Seperti biasa, pagi ini Donita membuka kotak suratnya. Banyak email baru. Rata-rata
ada belasan sampai puluhan yang masuk. Donita tidak pernah bosan membacanya dan
memang tidak boleh bosan, karena membaca surat-surat elektronik tersebut termasuk
bagian pekerjaanya. Lagipula, kebanyakan isi mereka sangat menarik. Donita
seperti membaca naskah cerpen atau novelet.
Sebagai penyiar radio swasta dan psikolog yang membawakan acara “Dear
Donita” tiap malam, Donita akan membahas permasalahan seputar human relationship. Apa saja, mulai
masalah remaja, hubungan anak dan orang dan tua, perkawinan sampai pembagian
warisan. Makanya, radio mengundang pendengar untuk membagi kisah hidup mereka untuk
kemudian dijadikan tema di “Dear Donita”. Biasanya Donita akan membahas suatu materi
dari sudut pandang sains, lebih tepatnya ilmu psikologi. Lalu Donita akan
memberikan saran-saran atau pesan motivasi yang bisa dipetik dari topik
tersebut.
Pagi ini, seperti pagi yang sudah-sudah, Donita membuka kotak suratnya untuk
memilih topik yang pas untuk dijadikan bahan siarannya nanti malam. Tapi hari
ini ada yang menarik. Kening Donita berkerut, sesekali dia manggut-manggut,
tersenyum, lantas berkerut lagi. Itu karena pagi ini dia menerima 3 surat
elektronik yang sedikit tidak biasa.
...
Surat elektronik #1.
Dear Donita,
Aku hancur. Hatiku berkeping-keping karena suamiku tiba-tiba memutuskan
untuk mengakhiri perkawinan kami dan memulai hidup baru dengan wanita lain. Dan
aku tak kuasa menahannya. Karena aku tahu, aku sangat jauh dari sempurna. Aku
jauh dari label istri idaman. Aku sadar, aku bukan istri yang baik yang bisa
membahagiakan mas Romi.
Tapi Donita, aku sangat mencintainya. Mas Romi adalah cinta pertamaku. Aku
bertemu dengannya pertama kali waktu Fakultas kami membuat acara bakti sosial.
Acara itulah yang akhirnya mempersatukan aku dan dia yang beda jurusan. Menjelang
wisudaku, dia yang sudah lulus beberapa tahun sebelumnya mengajakku menikah.
Masa-masa pacaran dan pernikahan kami selalu indah. Kami hampir tidak pernah
bertengkar. Mas Romi sangat dewasa dan jarang sekali marah. Selama ini Mas Romi
yang kukenal sangat mendukungku. Selepas kuliah S1, aku melanjutkan kuliah S2
sambil menjadi dosen. Tidak mudah memang menjadi mahasiswa sekaligus dosen.
Tapi Mas Romi adalah suami yang sangat suportif. Dia sama sekali tidak
keberatan jika aku harus bergadang sampai malam menyelesaikan tugas-tugas
kuliahku. Atau jika aku tidak bisa bangun pagi menyiapkan keperluannya karena malamnya
bergadang menyiapkan presentasi. Malah dia sendiri yang bilang bahwa kami
sebaiknya menunda punya momongan sampai aku selesai kuliah.
Tidak jarang mas Romi yang memasak karena aku lebih sering berkutat dengan
buku dan laptop. Dia juga sesekali menyetlika sendiri pakaian kerjanya karena
aku harus buru-buru berangkat untuk mengajar atau mengerjakan penelitianku di
laboratorium.
Memang sih, ada terselip rasa bersalah karena tidak bisa menjadi istri yang
sempurna bagi mas Romi. Namun aku sendiri tidak berdaya menghadapi gempuran
beban pekerjaan dan tugas-tugas kuliah. Dan selama ini aku selalu merasakan
dukungan dari Mas Romi dengan tidak menuntutku mengerjakan tugas-tugas seorang
istri. Aku selalu merasa Mas Romi sangat mengerti. Aku sudah berjanji dalam
hati, jika kuliahku selesai, aku akan menjadi istri yang lebih baik dari
sekarang. Aku ingin mengganti semua hal yang kulewatkan selama ini.
Namun, sehari setelah sidang thesisku dilaksanakan, aku mendapat kabar yang
menyesakkan dada. Ale, sahabat kentalku semenjak kami masih S1 dulu, tiba-tiba
menghubungiku dan menunjukkan foto mas Romi sedang bergandengan dengan seorang
perempuan cantik berambut panjang. Bisa bayangkan perasaanku waktu itu kan
Donita? Rasanya dunia ini berantakan.
Ternyata benar Donita. Seminggu kemudian, mas Romi meminta maaf padaku
karena dia sudah tidak bisa lagi melanjutkan pernikahan kami. Dia bilang, aku
tidak salah melainkan dia yang salah karena telah jatuh cinta pada perempuan
lain.
Hatiku pilu tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Menangispun tidak. Aku merasa
mas Romi tidak salah. Dia hanya menemukan apa yang tidak dia temukan di diri
istrinya ada pada orang lain.
Wanita itu sungguh cantik. Sangat anggun serta keibuan. Aku bisa mengerti
mengapa mas Romi jatuh hati padanya. Aku yakin suamiku akan lebih bahagia jika
menikah dengannya.
Donita, entah mengapa aku hanya menurut saja. Sama sekali aku tidak berniat
menghalangi mas Romi untuk beralih ke pelukan wanita lain. Apakah aku salah
karena aku sama sekali tidak berjuang? Apakah itu karena aku sebenarnya tidak
terlalu mencintai mas Romi? Sehingga aku biarkan saja suamiku pergi dengan
gampangnya?
Bukan Donita, bukan karena aku tidak mau berjuang. Tapi karena dari awal aku
sudah kalah. Aku diberi waktu 3 tahun mendampingi mas Romi dan tidak bisa
membuatnya hanya mencintaiku saja. Seseorang di luar sana, tanpa kusadari,
telah bisa memenangkan hati mas Romi.
Donita, justru karena aku sangat mencintainya, aku lepaskan dia untuk
berada di tempat yang membuatnya lebih bahagia.
Sekarang, aku adalah prajurit kalah perang yang terluka. Tapi, aku tidak
boleh terlalu lama bersedih, karena aku tahu masih ada orang membutuhkan aku.
Mahasiswaku. Murid-muridku. Aku harus segera bangkit dari kesedihan walau sulit.
Tiap hari aku teringat semua kenangan indah dengan mas Romi.
Mas Romi yang sesekali menemaniku bekerja dengan laptop sampai malam,
sambil sesekali memijiti pundakku. Mas Romi yang sesekali membawakanku bekal
makanan karena aku sering tidak sempat sarapan. Mas Romi yang kerap menungguiku
mempelajari jurnal-jurnal sampai dia sendiri tertidur di sofa.
Tidak ada sedikitpun hal yang buruk yang bisa dikenang dari diri mas Romi
dan itu yang membuatku sulit melupakannya. Sebagaimana aku pun sulit untuk
membenci mas Romi maupun istri barunya.
Donita, terkadang cinta memang harus belajar melepaskan.
Doakan aku ya Donita, agar aku bisa segera bangkit dari kesedihan.
Dian.
...
Surat elektronik #2.
Dear Donita,
Jika kamu di suruh memilih, untuk menyakiti atau disakiti, mana yang lebih
baik? Kalau aku, aku lebih senang disakiti. Karena ternyata, menyakiti itu
rasanya jauh lebih menyakitkan. Apalagi, jika harus menyakiti orang yang kita
sayangi.
Aku telah melakukannya. Aku telah menyakiti Dian, mantan istriku, orang
yang amat kusayangi. Aku terpaksa meninggalkannya, sebelum aku menyakitinya
lebih jauh lagi.
Aku juga tidak mengerti mengapa? Dulu aku sangat mencintai Dian. Mungkin
aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku melihatnya pertama kali saat
jadi panitia bakti sosial di kampus. Di mataku waktu itu, Dian sangat lucu,
kecil, manis, pakaian kedodoran dan menenteng ransel yang ukurannya terlalu
besar. Dian sangat bersemangat, berbicara sangat cepat, dan kalau sudah
berbicara, terutama hal-hal yang menarik hatinya, matanya akan bersinar.
Tangannya pun akan bergerak-gerak mengikuti kecepatan kata-kata yang meluncur
dari bibirnya yang selalu tersenyum. Dian tidak pernah kelihatan capek. Dalam
kondisi secapek apapun, Dian selalu melakukan satu hal. Senyum, dan senyumnya
manis sekali.
Satu lagi, Dian sangat pintar. Dia selalu punya pendapat untuk semua hal.
Dia adalah teman diskusi yang sempurna. Dian juga berhati emas, kepeduliannya
akan sesama sangat tinggi. Cita-citanya adalah menjadi pengajar. Dia ingin
menjadi dosen seperti Julia Roberts di film Mona Lisa Smile. Dosen yang out of
the box istilahnya. Dia bahkan menjadi relawan untuk mengajar anak-anak jalanan
sejak masih kuliah. Aku selalu membayangkan betapa indahnya jika aku bisa hidup
bersama Dian sepanjang hayat. Dian, seperti namanya, akan bisa menjadi penerang
dalam hidupku. Dan aku berharap aku pun bisa mejadi penerang dalam hidupnya.
Ternyata benar, hidupku selalu terang benderang. Dian adalah istri yang
luar biasa. Walaupun dia mungkin tidak seperti istri-istri biasa yang
mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tapi Dian tidak salah kok, bayangkan saja
Donita, dia harus mengajar anak-anak jalanan tiap hari, dia juga harus ke
kampus untuk mengajar dan dia juga adalah mahasiswa pasca sarjana yang harus
melakukan penelitian untuk thesisnya.
Aku melihat, 24 jam waktu Dian dalam sehari tidaklah cukup. Dan aku sangat
mengerti mengapa dia hampir tidak punya waktu untukku. Sebaliknya, aku sangat
bangga bisa menjadi pendamping seorang wanita yang terus berkarya.
Seperti yang kuduga, Dian seperti namanya, sangat terang dan cemerlang.
Bahkan kian hari kian benderang. Sementara aku tidak sanggup menandingi kecemerlangannya.
Dian seringkali membagi pengalamannya denganku tiap kali kami punya waktu
bersama. Seperti biasa dengan gaya bicaranya yang penuh spirit. Pengalamannya
mendamaikan muridnya yang berantem, pengalamannya menghadapi orang tua
anak-anak yang tidak suka Dian mengajari mereka, pengalamannya melakukan
penelitian di lab, pengalamannya menghadapi mahasiswanya yang jatuh cinta
padanya. Dian menceritakan semuanya hampir tanpa kecuali. Mulanya aku senang
Dian mau berbagi, tapi lama kelamaan, aku merasa rendah sementara Dian terus
meninggi. Dian sudah terang tanpa aku harus meneranginya.
Bukan, bukan karena dia sombong atau mengatakan hal-hal yang merendahkan
aku. Itu lebih karena aku yang tidak bisa mengimbangi daya pikir dan semangat
hidup Dian. Aku merasa menjadi pasangan hidup yang gagal. Lama kelamaan, aku
bagaikan seekor pungguk yang hanya bisa memandangi bulan.
Sebenarnya aku bisa saja menghalangi Dian mengakhiri kegiatannya dan diam
saja di rumah melayani kebutuhanku, toh aku suaminya. Tapi aku tak sanggup,
Dian adalah matahari, matahari dibutuhkan semua makhluk. Bukan hanya aku saja
yang membutuhkannya. Menghentikan Dian sama saja dengan menghentikan harapan
banyak orang.
Tapi kian hari aku semakin tersiksa, sampai aku berjumpa dengan seseorang
tanpa sengaja. Ilona, Adik seorang teman. Berambut panjang, kalem dan sangat
keibuan, namun tubuhnya ringkih dan mudah sakit. Entah megapa, tanpa bisa
kulawan, hasrat kelelakianku timbul tiap kali melihatnya. Dia bagaikan putri
yang lemah tak berdaya, sementara aku bisa menjadi satria yang
menyelamatkannya.
Bersamanya, aku merasa dibutuhkan.
Lama aku berpikir harus bagaimana. Aku sangat menyayangi Dian, tapi aku
merasa bukan aku laki-laki yang bisa membuatnya terus meninggi. Aku tidak
sanggup menghadapi kemandiriannya. Sedangkan Lona, kurasa aku telah jatuh cinta
padanya, aku merasa menjadi pahlawan berkuda yang selalu dinantikan. Dengannya,
aku merasa menjadi laki-laki.
Akhirnya aku sudah memutuskan, dari pada aku terus-terusan mengkhianati
istriku. Dian hanya memandangiku dengan sedih. Aku tahu aku sudah menghancurkan
hatinya. Dian yang kuat dan mandiri sama sekali tidak menangis. Ah, atau
mungkin dia menangis di tempat yang aku tidak sadari. Yang jelas, senyum
manisnya menghilang. Dia bilang, dia mengerti dan sama sekali tidak menyalahkan
aku.
Sempat aku berpikir ini keputusan yang salah. Namun aku tahu aku tidak
mungkin kembali ke masa-masa indah dengan Dian. Tanpaku Dian akan tetap indah. Dian
akan tetap bercahaya.
Donita, cinta harus memilih sebagaimana aku memilih untuk menyakiti hati
Dian. Aku tidak ingin menyesali keputusan ini sebagaimana aku tidak ingin Dian
menyesal pernah mencintaiku. Ah, tapi aku tidak ingin terlalu berharap. Dian
berhak membenciku sebenci-bencinya.
Aku hanya berharap semoga Dian segera menemukan senyumnya lagi. Senyum yang
semanis gula.
Romi.
...
Surat elektronik #3.
Dear Donita,
Aku mengirimkan email ini karena aku tidak sanggup lagi menahan rasa
bersalah. Aku telah melakukan hal yang jahat. Dan semua ini hanya bermula dari
satu hal yang sangat klise. Cinta.
Tapi cinta bukan hal yang sepele. Apakah menurutmu cinta sepele? Bukankah
cinta yang berada di balik banyak tragedi dalam sejarah?. Cinta yang
menyebabkan Cleopatra, Julius Caesar dan Attila menemui ajalnya. Namun cinta
juga lah yang menyebabkan ada bangunan seindah Taj Mahal.
Aku tak pernah meminta untuk mencintai seseorang sedemikian rupa. Aku pun
setengah mati melawan perasaan. Tapi rupanya cinta lah yang memilihku untuk
terus menanti seseorang yang mungkin tidak ditakdirkan untuk bisa kumiliki.
Bertahun-tahun aku memendam rasa cinta terhadap satu-satunya perempuan yang
telah memerangkap hatiku dengan mudahnya. Semenjak perkenalan pertama saat kita
sama-sama mahasiswa baru.
Dia sangat pintar, ceria dan lincah. Dia memiliki senyum yang sangat manis.
Dan yang membuat istimewa, senyum itu hampir tidak pernah pudar dari bibirnya.
Setidaknya selama kami berteman, aku tidak pernah melihatnya kehilangan
senyuman, selelah apapun dia.
Kecuali saat itu, saat aku menunjukkan padanya bahwa suaminya bergandengan
dengan perempuan lain. Perempuan yang dengan sengaja kupertemukan dengan
suaminya untuk membuatnya berpaling.
Sepertinya ceritaku membingungkan ya? Baiklah, akan kuceritakan dari awal.
Namanya Dian. Kami bersahabat sejak kuliah. Kami saling membagi impian dan
cita-cita. Sejak dulu Dian ingin menjadi pengajar. Memang dalam hal membagi
ilmu, Dian sangat luar biasa. Dian bahkan mengumpulkan teman-temannya, menjadi
sukarelawan untuk mengajar anak-anak jalanan. Itu dia lakukan semenjak kuliah
sampai sekarang.
Tidak salah jika Dian banyak dicintai orang dan aku salah satunya. Tapi aku
merasa di atas angin, karena aku adalah sahabat dekatnya. Hanya saja, Dian
tidak pernah tahu kalau aku menyayanginya lebih dari seorang sahabat. Aku
memang sengaja menunggu saat yang pas untuk mengatakan padanya. Rupanya aku
kurang cepat, Dian lebih dulu mengenalkan calon suaminya. Romi. Dan benar saja,
tak lama setelah lulus mereka menikah.
Aku patah hati. Aku menyesali kenapa aku tidak segera melakukan hal yang
seharusnya segera kulakukan. Seharusnya aku lah yang menjadi pendamping Dian.
Nasibku persis seperti lagu 25 Minutes.
Pernikahan Dian tidak lantas menyebabkan hubungan kami terputus. Kami masih
berhubungan walaupun tidak seintens sebelumnya. Itu karena aku sendiri sudah
bekerja sebagai karyawan swasta sementara Dian masih tinggal di kampus
melanjutkan kuliah S2 dan mengejar karir dosennya. Dari sana, aku tahu Dian
sangat bahagia dengan pernikahannya. Suaminya sangat mendukung dan tidak banyak
menuntut macam-macam dari Dian. Aku selalu berpikir betapa beruntungnya Dian.
Tapi sejurus kemudian, aku masih tidak bisa menerima. Dian seharusnya
menjadi milikku. Aku yakin aku memiliki porsi cinta yang lebih besar daripada
yang dimiliki suaminya. Denganku, Dian akan lebih bahagia. Entah sejak kapan,
Dian menjadi semacam obsesi, padahal dia sudah menjadi milik laki-laki lain.
Donita, aku tidak heran kalau kamu menganggap aku aneh. Seharusnya aku
berpikir, toh masih banyak perempuan lain yang bisa menjadi pengganti Dian.
Tapi Donita, Dian tidak tergantikan. Aku yakin dia lah jodoh yang sudah
ditentukan Tuhan untukku.
Sudah 3 tahun Dian menikah, obsesiku terhadapnya kian menjadi-jadi. Dian
harus dipisahkan dengan suaminya. Akhirnya aku meminta Lona, sahabat adikku,
untuk berkenalan dengan Romi. Aku mengaturnya agar kelihatan perkenalan itu
tidak disengaja. Kenyataan bahwa Lona adalah adik kenalan Romi semakin
mempermudah rencanaku.
Awalnya memang Lona keberatan karena tahu Romi sudah beristri. Aku sendiri
pun sedikit ragu apakah rencana ini bakal berhasil, mengingat Romi pun sangat
mencintai Dian.
Aku sama sekali tidak menyangka. Lona jatuh cinta pada Romi dan begitu pun
sebaliknya. Karena aku lah sutradara di balik pertemuan Romi dan Lona, dengan
mudah aku bisa mendapatkan foto mesra mereka berdua dan kemudian menunjukkannya
pada Dian.
Akhirnya mereka bercerai, dan itu karena aku. Dian terluka dan senyum
manisnya menghilang.
Tapi Dian sungguh luar biasa tabah. Kupikir mungkin karena murid-murid dan
mahasiswanya yang membuatnya tegar. Aku tidak pernah melihatnya menangis. Atau
mungkin dia menangis diam-diam ya. Dia bilang padaku bahwa suaminya tidak
salah. Pernikahan mereka bubar karena dia tidak sanggup membahagiakan suaminya.
Melihat Dian seperti itu, hatiku tertambat kian erat padanya. Kesedihan Dian
membuat cintaku padanya kian tak terkendali. Kali ini aku tidak akan
menyia-nyikannya lagi.
Donita, aku mungkin telah berbuat jahat, sangat egois. Namun bisa jadi ini
adalah kesempatan kedua yang Tuhan berikan untukku. Aku akan berusaha menjadi
kstaria yang akan mengembalikan senyum Dian seperti dulu lagi.
Donita, cinta memang memiliki 2 sisi seperti mata pedang. Taou bisakah aku
menjadikan bagian tajamnya menjadi tumpul? agar kedua sisinya tidak lagi
menyakiti hati orang yang kucintai.
Ale.
...
Donita menghela napas panjang. Hatinya bertanya-tanya apakah Dian akan
berlabuh di pelukan Ale suatu hari nanti?
Ah, tapi itu bukan urusannya. Donita menyimpulkan bahwa cinta terkadang
mengambil jalan memutar sebelum akhirnya berhenti di tempat yang tepat. Dalam hati ia
memutuskan, itulah topik siaran “Dear Donita” nanti malam.
Sekali lagi Donita menghela napas lantas kembali tenggelam dalam
surat-surat elektronik lain yang belum dibacanya.
2 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.