Minggu, 19 April 2015

[Cerpen] Angel's Trumpet

Senyum puas terukir di bibir lelaki itu ketika memandangi butiran kristal putih di dasar cawan porselen. Ia sudah memutuskan, butiran kristal itu akan bekerja malam ini.  
*
Beberapa sudut di Universitas itu memang masih terang walau malam mulai beranjak tua. Itu bukan pemandangan aneh. Hampir setiap hari, beberapa mahasiswa memilih tinggal di lab-lab Universitas untuk menyelesaikan penelitian tugas akhir.
“Hffft...! Ini akan jadi malam yang panjang” keluh salah satu mahasiswa penghuni Laboratorium Kimia Organik seraya menguap. Matanya memindai deretan data-data penelitian pada selembar spreadsheet. Diraihnya mug berisi kopi pahit yang menjadi andalannya untuk melawan kantuk. Lantas seperti biasa, ia menghabiskan isinya dalam sekali tenggak.
Sejenak mahasiswa berparas tampan itu tertegun. Lidahnya merasa kopinya malam ini tidak biasa. Tapi ia tak sempat berpikir lebih jauh, karena tiba-tiba dia merasa seakan sebuah palu godam menghantam kepalanya. Dia pun ambruk dengan mata terbelalak dan pupil mata membesar.
“Ya Tuhan! Renooo....!!!” rekan-rekannya berteriak panik. Mahasiswa dari laboratorium lain mendengar teriakan itu dan berhamburan ke arah sumber kehebohan. Kejadian yang terlalu tiba-tiba itu membuat mereka hanya bisa berteriak panik, tak tahu apa yang harus dilakukan demi menolong Reno yang tengah meregang nyawa.
*
Empat hari yang lalu, lelaki itu sudah menggerus biji-biji bunga Angel’s Trumpet, dalam mortar porselen. Ia melarutkan hasil gerusan itu dengan methyl alcohol untuk mengekstrak senyawa atropine di dalam biji bunga berbentuk terompet yang banyak tumbuh di halaman Universitas.
Hari ini, sebagian besar atropine pasti telah larut dalam methyl alcohol. Lelaki itu kini tinggal menguapkannya untuk mendapatkan butiran kristal atropine yang tertinggal di dasar cawan. Hanya 50 miligram. Tidak banyak memang. Tapi itu sudah lebih dari cukup untuk membuat seorang pria dewasa kehilangan nyawa.
Sebagai seseorang yang banyak menghabiskan waktu di Laboratorium Kimia Organik, mudah baginya untuk mengamati kebiasaan para mahasiswa di sana. Termasuk kebiasaan “si korban”.
Korbannya itu, seperti halnya mahasiswa lain, sudah menganggap lab-lab untuk penelitian tugas akhir sebagai rumah kedua. Itu sebabnya selama melakukan penelitian, mereka menginvetaris beberapa barang pribadi, semisal cangkir kopi atau sikat gigi. Semua di laboratorium itu tahu, cangkir milik calon korban adalah sebuah mug porselen putih bergambar sapi perah dengan tutup bergambar sama.
Sore itu, ketika lab sedang sepi, lelaki itu meletakkan 50 miligram kristal atropine di dasar mug. Ia tinggal berharap, malam ini “si korban” akan menggunakan mug itu untuk menyeduh kopi seperti biasa.
Sepanjang sore hingga malam, ia terus mengawasi mug tersebut dengan gelisah. Ia khawatir jika ada orang lain yang menggunakan mug itu tanpa sengaja. Ketika dilihatnya “si korban” mengambil mug, menuangkan bubuk kopi hitam dan air panas, barulah ia merasa lega. Selanjutnya ia sudah bisa menebak, korbannya akan mendiamkan cangkirnya selama beberapa menit lantas meminum habis isinya dalam sekali tenggak.
Ia memutuskan untuk meninggalkan laboratorium ketika dilihatnya “si korban” sudah mulai mengaduk kopi lantas meletakkannya di meja, menunggu suhu kopi agak dingin.
Lelaki itu sudah berada di dalam mobil ketika para mahasiswa seketika berhamburan keluar demi mendengar teriakan panik yang bersumber dari Laboratorium Kimia Organis. Ia menyeringai ketika beberapa mahasiswa meneriakkan nama korbannya. Reno. Rencananya berhasil. Racun itu tepat sasaran. Dengan perasaan puas, ia segera menyalakan mesin mobil dan memacunya membelah kegelapan malam.
*
Seminggu sebelumnya
“Jadi kamu benar-benar berhubungan dengan Bella, Ren?” tanya Robert serius.
Reno nyengir lebar. “Kalau iya, memangnya kenapa?”
“Gadis itu kan pendiam. Kutu buku pula. Beda sekali dengan tipe gadis-gadis yang selama ini kamu kencani. Lagipula penampilannya jauh dari standard minimal seleramu.” Robert mengangkat bahu.
Reno terbahak. “Biarpun begitu, dia anak owner perusahaan besar, Rob. Dekat dengannya akan mempermudah aku untuk mendapatkan posisi di perusahaan ayahnya” lanjut Reno dengan senyum culas.
“Sinting kamu, Ren...” sergah Robert sembari meninju lengan Reno. Tentu saja tinjunya tidak membuat Reno kesakitan melainkan membuatnya terbahak semakin keras.
Ketika itu keduanya tidak menyadari, jika sepasang telinga mendengar pembicaraan mereka.
Profesor Adrian menahan geram dengan tangan terkepal. Kurang ajar! Berani-beraninya dia mempermainkan Bella!” batinnya. Terbayang di matanya, sosok Bella, mahasiswa tingkat tiga yang kerap ditemuinya di Perpustakaan.
Bella memiliki rasa ingin tahu yang besar dan daya analisa yang luar biasa. Gadis berkacamata tebal itu sering bertanya berbagai hal padanya. Itu sebabnya, ia dan Bella kerap terlibat diskusi panjang.
Dengan semakin bertambahnya frekuensi pertemuan dengana Bella, Profesor termuda di Universitas itu merasa ada yang tidak biasa dengan perasaannya. Perasaan aneh itu belum pernah ia rasakan selama ini. Ia bahkan kerap membayangkan jari manisnya dan jari manis Bella mengenakan cincin yang sama. Tidak butuh waktu lama bagi Profesor yang menjadi kepala Laboratorium Kimia Organik itu untuk menyadari, bahwa untuk pertama kali dalam hidupnya, ia jatuh cinta. 
Ini tidak bisa dibiarkan!” rahang Profesor Adrian mengeras.  
Profesor Adrian berjalan ke arah perpustakaan seraya berpikir keras. Sebuah rencana seketika muncul di kepalanya ketika melihat deretan bunga Angel’s Trumpet di pintu masuk perpustakaan. Tak banyak yang tahu jika seluruh bagian bunga putih berbentuk terompet itu mengandung atropine, racun yang bisa membahayakan nyawa manuasia hanya dengan dosis 16 miligram saja.
Ia menyeringai ketika teringat mug putih milik Reno yang selalu tertutup. Itu akan memudahkannya menempatkan racun di dalamnya tanpa disadari sang pemilik. Seringainya kian lebar ketika ingat kebiasaan Reno meminum kopi pahit. Itu akan sangat membantu menyamarkan rasa atropine yang agak pahit.
Sejenak ia ragu. Apa yang akan dia lakukan akan mengancam kehidupan dan nama baiknya. Namun bayangan wajah Bella seketika berkelebat dalam pikirannya dan tanpa ampun menepis segala keraguan. Seperti kuda pacu yang dicambuk sang joki, semangat membunuhnya terbit.
Profesor Adrian melangkah mantap mendekati salah satu pohon Angel’s Trumpet. Ya, tak lama lagi, bunga itu akan mengundang malaikat pencabut nyawa ke Laboratoriumnya.



-selesai-


Diikutkan dalam tantangan Kampus Fiksi #FiksiRacun.

Cerpen ini adalah cerpen dengan ide lama yang ditulis ulang, versi pertamanya juga ada di blog ini dengan judul yang sama.

2 komentar:

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)