Kamis, 07 Maret 2013

Roman Versus Fantasi


“Del, menurutmu aku mending pakai baju kotak-kotak atau yang polos aja? Pakai celana kain apa celana jin? Pakai sneaker apa sendal gunung apa fantovel?”, Erik memberondong Dela dengan sederet pertanyaan. Dela yang sedang - dan selalu - asyik dengan laptopnya mendongak dan memandang sahabatnya itu dengan pandangan heran campur sebal.
“Mahkluk satu ini, datang ngga pake assalamualaikum langsung nyerocos aja”, omelnya.
“Ayolah Del, urgen niy. Aku ngga percaya selera orang lain selain kamu”, ujar Erik tanpa mempedulikan protesnya. Dela tetap cuek. Untuk beberapa saat hanya terdengar suara ketukan halus tuts laptop yang beradu dengan jari-jari Dela.
“Ups sori, assalammualaikum...”, katanya akhirnya setelah beberapa lama Dela tidak merespon.
“Waalaikum salam”, jawan Dela pelan tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya.
“Del...”, panggil Erik lagi setengah putus asa, “Pleaseee...”
“Emangnya kamu mau kemana si?”, tanya Dela pada akhirnya.
Senang karena akhirnya Dela merespon, Erik langsung nyerocos. “Jadi nanti malam aku mau ajak Dinda nonton konser Jazz. Na, cuman masalahnya aku bingung, kudu bergaya kasual apa resmi. Secara ini pertama kalinya juga aku nonton Jazz. Kira-kira suasananya formal ngga si? Aku takut salah kostum ini, kan malu...”
“Dinda? Trus Tyas?”, bukannya menjawab Dela malah bertanya.
“Itu ngga usah dibahas deh, yang penting gimana kostumku nanti malam?”, Erik berusaha mengalihkan topik.
Dela menarik nafas panjang.  “Erik...Erik, kamu ngga ada kapok-kapoknya ya? Bisa-bisa kamu jadi musuh seluruh cewek sedunia kalau terus-terusan kaya gitu”.
“Kaya gitu gimana?”, Erik pasang tampang antara ngga mengerti dan pura-pura bodo.
“Ya gitu, sekarang gayamu kaya orang paling kasmaran sedunia, besoknya kaya udah ngga ada apa-apa. Kamu masih ingat nggak, itu si Liana nangisnya ngga berenti sampai seminggu setelah kamu tinggalin”, gantian Dela yang nyerocos.
“Aku ngga kasmaran kok, aku juga ngga pernah ngajak untuk berkomitmen. Aku cuman ngajak jalan atau ngajak ngobrol. Kalau aku merasa ngga cocok ya aku ngga terusin lagi. I never told them I fall in love. Terus salahnya di mana?”, Erik membela diri.
“Ya tapi masalahnya Rik, yang kamu lakukan itu sama dengan menaburkan benih-benih harapan. Sekarang kamu ngaca deh, kamu ganteng, keren, terus juga punya otak yang sedikit encer”, kata Dela dengan ekpresi gemas.
“Kenapa harus pakai kata “sedikit” si Del?, bilang aja otakku encer gitu?”
“Itu dia problemnya, kalau otakmu benar-benar encer, harusnya kamu ngerti dong cewe mana yang ngga bakalan terpesona sama kamu?”
“Ada Del, kamu”
“Maksut lo?”
“Kamu, cewe yang ngga pernah tertarik sama aku. Padahal katamu aku ganteng”.
“Ya, soalnya aku sudah keburu ilfil liat kamu. Kamu paling enak kalau diajak berantem”, Dela cemberut.
“Kok jadi marah?”
“Nggak, kenapa mesti marah. Bukan aku yang kamu putusin kok”
“Lha terus kenapa kamu sewot? Aku kemari kan mau minta nasihatmu untuk acaraku nanti malam.  Eh, kamunya malah ceramah ngalor ngidul”
Dela menghela napas, dan dengan nada yang disabar-sabarkan dia berusaha menjelaskan, “Aku cuman ngingetin kamu Rik, sebagai teman. Ngga baik memperlakukan perempuan seperti itu. Coba bayangin deh kalau kamu yang dibegitukan. Atau adik perempuan kamu. Atau kakak perempuan kamu. Atau anak perempuan kamu”
“Walah, apaan si Del, pakai anak-anak segala. Kaya aku ini bapak-bapak aja. Ya sudah bu guru, saya inget-inget nasihat bu guru. Terus gimana ini nasib kostum saya?”
Dela semakin gemas, “Terserah kamu lah Rik, pakai apa aja kamu keren kok. Udah ah, aku sibuk”. Dela kembali memandangi laptopnya tanpa menoleh sekalipun ke arah Erik.
“Jadi aku pakai kemeja kotak-kotak aja ya, sama celanaku yang item yang beli sama kamu, sama sneaker aja deh. Gimana?”
Dela mendongak; “Ter...se...rah...!”, mulutnya manyun.
“Aku bakal keliatan keren kan Del?”, tanya Erik lagi kejam.
Dela pingin menjerit rasanya, kalau nggak ingat saat ini mereka sedang ada di ruang baca perpusatakaan kampus. “Iya Erik sayangggg, kamu keren pake baju kotak-kotak, puass..?”, desis Dela.
“Thanks Del, you’re the best”, kata Erik sambil ngeloyor. Dela hanya memandangi punggung Erik dengan pandangan tidak mood.
Seperti yang sudah Dela duga, beberapa minggu kemudian sudah ada nama perempuan lain yang mewarnai hari-hari Erik; Lupita, Veli, Diana dan Sinta.
Seharusnya Dela tidak perlu heran dengan sifat Erik. Mereka sudah berteman semenjak SMA dan Erik memang sudah seperti itu dari dulu. Seperti apa? Kalau orang bilang sih playboy. Herannya, Erik sepertinya tidak keberatan dengan cap tersebut, malah mungkin bangga. Yang lebih heran lagi, Dela juga betah bersahabat dengan Erik. Bahkan hingga kini saat mereka sama-sama kuliah di kampus yang sama walau beda jurusan.
Mungkin karena mereka punya kegemaran yang sama; tobuk. Hampir tiap minggu mereka ke toko buku, beli buku dan adu urat leher. Loh kok? Iya, karena walaupun sesama penyuka buku, mereka punya selera bacaan yang beda. Dela gemar novel-novel bergenre fantasi, sedang Erik ngefans banget sama novel-novel drama dan roman.
“Kamu kan cewek Del, baca ni novelnya Danielle Steele, Malice bagus loh, cocok banget sama karaktermu”, kata Erik suatu hari sambil menyodorkan novel bersampul kuning bergambar jaring laba-laba. Dela membaca sampul belakangnya sepintas lalu marah-marah.
“Yang begini kok dibilang bagus si Rik? Diperkosa oleh ayah kandung sendiri berkali-kali dibilang mirip aku? Sebelah mananya yang mirip?”, kata Dela sambil menyodorkan novel itu ke dada Erik.
Belum Erik menjawab, Dela sudah mengeluarkan sebuah novel super tebal bersampul hitam, “Ini ni baru keren, made in negeri sendiri”.
“Supernova? Partikel? Halah ini kan yang ada alien-aliennya itu? Males ah, super ngayal”.
“Yeee...ini sayens fiksyen Rik”, bantah Dela.
“Ya tapi kalo masalah alien itu kan totally absurd Del, ngga ada bukti ilmiahnya blass. Yang begitu kok kamu bilang sayens?”, Erik ngga mau kalah.
“Eh, makanya habis baca ini trus kamu brosing. Masalah kehidupan lain di luar dunia manusia ini sudah banyak dibuktikan, ada simposiumnya lagi”
“Ya, itu kan simposium untuk segerombolan orang-orang kurang kerjaan”
“Tapi mendingan lah, daripada mikirin perempuan yang mau-maunya diperkosa ayah kandungnya sendiri macam Malice-mu itu”, Dela semakin ngotot sambil cemberut.
“Si Grace ini orangnya independen, tabah, berani sekaligus juga lembut hatinya, itu yang aku bilang mirip kamu”, Erik masih berusaha membela tokoh fiksi rekaan Danielle Steele di novel Malice.
“Kalau dia berani, kenapa dia tidak berontak waktu diperkosa berkali-kali sama bapaknya? Lagipula aku sama sekali ngga lemah lembut”
Jika sudah begitu biasanya Erik memilih untuk tidak melanjutkan dan membiarkan Dela seolah-olah memenangkan perdebatan. “Okelah Del, ntar kalau sempet aku pinjem deh supernova-mu”.
Dela tersenyum kecut, dia tahu Erik hanya basa-basi. Tapi dia sendiri juga tidak lagi berminat melanjutkan perdebatan. Perutnya berkeriuk. “Makan bakso yuk, kamu yang traktir ya...”, kata Dela akhirnya. “Lah kan kamu yang ngajak, ya kamu yang traktir lah”, bantah Erik.
“Sudah, kamu nurut aku aja. Yuk!”, Dela bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah kantin. Erik mengikutinya sambil terus mengomel mengapa harus dia yang bayar.
---
Suatu sore di plaza kampus; “Rik, ada Dewi Lestari di gramed lo, book signing sama short seminar gitu. Mau ikut nggak sama kita?”, Dela antusias mengabarkan penulis idolanya yang datang ke kota mereka.
“Kita? Memangnya kamu mau pergi sama siapa?”
“Sama Bimo”
“Bimo? Kok kamu mau sih pergi sama Bimo?”
“Lho memangnya kenapa?”
“Kamu kan tau dia suka sama kamu Del. Atau kamu pacaran ya sama dia?”, Erik penasaran. Dia ingat Dela pernah cerita padanya bahwa Bimo sempat mengungkapkan isi hatinya pada Dela beberapa bulan lalu. Dela bilang dia hanya bisa menganggap Bimo sebagai teman.
“Yaaa...itu kan dulu Rik. Udah 6 bulan yang lalu. I told him we’re just friend, remember? Ngga mungkin lah dia masih suka sama aku”
“Kok kamu yakin? Kalau dia masih memendam perasaan sama kamu gimana? Nanti dia merasa kamu kasih harapan lagi. Terus kalau dia nembak kamu lagi gimana? Atau jangan-jangan kamu mulai suka ya sama dia? Iya kan Del?”, berondong Erik. Dela bingung.
“Kamu kenapa si Rik? Aku cuma menganggap dia teman biasa kok, baik dulu maupun sekarang”, jawab Dela dengan kening berkenyit.
“Terus kalau dia merasa kamu kasih harapan?”
Dela menghela napas sebelum menjawab, “Aku tidak pernah punya niatan seperti itu Rik. Beda sama kamu”
“Aku? Kita sedang membahas soal kamu Del. Kamu jangan mengalihkan pembicaraan lah”, nada bicara Erik meninggi.
“Kenapa sih kamu segitu sewotnya? Kamu seperti...seperti....”, Dela tidak bisa melanjutkan kalimatnya.
“Seperti sedang cemburu. Itu kan yang mau kamu bilang? Iya, memang begitu. Sejak dulu aku suka sama kamu. Seharusnya kamu tahu tapi kamu tidak sadar juga!”, masih dengan nada bicara yang tinggi, Erik melanjutkan kalimat Dela dengan nafas memburu.
Dela melongo. Sejenak ada jeda panjang di antara mereka. Saling menunggu reaksi masing-masing.
Lantas Dela tersenyum sinis; “Sudah kehabisan perempuan kamu Rik? Tega kamu ya? Jadi semudah itu kamu menggaet cewek-cewek untuk mau dekat sama kamu untuk kamu buat banjir air mata beberapa hari kemudian? Jadi aku korban selanjutnya? I thought we’re best friend”
Erik hendak membuka mulut, tapi Dela keburu memotong.
“Selama ini aku senang berteman dengan kamu karena kamu orang yang asik untuk diajak ngobrol dan diskusi. Kok kamu tega si Rik?”, sebetik air mata mengambang di sudut mata Dela.
“Itulah masalahnya Del, kamu memang selalu manganggap aku sebagai teman. Padahal sejak dulu aku suka sama kamu. Kamu masih ingat kan waktu kita masih SMA aku pernah bilang, dan kamu hanya ketawa?”, Erik mulai merendahkan nada bicaranya melihat air mata Dela yang siap menetes.
“Bilang? SMA? Kapan?”
“Waktu itu kamu cerita kalau si Titin baru aja jadian sama Tino. Lantas aku nanya; “Terus kita kapan Del?”, kamu cuma ketawa sambil bilang; ”Jangan becanda ah!”. Ingat kan kamu?”
Otak Dela membongkar lagi laci-laci memori masa SMAnya. Samar-samar, tapi dia mulai ingat. “Tapi, kukira kamu cuma bercanda”, desisnya pelan.
“Saat itu aku mengumpulkan seluruh keberanian untuk bilang kaya gitu. Jawabanmu saat itu membuat aku tidak berani bertanya-tanya lagi. Aku takut kamu malah menghindariku. Aku takut kamu marah dan nggak mau lagi jadi temanku. Lebih baik aku bertahan menjadi sahabatmu sambil berharap suatu saat kamu juga suka sama aku”.
Dela hendak bicara tapi Erik menyela.
“Tapi kamu nggak pernah menganggapku lebih dari sekedar sahabat Del. Setengah mati aku berusaha melupakan perasaanku sama kamu. Tapi nggak bisa. Lantas aku berusaha membuat kamu cemburu. Itulah makanya aku sering memamerkan hubunganku dengan siapa aja. Berharap bisa melihat sedikit saja ekspresi cemburumu. Tapi aku nggak pernah melihat itu Del. Kamu selalu asyik dengan novel-novelmu, atau dengan laptopmu”
Sesuatu dalam dada Dela berdesir mendengar kata-kata Erik. Jauh di lubuk hatinya, saking jauhnya bahkan sampai Dela sendiri tidak sadar, Dela selalu mengharapkan Erik berkata seperti itu padanya. Selama ini Dela memang sangat menikmati hubungan persahabatnnya dengan Erik. Tanpa Dela sadari, tidak seharipun dia lewatkan tanpa bertemu atau sekedar mendengar suara Erik. Dela selalu membagi segalanya dengan Erik. Erik telah menjadi bagian dari hidupnya sejak mereka masih SMA. Sejenak perasaannya menghangat. Dia tidak menyangka akhirnya Erik mengatakan itu padanya.
Tapi sejurus kemudian dia ingat Tyas, Liana, Lupita dan sederet nama-nama lain yang pernah Erik sebutkan. Beberapa bahkan Dela kenal. Wajah Dela membeku.
“Aku tidak tahu apa aku bisa mempercayai kata-katamu barusan. Bagaimana aku bisa tahu kamu sungguh-sungguh? Bagaimana kalau aku hanya menjadi orang kesekian dalam kamus percintaanmu?”
“Segitu ngga percayanya kamu sama aku Del?”, tanya Erik memelas. Dia sadar Dela tidak salah jika menyangkanya seperti itu.
Dela hanya mengangguk lemah dan berlalu pergi. Dia tidak ingin Erik melihat air matanya yang sudah benar-benar jatuh..
“Del...pleaseee....kasih aku kesempatan....”, panggil erik sia-sia karena Dela tidak mau lagi menoleh.
---
Sejak itu, segalanya berubah. Dela seperti menghilang dari hidup Erik. Dela tidak pernah mau menjawab sms ataupun telfon Erik. Dela juga tidak pernah kelihatan nongol di kampus. Kawan-kawannya bilang Dela tetap kuliah, tapi langsung menghilang entah kemana dan kenapa begitu kelas bubar. Erik datang ke rumah Dela tapi selalu dibilang tidak ada. Entah benar tidak ada atau pura-pura tidak ada.
Erik menyesal. Sesuatu yang selama ini dia takutkan terjadi. Dia telah kehilangan Dela. Tidak ada lagi acara ke tobuk sama-sama. Tidak ada lagi perang urat otot leher gara-gara perbedaan selera bacaan. Tidak ada lagi cewek yang asyik dengan laptopnya yang diam-diam selalu Erik perhatikan. Erik kangen dengan hari-harinya bersama Dela. Tapi rupanya Dela sudah tidak mau lagi mengambil bagian dalam hidup Erik.
Segala cara sudah Erik lakukan. Tapi Dela tidak bergeming. Erik bahkan sampai rela menanti di depan rumah Dela sampai berjam-jam, tapi Dela seakan punya ilmu baru yaitu menghilang dari jangkauan radar Erik. Dela seakan punya rimba sendiri yang dimensinya beda dengan dunia Erik.
---
Sore itu, Erik ke toko buku. Sudah lupa ia kapan terakhir kali dia ke toko buku sendiri. Selama ini dia selalu pergi dengan Dela. Sejak Dela menghindarinya, Erik pun menghindari toko buku. Terlalu banyak kenangan di toko buku bersama Dela.
Tapi sore ini dia benar-benar harus ke toko buku karena ada barang yang harus dibeli.
Melewati rak-rak novel, Erik berhenti sejenak. Matanya tertumbuk ada novel hijau tua bergambar sebuah bola mata; “Eyes of the Dragon”nya Stephen King. Erik mengambil novel tersebut dan tersenyum, “Novel yang Dela banget”, batinnya. Entah kenapa dia lantas memutuskan untuk membelinya.
Baru badannya berbalik, Erik melihat seseorang yang selama ini sangat dikenalnya. Dela pun sedang melihat ke arahnya. Sama-sama terkejut. Tangan Dela menggenggam Memoirs of Geisha.
“Hai Rik. Apa kabar?”, Dela memecah kebisuan. Bingung karena sudah terlanjur bertemu dan tidak mungkin menghindar seperti yang selama ini dia lakukan.
“Baik Del, kamu?”
“Sama”, Dela tersenyum tipis. “Bye Rik, aku duluan ya”, katanya kemudian sambil siap-siap balik badan.
“Dela”, dengan sigap Erik meraih tangan Dela, menahannya untuk tidak pergi.
“Kumohon, dengarkan aku sebentar saja. Setelah itu aku nggak akan mengganggu kamu lagi. Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri jika tidak mengatakan ini padamu”, kata Erik memelas. Dela mengurungkan niatnya dan kembali menghadapkan badannya ke arah Erik.
“Aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menyesal. Seharusnya aku tidak mengatakannya dengan cara seperti itu. Tapi aku lega karena akhirnya punya keberanian untuk jujur sama kamu. Kamu memang berhak untuk membenci aku setelah semua tingkah polah yang dengan bodohnya kupamer-pamerkan sama kamu hanya untuk membuatmu cemburu. Aku sama sekali tidak keberatan kamu benci, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku nggak sanggup kalau nggak ketemu sama kamu Del...”.
Erik berhenti sejenak, “Mau nggak kamu berteman lagi sama aku seperti dulu? Mau nggak kamu melupakan apa yang sudah pernah aku katakan sama kamu waktu itu? Aku nggak sanggup kehilangan sahabat seperti kamu Del. Aku sudah ngga peduli lagi akan perasaanku, nggak masalah kalau kamu nggak mau membalasnya. Lebih baik aku jadi temanmu selamanya dan melihatmu jatuh cinta sama cowok lain. Tapi setidaknya aku masih bisa ketemu kamu”.
Dela memandang dalam-dalam mata sahabatnya. Dia tidak melihat ada kebohongan di sana. Erik memang benar menyesal.
“Salah satu hal yang ngga bisa ditarik lagi adalah perkataan Rik. Kata-katamu kemarin sama seperti batu yang sudah terlanjur kamu lempar ke tengah danau dan tenggelam di dasarnya. Nggak mungkin kamu ambil lagi kan?”, kata Dela.
“Jadi...kamu ngga bisa maafin aku Del?”
Dela menggeleng, “Dari awal kamu nggak punya salah sama aku Rik, kalau apa yang kamu bilang tentang perasaanmu itu memang benar. Ngga ada orang yang salah karena berkata jujur kan?”
“Terus kenapa kamu menghindari aku, kalau kamu menganggap aku tidak salah?”
“Aku terlalu takut untuk mempercayai kata-katamu. Seandainya kata-kata itu kamu ucapkan jauh sebelum ada nama-nama semacam Liana, Tyas atau Dinda, mungkin...”, Dela tidak sanggup melanjutkan.
Erik menunggu. Jeda panjang lagi karena Dela tak juga menuntaskan kalimatnya. Erik diam dalam sabar sementara Dela sibuk meredakan ombak dalam dadanya.
“Mungkin...itu adalah kata-kata yang bisa membuatku terbang”, kata Dela akhirnya. Dela menghembuskan napas, lega seakan kata-katanya telah membuang beban perasaan yang selama ini tak berani dia tunjukkan di depan Erik. Wajahnya terasa panas. Erik tersenyum, antara sesal dan lega.
“Knapa novel begituan ada di tanganmu?”, tiba-tiba Erik mengganti topik pembicaraan. Matanya melirik ke arah Memoirs of Geisha di tangan Dela. “Itu sama sekali bukan selera Dela yang dulu, tahu nggak kalau kamu ngga bakalan ketemu vampir, kurcaci atau alien di situ”, kali ini Erik bicara dengan bibir sedikit menyunggingkan senyum.
“Jangan coba-coba mengganti topik pembicaraan Rik”, kening Dela mengerut, bibirnya manyun.
Erik terkekeh, “You start to sound like my Dela”.
“Maksut lo? Sejak kapan aku jadi Dela mu?”
“Sejak dulu kan? Sejak kita SMA, sejak kita sering ke toko buku sama-sama, sejak kita sering perang urat leher gara-gara memperdebatkan roman versus fantasi, sejak kamu asyik dengan laptopmu sementara aku asyik memandangimu...”, mata Erik menatap Dela lembut.
Jeda lagi. Dela speechless.
“Del, hampir tidak ada happy ending untuk sebuah kisah cinta. 99% cerita cinta di dunia ini berakhir dengan air mata, karena salah satu pasti akan meninggalkan yang satunya lebih dulu karena ajal jarang menjemput bersamaan. Tapi toh cinta tetap jadi hal yang manis untuk dijalani dan dikenang. Jadi kenapa mesti takut untuk mengenal jenis cinta yang lain dari yang selama ini kita jalani?”, perlahan tangan Erik meraih jemari Dela. Hangat genggaman Erik mengalir di sepanjang pembuluh darah Dela, memberikan sensasi rasa hangat yang sama. Saat itu, Dela melihat novel di tangan Erik.
“Sejak kapan suka cerita fantasi?”, tanyanya sambil melirik ke arah novel bersampul mata naga.
“Sejak aku kehilangan seseorang yang pasti tidak akan melewatkan baca novel beginian. Kamu? Sejak kapan suka sama roman?”
“Sejak aku sadar tidak ada orang yang bisa menggantikan kamu untuk berantem masalah keperawanan dan alien”, Dela tersenyum dan Erik terbahak. Mereka meninggalkan toko buku dengan jemari saling mengait seperti anyaman ketupat.
Erik merasa tidak perlu lagi bertanya apakah Dela juga punya perasaan yang sama dengannya. Baginya itu tidak lagi penting. Yang terpenting baginya adalah sahabatnya sudah kembali.
Erik senang. Dia akan bisa kembali menjadi tokoh perdebatan seru antara roman dan fantasi. Perdebatan yang pada akhirnya bermuara di semangkok bakso atau sepiring gado-gado. Bagi Erik, itu sudah lebih dari cukup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)