Selasa, 22 April 2014

Anak-Anak Ayam



Cerpen ini ditulis dalam rangka belajar bikin cerpen gaya koran Minggu dan rencananya mau diikutkan seleksi cerpen pilihan UNSA 2014. Happy reading ^-^
Anak-Anak Ayam



Dulu ibuku sering bercerita tentang surga. Dia bilang, surga adalah tempat yang sangat mempesona hingga tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Sungai-sungai yang airnya sebening kaca (bahkan katanya ada pula yang dialiri susu), pepohonan yang rindang, juga padang bunga yang luar biasa cantik. Kata ibu, di sana kita bisa dapatkan apa pun yang kita mau. Tinggal membatin dalam hati, misalnya “aku ingin jeruk”, maka cling!, jeruk nan segar dan manis sudah tersedia bahkan sebelum mata sempat berkedip. Pokoknya, masih menurut ibu, di surga itu enak, tidak ada sakit, tidak ada sedih, tidak ada lapar.
Ayahku juga sering bercerita tentang surga, walaupun tidak sesering ibu karena ia harus bekerja dari pagi hingga sore. Katanya, surga hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang baik. Di sana tidak ada orang jahat, melainkan bidadari-bidadari yang cantik dan anggun. Sayangnya ayah keburu meninggal sebelum sempat mengatakan bagaimana caranya agar bisa menjadi bidadari penghuni surga.
Dan sepeninggal ayah, ibu pun berhenti bercerita.
Lambat laun, gambaran surga di kepalaku memudar, tergerus aneka tragedi pasca ayah tiada. Hingga suatu hari, aku menemukan tempat yang membuatku ingat akan cerita masa kecilku dulu.
Tempat yang kumaksud ini memang tidak persis sama dengan cerita ibu. Di sini mengalir sungai, tapi airnya coklat dengan akumulasi sampah di sana-sini. Di waktu-waktu tertentu, sungai ini memancarkan bau yang menyengat. Di sini tidak ada pohon-pohon yang rindang melainkan deretan bangunan semi permanen yang dibangun seadanya. Tidak ada padang bunga yang mempesona melainkan tumpukan kaleng dan plastik bekas karena sebagian besar penduduk di sini bekerja sebagai pemulung.
Tapi seandainya ibu masih hidup, aku akan ceritakan padanya betapa tempat ini membuatku nyaman walaupun jika aku mengangankan sesuatu, tidak lantas cling!, sesuatu itu langsung tersedia di depan mata. Perasaan betah dan bahagia menyesaki seluruh pori-pori kulit dan pembuluh darahku ketika aku sedang berada di kompleks pemulung ini. Di tempat ini aku tak pernah merasakan sakit, perih, apalagi sedih. Duhai Ibu, seperti ini kah rasanya di surga?
Silahkan tertawa, atau tersenyum juga boleh. Kalian pasti berpikir aku aneh karena menganggap deretan bangunan semi permanen di bantaran Kali Mas ini adalah surga. Aku maklum jika kalian tidak mengerti jalan pikiranku, sebab kalian memang tidak menjalani hidup seperti aku.
Tadinya aku juga seperti kalian. Hidupku sempurna. Lahir dari pasangan suami istri yang saling mencintai. Aku memiliki ayah yang bertanggung jawab, juga ibu yang dengan kecintaannya mengurus kami berdua. Kami bertiga hidup bahagia walaupun sederhana. Tapi kecelakaan kerja yang dialami ayah merenggut segalanya. Kejadian yang mengantarkan tulang punggung keluarga kami ke alam baka itu adalah titik pangkal menghilangnya kata “pilihan” dalam kamus kehidupan kami.
“Assalammualaikuuummm....!!!”, suara sapaan ceria menghentikan lamunanku.
“Walaikumsalaammm...!”, sahutku tak kalah ceria. Senyumku mengembang menyambut anak-anak yang berbondong-bondong mendatangi Musholla tempatku menunggu sejak sebelum adzan Ashar berkumandang. Tubuh mereka bau sabun. Beberapa dari mereka bedaknya tampak coreng moreng. “Yang belum cuci kaki, tidak boleh masuk”, lanjutku sambil memperhatikan kaki-kaki kurus mereka.
Beberapa anak yang merasa belum cuci kaki urung memasuki Musholla. Dengan wajah malu-malu, mereka menuju tempat wudhu untuk mencuci kaki terlebih dulu. Tak lama kemudian, tak kurang dari selusin anak-anak sudah duduk di hadapanku. Senyum merekah di wajah polos mereka, wajah mereka antusias seperti menunggu seorang tukang sulap mengayunkan tongkatnya.
“Jadi, siapa yang sudah mengerjakan PR?”, tanyaku.
Mereka beramai-ramai mengangkat tangan. Teriakan “Saya Kak!” bersahut-sahutan.
“Sip...yang sudah mengerjakan PR nanti boleh mendengarkan Kakak mendongeng. Agil sudah mengerjakan PR?”, tanyaku pada seorang bocah sembilan tahunan yang sedari tadi duduk diam di pojokan. Matanya yang sebening telaga menatapku sayu. Ia mengangguk pelan.
Aku mengacungkan dua ibu jariku ke arahnya. “Nah, sekarang kita mau belajar apa dulu? Matematika? Ilmu Alam? Bahasa?”
Lagi-lagi suara celotehan anak-anak terdengar bersahutan. Musholla mungil ini jadi seperti kandang ayam yang riuh rendah oleh suara ceriap anak-anak ayam yang mengerubungi induknya. “Matematika Kak”. “Jangan, Bahasa Inggris saja dulu”. “Aku mau pelajaran Penjas[1] saja Kak”.
“Oke-oke...satu-satu yaaa!!!”, aku menyesal telah bertanya. Seharusnya aku tahu, pertanyaanku tadi pasti mengundang keributan karena mereka pasti berebut untuk belajar mata pelajaran yang mereka sukai.
Sejam kemudian, Musholla mungil ini mulai hening. Hanya terdengar bisik-bisik di sana-sini. Anak-anak ini mulai asyik menekuni pelajarannya. Ada yang mengerjakan PR, membaca, menggambar, ada juga yang asyik berdiskusi dengan seorang mahasiswi tingkat akhir yang selalu menghabiskan waktu sorenya di Musholla ini. Ya, mahasiswi itu tak lain adalah aku.
Panjang ceritanya bagaimana kira-kira setahun yang lalu aku bisa berada di sini, tapi itu sama sekali tidak penting untuk diceritakan. Yang penting, aku merasa sangat berterima kasih pada Pak Mulyadi, ketua RT di sini yang memperbolehkan kami belajar di Musholla tiap sore. Berkat beliau, aku bisa membantu anak-anak ini mengerjakan PR, mengajari beberapa pelajaran sekolah yang belum mereka mengerti serta mendongeng sesekali. Di Musholla mungil ini, tiap sore aku tak ubahnya menjadi induk ayam yang dikelilingi anak-anaknya. Tidakkah itu terdengar menyenangkan?
“Jadi, apa saja empat sehat lima sempurna itu?”, tanyaku pada Aziza, bocah berkulit coklat matang dan berambut merah. Dia baru kelas tiga SD.
“Ngg...karbohidrat, lauk pauk, buah, sayur dan...susu”
“Iya betul”
“Berarti aku belum makan 4 sehat 5 sempurna Kak. Soalnya di rumah tidak ada susu. Adanya kopi. Ayah suka minum kopi”
Kopi? Kata itu seolah menguak kenangan lama yang memilukan, tepat setelah meninggalnya ayah.
Kepergian ayah seharusnya tidak menjadi musibah yang mengancam kelangsungan hidupku dan ibu, karena kami menerima uang asuransi jiwa yang cukup lumayan. Setidaknya lumayan untuk ibu bisa membuka warung kecil-kecilan agar kami tetap bertahan hidup. Tapi ternyata, kota ini bisa lebih kejam ketimbang hutan rimba.
Ibu ditipu. Seseorang mengatakan padanya jika uangnya diinvestasikan, maka setiap bulan ibu akan menerima sekian dan sekian. Seharusnya ibu tahu, sesuatu yang too good to be true itu harus dipikir ulang. Namun ibu kepepet. Saat itu dia sendiri sedang hamil dan aku masih sangat kecil. Ibu tak punya keahlian apa-apa kecuali mengurus rumah dan memasak. Wajar jika tawaran orang itu akhirnya membuat ibu berpikir pendek.
Akhirnya ibu memutuskan untuk menyerahkan seluruh uang pesangon dan asuransi jiwa ayah. Dan tentu saja, seperti yang bisa kalian duga, uang sekian dan sekian yang dijanjikan tak pernah muncul bersamaan dengan raibnya orang yang tega menipu Ibu.
Ibu stress. Dia keguguran. Bersamaan dengan itu, kesehatannya menurun. Ibu menyambung hidup kami berdua dengan menjadi tukang cuci baju tetangga. Tahu sendiri kan berapa upah buruh cuci? Pastinya tidak sebanding dengan biaya hidup di kota Metropolitan yang terus melambung seiring berjalannya waktu.
Ibu berhutang. Gali lubang tutup lubang. Demikian terus hingga aku beranjak remaja. Ibu mulai sakit-sakitan. Tapi tekad Ibu dan tekadku sama. Aku tidak boleh putus sekolah. Ibu tahu, hanya sekolah dan pendidikan lah harapan untuk bisa mengubah hidup kami. Tapi apa daya? Uang sekolahku menunggak. Bersamaan dengan itu, Ibu yang sudah menanggung derita sekian lama akhirnya benar-benar drop. Ia tak lagi bisa beraktivitas layaknya orang normal.
Tak ada jalan lain. Aku harus bekerja. Jika tidak, aku terpaksa putus sekolah dan tak bisa membeli obat untuk ibu. Tapi di usia yang sedemikian belia, aku bingung harus bekerja apa. Saat itulah seorang tetangga menawariku sebuah pekerjaan. Menjadi pramusaji di sebuah warung kopi. Aku menyanggupi dengan senang hati tentu saja. Sebagai ABG berumur 16 tahun, aku tidak melihat pilihan lain selain yang ditawarkan tetanggaku. Ternyata, warung kopi itu bukan warung kopi biasa, melainkan warung kopi remang-remang. Dan aku bukan pramusaji kopi biasa, melainkan pramusaji kopi pangku!
Kopi pangku. Tidakkah frasa itu terdengar lucu? Sebenarnya jenis kopi yang disajikan di warung ini biasa saja. Hanya cara menyajikannya yang tidak biasa. Aku harus mengaduk kopi sambil duduk di pangkuan para tamu, yang semuanya laki-laki tentu. Sambil duduk itu lah, mereka bebas menggerayangi bagian-bagian tubuhku. Di suatu malam, kira-kira setelah setahun lamanya aku bekerja di sana, salah satu tamu mengajakku masuk ke dalam sebuah bilik yang hanya ditutup tirai. Di sanalah semuanya bermula, ketika aku mulai beranggapan bumi yang kupijak ini adalah neraka.
Ya, untuk satu hal ini, aku tidak akan pernah melupakan cerita ibu. Ibu bilang, neraka adalah tempat di mana kita disiksa, disakiti, dicabik-cabik. Neraka adalah tempat bagi mereka yang banyak berbuat dosa. Dan aku adalah orang pertama yang memastikan bahwa cerita ibu memang benar.
Tapi seperti yang kubilang, aku tidak punya pilihan lain selain terus melakoni hidup bertabur dosa semacam ini. Kenyataannya, aku bisa terus sekolah dan membeli obat yang bisa sedikit memperpanjang umur ibu. Semua itu karena aku bertahan di neraka bertajuk warung kopi pangku, sebuah tempat prostitusi terselubung di pinggiran selatan kota Surabaya. Tak ada yang tahu jika tiap malam aku menjerit tanpa suara, menahan dera yang menyiksa tidak hanya ragaku, tapi juga batinku.
“Kakaaak...Agil pingsan...!!!”, jerit beberapa anak mengoyak lamunanku. Aku terpekik cemas melihat tubuh Agil yang kurus sudah terbaring telentang di lantai dengan wajah pucat seperti mayat.
“Agil! Masya Allah..!!!”, tubuh Agil panas luar biasa. Damn! Seharusnya aku sadar, diamnya anak yang memang pendiam itu hari ini berbeda dengan biasanya. Segumpal rasa bersalah menyesakkan dada. Kenapa aku tidak menyadarinya sejak tadi, bahwa bibir Agil tidak lagi berwarna merah muda melainkan mengarah ke ungu? Kenapa aku tadi tidak menyempatkan diri untuk meraba dahi dan mengelus kepalanya seperti yang biasa kulakukan?
Dengan sigap, aku segera membopong tubuh mungil Agil dan memasukkannya ke dalam Honda Jazz metalikku. Tak sampai lima belas menit, tubuh mungil Agil sudah berpindah di ruang Unit Gawat Darurat. Dokter dan tenaga medis di sana segera menangani Agil tanpa prosedur berbelit-belit.
Tes darah. Agil terinfeksi Salmonella typhosa. Kata dokter, Agil harus diopname. Aku langsung setuju. Agil tak mungkin dirawat di kompleks bangunan semi permanen di bantaran Kali Mas. Bukan apa-apa. Aku tahu, di rumahnya tidak ada bapak dan ibu. Nyawa bapaknya berakhir di tangan massa karena mencuri sepeda motor di kampung sebelah. Ibunya sedang dipenjara karena ketahuan mengutil beberapa potong pakaian di sebuah Departemen Store. Agil dititipkan di tetangga yang mengasuhnya sekenanya. Bukan karena tak suka, tapi karena keterbatasan penghasilan yang sulit dibagi dengan anak-anak kandung sang tetangga yang jumlahnya cukup berbilang. Tak mungkin menyerahkan perawatan Agil yang sedang terkena tipus pada keluarga yang waktunya sudah habis dipakai mengais beberapa puluh ribu rupiah tiap hari. Di rumah sakit ini, perawatan Agil akan lebih terjamin.
Aku memberikan sejumlah uang pada rumah sakit sebagai jaminan agar Agil mendapat perawatan kelas satu. “Saya akan tanggung semua biayanya”, pesanku pada bagian administrasi.
“Maaf, Mbak ini apanya pasien?”, tanya petugas administrasi yang tak bisa menahan rasa ingin tahunya, bagaimana anak kecil berpakaian lusuh itu bisa bersamaku yang jelas-jelas bukan saudara atau orang tuanya.
“Saya gurunya”, jawabku singkat. Bahasa tubuhku menunjukkan aku tidak ingin ditanya-tanya lebih jauh. Dia pun tersenyum dan mengangguk sambil mengetikkan sesuatu di komputer. Mencetak sesuatu dan memberikan hasil cetaknya padaku.
“Silahkan Mbak. Kamar Adik Agil sudah siap”, katanya masih dengan senyum ramah yang tidak dibuat-buat. Aku bertanya-tanya dalam hati, masih bisa kah dia tersenyum semanis itu seandainya yang mengantar Agil ke rumah sakit ini adalah Bu Hindun, sang tetangga beranak lima yang dititipi untuk mengasuh Agil?
Tak lama kemudian, Agil sudah di kamar perawatan. Selang infus sudah terpasang, mengalirkan cairan yang perlahan mengembalikan rona kehidupan di wajah pucatnya. Dia tersenyum lemah.
Percayalah, siapa pun yang melihat Agil saat itu, pasti ingin rasanya berbaring di sebelahnya dan memeluknya. Aku hampir saja melakukan itu, berbaring di sebelahnya, jika saja ponselku tidak bergetar. Sebuah pesan Whatsapp.
Kamu tidak lupa janji kita malam ini kan?. Dari Andre.
Duh! Aku lupa kalau ada janji.
“Kakak pergi dulu ya. Jangan khawatir, ada kakak-kakak suster yang jagain Agil. Nanti Kakak kembali lagi”, bisikku lembut sambil mengusap anak-anak rambutnya.
Lewat tengah malam di hari yang sama, selepas bertemu Andre, aku kembali ke rumah sakit demi menepati janjiku pada Agil dan melakukan hal yang tadi sempat tertunda; memeluk salah satu anak ayamku yang bermata telaga.
“Kakak...terima kasih ya”, bisik Agil ketika dia merasa tubuhnya kudekap. “Kakak...seperti Ibu Bidadari...”
Bidadari? Agil bilang Bidadari? Bukankah Bidadari adalah penghuni surga seperti yang dulu pernah dibilang ayah?
Air mataku menetes. Aku terisak tanpa suara seperti dulu aku juga sering menjerit tanpa suara ketika menghabiskan malam-malamku di warung kopi pangku.
Aku bukan Bidadari. Seandainya Agil tahu apa yang pernah dilakukan perempuan yang dia sebut Bidadari ini di masa lalu. Seandainya dia tahu bahwa aku sama sekali tidak memenuhi separuh saja dari kualifikasi para penghuni surga, masihkah dia menyebutku Ibu Bidadari?
---
Beberapa hari kemudian Agil sudah diijinkan pulang. Kehidupan kami pun berjalan normal. Tiap sore seusai kuliah, aku kembali menanti mereka di Musholla mungil ini untuk belajar bersama.
“Sampai ketemu besok ya....”, pamitku sambil melambai pada ayam-ayam kecilku. Agil juga ikut melambai. Ia masih pendiam seperti sebelumnya. Tapi setidaknya sekarang dia sudah tidak pucat lagi. Lihatlah pipinya yang kemerahan dan bibirnya yang merona.
Langit malam sudah benar-benar menelan sisa-sisa cahaya sang surya. Aku memacu Honda Jazzku membelah jantung kota Surabaya, menuju sebuah kafe yang sudah dipenuhi musik yang berdentam-dentam. Ini malam minggu. Tempat ini sungguh ramai. Tapi aneh, di tempat seramai ini, aku justru merasa sangat sendiri.
Minumanku baru saja diantar ketika aku merasa seseorang menyentuh bahuku.
“Aduh, kenapa kamu pakai baju seperti ini sayang? Tapi tak apa lah. Kamu tetap kelihatan aduhai kok”, ujar pria berusia empat puluhan yang langsung mengecup sudut bibirku.
“Saya baru dari kampus Pak. Lupa bawa baju ganti”, jawabku pendek-pendek. Setengah mati kupaksakan tersenyum.
“Sudah kubilang jangan panggil Pak. Panggil Mas saja”, balasnya genit. “Saya sudah bilang tak mengapa. Lagi pula, yang saya mau adalah obrolan asyik sama kamu dan itumu”, pandangannya mengarah pada dua pahaku yang berbalut celana jeans. Memuakkan.
“Saya sudah booking kamar hotel terbaik di kota ini. Tahukah kamu kalau saya sudah lama menunggu hari ini? Saya kangen sekali sama kamu. Ngobrol sama kamu jauh lebih mengasyikkan ketimbang ngobrol sama kolega-kolega saya. By the way, kamu susah sekali dihubungi akhir-akhir ini. Semoga saja karena sibuk kuliah ya. Kalau tidak, saya bisa benar-benar cemburu nih”, cerocosnya.
Aku hanya mengulum senyum. Seandainya saja dia tahu, beberapa hari terakhir aku sudah bermaksud menghilang. Meninggalkan kehidupan malam yang sudah sejak remaja kulakoni, mulai dari warung remang-remang sebagai pramusaji kopi pangku dan kini menjadi ayam kampus!
Hidupku memang berubah. Tidak lagi bekerja di warung kopi pangku, melainkan di night club berkelas. Tidak lagi mengais beberapa lembar uang puluhan ribu dari bilik sempit yang hanya ditutup tirai, melainkan di kamar-kamar mewah hotel berbintang yang kemudian diakhiri dengan seamplop gemuk uang ratusan ribu.
Sebagai ayam kampus, penghasilanku berkali-kali lipat dibanding saat hanya menjadi pramusaji di warung kopi. Pelangganku juga bukan orang-orang kebanyakan. Andre adalah owner perusahaan konsultan. Sementara yang saat ini bersamaku adalah Heru, salah satu anggota dewan yang terhormat. Mereka dan sederet nama pria lainnya sama-sama senang mencari kehangatan di dada kupu-kupu malam sepertiku.
Sungguh, berkali-kali aku berpikiran untuk berhenti. Tapi berkali-kali juga aku memikirkan mereka, anak-anak yang kutemui di Musholla tiap sore. Anak-anak kaum marjinal yang tak pernah tersentuh program sekolah murah apalagi pendidikan gratis di kota besar yang sekilas tampak megah dengan gedung-gedung bertingkatnya. Kota besar yang sepintas menawarkan kemudahan menjalani hidup tapi nyatanya bisa lebih menyiksa daripada hidup di desa terpencil.
Jangan tanyakan padaku soal dosa dan neraka. Aku sudah sangat memahami keduanya sejak masih remaja. Itu lah yang membuatku berkali-kali ingin berhenti. Namun di saat yang sama aku ingin berhenti, aku teringat akan kelangsungan sekolah mereka. Jika aku berhenti siapa yang membiayai sekolah mereka? Jika tak ada yang membiayai mereka sekolah, mereka akan sama seperti aku dulu, hidup tanpa punya banyak pilihan dan terjungkal dalam neraka dunia. 
Malam ini aku memantapkan hati. Aku tidak bisa berhenti. Mungkin nanti, tapi yang jelas tidak sekarang.
Aku membiarkan Heru merengkuh bahuku, membimbingku masuk ke dalam mobilnya yang akan membawa kami ke hotel berbintang, tempat kami menghabiskan sisa malam ini. Dari kejauhan, aku bisa melihat gemerlap lampu hotel berbintang yang bagiku tak lebih dari sebuah neraka, tempat aku disiksa, disakiti dan dicabik-cabik. Tempat yang bagiku adalah satu-satunya pilihan agar kelak anak-anak ayamku tidak tumbuh menjadi ayam sepertiku.


-selesai-


[1] Pendidikan Jasmani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)