“A whole new world
A new fantastic point of view
No one to tell us no
Or where to go
Or say we’re only dreaming
A whole new world
A dazzling place I never knew
But now from way up here
It’s crystal clear
That now I’m in a whole new
world with you”
Well, saya memang
bukan Putri Jasmine yang melayang-layang mengendarai karpet terbang, melihat
indahnya dunia di luar dinding istananya. Saya juga bukan Pangeran Sidharta
Gautama yang terkungkung dalam tembok-tembok tinggi istana dan tidak pernah
melihat bagaimana kehidupan di baliknya.
Saya hanya manusia
biasa, yang banyak orang bilang, telah memiliki segalanya.
Jika dilihat dalam scope basic need, ya, benar, di usia
kepala tiga ini, saya memang telah memiliki segalanya.
Saya punya keluarga.
Tempat mencurahkan segenap cinta dan mendapat curahan kasih sayang.
Saya punya pekerjaan
tempat menancapkan kuku-kuku eksistensi saya. Tempat saya berkarya,
bersosialisasi dan menjalin relasi.
Hidup saya tidak
pernah sepi karena dua hal di atas; keluarga dan pekerjaan.
Sejak kecil, hidup
saya juga tidak pernah kekurangan walau tidak terlalu berlebihan. Tapi
setidaknya saya hampir selalu mendapatkan apa yang saya mau. Meski tidak semua.
Saya pernah
mengkhayalkan memiliki sebuah perpustakaan komik terlengkap. Tapi apa daya,
kecepatan penerbit mencetak komik-komik baru lebih tinggi ketimbang kecepatan
saya menabung uang-uang jajan saya. Jadilah keinginan itu kini hanya mimpi masa
kecil.
Tapi overall, masa
kecil saya bahagia, pun demikian dengan masa remaja saya. Masa dewasa apalagi.
Saya sangat bersyukur.
Pasti. Kalau tidak, wah, keterlaluan sekali!! Tuhan akan memurkai saya dengan
azabNya yang sangat pedih.
Tapi tahukah Anda,
jika sebenarnya saya tidak bahagia? Ralat, Saya PERNAH tidak bahagia, dalam
kondisi serba berkecukupan seperti ini.
Apakah
ketidakbahagiaan yang dulu itu karena manifestasi rasa tidak bersyukur? Wallahu
a’lam. Hanya Tuhan yang tahu. Karena rasa syukur adalah ranah di mana hanya
saya dan Tuhan yang tahu, sebaiknya tidak perlu diperpanjang lagi. Yang pasti,
saya PERNAH merasa tidak bahagia, justru setelah kehadiran putra kedua kami;
Kairo.
Kira-kira 3 tahun
lalu, setelah menghabiskan masa maternity
leave, saya merasa ada yang tidak beres. Masalahnya,saya tidak tahu di
bagian mananya yang salah. Saya tetap bekerja, penghasilan keluarga tidak
berkurang, malah bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Tapi saya tetap
merasakan ada sesuatu yang salah. Semangat hidup saya hilang. Saya menjalani
rutinitas sehari-hari secara otomatis. Seperti robot.
Ya betul! Pada
akhirnya saya bisa mendefinisikan arti ketidakbahagiaan saya. Saya menjadi
robot berbentuk manusia. Eh, atau saya manusia tapi menjadi robot. Pokoknya,
waktu itu saya jadi tidak bisa membedakan apakah saya ini manusia atau robot.
Dibilang robot, saya
masih doyan makan sambel. Mana ada robot suka sambel, ya kan?
Dibilang manusia,
perasaan saya mati. Iya, mati, pet! Bukankah yang membedakan manusia dengan
makhluk lainnya adalah keberadaan perasaan? Pokoknya sulit menggambarkan
bagaimana perasaan saya waktu itu, karena saat itu berasa gelap. Saya
kehilangan hasrat untuk berkeinginan. Saya kehilangan kemauan untuk mau berbuat
sesuatu. Saya tidak tahu harus berbuat apa-apa kecuali menangis dan menangis di
tempat-tempat tersembunyi.
Sedikit cahaya lilin
mulai bersinar tatkala suatu malam suami saya pulang sambil membawa sebuah
laptop. Entah angin apa yang membuatnya tiba-tiba membeli sebuah notebook untuk
saya. Warna laptop bermerk Acer itu hitam legam, tapi di mata saya laptop itu
bak cahaya pelita yang menerangi segenap sudut ruang hati saya yang tergelap.
Laptop itu akhirnya
membuat saya mengenal blogspot, wordpress, seo, asian brain, backlink,
pingomatic, digg, traffic travis dan masih buanyak lagi. Terlebih lagi, laptop
itu telah membuat saya mengenal dunia tulis menulis; artikel, chicken soup for
the soul, essay, puisi, quote dan sekarang fiksi.
Laptop itu kini tidak
hanya menjadi lilin malainkan sebuah lampu sorot warna-warni. Laptop itu telah
membawa saya ke sebuah dunia baru yang belum pernah saya jamah sebelumnya. Laptop
itu telah membantu saya menemukan sebuah negeri yang indah, yang merupakan
kombinasi dari fantasi, imajinasi, gairah dan kebebasan. Laptop itu mengajak
saya untuk membangun sebuah impian, hal yang dulu tidak pernah saya lakukan.
Tapi bohong kalau saya
bilang tidak takut. Bagaimanapun, saya tidak pernah tahu apa yang menanti saya
di dunia baru ini. Bisa jadi dunia baru ini akan membawa derita dan air mata.
Tapi saya tidak memungkiri adanya kemungkinan bahwa senyum dan tawalah yang
menanti saya di ujung jalan kelak. Yang jelas, rasa takut inilah yang membuat
saya tetap bertahan. Yang jelas, dunia baru ini membuat kebahagiaan saya
kembali.
Kini saya benar-benar
telah menjadi seseorang yang telah memiliki segalanya, kecuali alasan untuk
tidak berbahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.