“Del, menurutmu aku
mending pakai baju kotak-kotak atau yang polos aja? Pakai celana kain apa
celana jin? Pakai sneaker apa sendal gunung apa fantovel?”, Erik memberondong
Dela dengan sederet pertanyaan. Dela yang sedang - dan selalu - asyik dengan
laptopnya mendongak dan memandang sahabatnya itu dengan pandangan heran campur
sebal.
“Mahkluk satu ini,
datang ngga pake assalamualaikum langsung nyerocos aja”, omelnya.
“Ayolah Del, urgen
niy. Aku ngga percaya selera orang lain selain kamu”, ujar Erik tanpa
mempedulikan protesnya. Dela tetap cuek. Untuk beberapa saat hanya terdengar
suara ketukan halus tuts laptop yang beradu dengan jari-jari Dela.
“Ups sori,
assalammualaikum...”, katanya akhirnya setelah beberapa lama Dela tidak merespon.
“Waalaikum salam”,
jawan Dela pelan tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya.
“Del...”, panggil Erik
lagi setengah putus asa, “Pleaseee...”
“Emangnya kamu mau
kemana si?”, tanya Dela pada akhirnya.
Senang karena akhirnya
Dela merespon, Erik langsung nyerocos. “Jadi nanti malam aku mau ajak Dinda
nonton konser Jazz. Na, cuman masalahnya aku bingung, kudu bergaya kasual apa
resmi. Secara ini pertama kalinya juga aku nonton Jazz. Kira-kira suasananya
formal ngga si? Aku takut salah kostum ini, kan malu...”
“Dinda? Trus Tyas?”,
bukannya menjawab Dela malah bertanya.
“Itu ngga usah dibahas
deh, yang penting gimana kostumku nanti malam?”, Erik berusaha mengalihkan
topik.
Dela menarik nafas
panjang. “Erik...Erik, kamu ngga ada
kapok-kapoknya ya? Bisa-bisa kamu jadi musuh seluruh cewek sedunia kalau
terus-terusan kaya gitu”.
“Kaya gitu gimana?”,
Erik pasang tampang antara ngga mengerti dan pura-pura bodo.
“Ya gitu, sekarang
gayamu kaya orang paling kasmaran sedunia, besoknya kaya udah ngga ada apa-apa.
Kamu masih ingat nggak, itu si Liana nangisnya ngga berenti sampai seminggu
setelah kamu tinggalin”, gantian Dela yang nyerocos.
“Aku ngga kasmaran
kok, aku juga ngga pernah ngajak untuk berkomitmen. Aku cuman ngajak jalan atau
ngajak ngobrol. Kalau aku merasa ngga cocok ya aku ngga terusin lagi. I never
told them I fall in love. Terus salahnya di mana?”, Erik membela diri.
“Ya tapi masalahnya
Rik, yang kamu lakukan itu sama dengan menaburkan benih-benih harapan. Sekarang
kamu ngaca deh, kamu ganteng, keren, terus juga punya otak yang sedikit encer”,
kata Dela dengan ekpresi gemas.
“Kenapa harus pakai
kata “sedikit” si Del?, bilang aja otakku encer gitu?”
“Itu dia problemnya,
kalau otakmu benar-benar encer, harusnya kamu ngerti dong cewe mana yang ngga
bakalan terpesona sama kamu?”
“Ada Del, kamu”
“Maksut lo?”
“Kamu, cewe yang ngga pernah
tertarik sama aku. Padahal katamu aku ganteng”.
“Ya, soalnya aku sudah
keburu ilfil liat kamu. Kamu paling enak kalau diajak berantem”, Dela cemberut.
“Kok jadi marah?”
“Nggak, kenapa mesti
marah. Bukan aku yang kamu putusin kok”
“Lha terus kenapa kamu
sewot? Aku kemari kan mau minta nasihatmu untuk acaraku nanti malam. Eh, kamunya malah ceramah ngalor ngidul”
Dela menghela napas,
dan dengan nada yang disabar-sabarkan dia berusaha menjelaskan, “Aku cuman
ngingetin kamu Rik, sebagai teman. Ngga baik memperlakukan perempuan seperti
itu. Coba bayangin deh kalau kamu yang dibegitukan. Atau adik perempuan kamu.
Atau kakak perempuan kamu. Atau anak perempuan kamu”
“Walah, apaan si Del,
pakai anak-anak segala. Kaya aku ini bapak-bapak aja. Ya sudah bu guru, saya
inget-inget nasihat bu guru. Terus gimana ini nasib kostum saya?”
Dela semakin gemas,
“Terserah kamu lah Rik, pakai apa aja kamu keren kok. Udah ah, aku sibuk”. Dela
kembali memandangi laptopnya tanpa menoleh sekalipun ke arah Erik.
“Jadi aku pakai kemeja
kotak-kotak aja ya, sama celanaku yang item yang beli sama kamu, sama sneaker
aja deh. Gimana?”
Dela mendongak;
“Ter...se...rah...!”, mulutnya manyun.
“Aku bakal keliatan keren
kan Del?”, tanya Erik lagi kejam.
Dela pingin menjerit
rasanya, kalau nggak ingat saat ini mereka sedang ada di ruang baca
perpusatakaan kampus. “Iya Erik sayangggg, kamu keren pake baju kotak-kotak,
puass..?”, desis Dela.
“Thanks Del, you’re
the best”, kata Erik sambil ngeloyor. Dela hanya memandangi punggung Erik
dengan pandangan tidak mood.
Seperti yang sudah
Dela duga, beberapa minggu kemudian sudah ada nama perempuan lain yang mewarnai
hari-hari Erik; Lupita, Veli, Diana dan Sinta.
Seharusnya Dela tidak
perlu heran dengan sifat Erik. Mereka sudah berteman semenjak SMA dan Erik
memang sudah seperti itu dari dulu. Seperti apa? Kalau orang bilang sih
playboy. Herannya, Erik sepertinya tidak keberatan dengan cap tersebut, malah
mungkin bangga. Yang lebih heran lagi, Dela juga betah bersahabat dengan Erik. Bahkan
hingga kini saat mereka sama-sama kuliah di kampus yang sama walau beda
jurusan.
Mungkin karena mereka
punya kegemaran yang sama; tobuk. Hampir tiap minggu mereka ke toko buku, beli
buku dan adu urat leher. Loh kok? Iya, karena walaupun sesama penyuka buku,
mereka punya selera bacaan yang beda. Dela gemar novel-novel bergenre fantasi,
sedang Erik ngefans banget sama novel-novel drama dan roman.
“Kamu kan cewek Del,
baca ni novelnya Danielle Steele, Malice bagus loh, cocok banget sama
karaktermu”, kata Erik suatu hari sambil menyodorkan novel bersampul kuning
bergambar jaring laba-laba. Dela membaca sampul belakangnya sepintas lalu
marah-marah.
“Yang begini kok
dibilang bagus si Rik? Diperkosa oleh ayah kandung sendiri berkali-kali
dibilang mirip aku? Sebelah mananya yang mirip?”, kata Dela sambil menyodorkan
novel itu ke dada Erik.
Belum Erik menjawab, Dela
sudah mengeluarkan sebuah novel super tebal bersampul hitam, “Ini ni baru
keren, made in negeri sendiri”.
“Supernova? Partikel?
Halah ini kan yang ada alien-aliennya itu? Males ah, super ngayal”.
“Yeee...ini sayens
fiksyen Rik”, bantah Dela.
“Ya tapi kalo masalah
alien itu kan totally absurd Del, ngga ada bukti ilmiahnya blass. Yang begitu
kok kamu bilang sayens?”, Erik ngga mau kalah.
“Eh, makanya habis baca
ini trus kamu brosing. Masalah kehidupan lain di luar dunia manusia ini sudah
banyak dibuktikan, ada simposiumnya lagi”
“Ya, itu kan simposium
untuk segerombolan orang-orang kurang kerjaan”
“Tapi mendingan lah,
daripada mikirin perempuan yang mau-maunya diperkosa ayah kandungnya sendiri
macam Malice-mu itu”, Dela semakin ngotot sambil cemberut.
“Si Grace ini orangnya
independen, tabah, berani sekaligus juga lembut hatinya, itu yang aku bilang mirip
kamu”, Erik masih berusaha membela tokoh fiksi rekaan Danielle Steele di novel
Malice.
“Kalau dia berani,
kenapa dia tidak berontak waktu diperkosa berkali-kali sama bapaknya? Lagipula
aku sama sekali ngga lemah lembut”
Jika sudah begitu
biasanya Erik memilih untuk tidak melanjutkan dan membiarkan Dela seolah-olah
memenangkan perdebatan. “Okelah Del, ntar kalau sempet aku pinjem deh
supernova-mu”.
Dela tersenyum kecut,
dia tahu Erik hanya basa-basi. Tapi dia sendiri juga tidak lagi berminat
melanjutkan perdebatan. Perutnya berkeriuk. “Makan bakso yuk, kamu yang traktir
ya...”, kata Dela akhirnya. “Lah kan kamu yang ngajak, ya kamu yang traktir
lah”, bantah Erik.
“Sudah, kamu nurut aku
aja. Yuk!”, Dela bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah kantin. Erik
mengikutinya sambil terus mengomel mengapa harus dia yang bayar.
---
Suatu sore di plaza
kampus; “Rik, ada Dewi Lestari di gramed lo, book signing sama short seminar
gitu. Mau ikut nggak sama kita?”, Dela antusias mengabarkan penulis idolanya yang
datang ke kota mereka.
“Kita? Memangnya kamu
mau pergi sama siapa?”
“Sama Bimo”
“Bimo? Kok kamu mau
sih pergi sama Bimo?”
“Lho memangnya
kenapa?”
“Kamu kan tau dia suka
sama kamu Del. Atau kamu pacaran ya sama dia?”, Erik penasaran. Dia ingat Dela
pernah cerita padanya bahwa Bimo sempat mengungkapkan isi hatinya pada Dela
beberapa bulan lalu. Dela bilang dia hanya bisa menganggap Bimo sebagai teman.
“Yaaa...itu kan dulu
Rik. Udah 6 bulan yang lalu. I told him we’re just friend, remember? Ngga
mungkin lah dia masih suka sama aku”
“Kok kamu yakin? Kalau
dia masih memendam perasaan sama kamu gimana? Nanti dia merasa kamu kasih
harapan lagi. Terus kalau dia nembak kamu lagi gimana? Atau jangan-jangan kamu
mulai suka ya sama dia? Iya kan Del?”, berondong Erik. Dela bingung.
“Kamu kenapa si Rik?
Aku cuma menganggap dia teman biasa kok, baik dulu maupun sekarang”, jawab Dela
dengan kening berkenyit.
“Terus kalau dia
merasa kamu kasih harapan?”
Dela menghela napas
sebelum menjawab, “Aku tidak pernah punya niatan seperti itu Rik. Beda sama
kamu”
“Aku? Kita sedang
membahas soal kamu Del. Kamu jangan mengalihkan pembicaraan lah”, nada bicara
Erik meninggi.
“Kenapa sih kamu
segitu sewotnya? Kamu seperti...seperti....”, Dela tidak bisa melanjutkan
kalimatnya.
“Seperti sedang cemburu.
Itu kan yang mau kamu bilang? Iya, memang begitu. Sejak dulu aku suka sama kamu.
Seharusnya kamu tahu tapi kamu tidak sadar juga!”, masih dengan nada bicara
yang tinggi, Erik melanjutkan kalimat Dela dengan nafas memburu.
Dela melongo. Sejenak
ada jeda panjang di antara mereka. Saling menunggu reaksi masing-masing.
Lantas Dela tersenyum
sinis; “Sudah kehabisan perempuan kamu Rik? Tega kamu ya? Jadi semudah itu kamu
menggaet cewek-cewek untuk mau dekat sama kamu untuk kamu buat banjir air mata
beberapa hari kemudian? Jadi aku korban selanjutnya? I thought we’re best
friend”
Erik hendak membuka
mulut, tapi Dela keburu memotong.
“Selama ini aku senang
berteman dengan kamu karena kamu orang yang asik untuk diajak ngobrol dan
diskusi. Kok kamu tega si Rik?”, sebetik air mata mengambang di sudut mata
Dela.
“Itulah masalahnya
Del, kamu memang selalu manganggap aku sebagai teman. Padahal sejak dulu aku
suka sama kamu. Kamu masih ingat kan waktu kita masih SMA aku pernah bilang,
dan kamu hanya ketawa?”, Erik mulai merendahkan nada bicaranya melihat air mata
Dela yang siap menetes.
“Bilang? SMA? Kapan?”
“Waktu itu kamu cerita
kalau si Titin baru aja jadian sama Tino. Lantas aku nanya; “Terus kita kapan
Del?”, kamu cuma ketawa sambil bilang; ”Jangan becanda ah!”. Ingat kan kamu?”
Otak Dela membongkar
lagi laci-laci memori masa SMAnya. Samar-samar, tapi dia mulai ingat. “Tapi,
kukira kamu cuma bercanda”, desisnya pelan.
“Saat itu aku
mengumpulkan seluruh keberanian untuk bilang kaya gitu. Jawabanmu saat itu
membuat aku tidak berani bertanya-tanya lagi. Aku takut kamu malah
menghindariku. Aku takut kamu marah dan nggak mau lagi jadi temanku. Lebih baik
aku bertahan menjadi sahabatmu sambil berharap suatu saat kamu juga suka sama
aku”.
Dela hendak bicara
tapi Erik menyela.
“Tapi kamu nggak
pernah menganggapku lebih dari sekedar sahabat Del. Setengah mati aku berusaha
melupakan perasaanku sama kamu. Tapi nggak bisa. Lantas aku berusaha membuat
kamu cemburu. Itulah makanya aku sering memamerkan hubunganku dengan siapa aja.
Berharap bisa melihat sedikit saja ekspresi cemburumu. Tapi aku nggak pernah
melihat itu Del. Kamu selalu asyik dengan novel-novelmu, atau dengan laptopmu”
Sesuatu dalam dada
Dela berdesir mendengar kata-kata Erik. Jauh di lubuk hatinya, saking jauhnya
bahkan sampai Dela sendiri tidak sadar, Dela selalu mengharapkan Erik berkata
seperti itu padanya. Selama ini Dela memang sangat menikmati hubungan
persahabatnnya dengan Erik. Tanpa Dela sadari, tidak seharipun dia lewatkan
tanpa bertemu atau sekedar mendengar suara Erik. Dela selalu membagi segalanya
dengan Erik. Erik telah menjadi bagian dari hidupnya sejak mereka masih SMA. Sejenak
perasaannya menghangat. Dia tidak menyangka akhirnya Erik mengatakan itu
padanya.
Tapi sejurus kemudian
dia ingat Tyas, Liana, Lupita dan sederet nama-nama lain yang pernah Erik
sebutkan. Beberapa bahkan Dela kenal. Wajah Dela membeku.
“Aku tidak tahu apa
aku bisa mempercayai kata-katamu barusan. Bagaimana aku bisa tahu kamu
sungguh-sungguh? Bagaimana kalau aku hanya menjadi orang kesekian dalam kamus
percintaanmu?”
“Segitu ngga
percayanya kamu sama aku Del?”, tanya Erik memelas. Dia sadar Dela tidak salah
jika menyangkanya seperti itu.
Dela hanya mengangguk
lemah dan berlalu pergi. Dia tidak ingin Erik melihat air matanya yang sudah
benar-benar jatuh..
“Del...pleaseee....kasih
aku kesempatan....”, panggil erik sia-sia karena Dela tidak mau lagi menoleh.
---
Sejak itu, segalanya
berubah. Dela seperti menghilang dari hidup Erik. Dela tidak pernah mau
menjawab sms ataupun telfon Erik. Dela juga tidak pernah kelihatan nongol di
kampus. Kawan-kawannya bilang Dela tetap kuliah, tapi langsung menghilang entah
kemana dan kenapa begitu kelas bubar. Erik datang ke rumah Dela tapi selalu
dibilang tidak ada. Entah benar tidak ada atau pura-pura tidak ada.
Erik menyesal. Sesuatu
yang selama ini dia takutkan terjadi. Dia telah kehilangan Dela. Tidak ada lagi
acara ke tobuk sama-sama. Tidak ada lagi perang urat otot leher gara-gara
perbedaan selera bacaan. Tidak ada lagi cewek yang asyik dengan laptopnya yang
diam-diam selalu Erik perhatikan. Erik kangen dengan hari-harinya bersama Dela.
Tapi rupanya Dela sudah tidak mau lagi mengambil bagian dalam hidup Erik.
Segala cara sudah Erik
lakukan. Tapi Dela tidak bergeming. Erik bahkan sampai rela menanti di depan
rumah Dela sampai berjam-jam, tapi Dela seakan punya ilmu baru yaitu menghilang
dari jangkauan radar Erik. Dela seakan punya rimba sendiri yang dimensinya beda
dengan dunia Erik.
---
Sore itu, Erik ke toko
buku. Sudah lupa ia kapan terakhir kali dia ke toko buku sendiri. Selama ini
dia selalu pergi dengan Dela. Sejak Dela menghindarinya, Erik pun menghindari
toko buku. Terlalu banyak kenangan di toko buku bersama Dela.
Tapi sore ini dia
benar-benar harus ke toko buku karena ada barang yang harus dibeli.
Melewati rak-rak
novel, Erik berhenti sejenak. Matanya tertumbuk ada novel hijau tua bergambar sebuah
bola mata; “Eyes of the Dragon”nya Stephen King. Erik mengambil novel tersebut
dan tersenyum, “Novel yang Dela banget”, batinnya. Entah kenapa dia lantas
memutuskan untuk membelinya.
Baru badannya
berbalik, Erik melihat seseorang yang selama ini sangat dikenalnya. Dela pun
sedang melihat ke arahnya. Sama-sama terkejut. Tangan Dela menggenggam Memoirs
of Geisha.
“Hai Rik. Apa kabar?”,
Dela memecah kebisuan. Bingung karena sudah terlanjur bertemu dan tidak mungkin
menghindar seperti yang selama ini dia lakukan.
“Baik Del, kamu?”
“Sama”, Dela tersenyum
tipis. “Bye Rik, aku duluan ya”, katanya kemudian sambil siap-siap balik badan.
“Dela”, dengan sigap
Erik meraih tangan Dela, menahannya untuk tidak pergi.
“Kumohon, dengarkan
aku sebentar saja. Setelah itu aku nggak akan mengganggu kamu lagi. Aku tidak
bisa memaafkan diriku sendiri jika tidak mengatakan ini padamu”, kata Erik
memelas. Dela mengurungkan niatnya dan kembali menghadapkan badannya ke arah
Erik.
“Aku ingin kamu tahu bahwa
aku sangat menyesal. Seharusnya aku tidak mengatakannya dengan cara seperti
itu. Tapi aku lega karena akhirnya punya keberanian untuk jujur sama kamu. Kamu
memang berhak untuk membenci aku setelah semua tingkah polah yang dengan
bodohnya kupamer-pamerkan sama kamu hanya untuk membuatmu cemburu. Aku sama
sekali tidak keberatan kamu benci, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku nggak
sanggup kalau nggak ketemu sama kamu Del...”.
Erik berhenti sejenak,
“Mau nggak kamu berteman lagi sama aku seperti dulu? Mau nggak kamu melupakan
apa yang sudah pernah aku katakan sama kamu waktu itu? Aku nggak sanggup
kehilangan sahabat seperti kamu Del. Aku sudah ngga peduli lagi akan perasaanku,
nggak masalah kalau kamu nggak mau membalasnya. Lebih baik aku jadi temanmu
selamanya dan melihatmu jatuh cinta sama cowok lain. Tapi setidaknya aku masih
bisa ketemu kamu”.
Dela memandang
dalam-dalam mata sahabatnya. Dia tidak melihat ada kebohongan di sana. Erik
memang benar menyesal.
“Salah satu hal yang
ngga bisa ditarik lagi adalah perkataan Rik. Kata-katamu kemarin sama seperti
batu yang sudah terlanjur kamu lempar ke tengah danau dan tenggelam di
dasarnya. Nggak mungkin kamu ambil lagi kan?”, kata Dela.
“Jadi...kamu ngga bisa
maafin aku Del?”
Dela menggeleng, “Dari
awal kamu nggak punya salah sama aku Rik, kalau apa yang kamu bilang tentang
perasaanmu itu memang benar. Ngga ada orang yang salah karena berkata jujur
kan?”
“Terus kenapa kamu
menghindari aku, kalau kamu menganggap aku tidak salah?”
“Aku terlalu takut
untuk mempercayai kata-katamu. Seandainya kata-kata itu kamu ucapkan jauh
sebelum ada nama-nama semacam Liana, Tyas atau Dinda, mungkin...”, Dela tidak
sanggup melanjutkan.
Erik menunggu. Jeda
panjang lagi karena Dela tak juga menuntaskan kalimatnya. Erik diam dalam sabar
sementara Dela sibuk meredakan ombak dalam dadanya.
“Mungkin...itu adalah
kata-kata yang bisa membuatku terbang”, kata Dela akhirnya. Dela menghembuskan
napas, lega seakan kata-katanya telah membuang beban perasaan yang selama ini
tak berani dia tunjukkan di depan Erik. Wajahnya terasa panas. Erik tersenyum,
antara sesal dan lega.
“Knapa novel begituan ada di tanganmu?”, tiba-tiba Erik mengganti topik pembicaraan.
Matanya melirik ke arah Memoirs of Geisha di tangan Dela. “Itu sama sekali
bukan selera Dela yang dulu, tahu nggak kalau kamu ngga bakalan ketemu vampir,
kurcaci atau alien di situ”, kali ini Erik bicara dengan bibir sedikit
menyunggingkan senyum.
“Jangan coba-coba
mengganti topik pembicaraan Rik”, kening Dela mengerut, bibirnya manyun.
Erik terkekeh, “You
start to sound like my Dela”.
“Maksut lo? Sejak
kapan aku jadi Dela mu?”
“Sejak dulu kan? Sejak
kita SMA, sejak kita sering ke toko buku sama-sama, sejak kita sering perang
urat leher gara-gara memperdebatkan roman versus fantasi, sejak kamu asyik
dengan laptopmu sementara aku asyik memandangimu...”, mata Erik menatap Dela
lembut.
Jeda lagi. Dela
speechless.
“Del, hampir tidak ada happy
ending untuk sebuah kisah cinta. 99% cerita cinta di dunia ini berakhir dengan air mata, karena salah satu pasti akan meninggalkan yang satunya lebih
dulu karena ajal jarang menjemput bersamaan. Tapi toh cinta tetap jadi hal yang
manis untuk dijalani dan dikenang. Jadi kenapa mesti takut untuk mengenal jenis
cinta yang lain dari yang selama ini kita jalani?”, perlahan tangan Erik meraih
jemari Dela. Hangat genggaman Erik mengalir di sepanjang pembuluh darah Dela,
memberikan sensasi rasa hangat yang sama. Saat itu, Dela melihat novel di
tangan Erik.
“Sejak kapan suka
cerita fantasi?”, tanyanya sambil melirik ke arah novel bersampul mata naga.
“Sejak aku kehilangan
seseorang yang pasti tidak akan melewatkan baca novel beginian. Kamu? Sejak
kapan suka sama roman?”
“Sejak aku sadar tidak
ada orang yang bisa menggantikan kamu untuk berantem masalah keperawanan dan
alien”, Dela tersenyum dan Erik terbahak. Mereka meninggalkan toko buku dengan
jemari saling mengait seperti anyaman ketupat.
Erik merasa tidak
perlu lagi bertanya apakah Dela juga punya perasaan yang sama dengannya.
Baginya itu tidak lagi penting. Yang terpenting baginya adalah sahabatnya sudah
kembali.
Erik senang. Dia akan
bisa kembali menjadi tokoh perdebatan seru antara roman dan fantasi.
Perdebatan yang pada akhirnya bermuara di semangkok bakso atau sepiring
gado-gado. Bagi Erik, itu sudah lebih dari cukup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.