masing-masing. Bangunan itu bernama Mill, tempat penggilingan gandum menjadi terigu.
Aku sendiri bekerja sebagai salah satu Miller, alias tukang giling. Nama pekerjaan yang sama sekali tidak keren. Tugasku adalah memastikan gandum-gandum itu dibersihkan secara maksimal, diberi air dengan takaran yang pas, diperam selama waktu yang benar dan digiling secara maksimal, maksimal kualitasnya dan maksimal kuantitasnya.
Oke, balik ke masalah bule. Orang-orang bule sering datang ke pabrik, karena mesin-mesin kami memang semuanya berasal dari Eropa; Swiss, Itali dan Jerman.
Macam-macam tujuan mereka kemari yang secara umum dibagi menjadi 3 golongan.
Yang pertama adalah golongan teknisi, biasanya tukang listrik atau mekanik, yang datang karena diminta memperbaiki mesin yang kinerjanya tidak benar.
Yang kedua adalah  golongan penengok, golongan ini biasanya hanya melakukan kunjungan singkat. Mereka datang seakan mesin-mesin itu adalah anak mereka yang kami adopsi. Jadi mereka memastikan kami, orang tua angkatnya mampu merawat anak-anak mereka dengan baik.
Yang ketiga adalah golongan advisor. Mereka bisa tinggal agak lama, antara 1 bulan hingga setahun. Kerjaan mereka biasanya mengutak-atik mesin, mereview proses dan sumber daya lantas memberikan rekomendasi-rekomendasi perbaikan (yang seringkali berujung duka bagi kami, para Miller).
Paling sebal kalau kedatangan bule dari golongan terakhir. Contohnya adalah kasus Guiseppe Nolli, seorang Mill Advisor gaek asal Itali. Di hari pertamanya, seharian dia mengamati mesin-mesin penggiling kami, meminta gambar diagram alir proses produksi, mengernyitkan kening, mengecek data kualitas tepung dari lab, memandangi diagram-diagram ayakan, mencoret sana, mencoret sini dan akhirnya dia menyerahkan berlembar-lembar kertas berisi diagram ayakan baru. Menurutnya, tepung kami terlalu kasar sehingga ayakan-ayakan kami harus diganti. Atasanku menyetujui sarannya dan menugaskan aku untuk mengeksekusi rencana Nolli.
Aku tercengang melihat rancangan Nolli; 1200 buah ayakan yang sekarang sudah bersemayam dengan damai di chambernya masing-masing harus diganti. Ini bukan pekerjaan main-main mengingat ayakan yang kami pakai 10 kali lipat besar dan beratnya dibanding ayakan tepung ibu-ibu rumah tangga. Chamber yang kumaksud, tempat bersemayamnya ayakan-ayakan itu, jumlahnya ada 80, dan masing-masing harus dibuka oleh setidaknya 2 orang.
Jadi bisa dibayangkan betapa hebohnya kami waktu itu. Seribu lebih ayakan harus diganti. Jumlah itu bahkan lebih banyak dari jumlah candi yang diminta Rara Jonggrang. Untung aku diberi waktu 2 minggu, bukan semalam, untuk menyelesaikannya. Walaupun waktu 2 minggu itu berarti tidak makan siang dan kerja lembur.
Nolli mengangguk-angguk puas ketika kami berhasil selesai tepat waktu. Diperiksanya hasil tepung yang dihasilkan masing-masing chamber setelah perubahan besar-besaran itu dan semakin puas melihat hasil analisa laboratorium. Dengan bangga, dia kembali ke negaranya sehari setelah proyek penggantian itu selesai bagaikan prajurit yang menang perang.
Sebelum pulang, dia meninggalkan berlembar-lembar diagram yang bertuliskan;
To: Mr. Ilyas
To be applied in Mill B Section
Ilyas adalah namaku. Mengira rencana pertamanya berhasil, dia bahkan masih sempat menugaskan aku untuk mengeksekusi rencana keduanya di Mill sebelah. Aku hanya bisa memandang lembaran-lembaran itu dengan tidak mood dan mengatakan pada atasanku untuk mengevaluasi dulu perubahan yang lalu sebelum melakukan perubahan di tempat lain.
Keputusanku tidak salah, perubahan diagram ayakan ala Nolli membawa petaka. Pipa-pipa produksi kami buntu di mana-mana. Hampir tiap kali filter-filter kami yang berdiameter 2 meter  dan tinggi 3 meter dipenuhi tepung bercampur dengan kulitnya.
Saat meeting evaluasi, atasanku mengatakan bahwa hal ini sudah sejak awal diduganya. Menurutnya Nolli telah melakukan kesalahan besar dengan merombak diagram ayakan secara bombastis tanpa memperhitungkan parameter-parameter yang lain.
Aku terpana. Mengapa dari awal dia menyetujui saja draft tersebut dan tidak membantah? Apakah karena Nolli seorang bule? Seandainya saja saat itu aku bukan anak baru yang ilmunya baru seukuran kaki bayi. Hhh...aku hanya bisa mengelus dada.
Akhirnya saudara-saudara, diagram versi Nolli berakhir di mesin penghancur kertas. Mesin itu melahap diagram-diagram ayakan itu dengan rakus bak macan yang 3 hari belum makan. Memang mesin itu hanya digunakan sesekali untuk memusnahkan berkas-berkas confidential. Kertas-kertas bekas biasanya masih kami pakai lagi sebagai bentuk dukungan gerakan penyelamatan bumi dari ancaman global warming. Tapi saking sebelnya sama diagram yang membuat kakiku jadi kepala dan kepala jadi kaki, akhirnya kuikhlaskan mereka menjadi santapan mesin penghancur.
Lain lagi dengan Ingolf Sacha, teknisi dari Swiss yang sengaja dipanggil untuk membenahi problem di mesin penambah air. Aku sudah cukup sebal saat disuruh menjemputnya di kantor pak VP. “Dia kan sudah pernah ke pabrik, kenapa harus pakai dijemput kaya pejabat? Memangnya dia siapa sih? He’s just a technician!!!”. Kesebelanku semakin bertambah-tambah saat melihat raut mukanya yang sedingin es saat kami berjabat tangan.
Setibanya di lapangan, dia memandangi layar monitor dan menunjuk sebuah gambar persegi sambil menatap ke arahku; “Does this tank suppose to be empty?”. Yang dia maksud adalah gambar sensor penunjuk level tangki air yang menunjukkan kondisi tangki sedang dalam posisi penuh.
Aku yang mengikuti jalannya proses pemasangan mesin itu, tahu pasti bahwa sensor itu tidak pernah ada. Yang dilihat Ingolf di layar monitor hanya gambar belaka, sama sekali tidak menggambarkan kondisi sebenarnya di lapangan. Jadi jika di layar menunjukkan posisi penuh, sebenarnya di lapangan, tangki itu masih kosong. Aku berusaha menjelaskan; “It’s because....”, belum sempat aku meneruskan kalimatku, dia langsung memotong dengan kasar.
NO, it’s not “because”! I’m asking you whether this tank supposed to be empty. You should answer me with yes or no, not “because”!!”, katanya nyerocos sambil menunjuk-nunjuk layar monitor. Aku tak mengerti mengapa dia tampaknya sangat anti dengan kata “because”, yang jelas aku mangkel dan dengan cemberut menjawab. “Whatever the root cause of this machine’s problem, that tank is NOT certainly the suspect You better find out yourself whether that tank is full or not!”, lantas aku ngeloyor pergi membiarkan dia yang wajahnya mulai memerah menahan marah. Tampak tak mengira aku akan menjawab seperti itu.
Belakangan baru dia bilang bahwa gambar penunjuk sensor itu hanya aksesoris yang tidak berhubungan dengan kondisi sebenarnya. “Well, of course I know, I was trying to tell you this morning, remember?”, jawabku sambil angkat bahu.
Ingolf tidak banyak melakukan apa-apa di lapangan. Hanya cek kabel di sana-sini. Kinerja Ingolf yang mengecewakan itu sama sekali tidak cocok dengan gayanya yang sok bossy. Permasalahan mesin penambah air kami terpecahkan justru karena bantuan tim teknisi dari Siemens Indonesia.
Tidak hanya Nolli dan Sacha; Elmar Nau, Thomas Widmer, Fabrizio Baccinelli dan Peter Kradolfer adalah sederet nama bule yang pernah mampir ke Mill kami dan bersikap seakan kami adalah bangsa terjajah. Karena itulah, aku benar-benar anti bekerja dengan orang-orang bule.
---
Sekarang aku harus siap-siap bertemu lagi dengan salah satu dari mereka. Manajemen telah berinverstasi pada sebuah mesin Mixer tepung berukuran jumbo. Mesin itu didatangkan langsung dari negara pembuatnya; Swiss.
Saatnya commisioning (uji coba). Lagi-lagi aku yang ditugaskan untuk in charge.
Aku cukup terkejut begitu tahu kali ini mereka mengirim seorang teknisi perempuan; Katrin Loew namanya. Rambutnya ikal kecoklatan, digerai di atas bahunya, warna matanya sedikit lebih gelap dari warna rambutnya. Hidungnya panjang dan mancung. Dan tubuhnya tinggi semampai. Aku sudah tergolong tinggi untuk ukuran orang Indonesia, 175 cm dan Katrin 5 cm lebih tinggi dari aku. Usianya kuperkirakan sebaya denganku. Melihat gayanya, aku langsung membayangkan Laura Ingalls di film tahun 80an, Little House on The Prairie. Gesit, lincah dan juga sangat murah senyum. Selain jenis kelaminnya, pembawaan bule yang satu ini memang agak beda dibanding bule-bule sebelumnya yang pernah singgah di lapangan.
Tapi mungkin karena pengalaman burukku dengan bule-bule sebelumnya, semanis apapun wujud bule perempuan yang ada di depanku ini, toh aku tetap bertengkar juga dengannya di hari pertama commisioning.
Katrin sedang memeriksa sebuah sekring dan tiba-tiba berseru; “You guys are crazy! you put the wrong fuse. Can’t you read this wiring diagram?!”, dia menuding-nuding sebuah diagram kelistrikan dengan ekspresi judes.
We didn’t even touch this giant since it was installed!”, kataku tidak kalah judes.
But somebody has changed this fuse with the wrong ampere”, Katrin ngeyel.
Anyone who did that, I guarantee that’s not one of my men. We’re busy with these relayout things. That tiny little part will surely not our priority”, kataku sambil melirik ke mixer raksasa yang berdiri diam di samping Katrin. Timku memang disibukkan dengan urusan tata ruang pabrik. Kehadiran mixer raksasa itu membuat bangunan pabrik kami menjadi lumayan berantakan.
All right, all right! Think I have to check all the wiring before starting the engine”, Katrin menghela napas berat, membayangkan ada pekerjaan tambahan yang di luar rencananya.
Yes please, that’s the reason why you’re coming here”, ujarku sinis. Katrin tidak lagi membantah. Dibukanya laptopnya dan melanjutkan pekerjaannya dengan diam.
Sisa hari itu dan keesokan harinya, aku dan Katrin tidak banyak bicara. Dia sibuk memeriksa wiring diagram dan program otomatisasinya.
Hari ketiga, Katrin mengajakku melakukan uji coba. Sebelumnya dia mengajariku sepintas tentang tata cara menjalankan program otomatisasinya. Aku terpaksa mengakui bahwa Katrin adalah orang yang sangat efektif. Dia pandai memilih kata-kata agar aku cepat mengerti prosedur produksi yang cukup njelimet. Keterbatasan bahasa antara kami berdua, karena kami sama-sama tidak berbahasa Inggris sebagai bahasa ibu, sama sekali tidak menjadi penghalang (Katrin berasal dari Swiss yang lebih sering memakai bahasa Jerman).
Terkadang dia sengaja memunculkan “masalah” dan membiarkanku mencari akar penyebabnya dan menyelesaikan masalah tersebut sendiri. Dia bersikap seolah-olah aku murid yang sedang dia uji. Dia akan mengangguk-angguk puas sambil mengacungkan jempolnya jika aku berhasil.
Untungnya setelah kejadian buruk dengan sekring itu, hampir tidak ada gesekan antara Katrin dan timku. Proses commissioning berjalan dengan harmonis. Kami mengamati performa tiap mesin dan melaporkan ke Katrin tiap ada yang tidak beres. Selanjutnya Katrin akan bersemedi di depan laptopnya selama beberapa jam. Terkadang jika tampak mengalami kebuntuan, dia akan bangkit dari kursinya, menghadap tembok dan mengetuk-ngetukkan dahinya di tembok. Lucu sekali. Tapi dengan cara itu sepertinya dia cepat mendapat ilham. Buktinya setelah beberapa lama melakukan pose aneh itu, dia lantas kembali ke kursi dengan setengah meloncat dan bersiul-siul riang. “Let’s try again, Ilyas”, katanya tiap kali selesai melakukan perbaikan.
Tak terasa, hampir 10 hari aku bekerja dengan Katrin. Hari ini hari terakhir Katrin di Indonesia. Mesin mixer jumbo ini sudah 99.9% siap dipakai berproduksi. Pagi itu aku datang ke lapangan dan melihat Katrin sedang menepuk-nepuk bahu Roni dengan pandangan bahagia. Roni adalah salah seorang staffku. Spontan aku berkata; “Hey you two, better find a room”. Tentu saja maksudku bercanda. Tercengang, Katrin melihatku dengan pandangan terharu dan kaget.
Jesus Christ! that’s a joke Ilyas!!”, katanya setengah teriak disambung dengan gelak tawanya yang renyah. “It’s your first joke since I came here. I thought you never will
I beg your pardon?”, aku benar-benar heran melihat tingkah Katrin.
Ilyas, you should see your face through the mirror, you just like a SHREK who doesn’t know how to smile”, Katrin berkata dengan ekspresi prihatin seakan aku seseorang yang sedang mengalami penyakit kronis.
Aku terpana. “I don’t think I have such a terrible look. Anyway, I’m a handsome Shrek, thank you
O my God, that’s the second one!! Two jokes in 2 minutes. Fantastic Ilyas”, Katrin histeris dan aku terkekeh melihat tingkahnya yang tiba-tiba jadi kekanakan. “All right handsome, let’s celebrate your achievement. Wanna have lunch with me this afternoon, I’ll buy you a glass of juice, the jumbo one?”, katanya. Aku tidak menolak. Lagipula, ini hari terakhir Katrin bekerja bersama kami. Hitung-hitung, sekalian acara perpisahan. Aku menyanggupi.
---
So, why do you hate foreigner?”, tanya Katrin sekonyong-konyong saat kami sedang makan siang.
Aku hampir tersedak mendengarnya, “I don’t”, elakku.
Liar, of course you do. Don’t you know I like to observe you all this time? I was working here for almost 2 weeks and pretty sure you don’t like me because I’m a foreigner. I can see it on your face”, ujar Katrin dengan ekspresi serius.
You speak like I am a science object”, ujarku sedikit tersinggung.
Human is the most interesting science object, Ilyas. They’re the most complicated creature of this universe. And just because I’m an electrical engineer doesn’t mean I don’t like observing human behavior
Aku menyerah, entah mengapa di hadapan Katrin aku tidak bisa mengelak lagi. Akhirnya aku bilang kenapa alasanku tidak menyukai bule, adalah karena mereka memperlakukan kami seolah-olah kami adalah orang jajahan. Katrin tersenyum mendengar alasanku.
It’s only your perception Ilyas”, katanya berkomentar.
Sebenarnya aku mengira dia akan marah mendengar alasanku, tapi komentarnya barusan membuat aku terheran-heran, “What do you mean?
I mean, It’s not because they treat you as a colony, but it’s your people who think you are”, Katrin memberi penekanan saat mengatakan “think”. Lantas dia melanjutkan, “Do you want to hear my opinion about your people? I’ve learnt a lot about your country before I was landed”.
Dia sudah mempelajari orang-orang negaraku? Well, aku yakin dia akan berkata hal-hal yang buruk dan aku sudah akan bersiap-siap untuk marah nantinya. Tapi aku mengangguk tanda setuju agar dia melanjutkan kalimatnya.
You know what? Your people are very lack of self confidence. That’s your basic problem actually. You think that the foreigner like me knows more than you, but that’s not always true. We do come from a more developed country. But that doesn’t mean we know everything. We need to hear your opinion, your suggestion, whether you have problems or not, but sometimes it’s so hard to make you speak”, kata Katrin sambil menunggu reaksiku. Aku diam saja. Entah kenapa aku senang mendengar Katrin menggunakan istilah “negara yang lebih berkembang” ketimbang “negara maju” untuk menyebut negaranya sendiri.
Katrin melanjutkan, “You guys are so...over polite that you sometimes don’t have enough courage to express what you feel and what you think”.
Aku paham dengan yang dimaksud Katrin dengan over polite. Kami memang sedari kecil sudah diajari unggah ungguh. Berbicara yang sopan dan diwanti-wanti bahwa berbicara tanpa tedheng aling-aling adalah suatu hal yang tabu.
The worst case is, you don’t just trust yourselves, but you also don’t trust to your own people. I know some Indonesian guys when I was in college. They’re so brilliant. But why then they decided not to coming home and worked abroad instead? Because they don’t get the good appreciation in their own country. I didn’t make this story, one of my Indonesian friend told me this
Sejujurnya aku tidak suka mendengar Katrin mengungkapkan pendapatnya yang sangat lugas tentang negaraku, tapi harus kuakui yang dia katakan memang benar.
Aku jadi teringat film Habibie dan Ainun yang beberapa waktu sempat booming di bioskop. Aku pun menangis melihat film tersebut, tapi alasannya tidak sama dengan air mata para wanita yang menangisi BCL yang sekarat. Aku menangis dalam hati saat adegan wartawan yang mengejek pesawat Pak Habibie, mengatai pesawat dari Indonesia akan jatuh duluan sebelum ditembak. Adegan itu adalah potret situasi negeriku yang memang tidak punya rasa percaya diri, bahkan pada rekan senegaranya. Katrin benar.
To be honest, I don’t like the way you’re commenting about my country. But I must admit, you’re right”, kataku pelan. Aku yakin Katrin menangkap nada sedih dalam kata-kataku.
But I like you Ilyas. You’re different. You’re so expressive! And you’re brilliant too, you made my job here a lot easier”, kata Katrin cepat dengan nada menghibur.
But you said I was like a beast. How come you like a guy who already show his hatred on his face?”, tanyaku. “You’re weird Katrin. It’s the first time I met someone who prefer meeting a sour face than the sweet one”, sebelum Katrin menjawab aku sudah berkomentar.
Katrin tergelak, “Sour, but original. Better than sweet, but false”, ujarnya cuek. “Hey, do you know that Roni has just become a new father?”, Roni adalah staffku yang bahunya ditepuk-tepuk Katrin tadi pagi.
Yeah, I plan to visit his baby this afternoon. Wanna join? Still have time before your flight?
Sure, I’d love to”, katanya sambil meninggalkan kursi makan siang kami.
---
Aku memandangi Katrin yang sedang mengagumi bayi Roni di rumah sakit. Otakku masih sibuk memikirkan perbincangan saat makan siang tadi. Bagiku kata-kata Katrin tadi bagaikan puluhan anak panah yang menghunjam tepat di jantung. Menyakitkan. Tapi anehnya, aku tidak bisa marah mendengar kata-katanya. Aku lebih merasa sedih menerima kenyataan tentang bangsaku ketimbang marah. Dan kenyataan itu justru disampaikan dari orang dari ras Kaukasian, golongan yang seharusnya aku benci.
Mengingat kebencianku pada orang bule, selama ini aku terlalu terpaku pada presepsiku, prasangka yang salah. Pada akhirnya, aku sendiri yang menciptakan sekat sebagai bangsa terjajah dan orang bule sebagai penjajah.
Kini di hadapanku ada Katrin, seorang perempuan bule yang asyik menggendong bayi Asia, membuatku tersadar bahwa aku dan Katrin sebenarnya sama. Kami diciptakan dari substansi dasar yang sama oleh Tuhan yang sama, terlepas dari perbedaan kami menyebutNya; Allah, Yahwe, Christ. Kami mengalami siklus hidup yang sama; lahir-dewasa-mati. Kami memiliki kebutuhan dasar yang sama; makan, minum, kasih sayang. Kami sama-sama diajarkan untuk berderma dan saling menyayangi. Kami sama-sama dilarang menyakiti, mencuri dan membunuh. Sampai di sini aku menyadari bahwa kebencianku terhadap bule sama sekali tidak beralasan.
Tiba-tiba aku merasa diriku sangat rasis. Aku telah menciptakan kotak-kotak yang sebenarnya tidak perlu ada. Kami hanya beda bahasa, beda agama dan beda budaya. Kami sama-sama bergenus Homo dan berspesies sapiens, hanya kebetulan berbeda gen. Perlakuan menyebalkan yang pernah kualami bersama Guiseppe Nolli dan Ingolf Sacha bisa saja kudapatkan dari teman-teman Indonesia-ku. Dan aku, mungkin saja melakukan hal yang sama menyebalkannya dengan mereka.
Ya manusia memang begitu, bisa kapan saja menjadi menyebalkan dan menyenangkan, tanpa memandang dia berasal dari suku apa atau agama apa atau ras apa.
Katrin telah memberitahuku bahwa masalah bangsaku adalah satu; percaya diri. Itu yang membuat kami tidak berani berpendapat, tidak mau membantah, di hadapan orang-orang bule yang pernah datang ke pabrik. Sehingga pada akhirnya, kami sendiri menjadi seakan-akan orang yang terjajah.
Ilyas”, panggil Katrin membuyarkan lamunanku. “I’m going home tonight. Is there anything I can do before I left? I’m a genie you know? You can ask me anything”, katanya jenaka.
Aku diam sambil berpikir sejenak, “All right genie, I order you to send me email or post card soon you arrive. Your master need to make sure you go home safely
Katrin melipat kedua tangannya di dada dan menganggukkan kepalanya, berlagak seperti jin di film Aladdin. “Your wish is my command, Master”, tapi kemudian tiba-tiba ekspresinya berubah sedih. “Ow Master, I forget something, I’m a forgetful genie. Genie needs her master to send her an email to remind her to send email to her Master
Aku tergelak, “You’re not forgetful genie, you’re a tricky genie”. Lantas Katrin pun ikut terbahak.
---
Katrin menjabat tanganku erat saat aku mengantarkannya ke bandara. “I’m so glad to meet you Mohammad Ilyas. Looking forward to see you again
Me too, Katrin Loew. Have a safe flight”, kataku sebelum dia berlalu.
Ingin rasanya memberi tahu Katrin tahu betapa besar dampak perbincangan singkat kami tadi siang terhadap pola pikirku yang selama ini terperangkap dalam kebencian tak beralasan. “Thank you Genie”, bisikku. Aku tak mengira Katrin mendengarnya dan sekali lagi dia berbalik, melambai sampai akhirnya benar-benar menghilang di balik ruang tunggu.
 Terima kasih jin bule yang bermata coklat, untuk mengingatkanku akan hal yang paling mendasar tentang bangsaku yang harus kami perbaiki bersama; rasa percaya diri yang berantakan.
Terima kasih jin bule berambut ikal. Berkat kamu, aku tidak lagi membenci bule.

Catatan: Guiseppe Nolli dan Ingolf Sacha adalah tokoh nyata. Selain mereka berdua, seluruh tokoh dalam tulisan ini adalah fiksi belaka.

4 komentar:

  1. amazing!!!! informatif, inti sarinya so bermanfaat :) empat jempol yg kupunya aku acungkan :)

    BalasHapus
  2. makanya kok mister ilyas...:D ternyata semi fiksi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaa...maluuu aku, dibaca jeng Mirna.
      Iyo sengojo ngono, ben ngga dikiro tenanan. Haha...
      Btw, barusan aku baca blogmu. Keren keren keren...Yang Drowning Freyja apalagi.

      Hapus
  3. Pantesan kok mister Ilyas. Jadi binun tadi :p ternyata semi fiksi :D

    BalasHapus

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)