Jumat, 19 April 2013

A Whole New World


“A whole new world
A new fantastic point of view
No one to tell us no
Or where to go
Or say we’re only dreaming

A whole new world
A dazzling place I never knew
But now from way up here
It’s crystal clear
That now I’m in a whole new world with you”

Well, saya memang bukan Putri Jasmine yang melayang-layang mengendarai karpet terbang, melihat indahnya dunia di luar dinding istananya. Saya juga bukan Pangeran Sidharta Gautama yang terkungkung dalam tembok-tembok tinggi istana dan tidak pernah melihat bagaimana kehidupan di baliknya.
Saya hanya manusia biasa, yang banyak orang bilang, telah memiliki segalanya.
Jika dilihat dalam scope basic need, ya, benar, di usia kepala tiga ini, saya memang telah memiliki segalanya.
Saya punya keluarga. Tempat mencurahkan segenap cinta dan mendapat curahan kasih sayang.
Saya punya pekerjaan tempat menancapkan kuku-kuku eksistensi saya. Tempat saya berkarya, bersosialisasi dan menjalin relasi.
Hidup saya tidak pernah sepi karena dua hal di atas; keluarga dan pekerjaan.
Sejak kecil, hidup saya juga tidak pernah kekurangan walau tidak terlalu berlebihan. Tapi setidaknya saya hampir selalu mendapatkan apa yang saya mau. Meski tidak semua.
Saya pernah mengkhayalkan memiliki sebuah perpustakaan komik terlengkap. Tapi apa daya, kecepatan penerbit mencetak komik-komik baru lebih tinggi ketimbang kecepatan saya menabung uang-uang jajan saya. Jadilah keinginan itu kini hanya mimpi masa kecil.
Tapi overall, masa kecil saya bahagia, pun demikian dengan masa remaja saya. Masa dewasa apalagi.
Saya sangat bersyukur. Pasti. Kalau tidak, wah, keterlaluan sekali!! Tuhan akan memurkai saya dengan azabNya yang sangat pedih.
Tapi tahukah Anda, jika sebenarnya saya tidak bahagia? Ralat, Saya PERNAH tidak bahagia, dalam kondisi serba berkecukupan seperti ini.
Apakah ketidakbahagiaan yang dulu itu karena manifestasi rasa tidak bersyukur? Wallahu a’lam. Hanya Tuhan yang tahu. Karena rasa syukur adalah ranah di mana hanya saya dan Tuhan yang tahu, sebaiknya tidak perlu diperpanjang lagi. Yang pasti, saya PERNAH merasa tidak bahagia, justru setelah kehadiran putra kedua kami; Kairo.
Kira-kira 3 tahun lalu, setelah menghabiskan masa maternity leave, saya merasa ada yang tidak beres. Masalahnya,saya tidak tahu di bagian mananya yang salah. Saya tetap bekerja, penghasilan keluarga tidak berkurang, malah bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Tapi saya tetap merasakan ada sesuatu yang salah. Semangat hidup saya hilang. Saya menjalani rutinitas sehari-hari secara otomatis. Seperti robot.
Ya betul! Pada akhirnya saya bisa mendefinisikan arti ketidakbahagiaan saya. Saya menjadi robot berbentuk manusia. Eh, atau saya manusia tapi menjadi robot. Pokoknya, waktu itu saya jadi tidak bisa membedakan apakah saya ini manusia atau robot.
Dibilang robot, saya masih doyan makan sambel. Mana ada robot suka sambel, ya kan?
Dibilang manusia, perasaan saya mati. Iya, mati, pet! Bukankah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah keberadaan perasaan? Pokoknya sulit menggambarkan bagaimana perasaan saya waktu itu, karena saat itu berasa gelap. Saya kehilangan hasrat untuk berkeinginan. Saya kehilangan kemauan untuk mau berbuat sesuatu. Saya tidak tahu harus berbuat apa-apa kecuali menangis dan menangis di tempat-tempat tersembunyi.
Sedikit cahaya lilin mulai bersinar tatkala suatu malam suami saya pulang sambil membawa sebuah laptop. Entah angin apa yang membuatnya tiba-tiba membeli sebuah notebook untuk saya. Warna laptop bermerk Acer itu hitam legam, tapi di mata saya laptop itu bak cahaya pelita yang menerangi segenap sudut ruang hati saya yang tergelap.
Laptop itu akhirnya membuat saya mengenal blogspot, wordpress, seo, asian brain, backlink, pingomatic, digg, traffic travis dan masih buanyak lagi. Terlebih lagi, laptop itu telah membuat saya mengenal dunia tulis menulis; artikel, chicken soup for the soul, essay, puisi, quote dan sekarang fiksi.
Laptop itu kini tidak hanya menjadi lilin malainkan sebuah lampu sorot warna-warni. Laptop itu telah membawa saya ke sebuah dunia baru yang belum pernah saya jamah sebelumnya. Laptop itu telah membantu saya menemukan sebuah negeri yang indah, yang merupakan kombinasi dari fantasi, imajinasi, gairah dan kebebasan. Laptop itu mengajak saya untuk membangun sebuah impian, hal yang dulu tidak pernah saya lakukan.
Tapi bohong kalau saya bilang tidak takut. Bagaimanapun, saya tidak pernah tahu apa yang menanti saya di dunia baru ini. Bisa jadi dunia baru ini akan membawa derita dan air mata. Tapi saya tidak memungkiri adanya kemungkinan bahwa senyum dan tawalah yang menanti saya di ujung jalan kelak. Yang jelas, rasa takut inilah yang membuat saya tetap bertahan. Yang jelas, dunia baru ini membuat kebahagiaan saya kembali.
Kini saya benar-benar telah menjadi seseorang yang telah memiliki segalanya, kecuali alasan untuk tidak berbahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)