"Tulisan ini diperuntukkan untuk Indonesia, tanah kelahiranku dan tanah tempat kelak aku dimakamkan"
Aku benci bule.
Menurutku mereka sombong, sok. Hanya karena mereka kebetulan berasal dari ras Kaukasian,
mereka seolah menjadi Homo sapiens dengan bentuk paling sempurna di muka bumi.
Sayang faktanya memang
begitu, wujud mereka rata-rata memang perfect;
hidung mancung, kulit terang, mata dan rambut aneka warna, bibir tipis plus
badan yang rata-rata tinggi menjulang.
Mereka datang ke
negaraku, Indonesia, seakan-akan ini masih jaman kolonial dan kami adalah
negara jajahan. Nanti akan kuceritakan pengalamanku ketika berhubungan dengan
dunia perbulean ini, karena sebelumnya aku ingin menceritakan dulu bagaimana
kami, orang Indonesia memperlakukan mereka.
Aku tidak mengerti
kenapa kami sering menganggap bule bagaikan titisan dewa dewi. Apapun yang
dibilang atau diminta orang bule, sekonyol apapun itu, akan langsung dianggap
sebagai sabda yang harus ditunaikan. Di depan orang-orang bule, kami seperti
kerbau yang dicocok hidungnya.
Sedih sebenarnya, tapi
memang begitulah kenyataan yang sering terjadi di lapangan tempatku bekerja. Lapangan
yang kumaksud bukan lapangan sepak bola atau lapangan upacara, melainkan sebuah
bangunan beton setinggi 9 lantai. Di dalamnya terdapat ratusan motor-motor
listrik yang menjalankan puluhan jenis mesin dengan tugasnya masing-masing.
Bangunan itu bernama Mill, tempat penggilingan gandum menjadi terigu.
Aku sendiri bekerja
sebagai salah satu Miller, alias tukang giling. Nama pekerjaan yang sama sekali
tidak keren. Tugasku adalah memastikan gandum-gandum itu dibersihkan secara maksimal,
diberi air dengan takaran yang pas, diperam selama waktu yang benar dan
digiling secara maksimal, maksimal kualitasnya dan maksimal kuantitasnya.
Oke, balik ke masalah
bule. Orang-orang bule sering datang ke pabrik, karena mesin-mesin kami memang
semuanya berasal dari Eropa; Swiss, Itali dan Jerman.
Macam-macam tujuan
mereka kemari yang secara umum dibagi menjadi 3 golongan.
Yang pertama adalah
golongan teknisi, biasanya tukang listrik atau mekanik, yang datang karena
diminta memperbaiki mesin yang kinerjanya tidak benar.
Yang kedua adalah golongan penengok, golongan ini biasanya
hanya melakukan kunjungan singkat. Mereka datang seakan mesin-mesin itu adalah
anak mereka yang kami adopsi. Jadi mereka memastikan kami, orang tua angkatnya
mampu merawat anak-anak mereka dengan baik.
Yang ketiga adalah
golongan advisor. Mereka bisa tinggal agak lama, antara 1 bulan hingga setahun.
Kerjaan mereka biasanya mengutak-atik mesin, mereview proses dan sumber daya
lantas memberikan rekomendasi-rekomendasi perbaikan (yang seringkali berujung
duka bagi kami, para Miller).
Paling sebal kalau
kedatangan bule dari golongan terakhir. Contohnya adalah kasus Guiseppe Nolli,
seorang Mill Advisor gaek asal Itali. Di hari pertamanya, seharian dia
mengamati mesin-mesin penggiling kami, meminta gambar diagram alir proses
produksi, mengernyitkan kening, mengecek data kualitas tepung dari lab,
memandangi diagram-diagram ayakan, mencoret sana, mencoret sini dan akhirnya
dia menyerahkan berlembar-lembar kertas berisi diagram ayakan baru. Menurutnya,
tepung kami terlalu kasar sehingga ayakan-ayakan kami harus diganti. Atasanku
menyetujui sarannya dan menugaskan aku untuk mengeksekusi rencana Nolli.
Aku tercengang melihat
rancangan Nolli; 1200 buah ayakan yang sekarang sudah bersemayam dengan damai
di chambernya masing-masing harus
diganti. Ini bukan pekerjaan main-main mengingat ayakan yang kami pakai 10 kali
lipat besar dan beratnya dibanding ayakan tepung ibu-ibu rumah tangga. Chamber yang kumaksud, tempat bersemayamnya ayakan-ayakan itu,
jumlahnya ada 80, dan masing-masing harus dibuka oleh setidaknya 2 orang.
Jadi bisa dibayangkan
betapa hebohnya kami waktu itu. Seribu lebih ayakan harus diganti. Jumlah itu
bahkan lebih banyak dari jumlah candi yang diminta Rara Jonggrang. Untung aku
diberi waktu 2 minggu, bukan semalam, untuk menyelesaikannya. Walaupun waktu 2
minggu itu berarti tidak makan siang dan kerja lembur.
Nolli
mengangguk-angguk puas ketika kami berhasil selesai tepat waktu. Diperiksanya
hasil tepung yang dihasilkan masing-masing chamber
setelah perubahan besar-besaran itu dan semakin puas melihat hasil analisa
laboratorium. Dengan bangga, dia kembali ke negaranya sehari setelah proyek
penggantian itu selesai bagaikan prajurit yang menang perang.
Sebelum pulang, dia
meninggalkan berlembar-lembar diagram yang bertuliskan;
To: Mr.
Ilyas
To be
applied in Mill B Section
Ilyas adalah namaku. Mengira
rencana pertamanya berhasil, dia bahkan masih sempat menugaskan aku untuk
mengeksekusi rencana keduanya di Mill sebelah. Aku hanya bisa memandang lembaran-lembaran
itu dengan tidak mood dan mengatakan pada atasanku untuk mengevaluasi dulu
perubahan yang lalu sebelum melakukan perubahan di tempat lain.
Keputusanku tidak
salah, perubahan diagram ayakan ala Nolli membawa petaka. Pipa-pipa produksi
kami buntu di mana-mana. Hampir tiap kali filter-filter kami yang berdiameter 2
meter dan tinggi 3 meter dipenuhi tepung
bercampur dengan kulitnya.
Saat meeting evaluasi,
atasanku mengatakan bahwa hal ini sudah sejak awal diduganya. Menurutnya Nolli
telah melakukan kesalahan besar dengan merombak diagram ayakan secara bombastis
tanpa memperhitungkan parameter-parameter yang lain.
Aku terpana. Mengapa
dari awal dia menyetujui saja draft tersebut dan tidak membantah? Apakah karena
Nolli seorang bule? Seandainya saja saat itu aku bukan anak baru yang ilmunya
baru seukuran kaki bayi. Hhh...aku hanya bisa mengelus dada.
Akhirnya saudara-saudara,
diagram versi Nolli berakhir di mesin penghancur kertas. Mesin itu melahap
diagram-diagram ayakan itu dengan rakus bak macan yang 3 hari belum makan.
Memang mesin itu hanya digunakan sesekali untuk memusnahkan berkas-berkas
confidential. Kertas-kertas bekas biasanya masih kami pakai lagi sebagai bentuk
dukungan gerakan penyelamatan bumi dari ancaman global warming. Tapi saking
sebelnya sama diagram yang membuat kakiku jadi kepala dan kepala jadi kaki,
akhirnya kuikhlaskan mereka menjadi santapan mesin penghancur.
Lain lagi dengan
Ingolf Sacha, teknisi dari Swiss yang sengaja dipanggil untuk membenahi problem
di mesin penambah air. Aku sudah cukup sebal saat disuruh menjemputnya di
kantor pak VP. “Dia kan sudah pernah ke pabrik, kenapa harus pakai dijemput
kaya pejabat? Memangnya dia siapa sih? He’s just a technician!!!”. Kesebelanku
semakin bertambah-tambah saat melihat raut mukanya yang sedingin es saat kami
berjabat tangan.
Setibanya di lapangan,
dia memandangi layar monitor dan menunjuk sebuah gambar persegi sambil menatap
ke arahku; “Does this tank suppose to be
empty?”. Yang dia maksud adalah gambar sensor penunjuk level tangki air
yang menunjukkan kondisi tangki sedang dalam posisi penuh.
Aku yang mengikuti
jalannya proses pemasangan mesin itu, tahu pasti bahwa sensor itu tidak pernah ada.
Yang dilihat Ingolf di layar monitor hanya gambar belaka, sama sekali tidak
menggambarkan kondisi sebenarnya di lapangan. Jadi jika di layar menunjukkan
posisi penuh, sebenarnya di lapangan, tangki itu masih kosong. Aku berusaha
menjelaskan; “It’s because....”,
belum sempat aku meneruskan kalimatku, dia langsung memotong dengan kasar.
“NO, it’s not “because”! I’m asking you whether this tank supposed to be
empty. You should answer me with yes or no, not “because”!!”, katanya
nyerocos sambil menunjuk-nunjuk layar monitor. Aku tak mengerti mengapa dia
tampaknya sangat anti dengan kata “because”, yang jelas aku mangkel dan dengan
cemberut menjawab. “Whatever the root
cause of this machine’s problem, that tank is NOT certainly the suspect You
better find out yourself whether that tank is full or not!”, lantas aku
ngeloyor pergi membiarkan dia yang wajahnya mulai memerah menahan marah. Tampak
tak mengira aku akan menjawab seperti itu.
Belakangan baru dia
bilang bahwa gambar penunjuk sensor itu hanya aksesoris yang tidak berhubungan
dengan kondisi sebenarnya. “Well, of course
I know, I was trying to tell you this morning, remember?”, jawabku sambil
angkat bahu.
Ingolf tidak banyak
melakukan apa-apa di lapangan. Hanya cek kabel di sana-sini. Kinerja Ingolf
yang mengecewakan itu sama sekali tidak cocok dengan gayanya yang sok bossy. Permasalahan mesin penambah air
kami terpecahkan justru karena bantuan tim teknisi dari Siemens Indonesia.
Tidak hanya Nolli dan
Sacha; Elmar Nau, Thomas Widmer, Fabrizio Baccinelli dan Peter Kradolfer adalah
sederet nama bule yang pernah mampir ke Mill kami dan bersikap seakan kami
adalah bangsa terjajah. Karena itulah, aku benar-benar anti bekerja dengan
orang-orang bule.
---
Sekarang aku harus
siap-siap bertemu lagi dengan salah satu dari mereka. Manajemen telah berinverstasi
pada sebuah mesin Mixer tepung berukuran jumbo. Mesin itu didatangkan langsung
dari negara pembuatnya; Swiss.
Saatnya commisioning
(uji coba). Lagi-lagi aku yang ditugaskan untuk in charge.
Aku cukup terkejut
begitu tahu kali ini mereka mengirim seorang teknisi perempuan; Katrin Loew
namanya. Rambutnya ikal kecoklatan, digerai di atas bahunya, warna matanya sedikit
lebih gelap dari warna rambutnya. Hidungnya panjang dan mancung. Dan tubuhnya
tinggi semampai. Aku sudah tergolong tinggi untuk ukuran orang Indonesia, 175
cm dan Katrin 5 cm lebih tinggi dari aku. Usianya kuperkirakan sebaya denganku.
Melihat gayanya, aku langsung membayangkan Laura Ingalls di film tahun 80an,
Little House on The Prairie. Gesit, lincah dan juga sangat murah senyum. Selain
jenis kelaminnya, pembawaan bule yang satu ini memang agak beda dibanding
bule-bule sebelumnya yang pernah singgah di lapangan.
Tapi mungkin karena pengalaman
burukku dengan bule-bule sebelumnya, semanis apapun wujud bule perempuan yang
ada di depanku ini, toh aku tetap bertengkar juga dengannya di hari pertama
commisioning.
Katrin sedang memeriksa
sebuah sekring dan tiba-tiba berseru; “You
guys are crazy! you put the wrong fuse. Can’t you read this wiring diagram?!”,
dia menuding-nuding sebuah diagram kelistrikan dengan ekspresi judes.
“We didn’t even touch this giant since it was installed!”, kataku
tidak kalah judes.
“But somebody has changed this fuse with the wrong ampere”, Katrin
ngeyel.
“Anyone who did that, I guarantee that’s not one of my men. We’re busy
with these relayout things. That tiny little part will surely not our priority”,
kataku sambil melirik ke mixer raksasa yang berdiri diam di samping Katrin.
Timku memang disibukkan dengan urusan tata ruang pabrik. Kehadiran mixer
raksasa itu membuat bangunan pabrik kami menjadi lumayan berantakan.
“All right, all right! Think I have to check all the wiring before
starting the engine”, Katrin menghela napas berat, membayangkan ada
pekerjaan tambahan yang di luar rencananya.
“Yes please, that’s the reason why you’re coming here”, ujarku
sinis. Katrin tidak lagi membantah. Dibukanya laptopnya dan melanjutkan
pekerjaannya dengan diam.
Sisa hari itu dan keesokan
harinya, aku dan Katrin tidak banyak bicara. Dia sibuk memeriksa wiring diagram
dan program otomatisasinya.
Hari ketiga, Katrin
mengajakku melakukan uji coba. Sebelumnya dia mengajariku sepintas tentang tata
cara menjalankan program otomatisasinya. Aku terpaksa mengakui bahwa Katrin
adalah orang yang sangat efektif. Dia pandai memilih kata-kata agar aku cepat
mengerti prosedur produksi yang cukup njelimet. Keterbatasan bahasa antara kami
berdua, karena kami sama-sama tidak berbahasa Inggris sebagai bahasa ibu, sama
sekali tidak menjadi penghalang (Katrin berasal dari Swiss yang lebih sering
memakai bahasa Jerman).
Terkadang dia sengaja
memunculkan “masalah” dan membiarkanku mencari akar penyebabnya dan
menyelesaikan masalah tersebut sendiri. Dia bersikap seolah-olah aku murid yang
sedang dia uji. Dia akan mengangguk-angguk puas sambil mengacungkan jempolnya
jika aku berhasil.
Untungnya setelah
kejadian buruk dengan sekring itu, hampir tidak ada gesekan antara Katrin dan
timku. Proses commissioning berjalan dengan harmonis. Kami mengamati performa
tiap mesin dan melaporkan ke Katrin tiap ada yang tidak beres. Selanjutnya
Katrin akan bersemedi di depan laptopnya selama beberapa jam. Terkadang jika
tampak mengalami kebuntuan, dia akan bangkit dari kursinya, menghadap tembok
dan mengetuk-ngetukkan dahinya di tembok. Lucu sekali. Tapi dengan cara itu
sepertinya dia cepat mendapat ilham. Buktinya setelah beberapa lama melakukan
pose aneh itu, dia lantas kembali ke kursi dengan setengah meloncat dan
bersiul-siul riang. “Let’s try again,
Ilyas”, katanya tiap kali selesai melakukan perbaikan.
Tak terasa, hampir 10
hari aku bekerja dengan Katrin. Hari ini hari terakhir Katrin di Indonesia.
Mesin mixer jumbo ini sudah 99.9% siap dipakai berproduksi. Pagi itu aku datang
ke lapangan dan melihat Katrin sedang menepuk-nepuk bahu Roni dengan pandangan
bahagia. Roni adalah salah seorang staffku. Spontan aku berkata; “Hey you two, better find a room”. Tentu
saja maksudku bercanda. Tercengang, Katrin melihatku dengan pandangan terharu
dan kaget.
“Jesus Christ! that’s a joke Ilyas!!”, katanya setengah teriak
disambung dengan gelak tawanya yang renyah. “It’s your first joke since I came here. I thought you never will”
“I beg your pardon?”, aku benar-benar heran melihat tingkah Katrin.
“Ilyas, you should see your face through the mirror, you just like a SHREK
who doesn’t know how to smile”, Katrin berkata dengan ekspresi prihatin
seakan aku seseorang yang sedang mengalami penyakit kronis.
Aku terpana. “I don’t think I have such a terrible look.
Anyway, I’m a handsome Shrek, thank you”
“O my God, that’s the second one!! Two jokes in 2 minutes. Fantastic
Ilyas”, Katrin histeris dan aku terkekeh melihat tingkahnya yang tiba-tiba
jadi kekanakan. “All right handsome,
let’s celebrate your achievement. Wanna have lunch with me this afternoon, I’ll
buy you a glass of juice, the jumbo one?”, katanya. Aku tidak menolak.
Lagipula, ini hari terakhir Katrin bekerja bersama kami. Hitung-hitung,
sekalian acara perpisahan. Aku menyanggupi.
---
“So, why do you hate foreigner?”, tanya Katrin sekonyong-konyong
saat kami sedang makan siang.
Aku hampir tersedak
mendengarnya, “I don’t”, elakku.
“Liar, of course you do. Don’t you know I like to observe you all this
time? I was working here for almost 2 weeks and pretty sure you don’t like me
because I’m a foreigner. I can see it on your face”, ujar Katrin dengan
ekspresi serius.
“You speak like I am a science object”, ujarku sedikit tersinggung.
“Human is the most interesting science object, Ilyas. They’re the most
complicated creature of this universe. And just because I’m an electrical
engineer doesn’t mean I don’t like observing human behavior”
Aku menyerah, entah
mengapa di hadapan Katrin aku tidak bisa mengelak lagi. Akhirnya aku bilang
kenapa alasanku tidak menyukai bule, adalah karena mereka memperlakukan kami
seolah-olah kami adalah orang jajahan. Katrin tersenyum mendengar alasanku.
“It’s only your perception Ilyas”, katanya berkomentar.
Sebenarnya aku mengira
dia akan marah mendengar alasanku, tapi komentarnya barusan membuat aku
terheran-heran, “What do you mean?”
“I mean, It’s not because they treat you as a colony, but it’s your
people who think you are”, Katrin memberi penekanan saat mengatakan “think”.
Lantas dia melanjutkan, “Do you want to
hear my opinion about your people? I’ve learnt a lot about your country before I
was landed”.
Dia sudah mempelajari
orang-orang negaraku? Well, aku yakin dia akan berkata hal-hal yang buruk dan
aku sudah akan bersiap-siap untuk marah nantinya. Tapi aku mengangguk tanda
setuju agar dia melanjutkan kalimatnya.
“You know what? Your people are very lack of self confidence. That’s
your basic problem actually. You think that the foreigner like me knows more
than you, but that’s not always true. We do come from a more developed country.
But that doesn’t mean we know everything. We need to hear your opinion, your
suggestion, whether you have problems or not, but sometimes it’s so hard to
make you speak”, kata Katrin sambil menunggu reaksiku. Aku diam saja. Entah
kenapa aku senang mendengar Katrin menggunakan istilah “negara yang lebih
berkembang” ketimbang “negara maju” untuk menyebut negaranya sendiri.
Katrin melanjutkan, “You guys are so...over polite that you
sometimes don’t have enough courage to express what you feel and what you think”.
Aku paham dengan yang
dimaksud Katrin dengan over polite. Kami memang sedari kecil sudah diajari
unggah ungguh. Berbicara yang sopan dan diwanti-wanti bahwa berbicara tanpa
tedheng aling-aling adalah suatu hal yang tabu.
“The worst case is, you don’t just trust yourselves, but you also don’t
trust to your own people. I know some Indonesian guys when I was in college.
They’re so brilliant. But why then they decided not to coming home and worked
abroad instead? Because they don’t get the good appreciation in their own
country. I didn’t make this story, one of my Indonesian friend told me this”
Sejujurnya aku tidak
suka mendengar Katrin mengungkapkan pendapatnya yang sangat lugas tentang
negaraku, tapi harus kuakui yang dia katakan memang benar.
Aku jadi teringat film
Habibie dan Ainun yang beberapa waktu sempat booming di bioskop. Aku pun
menangis melihat film tersebut, tapi alasannya tidak sama dengan air mata para
wanita yang menangisi BCL yang sekarat. Aku menangis dalam hati saat adegan
wartawan yang mengejek pesawat Pak Habibie, mengatai pesawat dari Indonesia
akan jatuh duluan sebelum ditembak. Adegan itu adalah potret situasi negeriku
yang memang tidak punya rasa percaya diri, bahkan pada rekan senegaranya.
Katrin benar.
“To be honest, I don’t like the way you’re commenting about my country.
But I must admit, you’re right”, kataku pelan. Aku yakin Katrin menangkap
nada sedih dalam kata-kataku.
“But I like you Ilyas. You’re different. You’re so expressive! And
you’re brilliant too, you made my job here a lot easier”, kata Katrin cepat
dengan nada menghibur.
“But you said I was like a beast. How come you like a guy who already
show his hatred on his face?”, tanyaku. “You’re weird Katrin. It’s the first time I met someone who prefer
meeting a sour face than the sweet one”, sebelum Katrin menjawab aku sudah
berkomentar.
Katrin tergelak, “Sour, but original. Better than sweet, but
false”, ujarnya cuek. “Hey, do you
know that Roni has just become a new father?”, Roni adalah staffku yang
bahunya ditepuk-tepuk Katrin tadi pagi.
“Yeah, I plan to visit his baby this afternoon. Wanna join? Still have
time before your flight?”
“Sure, I’d love to”, katanya sambil meninggalkan kursi makan siang
kami.
---
Aku memandangi Katrin
yang sedang mengagumi bayi Roni di rumah sakit. Otakku masih sibuk memikirkan
perbincangan saat makan siang tadi. Bagiku kata-kata Katrin tadi bagaikan
puluhan anak panah yang menghunjam tepat di jantung. Menyakitkan. Tapi anehnya,
aku tidak bisa marah mendengar kata-katanya. Aku lebih merasa sedih menerima
kenyataan tentang bangsaku ketimbang marah. Dan kenyataan itu justru
disampaikan dari orang dari ras Kaukasian, golongan yang seharusnya aku benci.
Mengingat kebencianku
pada orang bule, selama ini aku terlalu terpaku pada presepsiku, prasangka yang
salah. Pada akhirnya, aku sendiri yang menciptakan sekat sebagai bangsa
terjajah dan orang bule sebagai penjajah.
Kini di hadapanku ada
Katrin, seorang perempuan bule yang asyik menggendong bayi Asia, membuatku
tersadar bahwa aku dan Katrin sebenarnya sama. Kami diciptakan dari substansi
dasar yang sama oleh Tuhan yang sama, terlepas dari perbedaan kami menyebutNya;
Allah, Yahwe, Christ. Kami mengalami siklus hidup yang sama; lahir-dewasa-mati.
Kami memiliki kebutuhan dasar yang sama; makan, minum, kasih sayang. Kami
sama-sama diajarkan untuk berderma dan saling menyayangi. Kami sama-sama
dilarang menyakiti, mencuri dan membunuh. Sampai di sini aku menyadari bahwa
kebencianku terhadap bule sama sekali tidak beralasan.
Tiba-tiba aku merasa
diriku sangat rasis. Aku telah menciptakan kotak-kotak yang sebenarnya tidak
perlu ada. Kami hanya beda bahasa, beda agama dan beda budaya. Kami sama-sama
bergenus Homo dan berspesies sapiens, hanya kebetulan berbeda gen. Perlakuan
menyebalkan yang pernah kualami bersama Guiseppe Nolli dan Ingolf Sacha bisa
saja kudapatkan dari teman-teman Indonesia-ku. Dan aku, mungkin saja melakukan
hal yang sama menyebalkannya dengan mereka.
Ya manusia memang
begitu, bisa kapan saja menjadi menyebalkan dan menyenangkan, tanpa memandang
dia berasal dari suku apa atau agama apa atau ras apa.
Katrin telah
memberitahuku bahwa masalah bangsaku adalah satu; percaya diri. Itu yang
membuat kami tidak berani berpendapat, tidak mau membantah, di hadapan
orang-orang bule yang pernah datang ke pabrik. Sehingga pada akhirnya, kami
sendiri menjadi seakan-akan orang yang terjajah.
“Ilyas”, panggil Katrin membuyarkan lamunanku. “I’m going home tonight. Is there anything I can do before I left? I’m a
genie you know? You can ask me anything”, katanya jenaka.
Aku diam sambil
berpikir sejenak, “All right genie, I
order you to send me email or post card soon you arrive. Your master need to
make sure you go home safely”
Katrin melipat kedua
tangannya di dada dan menganggukkan kepalanya, berlagak seperti jin di film
Aladdin. “Your wish is my command, Master”,
tapi kemudian tiba-tiba ekspresinya berubah sedih. “Ow Master, I forget something, I’m a forgetful genie. Genie needs her
master to send her an email to remind her to send email to her Master”
Aku tergelak, “You’re not forgetful genie, you’re a tricky
genie”. Lantas Katrin pun ikut terbahak.
---
Katrin menjabat
tanganku erat saat aku mengantarkannya ke bandara. “I’m so glad to meet you Mohammad Ilyas. Looking forward to see you
again”
“Me too, Katrin Loew. Have a
safe flight”, kataku sebelum dia berlalu.
Ingin rasanya memberi
tahu Katrin tahu betapa besar dampak perbincangan singkat kami tadi siang
terhadap pola pikirku yang selama ini terperangkap dalam kebencian tak
beralasan. “Thank you Genie”, bisikku.
Aku tak mengira Katrin mendengarnya dan sekali lagi dia berbalik, melambai
sampai akhirnya benar-benar menghilang di balik ruang tunggu.
Terima kasih jin bule yang bermata coklat,
untuk mengingatkanku akan hal yang paling mendasar tentang bangsaku yang harus
kami perbaiki bersama; rasa percaya diri yang berantakan.
Terima kasih jin bule
berambut ikal. Berkat kamu, aku tidak lagi membenci bule.
Catatan: Guiseppe Nolli dan Ingolf Sacha adalah tokoh nyata. Selain mereka berdua, seluruh tokoh dalam tulisan ini adalah fiksi belaka.
Catatan: Guiseppe Nolli dan Ingolf Sacha adalah tokoh nyata. Selain mereka berdua, seluruh tokoh dalam tulisan ini adalah fiksi belaka.
amazing!!!! informatif, inti sarinya so bermanfaat :) empat jempol yg kupunya aku acungkan :)
BalasHapusmakanya kok mister ilyas...:D ternyata semi fiksi.
BalasHapusWaaa...maluuu aku, dibaca jeng Mirna.
HapusIyo sengojo ngono, ben ngga dikiro tenanan. Haha...
Btw, barusan aku baca blogmu. Keren keren keren...Yang Drowning Freyja apalagi.
Pantesan kok mister Ilyas. Jadi binun tadi :p ternyata semi fiksi :D
BalasHapus