Senyum
puas terukir di bibir lelaki itu ketika memandangi butiran kristal putih di
dasar cawan porselen. Ia sudah memutuskan, butiran kristal itu akan bekerja malam ini.
*
Beberapa
sudut di Universitas itu memang masih terang walau malam mulai beranjak tua. Itu
bukan pemandangan aneh. Hampir setiap hari, beberapa mahasiswa memilih tinggal
di lab-lab Universitas untuk menyelesaikan penelitian tugas akhir.
“Hffft...!
Ini akan jadi malam yang panjang” keluh salah satu mahasiswa penghuni
Laboratorium Kimia Organik seraya menguap. Matanya memindai deretan data-data
penelitian pada selembar spreadsheet.
Diraihnya mug berisi kopi pahit yang menjadi andalannya untuk melawan kantuk. Lantas
seperti biasa, ia menghabiskan isinya dalam sekali tenggak.
Sejenak
mahasiswa berparas tampan itu tertegun. Lidahnya merasa kopinya malam ini tidak
biasa. Tapi ia tak sempat berpikir lebih jauh, karena tiba-tiba dia merasa seakan
sebuah palu godam menghantam kepalanya. Dia pun ambruk dengan mata terbelalak
dan pupil mata membesar.
“Ya
Tuhan! Renooo....!!!” rekan-rekannya berteriak panik. Mahasiswa dari
laboratorium lain mendengar teriakan itu dan berhamburan ke arah sumber
kehebohan. Kejadian yang terlalu tiba-tiba itu membuat mereka hanya bisa
berteriak panik, tak tahu apa yang harus dilakukan demi menolong Reno yang
tengah meregang nyawa.
*
Empat
hari yang lalu, lelaki itu sudah menggerus biji-biji bunga Angel’s Trumpet, dalam mortar
porselen. Ia melarutkan hasil gerusan itu dengan methyl alcohol untuk mengekstrak senyawa atropine di dalam biji bunga berbentuk
terompet yang banyak tumbuh di halaman Universitas.
Hari
ini, sebagian besar atropine pasti
telah larut dalam methyl alcohol. Lelaki
itu kini tinggal menguapkannya untuk mendapatkan butiran kristal atropine yang tertinggal di dasar cawan.
Hanya 50 miligram. Tidak banyak memang. Tapi itu sudah lebih dari cukup untuk
membuat seorang pria dewasa kehilangan nyawa.
Sebagai
seseorang yang banyak menghabiskan waktu di Laboratorium Kimia Organik, mudah
baginya untuk mengamati kebiasaan para mahasiswa di sana. Termasuk kebiasaan “si
korban”.
Korbannya
itu, seperti halnya mahasiswa lain, sudah menganggap lab-lab untuk penelitian
tugas akhir sebagai rumah kedua. Itu sebabnya selama melakukan penelitian, mereka
menginvetaris beberapa barang pribadi, semisal cangkir kopi atau sikat gigi. Semua
di laboratorium itu tahu, cangkir milik calon korban adalah sebuah mug porselen
putih bergambar sapi perah dengan tutup bergambar sama.
Sore
itu, ketika lab sedang sepi, lelaki itu meletakkan 50 miligram kristal atropine di dasar mug. Ia tinggal
berharap, malam ini “si korban” akan menggunakan mug itu untuk menyeduh kopi
seperti biasa.
Sepanjang
sore hingga malam, ia terus mengawasi mug tersebut dengan gelisah. Ia khawatir
jika ada orang lain yang menggunakan mug itu tanpa sengaja. Ketika dilihatnya “si
korban” mengambil mug, menuangkan bubuk kopi hitam dan air panas, barulah ia
merasa lega. Selanjutnya ia sudah bisa menebak, korbannya akan mendiamkan
cangkirnya selama beberapa menit lantas meminum habis isinya dalam sekali
tenggak.
Ia
memutuskan untuk meninggalkan laboratorium ketika dilihatnya “si korban” sudah
mulai mengaduk kopi lantas meletakkannya di meja, menunggu suhu kopi agak
dingin.
Lelaki
itu sudah berada di dalam mobil ketika para mahasiswa seketika berhamburan
keluar demi mendengar teriakan panik yang bersumber dari Laboratorium Kimia
Organis. Ia menyeringai ketika beberapa mahasiswa meneriakkan nama korbannya. Reno.
Rencananya berhasil. Racun itu tepat sasaran. Dengan perasaan puas, ia segera menyalakan
mesin mobil dan memacunya membelah kegelapan malam.
*
Seminggu sebelumnya
“Jadi
kamu benar-benar berhubungan dengan Bella, Ren?” tanya Robert serius.
Reno
nyengir lebar. “Kalau iya, memangnya kenapa?”
“Gadis
itu kan pendiam. Kutu buku pula. Beda sekali dengan tipe gadis-gadis yang selama
ini kamu kencani. Lagipula penampilannya jauh dari standard minimal seleramu.” Robert
mengangkat bahu.
Reno
terbahak. “Biarpun begitu, dia anak owner
perusahaan besar, Rob. Dekat dengannya akan mempermudah aku untuk mendapatkan
posisi di perusahaan ayahnya” lanjut Reno dengan senyum culas.
“Sinting
kamu, Ren...” sergah Robert sembari meninju lengan Reno. Tentu saja tinjunya
tidak membuat Reno kesakitan melainkan membuatnya terbahak semakin keras.
Ketika
itu keduanya tidak menyadari, jika sepasang telinga mendengar pembicaraan
mereka.
Profesor
Adrian menahan geram dengan tangan terkepal. Kurang ajar! Berani-beraninya dia mempermainkan Bella!” batinnya. Terbayang
di matanya, sosok Bella, mahasiswa tingkat tiga yang kerap ditemuinya di
Perpustakaan.
Bella
memiliki rasa ingin tahu yang besar dan daya analisa yang luar biasa. Gadis
berkacamata tebal itu sering bertanya berbagai hal padanya. Itu sebabnya, ia
dan Bella kerap terlibat diskusi panjang.
Dengan
semakin bertambahnya frekuensi pertemuan dengana Bella, Profesor termuda di
Universitas itu merasa ada yang tidak biasa dengan perasaannya. Perasaan aneh itu
belum pernah ia rasakan selama ini. Ia bahkan kerap membayangkan jari manisnya dan jari manis Bella mengenakan cincin yang sama. Tidak butuh waktu lama bagi Profesor yang menjadi kepala Laboratorium Kimia Organik itu untuk
menyadari, bahwa untuk pertama kali dalam hidupnya, ia jatuh cinta.
“Ini tidak bisa dibiarkan!” rahang Profesor
Adrian mengeras.
Profesor
Adrian berjalan ke arah perpustakaan seraya berpikir keras. Sebuah rencana
seketika muncul di kepalanya ketika melihat deretan bunga Angel’s Trumpet di pintu masuk perpustakaan. Tak banyak yang tahu
jika seluruh bagian bunga putih berbentuk terompet itu mengandung atropine, racun yang bisa membahayakan nyawa
manuasia hanya dengan dosis 16 miligram saja.
Ia
menyeringai ketika teringat mug putih milik Reno yang selalu tertutup. Itu akan
memudahkannya menempatkan racun di dalamnya tanpa disadari sang pemilik. Seringainya
kian lebar ketika ingat kebiasaan Reno meminum kopi pahit. Itu akan sangat
membantu menyamarkan rasa atropine
yang agak pahit.
Sejenak
ia ragu. Apa yang akan dia lakukan akan mengancam kehidupan dan nama baiknya.
Namun bayangan wajah Bella seketika berkelebat dalam pikirannya dan tanpa ampun
menepis segala keraguan. Seperti kuda pacu yang dicambuk sang joki, semangat membunuhnya terbit.
Profesor Adrian
melangkah mantap mendekati salah satu pohon Angel’s
Trumpet. Ya, tak lama lagi, bunga itu akan mengundang malaikat pencabut
nyawa ke Laboratoriumnya.
-selesai-
Diikutkan dalam tantangan Kampus Fiksi #FiksiRacun.
Cerpen ini adalah cerpen dengan ide lama yang ditulis ulang, versi pertamanya juga ada di blog ini dengan judul yang sama.
bagus mba.. twist nya dapet banget :)
BalasHapusMakasih sudah mampir baca Mbak :)
Hapus