“Nisa
bobo...O...o...Nisa bobo. Kalau tidak bobo digigit nyamuk...” aku menatap bayi
6 bulan kami yang sudah mulai tidur dengan perasaan lega luar biasa. Setelah seharian menjaga bayi super aktif
yang tidak bisa diam ini, akhirnya aku bisa istirahat juga, pikirku.
“Tidak
ada gunanya lagu itu dinyanyikan kalau syairnya kamu ganti-ganti, Nduk!” Suara
teguran Eyang membuat mata bayiku yang sudah tiga per empat terpejam itu
kembali terbuka lebar.
Duuuh...Eyang, jadi bangun lagi kan babynya? keluhku dalam hati.
“Kan
Eyang sudah bilang, kalau kamu ganti syairnya, nggak bakalan bisa bikin anakmu lelap.”
Kali ini nada suara Eyang setengah menegur. “Nah, benar to? Bayimu masih melek
kan?”
Itu kan meleknya gara-gara kaget sama suara Eyang. Lagi-lagi aku hanya bisa mengomel dalam hati tanpa
berani menjelaskan alasan aku mengubah syair lagu pengantar tidur itu dengan
nama bayiku sendiri.
“Sini,
biar Eyang yang menidurkan bayimu. Kamu makan dulu sana. Ibu menyusui harus
banyak makan, terutama sayur dan kacang-kacangan. Biar air susunya bancar,” titah
Eyang, yang kali ini kujawab dengan geming dan tatapan menantang.
Biasanya,
aku akan memilih untuk segera meninggalkan Eyang sebelum ia mulai berceramah
lagi. Bukan karena aku keberatan mendengar nasihat-nasihat Eyang, tapi karena
aku tahu pasti sebagian besar ocehan Eyang itu hanyalah mitos belaka. Sialnya, kepercayaannya
terhadap mitos-mitos itu lah yang menjadi dasar bagi Eyang untuk mengatur
hidupku. Tanpa bisa dibantah oleh siapa pun.
Dulu,
usai memperkenalkan calon suamiku pada keluarga besar, Eyang langsung bertanya
apa wetonnya. Karena kujawab tidak tahu, Eyang ganti bertanya kapan tanggal
lahirnya. Setelah aku menyebutkan satu tanggal, ibu kandung mama itu langsung
membuka semacam buku kecil bersampul plastik. Setelah membolak-balik buku yang
warna kertasnya mirip perkamen era Mesir kuno itu, Eyang langsung mengajukan
sebuah saran, yang sayangnya lebih terdengar sebagai sebuah titah yang tidak
bisa dibantah.
“Nduk,
karena calon suamimu punya weton Selasa Pon dan kamu Sabtu Wage, maka kalian harus
menikah di hari Selasa Wage. Ini hari terbaik menurut hitungan Jawa.”
Tentu
saja aku langsung memprotes. “Kok Selasa sih Eyang? Itu kan hari kerja.”
“Lha
wong menurut perhitungan weton, hari baik pernikahanmu ya hari itu kok,” kilah
Eyang. “Apa kamu tidak ingin pernikahan kalian berjalan lancar?”
“Tapi
kelancaran pernikahan kan bukan ditentukan hari pasaran kelahiran, Eyang.
Lagipula...” rengekku.
Aku
sudah hendak melancarkan protes dan sederet alasan logis yang menjadi penyebab
lancar atau tidaknya sebuah hajatan, namun Mama menepuk pundakku sembari menggeleng.
Seolah berkata; “Percuma saja. Tidak ada
seorang pun yang bisa menolak kehendak Eyang Putri.”
Akhirnya
aku pun menunduk pasrah.
Benar
saja, ketika menyebarkan undangan, aku harus setengah mati menebalkan telinga
demi mendengar komentar-komentar semacam “Wah, kok hajatannya pas hari kerja?” Atau
“Ini pasti hasil hitung-hitungan primbon Jawa ya?”Atau “Ternyata walau sekolah
di luar negeri tetap saja kamu percaya yang beginian ya?”
Saat
itu juga, satu benih kebencian terhadap terhadap mitos orang Jawa pun mulai tertanam
di hatiku.
Tidak
cukup sampai di situ. Eyang bahkan mengatur semua prosesi pernikahanku. Aku
yang menghendaki sebuah pernikahan yang sederhana namun elegan terpaksa menurut
ketika Eyang menunjukkan rentetan upacara adat yang harus kujalani. Mulai dari
upacara siraman, midodareni, tukar menukar kembar mayang, lempar sirih, injak
telur, timbangan, kacar-kucur, dulangan, dan masih banyak lagi istilah-istilah
adat yang aku tak mengerti. Kepalaku sampai tak sanggup mengingat banyaknya
urutan tata cara pernikahan adat Jawa dan tetek bengeknya.
“Astaga,
apakah harus seribet ini, Eyang? Tidak bisa kah kita membuat acara pernikahan
yang simpel saja? Yang penting akad nikahnya sah kan?” protesku lagi sembari
melirik ke arah Papa dan Mama yang sedari tadi diam saja.
“Nduk.
Kamu ini keturunan orang Jawa. Biar kamu lahir dan besar di negeri orang, kamu
tetap orang Jawa yang harus menghormati adat istiadatnya,” jawab Eyang setengah
menyindir.
Aku
memang lahir dan besar di Belanda. Begitu aku menginjak bangku kuliah, Papa
yang sejak bujang sudah mulai merintis karir di Negara Kincir Angin itu
memutuskan untuk kembali ke tanah air.
“Nah,
kalau bukan orang Jawa sendiri yang mempertahankan adat istiadatnya, lantas
siapa?” sambung nenekku disertai pandangan mata yang membuatku paham mengapa
kedua orang tuaku tak ada yang berani menentang kehendak Eyang putri.
Aku
mendengus sebal. Hilang sudah angan-angan mengenakan busana pengantin yang
simpel dan anggun ala Kate Middleton. Lenyap sudah keinginan untuk membuat
acara resepsi pernikahan di sebuah taman di pinggir kolam renang. Berganti
dengan pernikahan adat Jawa dengan pelaminan gebyok kayu jati dan baju pengantin
dari beludru berwarna hitam plus segala ritual adat yang bagiku tak lebih dari
sekedar perlambang dan mitos belaka.
Saat
itu, benih kebencian terhadap mitos-mitos tanah kelahiranku sendiri mulai
tumbuh dan siap mendesak keluar seperti bom waktu.
Ketika
aku dan suamiku sudah resmi menikah, Eyang putri kerap datang ke rumah kami
sembari membawa bedak bayi. Katanya itu bedak bayi yang baru saja dipakai bayi
lain. Ia menyuruhku melaburkan bedak itu di perutku supaya cepat ketularan
punya momongan.
Duh Eyang, mana bisa mengoleskan bedak bayi di perut bisa
membuatku cepat hamil? Rupanya
Eyang harus lebih banyak membaca artikel-artikel kedokteran ketimbang
mempercayai mitos-mitos yang tidak jelas landasan teorinya.
Tapi
kenyataannya, aku memang tak perlu menunggu waktu lama untuk hamil. Dan
lagi-lagi, Eyang kembali memberikan sederet pantangan dan larangan supaya
kehamilanku berjalan lancar. Beberapa hal memang masuk akal, tapi lebih banyak
yang tidak.
Eyang
mewanti-wanti agar aku tidak melilitkan handuk di leher, katanya nanti bayiku
bisa terlilit tali pusat. Eyang juga melarangku minum air es, supaya bayiku
tidak tumbuh terlalu besar.
“Nanti
susah melahirkan kalau bayinya terlalu besar. Lebih enak besarnya di luar saja
setelah lahir,” ujar Eyang.
Itu
hanya segelintir contoh larangan-larangan tak masuk akal lainnya, seperti tidak
boleh makan pisang dempet agar anaknya tidak kembar siam. Juga tidak boleh
makan ikan laut, supaya anaknya tidak amis. Juga tidak boleh lupa membawa
gunting kecil atau senjata tajam lain dalam saku agar jabang bayi terhindar
dari mara bahaya.
Karena
takut diomeli, aku memilih untuk menurut. Tapi itu hanya berlaku di depan Eyang
saja. Jika Eyang sudah meninggalkan rumah kami, lain lagi ceritanya. Aku akan
kembali meneguk bergelas-gelas air dingin dan menikmati masakan berbahan ikan
laut kegemaranku.
Ketika
Nisa lahir, Eyang semakin sering berkunjung ke rumah kami. Bahkan hampir tiap
hari dan seringnya malah ikut menginap. Maklum, Nisa adalah cicit pertama
Eyang. Sebenarnya kami tidak keberatan ada Eyang Putri di rumah. Lumayan ada
yang membantuku mengurus Nisa. Tapi ya itu tadi, kepercayaan Eyang terhadap
berbagai macam mitos membuat pekerjaan mengurus bayi menjadi ribet.
Eyang
mengharuskan memasang gurita di perut mungil Nisa, padahal dunia kebidanan
jaman sekaran sudah lama tidak menganjurkannya lagi. Kemudian ia selalu
meletakkan koin di atas pusar. Biar tidak bodong katanya. Eyang juga kerap
terlihat menarik-narik cuping hidung Nisa supaya lebih mancung. Di pagi hari,
Eyang sering mengoleskan cairan embun di lutut Nisa agar bayi kami cepat bisa berjalan.
Sebenarnya aku tidak keberatan dengan segala hal yang dilakukan Eyang, kecuali
satu hal. Eyang memaksaku mencukur habis rambut Nisa.
Oh
Nooo!!! Rambut Nisa kan hitam dan tebal. Sayang banget kan kalau dicukur?
Bagaimana jika nanti tumbuhnya tidak selebat dan sehitam rambutnya yang
sekarang? Awalnya aku ngotot menolak, tapi Eyang bilang, rambut Nisa itu rambut
kotor yang berasal dari alam rahim, makanya harus dihabiskan. Akhirnya dengan
air mata berlinang, aku terpaksa merelakan Eyang yang dengan hati-hati mencukur
rambut Nisa.
Saat
itu lah, benih kebencian terhadap mitos-mitos Jawa sempurna berubah menjadi bom
waktu yang siap meledak. Dan pemicunya adalah lagu Nina Bobo yang baru saja kunyanyikan.
Tanpa
alasan yang jelas, Eyang mempermasalahkan lagu Nina Bobo yang kurubah sedikit
syairnya. Padahal maksudku simpel saja. Nama anakku Nisa, bukan Nina. Kupikir
tetap menggunakan syair “Nina” akan membuat bayi kami terlambat menyadari
namanya sendiri. Itu sebabnya syair Nina Bobo kuganti dengan Nisa Bobo. Tapi kata Eyang, jika lagu itu diganti
syairnya, maka tak kan ampuh untuk membuat bayi kami terlelap.
Cukup
sudah! Aku sudah muak dengan mitos-mitos tak masuk akal yang mengusik
ketenanganku. Itu sebabnya hari ini aku memutuskan untuk bertanya, alih-alih
menurut tak membantah.
“Kenapa
sih Eyang? Ini kan cuma lagu pengantar tidur?” tanyaku dengan wajah sebal.
“Kamu
tidak tahu sejarahnya sih, Nduk. Duduk sini, biar Eyang kasih tahu.”
Dengan
mendengus kesal, aku pun mengambil posisi duduk di dekatnya.
“Kamu
tahu mengapa lagu itu memakai nama Nina?”
Aku
menggeleng malas.
“Karena
Nina memang benar-benar ada. Dia bahkan pernah ratusan tahun yang lalu. Di
sini. Di Indonesia.”
Lantas
berceritalah Eyang Putri sebuah cerita yang sulit kupercaya.
Kata
Eyang, Nina adalah putri keluarga Belanda yang pindah ke Indonesia saat masa
penjajahan dulu. Suatu hari, tiba-tiba Nina bertingkah aneh. Ia
berteriak-teriak dan berjalan dengan posisi punggung melengkung dan bertumpu
pada kedua tangan dan kakinya. Ia kesurupan dan orang tuanya tidak menyadari
hal itu. Mereka mengira Nina terjangkit suatu penyakit aneh. Karena tidak tahan
dengan perubahan sikap Nina, orang tuanya pun memasungnya. Lantas sang ayah
meninggalkan Indonesia untuk kembali ke negara asalnya. Tinggallah sang ibu dan
Nina di rumah besar yang kian tak terurus. Dengan penuh kasih sayang, sang ibu
mengurus Nina seorang diri hingga suatu hari Nina bisa bicara dan bersikap
layaknya orang biasa. Alangkah gembira hati ibundanya karena mengira Nina sudah
sembuh. Nina berkata bahwa dia capai sekali dan meminta ibunya menyanyikan
sebuah lagu pengantar tidur. Lagu “Nina Bobo” itu lah yang dinyanyikan ibu
Nina. Ternyata, ketika lagu itu selesai, Nina benar-benar tertidur dan tak
pernah bangun lagi untuk selamanya.
Masih
menurut Eyang, jika kita menyanyikan lagu itu untuk menidurkan bayi, maka roh
gadis kecil bernama Nina itu akan datang dan menjaga agar si bayi bisa tidur
lelap hingga pagi.
“Astaga,
Eyang. Itu kan hanya dongeng. Belum tentu benar. Lagipula, kenapa sih Eyang
terlalu percaya dengan mitos-mitos yang tidak jelas sumbernya seperti itu?”
komentarku setelah Eyang selesai bercerita.
Eyang
menghela napas panjang lantas balik bertanya, “Kenapa sih, kamu selalu
menganggap omongan Eyang hanya sebagai mitos?”
Aku
mengangkat bahu. “Sebab terkadang hal-hal yang Eyang katakan sama sekali tidak
masuk akal,” jawabku tanpa sadar telah menancapkan duri pertama di hati Eyang.
“Masuk
akal atau tidak. Segala mitos yang diwariskan turun temurun dari jaman nenek
moyang pasti tujuannya untuk kebaikan to?” kilah Eyang.
“Baik
menurut siapa Eyang. Menurut Eyang mungkin iya. Tapi belum tentu menurut aku
kan?” Duri kedua tertancap di hati Eyang, membuat Eyang sesaat tertegun.
“Maksudmu?”
“Selama
ini Eyang terlalu percaya terhadap mitos sehingga tidak mau mendengar pendapat
dan keinginan-keinginanku. Mulai dari memilih tanggal pernikahan, memilih baju
pengantin, memilih dekorasi untuk resepsi sampai mengurus bayi. Semuanya sesuai
keinginan Eyang. Apakah selama ini Eyang pernah bertanya apakah aku suka dengan
konsep pernikahan yang seharusnya menjadi momen istimewaku sekali seumur hidup
itu? Apakah Eyang pernah bertanya apa aku tidak keberatan rambut lebat Nisa
dicukur habis?” cerocosku tiba-tiba tanpa terkontrol.
Eyang
bergeming dengan ekspresi tak percaya mendengar rentetan kata-kataku.
“Eyang
mungkin lupa. Jaman sudah berubah. Aku bukan lagi generasi yang mudah dibohongi
dengan mitos-mitos dan dongeng-dongeng seperti yang Eyang katakan!” seruku
tanpa pernah sadar jika duri ketiga, keempat dan kelima tertanam begitu dalam
di hati Eyang.
Lama
Eyang terdiam sementara aku sibuk mengatur napas. Aku menatap Eyang dengan
perasaan campur baur. Antara lega karena sudah mengeluarkan uneg-unegku selama
ini, tapi juga khawatir Eyang Putri akan marah. Tapi yang terjadi justru
sebaliknya.
“Maafkan
Eyang, Nduk. Selama ini Eyang tidak tahu kalau kamu tidak suka dengan kemauan Eyang,”
bisiknya lirih. “Mulai hari ini, Eyang janji tidak akan mengatur-ngatur kamu
lagi. Eyang percaya kamu bisa jadi ibu yang baik. Maafkan Eyang yang masih
mengira kamu sebagai cucu kecil Eyang yang tidak mengerti apa-apa,” sambungnya.
Kali ini dengan suara gemetar.
*
Sejak
hari itu, Eyang tidak pernah bertandang lagi ke rumah.
Melalui
telepon, Mama bilang jika Eyang menyesal telah membuatku bersedih soal pesta
pernikahanku yang sudah lalu dan Eyang bingung harus bagaimana menebusnya. Tidak
mungkin kami bisa mengulangi momen pernikahan yang hanya terjadi sekali seumur
hidup kan? Mama juga sempat menegurku atas keberanianku membantah kemauan Eyang.
Katanya, apa sih ruginya menuruti saran Eyang?
“Tapi
keyakinan Eyang terhadap mitos-mitos itu keterlaluan, Ma,” seruku. “Mama lihat
sendiri rambut Nisa yang tebal dulu itu tidak juga tumbuh, kan?” sambungku
masih dengan nada emosional.
“Memang
mitos-mitos yang dipercaya Eyang itu terdengar berlebihan. Tapi mereka ada dan dan
tetap lestari sampai sekarang di tengah-tengah masyarakat karena sebuah tujuan
yang mengarah pada kebaikan. Coba ingat mitos tentang anak perawan yang
dilarang duduk di depan pintu karena khawatir tidak segera dapat jodoh. Kalau
dilogika, mana mungkin urusan jodoh bisa berhubungan dengan posisi duduk. Tapi yang
sudah pasti adala, duduk di depan pintu itu membahayakan karena bisa membuat
orang yang lewat jadi tersandung. Iya kan?”
Aku
terdiam.
“Percayalah.
Eyang itu selalu berharap anak dan cucunya mendapatkan yang terbaik dan jauh
dari hal-hal yang buruk. Hanya itu saja kok tujuan Eyang.”
Aku
tertegun. Aku memang masih kesal dengan sikap Eyang yang suka mengatur tanpa
mau diajak kompromi itu. Tapi dalam hati kecil, aku juga membenarkan kata-kata
Mama. Eyang memang bermaksud baik. Seberkas rasa bersalah terbersit di benakku.
Beberapa
waktu berlalu tanpa kehadiran Eyang tak urung membuatku merasa kehilangan juga.
Selama ini Eyang tidak hanya rajin menghujaniku dengan omelan dan ceramah
seputar menjadi perempuan, istri dan ibu yang benar. Tapi Eyang juga rajin
membawakanku masakan dan hadiah untuk Nisa. Eyang yang senang berkebun juga
kerap menghabiskan waktu menata taman kecil di rumah kami menjadi lebih cantik.
Eyang juga sangat telaten menjaga dan merawat Nisa. Ingin rasanya aku mendatangi
Eyang untuk minta maaf dan memintanya kembali mengunjungi kami. Tapi nyatanya, aku
masih dikuasai rasa gengsi.
Suatu
hari, entah karena terdesak oleh rasa kangen pada Eyang, ketika menidurkan
Nisa, aku menyanyikan lagu yang menjadi ujung perselisihanku dengan Eyang. Nina
Bobo. Kali ini dengan syair aslinya.
“Nina
bobo. O...o...Nina bobo. Kalau tidak bobo digigit nyamuk.”
Tak
lama kemudian, Nisa tertidur dan aku pun ikut berbaring di sebelahnya. Aku tak
sadar sejak kapan aku juga ikut tertidur. Ketika tengah malam aku terbangun, aku
tertegun, nyaris tak mempercayai penglihatanku.
Seorang
gadis kecil berambut pirang dengan rok berenda dan berpita berdiri tepat di
samping Nisa!
-selesai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.