Selasa, 01 April 2014

10. Ujian Dari Seorang Pendeta Yahudi (The Real Idol Series)

Note: "The Real Idol" memang ditulis dalam rangka mengikuti lomba Teenligi 2014, namun sejatinya ide tulisan ini sudah ada sejak beberapa tahun lalu saat membaca buku Uswatun Hasanah karya Haddad Alwi.

Walau pada akhirnya dinyatakan tidak menang, saya tetap senang karena bisa menyelesaikan proyek pribadi tentang manusia paling istimewa sepanjang sejarah; Rasulullah Muhammad SAW.

Nah, karena sudah terlanjur ditulis, sayang rasanya jika hanya mengendap di laptop. So, saya akan mempostingnya di blog ini secara bertahap. Siapa tahu, akan ada satu atau dua atau berapa pun pembaca yang bisa memetik manfaat. Aminn....

Keseluruhan tulisan ini nantinya akan berada dalam satu label/kategori (The Real Idol). Tak jadi masalah jika membacanya secara acak atau berurutan. Silahkan lihat Daftar Isi untuk melihat keseluruhan bagian "The Real Idol" untuk memilih bagian-bagian yang lebih menarik untuk dibaca.

Selamat membaca dan selamat jatuh cinta pada manusia teristimewa, kekasih Allah, Muhammad bin Abdullah :)

---

Ujian Dari Seorang Pendeta Yahudi

 
Suatu ketika seorang Yahudi bernama Zaid berniat untuk mengenal Nabi Muhammad. Saat itu, Rasulullah sedang keluar untuk berdagang bersama Ali bin Abi Thalib ketika tiba-tiba datang seorang pria yang mendatangi mereka. Dengan tergopoh-gopoh, dia menyampaikan maksud kedatangannya.
“Wahai Rasulullah, desa Bani Fulan telah masuk Islam. Aku katakan pada mereka, jika mereka masuk Islam, maka rizki-rizki mereka akan datang. Sekarang mereka tertimpa kesulitan yang teramat sangat. Aku merasa kasihan pada mereka. Bagaimana menurut engkau jika sebaiknya engkau mengirimkan bantuan untuk keperluan mereka?”.
Kebetulan Zaid si Yahudi juga sedang ada di sana menjadi pembeli barang dagangan Rasulullah. Ketika ia menyerahkan uang sejumlah delapan puluh dinar pada Nabi untuk barang-barang yang dibelinya, Nabi langsung memberikannya pada pria yang baru datang tadi.
“Cepat, berikan uang ini kepada mereka agar kehidupan mereka cukup!”, seru Nabi.
Beberapa hari berikutnya, Zaid datang menghampiri Rasulullah yang sedang berjalan bersama Umar Bin Khattab. Dia menarik selendang Rasulullah dengan keras kemudian membentaknya; “Hai Muhammad, kenapa engkau belum melunasi utang padaku? Sepengetahuanku, Bani Abdul Muthalib tidak ada yang menunda-nunda pembayaran utang”. Sepertinya ini masih ada hubungannya dengan transaksi jual beli mereka tempo hari.
Alangkah marahnya Umar Bin Khattab melihat perlakukan Zaid pada Rasulullah. Pedangnya sudah diputar-putar dan bersiap untuk memenggal leher orang yang kurang ajar tersebut, “Hai musuh Allah, beraninya kamu berkata seperti itu pada Rasulullah. Aku mendengar dan melihat jelas apa yang telah kau lakukan pada beliau. Demi Dzat yang telah mengutus beliau dengan kebenaran, seandainya aku tidak takut beliau marah, maka aku tadi akan langsung memenggal lehermu”.
Dengan tenang, Rasulullah menahan amarah sahabatnya; “Jangan begitu. Dia mungkin lebih membutuhkannya. Daripada marah-marah, sebaiknya kamu suruh saya melunasi hutangnya dengan baik. Sekarang, temuilah orang itu wahai Umar! Bayar semua piutangnya, lalu tambahkan dua puluh sha korma[1] sebagai tambahannya”.
Umar pun menuruti perintah Nabi yang sangat dihormatinya itu, walau sebenarnya hatinya masih kesal pada Zaid yang menagih hutangnya dengan teramat kasar. Dengan menahan rasa marah, dia menemui Zaid dan menyerahkan uang plus korma sesuai instruksi Nabi.
Zaid pun terkejut, “Apa ini?”
“Baginda Rasul memintaku untuk memberikan tambahan ini semua kepadamu sebagai ganti dari pengaduanmu tadi”, jawab Umar.
Zaid tertegun mendengarnya. “Wahai Umar, tahukah kamu, siapakah aku sebenarnya?”
Umar menggeleng; “Tidak? Siapa kamu?”
“Aku adalah Zaid bin Sa’yah”
Kini ganti Umar yang tertegun. “Zaid yang pendeta Yahudi itu?”
“Betul. Aku seorang pendeta”
“Lalu, mengapa kamu melakukan hal sekasar itu pada Rasulullah?”
“Wahai Umar, ketahuilah bahwa aku sudah mengetahui semua tanda-tanda kenabian dalam diri Muhammad kecuali dua perkara. Pertama, kesabarannya mampu meredam sikap orang bodoh dan kedua, meskipun sikap orang bodoh itu sangat keterlaluan padanya, ia tetap meredamnya dengan kesabaran. Nah, sekarang aku sudah membuktikan sendiri bahwa kedua hal itu ada padanya. Sekarang, saksikanlah wahai Umar, aku rela Allah menjadi Tuhanku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad adalah seorang Nabi dan RasulNya. Aku juga berjanji untuk menyerahkan separuh harta kekayaanku untuk jalan Ilahi. Aku adalah salah satu orang terkaya di sini dan akan menyedekahkan sebagian besar darinya untuk umat Muhammad”.
Umar Bin Khattab pun menyambut ucapan pendeta Yahudi itu dengan gembira. Keduanya lantas menemui Rasulullah untuk mengucapkan kalimat syahadat.
Kawans, lihatlah betapa kesabaran seseorang bukan berarti menandakan ia lemah dan kalah. Kesabaran Rasulullah, di mata Zaid, telah meredam sikap-sikap bodoh yang mengedepankan amarah. Bahkan kesabaran Rasulullah membuat seorang pendeta Yahudi yang tadinya belum beriman menjadi berbalik menjadi Muslim yang taat.
Kisah kesabaran Nabi yang demikian menyentuh orang-orang yang bersikap kasar terhadap beliau juga dikisahkan dalam sebuah riwayat ketika Rasulullah bertemu dengan seorang pengemis buta Yahudi di kota Madinah.


[1] 1 sha=2.5 kg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)