Sabtu, 18 April 2015

Loyalty Is (Not) Bullshit


“Loyalitas tanpa batas”
Demikian bunyi status BBM seorang kawan di hari Minggu. Saya tahu, tidak seperti karyawan lain, kawan saya itu adalah salah satu yang kehadirannya di hari Minggu tidak dibayar alias tidak dihitung sebagai overtime.
Tapi kehadirannya di hari Minggu bukannya tanpa kompensasi. Ia tetap mendapat ganti libur di hari kerja lain.
Pertanyaannya, apakah jika ia tidak mendapat ganti libur di hari lain, masih bersedia kah dia datang di hari Minggu?
Jujur, saya sendiri tidak berani menjawab mau. Karena itu saya belum berani mengatakan diri saya loyal. Lha iya kan? Mana mau saya kerja gratisan? Ini perusahaan swasta, Bro. Bukan lembaga sosial. Kalau saya ngga dapet uang lembur, ya ganti dong hari libur saya.
Hal yang sama juga saya yakini terhadap para atasan saya yang rela datang di hari Minggu tanpa dibayar dan tanpa mendapat ganti libur. Pertanyaannya, jika mereka digaji dengan gaji yang sama dengan para Operator atau Foreman, apakah mereka tetap bersedia datang di hari libur tanpa mendapat kompensasi apa-apa?
Well, saya tidak yakin jawabannya “Bersedia”. Karena tiap bulan mereka sudah mendapat gaji dengan jumlah digit berderet-deret, wajar jika sesekali waktu mereka mau datang di hari Minggu. Sekedar memastikan anak buahnya bekerja sesuai program lantas pulang kapan saja mereka mau.
Loyalty is bullshit! Selama loyalitas itu masih berpamrih, itu cuman loyalitas palsu. That’s why, saya sempet mikir nggak ada orang yang bener-bener loyal, apalagi hanya loyal terhadap sebuah perusahaan. Tak ada. Baik di level middle seperti saya yang mendapatkan ganti libur, atau di level bawah yang mendapatkan uang overtime, atau di level atas yang gajinya berdigit-digit.
Tapi ternyata saya salah besar! Ternyata ada orang yang membuktikan bahwa loyalty (terhadap sebuah perusahaan) is not bullshit!
Segalanya dimulai dari sebuah berita di hari Sabtu pagi; “Hari Minggu besok, Mill produksi!”
What?!
Seharusnya dalam keadaan normal, ini adalah sebuah berita gembira, setidaknya untuk golongan Foreman dan Operator. Sebab, masuk di hari Minggu berarti 7 jam extra overtime fee. Tapi yang jadi masalah adalah; 4 dari 9 crew saya keesokan harinya akan mengikuti rekreasi (program perusahaan). Rekreasi yang sudah sejak berminggu-minggu sebelumnya direncanakan dan tak mungkin dibatalkan. Baiklah, saatnya mempermainkan bidak-bidak catur agar 5 orang yang tersisa bisa memback up produksi selama 24 jam.
Dead end!
Tak ada personel yang bisa mengisi kekosongan di shift pagi! Itu berarti, hanya tersisa saya seorang. Saya. Ya, saya, yang sangat merasa keberatan masuk di hari Minggu karena satu alasan; “I don’t know how to operate this Pelletizing!”. Well, seandainya bisa mengoperasikannya seorang diri, saya akan jadi orang nomor satu yang tunjuk tangan sebagai bentuk kesediaan masuk di hari Minggu. Tapi, saya baru masuk di Pelletizing selama kurang dari 3 bulan, itu pun kurang dari sepertiga jam kerja dalam sehari.
Jujur, saya memang hanya seorang stuntman, karena aktor intelektual yang seharusnya in charge di Pelletizing sedang ditugaskan di tempat lain. Tadinya saya ditugaskan di sana hanya sekedar untuk memback up administrasi, pengaturan SDM, dan lain-lain. Selama 3 bulan, saya memang banyak belajar, termasuk operasional Pelletizing. Tapi mana cukup 3 bulan untuk mempelajari operasional dan segala troubleshootnya? Plus, masih harus in charge di seksi di mana nama saya secara de facto tertulis dalam struktur organisasi; Mill Support. Itu sebabnya saya hanya menghabiskan waktu paling lama sepertiga dari waktu kerja di Pelletizing, sementara sisanya untuk Mill Support.
Sekedar informasi, Pelletizing memang bukanlah core business di perusahaan tempat saya bekerja. Tapi ibarat sistem pencernaan, dia adalah sistem ekskresi, pembuangan akhir. Sama dengan selera makan yang akan bermasalah jika ada masalah dengan sistem ekskresi (entah mencret atau konstipasi), Pelletizing memagang kunci akhir apakah produksi bisa jalan terus atau tidak. Dan kunci itu, selama 8 jam akan berada di tangan saya yang tidak bisa apa-apa.
Tentu saja atasan saya tahu itu, dan ia telah mengupayakan segala daya upaya agar selama 8 jam di pagi hari, saya tidak perlu melakukan apa-apa. Hanya memastikan semua mesin transfer byproduct dari Mill ke Silo (penampungan by product) berjalan dengan seharusnya. Sisanya, berdoa agar rencana untuk mengulur waktu operasional Pelletizing selama 8 jam bisa berhasil.
*
Hari Minggu itu, saya datang satu jam lebih awal. Tentu saja saya masih berjumpa dengan crew shift malam yang memandang saya dengan cemas ketika hendak pulang. Saya memaksa mereka agar segera pulang karena pukul 3 sore, mereka harus kembali ke pabrik untuk melanjutkan memegang kunci estafet.
Akhirnya saya seorang diri. Benar-benar seorang diri, dengan hanya ditemani deru lembut motor-motor bucket elevator dan chain conveyor .
Tiap jam, saya naik untuk memastikan segala sesuatunya masih berjalan sesuai rencana, termasuk mengecek kondisi silo.  
Pukul 9 pagi lebih sedikit, alangkah kagetnya saya ketika Foreman shift malam tiba-tiba nongol di ruangan saya.
“Kenapa belum pulang? Bapak kan harus kembali jam 3?”, tanya saya dengan panik.
“Saya tidur saja di belakang. Saya standby Bu. Jaga-jaga kalau ada apa-apa”
Puji Tuhan! Ternyata dia jawaban doa-doa saya sejak semalam, “Dear God, please don’t leave me alone”!
Tapi mengingat yang bersangkutan sudah sepuh, tak urung muncul ketidaktegaan juga. Setengah mati saya memaksanya pulang dengan memaparkan berbagai alasan. Mulai dari perhitungan aliran produk yang masih aman hingga jam 3 nanti, hingga ke kemungkinan terburuk, yakni membiarkan produksi down selama beberapa jam jika saya tidak berhasil melakukan start up Pelletizing.
Tapi intuisi sang Foreman yang sudah terasah puluhan tahun tak mungkin bisa mengalahkan segala data empiris seorang saya yang baru 3 bulan in charge di sana. Dia menolak pulang.
Saya menghela napas panjang melihat kekeraskepalaannya. Lantas saya ambil buku laporan yang ada di tangannya, membuka pintu kantor dan mempersilakannya keluar untuk segera mencari tempat istirahat yang layak agar bisa tidur nyenyak. Betapa tidak? Dia baru saja bekerja 8 jam penuh dari jam 11 malam hingga jam 7 pagi. Tugasnya seharusnya berlanjut pukul 3 sore hingga pukul 11 malam. Hari Senin keesokan harinyanya, dia harus masuk pukul 7 pagi dan pulang pukul 7 malam. Bagaimana mungkin saya tidak mengkhawatirkan kondisi fisik pria sepuh berbadan mungil ini?
Sepeninggalnya, saya kembali seorang diri dan mengerjakan hal yang sama seperti sebelumnya. Memastikan satu conveyor masih kosong yang berarti rencana kami masih berjalan baik.
Pukul setengah 12, tepat ketika jam makan siang, sang Foreman masuk ke ruangan saya dengan panik. “Saya akan start! Silo sudah penuh” ujarnya.
What?! Sejam yang lalu masih baik-baik saja, pikir saya. Tak ada yang bisa saya lakukan selain membiarkannya bergegas menuju ruang panel untuk mulai menjalankan mesin satu per satu. Tapi tiba-tiba saya teringat sesuatu.
“Tunggu, Pak!”, panggil saya. “Sudah absen belum?”
Dia menggeleng. “Kan hari ini harusnya masuk sore, Bu. Jadi absennya jam 3 nanti”
Astaga! Ternyata dia melakukan ini semua tanpa harapan kompensasi apapun. Setelah sempat bengong beberapa detik karena menyadari kenyataan yang di luar dugaan ini, saya langsung menyergah. “Tinggal dulu Pelletizingnya, Bapak absen aja dulu.”
“Memangnya tidak apa-apa, Bu?”
“Tidak apa-apa. Tolong sekalian panggil anak buah Bapak untuk membantu. Tadi dia bilang akan standby kalau dipanggil kapan saja,” pinta saya yang tiba-tiba teringat pesan salah satu crew shift malam sebelum pulang. Kebetulan juga rumahnya tidak jauh dari pabrik.
Foreman saya itu memasang wajah lega. Entah karena diijinkan absen sehingga kehadirannya siang ini di pabrik diperhitungkan atau karena diijinkan memanggil bala bantuan untuk menjalankan unit Pelletizing.
Setengah jam kemudian, lagi-lagi saya mendapat kejutan. Operator yang dipanggil sudah datang dan baru selesai berganti pakaian ketika saya datangi. “Sudah absen?”
Jawabannya sama dengan sang Foreman. “Belum. Kan belum jam 3, Bu”
O My, baru sekali ini saya bertemu operator yang dipanggil di luar jam kerja tanpa bertanya apakah dia mendapat kompensasi atau tidak. Langsung saja saya suruh dia untuk menunda pekerjaannya dan absen terlebih dahulu.
*
Nah, dari pengalaman bekerja dengan sang Foreman dan Operator Pelletizing ini, saya baru sadar. Ternyata loyalitas bukanlah omong kosong. Ada kok orang-orang yang bekerja (bukan untuk kegiatan sosial) namun menempatkan kepentingan pribadinya pada prioritas terendah. Bagi kedua crew Pelletizing itu, menjaga agar produksi tetap berjalan lancar adalah segalanya. Tidak peduli badan letih karena baru saja selesai shift malam dan harus kembali bekerja di shift sore, mereka tetap rela bekerja di shift pagi tanpa menuntut uang lembur.
Dan orang-orang yang memiliki keloyalan itu, bukan orang-orang di level saya atau level di atas saya. Melainkan mereka yang berada satu dua level di bawah saya, yang seharusnya mendapatkan kompensasi berupa uang lembur yang jumlahnya cukup menggiurkan.
Mereka lah, yang lebih pantas memasang status; “Loyalitas Tanpa Batas” J

 *
Tulisan ini didedikasikan untuk Bapak Supartono dan Mas Hasanuddin. Walau mungkin mereka tidak pernah membaca tulisan ini, tapi nyatanya mereka telah memberikan pelajaran berharga untuk saya tentang apa itu arti "Loyalitas pada pekerjaan".

3 komentar:

  1. Hai dik....nice story, salut buat pak supartono dan mas hasanudin.

    BalasHapus

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)