Minggu, 17 Mei 2015

[Cerpen] Gadis Kecil Dalam Tumpukan Sayur


“Neneng sudah terlambat, Kang. Dua bulan,” bisik istriku lirih, seraya memilin ujung kaus dengan kedua tangannya. Dia tahu, berita ini pasti akan membuatku shock.
Kalau saja Neneng mengatakan hal itu sepuluh tahun yang lalu, saat kami baru saja menikah dan harap-harap cemas menanti anak pertama, pastilah reaksiku akan berbeda. Masalahnya, jika memang keterlambatan yang dikatakan Neneng adalah karena dia betul-betul hamil, maka ini akan menjadi kehamilannya yang keempat!
“Masa masih bisa telat? Kamu teh bukannya sudah minum pil KB?” seruku dengan nada setengah menyalahkan.
Ya asal tahu saja, tadinya kami memang penganut paham “banyak anak banyak rejeki”. Malah kalau perlu, kami buat anak sebanyak-banyaknya sampai bisa bikin satu regu basket atau sepak bola. Tapi setelah kelahiran Dadang, Deden dan Entin dalam jarak waktu yang berdekatan, baru aku paham bahwa memiliki anak itu mahal. Apalagi dengan penghasilanku yang hanya jadi pengangkut sayuran dari Pasar Lembang ke pasar-pasar lain di daerah Bandung utara, ditambah harga kebutuhan pokok yang kian melambung, anak benar-benar menjadi barang mewah. Maka dari itu, setelah kelahiran Entin empat tahun yang lalu, kami sepakat untuk ber-KB.
“Anu, Kang...anu...uang yang untuk beli pil KB bulan lalu, Neneng pakai buat beli keperluan dapur...”ujarnya takut-takut.
Aku melongo. Bagaimana mungkin pil KB yang hanya seharga lima ribu perak itu sampai tidak terbeli?
“Soalnya semua harga barang teh pada naik. Uang belanja dari Akang tidak cukup. Mana kemarin harus bayar tunggakan uang sekolah si Dadang,” nada suaranya mendadak memelas, membuat siapa pun pasti akan jatuh kasihan mendengarnya. Termasuk aku.
*
“Jadi bagaimana, Cep? Jadi tidak kita menjalankan rencana itu?” tanyaku dengan nada tidak sabar.
“Sabar lah, Din. Kamu pikir cuma kamu saja teh yang butuh uang?” jawab Cecep, sejawatku yang sama-sama jadi tukang angkut sayuran. “Kita harus pikirkan dulu masak-masak, atuh. Masuk ke rumah Pak Ardiwilaga memang tidak sulit. Apalagi Pak Endang, si penjaga rumah itu teh pasti sudah ngorok sejak sore. Tapi mencuri perhiasan istri Pak Ardiwilaga? Nah, itu bukan perkara mudah. Kita harus pastikan rencana kita tidak akan gagal.”
“Apalagi yang kamu pikirkan? Rencana kita sudah sempurna. Tak akan ada yang tahu kalau kita masuk ke rumah itu dan mengambil sedikit saja perhiasan Bu Ardiwilaga,” ujarku sambil menaikkan sekeranjang kembang kol ke dalam bak mobil pick-up.
“Sedikit? Kalau ternyata ada banyak bagaimana? Yakin kamu tidak tergoda?” Giliran Cecep menaikkan puluhan ikat sawi.
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. “Ya pokoknya aku cuma mau ambil secukupnya saja untuk biaya melahirkan si Neneng...” kalimatku terputus karena aku membayangkan tumpukan perhiasan yang mungkin bisa kami temukan di rumah orang yang paling kaya di daerah ini. “Ah sudahlah Cep. Jangan kebanyakan mikir, atuh. Nanti malah ragu, lantas malah tidak jadi. Ayo segera kita laksanakan malam ini. Si Neneng bisa melahirkan kapan saja, dan aku sama sekali tidak punya uang untuk membawanya ke bidan!” desakku.
Sumpah, hanya karena terdesak saja, aku akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah yang dibenci Tuhan Yang Maha Esa. Mencuri. Habis mau bagaimana lagi? Hutangku sudah menumpuk di sana-sini. Tak ada lagi yang mau meminjamiku uang karena memang aku belum sempat mengembalikan pinjaman-pinjaman sebelumnya. Jadi, aku memutuskan untuk “meminjam” dari orang terkaya di daerah sini. Pak Ardiwilaga, pemilik perkebunan sayur paling luas di daerah Bandung utara.
Sebenarnya keputusan ini bukanlah keputusan yang mudah. Aku dan Cecep sama-sama berat hati untuk mencuri di rumah Pak Ardiwilaga yang terkenal baik dengan siapa saja itu. Tapi rasanya, hanya itu satu-satunya jalan yang rasanya bisa kami ambil untuk mendapatkan uang banyak dalam waktu singkat. Oleh karenanya, aku berniat untuk mengambil secukupnya saja dan berjanji dalam hati untuk mengembalikannya kelak jika aku sudah punya rejeki. Pokoknya yang penting, sekarang Neneng bisa melahirkan dengan tenang.
“Okelah kalau begitu, Din. Malam ini kita ke rumah Pak Ardiwilaga,” kata Cecep akhirnya, membuatku lega. “Sekarang, kita ke pasar dulu. Cari rejeki yang banyak biar nanti malam tidak perlu ambil banyak-banyak” ujarnya terkekeh, sembari duduk di kursi penumpang mobil pick up yang sudah penuh dengan sayuran.
Mobil kami bergerak perlahan meninggalkan Pasar Lembang yang sepagi ini sudah ramai dengan kegiatan jual beli. Dengung ibu-ibu yang saling tawar-menawar perlahan menghilang ketika mobil pick-up yang kukemudikan mulai memasuki jalan makadam menuju ke arah hutan.
Aku dan Cecep tak banyak berbincang. Pikiran kami disibukkan dengan rencana nanti malam. Kami sedang melintasi jalan tanah dengan pepohonan tinggi di kiri dan kanan ketika Cecep tiba-tiba bertanya, “Eh Din, denger-denger di sini banyak Kuntilanak?”
Aku diam tidak menanggapi, walau dalam hati merasa geli. Kalaupun ada, mana mungkin ada Kuntilanak muncul pagi-pagi begini? Namun ketika aku melihat pantulan tumpukan sayur mayur di bak belakang pick up melalui kaca spion, tak urung aku berpikir bahwa Cecep mungkin benar.
“Kuntilanaaaak!!!” jeritku sembari menekan rem dan langsung keluar dari mobil, diikuti Cecep.
Kami segera memeriksa bak pick up dan mendapati bahwa ternyata kami membawa penumpang gelap yang syukurlah bukan Kuntilanak, melainkan seorang gadis kecil berusia sekitar 10 tahun. Kami tak tahu bahwa selama ini ia sembunyi di bawah tumpukan sawi, kembang kol, tomat, dan daun bawang.
“Eh, adik teh saha, Neng?” tanyaku pada gadis berambut panjang itu.
“Saya Sherina temennya Sadam,” jawabnya dengan panik. Napasnya terengah. “Kemarin kita jadi korban penculikan. Makanya saya harus cepat-cepat pulang ke rumah Pak Ardiwilaga,” sambungnya.
Aku dan Cecep berpandangan. “Penculikan? Pak Ardiwilaga?”
Sebuah ide tiba-tiba terlintas di pikiranku. “Neng, kalau Neng beneran diculik. Jangan langsung pulang, atuh.”
“Jadi...? Kemana...?” tanyanya.
*
Aku tak begitu memahami apa yang sesungguhnya telah terjadi. Segalanya terasa begitu membingungkan, karena ternyata peristiwa yang dialami Sherina dan Sadam bukanlah penculikan biasa. Aku mendengar ada yang menyebut-nyebut nama Natasha, konglomerat Kertarejasa dan Pasundan Valley. Hanya saja, saat itu aku tak melihat apa benang merah yang menghubungkan nama-nama itu dengan penculikan dua anak SD yang salah satunya ternyata adalah putra bungsu Pak Ardiwilaga.
Tapi yang pasti, keluarga Pak Ardiwilaga sangat berterima kasih padaku dan Cecep karena inisiatif kami langsung membawa Sherina ke kantor polisi. Menurut Pak Ardiwilaga, kedatangan kami ke rumah beliau dengan membawa polisi benar-benar tepat waktu.
Dan yang pasti juga, malam itu kami terhindar dari berbuat maksiat, sebab Pak Ardiwilaga memberikan sejumlah “ucapan terima kasih” yang jumlahnya lebih dari cukup untuk biaya Neneng melahirkan.
-selesai-
Diikutkan dalam tantangan @KampusFiksi #CeritaSherina #InMemoriamDidiPetet


1 komentar:

  1. Superb!!

    Sukaaaa banget mbaaak. Aku juga sukaaa ama pilem "Petuangan Sherina"

    BalasHapus

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)