Kisah awal mula aku berjilbab terbilang unik. Jika diingat-ingat lagi, hari
pertama aku berjilbab adalah hasil dari rangkaian kejadian yang panjang. Sungguh,
Allah memang bekerja dengan cara yang misterius, tidak terduga.
Aku masih ingat pada suatu sore, aku pulang ke rumah sambil menangis. Saat
itu resmi delapan bulan aku menyandang predikat “pengangguran” setelah
dinyatakan lulus sebagai sarjana teknik. Untuk kesekian kalinya, aku tidak
lulus tes masuk kerja.
Saat mata masih sembab oleh air mata, Bapak masuk ke kamar dan memberikan
secarik catatan. Panggilan tes lagi, di salah satu perusahaan produsen pangan
terbesar di Indonesia. Aku bongkar loker-loker dalam otakku yang berisi memori,
berharap menemukan data kapan aku melamar di perusahaan itu. Tidak ketemu,
saking banyaknya surat lamaran yang kukirimkan.
Aku memandang tulisan Bapak dengan mood yang sudah menguap. Bosan ikut tes
melulu tapi tak kunjung dapat pekerjaan. Pun begitu, aku tetap mendatangi
perusahaan tersebut, dan mengikuti tahap demi tahap seleksi. Alhamdulillah,
setelah masa seleksi selama 2 bulan, aku direkrut sebagai karyawan melalui
sebuah program berjudul Manufacturing Apprentice. Aku adalah satu dari 10 orang
Apprentice yang tersaring dari ribuan pelamar. Tak terkira besarnya rasa
syukurku saat itu.
Program Manufacturing Apprentice ini adalah program yang berdurasi 18
bulan. Selama 18 bulan itu nantinya kami akan mendapat pelatihan di kelas
disusul dengan pemagangan di lapangan selama 1 tahun. Di akhir bulan ke-18, kami
akan diuji di depan jajaran manajemen untuk menentukan apakah kami layak
diangkat sebagai karyawan tetap dan langsung menduduki jabatan di tingkatan middle management.
Bulan ke-6 sebagai Apprentice, kami mulai ditempatkan di departemen di mana
kelak nantinya kami akan bekerja. Alangkah terkejutnya aku, ketika tahu lokasi
penempatanku adalah di Departemen Produksi, sebuah kelompok kerja yang setahuku
terdiri dari sekitar 500-600 orang, dan semuanya laki-laki. Tapi aku tidak
punya pilihan dan tidak punya wewenang untuk memilih apalagi alasan untuk
menolak.
Di hari pertama aku melangkahkan kaki di Departemen Produksi, aku seakan menodai
dominasi kaum lelaki di tempat itu. Saat itu, aku adalah perempuan pertama yang
menjadi karyawan di departemen yang bahkan tidak memiliki toilet wanita.
Aku berusaha secepat mungkin beradaptasi. Seharusnya tidak sulit, karena
sebagai mantan mahasiswi jurusan teknik, teman-teman priaku cukup banyak. Namun
entah mengapa, perlahan tapi pasti, menjadi sebentuk anomali membuat aku mulai tidak
nyaman dan serba salah.
Bukan. Bukan karena rekan kerjaku bersikap tidak sopan atau karena aku
sulit beradaptasi. Bukan karena medan kerja yang tidak biasa. Bukan karena aku
harus banyak berjalan cepat, naik turun tangga, berlari, meloncat, memanjat
maupun mengangkat beban berat. Ada suatu perasaan aneh yang timbul. Perasaan
itu mulanya tipis bagaikan kabut yang lama kelamaan semakin menebal.
“Aku-merasa-telanjang”
Entah darimana perasaan itu timbul, aku tidak tahu. Yang jelas rasa itu
membuatku tidak nyaman. Padahal pakaian kerjaku adalah pakaian biasa; celana
panjang dan blus lengan panjang, tapi aku merasa luar biasa malu. Padahal
rekan-rekan kerjaku melihatku dengan pandangan biasa, tapi aku merasa sangat
tidak percaya diri.
Gelombang perasaan yang aneh itu datang bertubi-tubi dan mulai memaksaku
berhijab. Namun aku tidak serta merta menuruti paksaan yang entah dari mana
datangnya. Aku belum siap. Statusku sebagai karyawan percobaan membuatku
berpikir dua kali sebelum mengenakan hijab ke pabrik. Aku takut hijab tersebut
akan berpengaruh pada penilaian performa kerjaku nanti. Aku belum siap
kehilangan pekerjaan yang sudah kuperoleh dengan susah payah ini.
Skenario Allah berikutnya untuk membuatku berhijab rupanya sudah disiapkan.
Skenario itu berwujud surat undangan di atas meja kerjaku di suatu pagi. Dari
bentuknya aku langsung tahu itu undangan untuk acara apa. Selembar kertas
karton berukuran A5, bernuansa hijau merah, ditambah lambang salib, itu
undangan acara natal di kantor. Awalnya aku heran, “Apa panitia ini tidak tahu
kalau aku Muslim ya?”. Ternyata setelah aku tanya sana-sini, memang ada beberapa rekan Muslim yang diundang dengan
beberapa pertimbangan.
Aku tidak ingin datang sebenarnya, tapi lagi-lagi status sebagai karyawan
junior membuatku sungkan untuk tidak datang.
Akhirnya aku datang, tapi dengan berjilbab.
Jika mengingat keraguanku sebelumnya, memang tindakanku sedikit aneh. Itu
benar-benar sebuah tindakan spontan yang kulakukan tanpa banyak proses berpikir
dan menimbang. Alasanku simpel, hijab itu adalah moslem’s identity di sebuah hajatan teman-teman Nasrani.
Selepas malam natal itu, entah mengapa aku enggan melepas hijab. Menghadiri
acara natal itu membuat aku yakin, pas, klik, bahwa aku memang benar-benar
harus berhijab. Aku tidak peduli lagi dengan masa percobaanku atau status
Apprentice-ku.
Keesokan paginya, aku membuat kehebohan. Aku datang ke pabrik dengan
berjilbab. Atasan-atasanku, yang mayoritas non Muslim sempat bertanya-tanya;
“Penampilannya ganti ya? Apa dengan baju begitu, kamu masih mau naik turun
pabrik?”.
Beruntung seorang rekan senior menjawab; “Dia kan hanya menjalankan
kewajibannya Pak, tidak ada hubungannya dengan pekerjaan”. Aku hanya menjawab
dengan senyuman
Seniorku benar. Seharusnya aku melakukan ini dari dulu. Kenapa aku mesti
memikirkan penilaian orang, padahal yang menentukan nasibku, rejekiku,
kelangsungan hidupku di perusahaan ini bukan mereka, melainkan Dzat Maha Kuasa
yang sedari dulu memerintahkan seorang muslimah dewasa untuk berhijab.
Aku menjalani sisa masa percobaan dengan lebih tenang dan nyaman. Hijab
membuatku lebih mudah bergaul, berkoordinasi, berdiskusi dan bekerja sama
dengan rekan-rekan kerja yang semuanya laki-laki. Malah setelah berjilbab, aku
merasa mereka lebih berhati-hati jika bicara atau bercanda. Banyak dari mereka
kemudian berhenti bersiul-siul tiap kali aku lewat, melainkan berganti dengan
ucapan salam, “Asslammualaikum”.
Di penghujung program Manufacturing Apprentice, aku dinyatakan lulus dan
diangkat sebagai karyawan tetap. Score cardku menyatakan aku memperoleh nilai
terbaik di antara kami bersepuluh. Hijabku ternyata sama sekali tidak membawa
mudharat terhadap penilaian prestasi kerjaku.
Sekarang, ketika aku menengok sekilas ke belakang untuk melihat sejarah
hidupku, aku terkagum-kagum atas kebesaran Allah. Seandainya aku tidak pernah
gagal menjalani tes masuk di perusahaan-perusahaan sebelumnya, mungkin aku
tidak akan pernah bekerja di perusahaan yang sekarang. Mungkin aku tidak akan
pernah menjadi satu-satunya karyawan perempuan di departemen yang semuanya
laki-laki. Mungkin tidak akan pernah ada perasaan “Aku-merasa-telanjang”.
Mungkin aku tidak akan pernah menerima undangan malam natal. Mungkin hingga
saat ini aku belum berhijab.
Rupanya sejarah hidupku adalah sebuah mata rantai, sebuah sebab akibat,
sebuah master plan yang sudah Allah
persiapkan untuk menggerakkan dan memantapkan hati untuk mengenakan jilbab.
Maha suci Allah. Betapa besarnya rasa cinta Allah terhadapku. Padahal
seandainya Allah berkehendak, Dia bisa saja membiarkan aku tetap seperti dulu.
Maha suci Allah. Berkat cintaNya, selembar kain segi empat yang menutupi
rambut, leher dan membingkai wajahku kini telah membebaskanku.
Epilog
Undangan natal itu adalah undangan yang pertama dan terakhir yang pernah aku
terima. Di tahun-tahun berikutnya, aku tidak pernah lagi menerima undangan
acara natal. Mungkin acara natal malam itu memang dipersiapkan sebagai pemantik
sumbu kemantapan hati untuk berhijab. Wallahu ‘alam.
Allah Maha Besar
Thank you to let me
born as a moslem
Ditulis untuk lomba menulis #Myhijabstory, Merdeka dengan Hijab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.