Jumat, 04 Januari 2013

Dear Donita


Seperti biasa, pagi ini Donita membuka kotak suratnya. Banyak email baru. Rata-rata ada belasan sampai puluhan yang masuk. Donita tidak pernah bosan membacanya dan memang tidak boleh bosan, karena membaca surat-surat elektronik tersebut termasuk bagian pekerjaanya. Lagipula, kebanyakan isi mereka sangat menarik. Donita seperti membaca naskah cerpen atau novelet. 

Sebagai penyiar radio swasta dan psikolog yang membawakan acara “Dear Donita” tiap malam, Donita akan membahas permasalahan seputar human relationship. Apa saja, mulai masalah remaja, hubungan anak dan orang dan tua, perkawinan sampai pembagian warisan. Makanya, radio mengundang pendengar untuk membagi kisah hidup mereka untuk kemudian dijadikan tema di “Dear Donita”. Biasanya Donita akan membahas suatu materi dari sudut pandang sains, lebih tepatnya ilmu psikologi. Lalu Donita akan memberikan saran-saran atau pesan motivasi yang bisa dipetik dari topik tersebut.

Pagi ini, seperti pagi yang sudah-sudah, Donita membuka kotak suratnya untuk memilih topik yang pas untuk dijadikan bahan siarannya nanti malam. Tapi hari ini ada yang menarik. Kening Donita berkerut, sesekali dia manggut-manggut, tersenyum, lantas berkerut lagi. Itu karena pagi ini dia menerima 3 surat elektronik yang sedikit tidak biasa.

...

Surat elektronik #1.
Dear Donita,
Aku hancur. Hatiku berkeping-keping karena suamiku tiba-tiba memutuskan untuk mengakhiri perkawinan kami dan memulai hidup baru dengan wanita lain. Dan aku tak kuasa menahannya. Karena aku tahu, aku sangat jauh dari sempurna. Aku jauh dari label istri idaman. Aku sadar, aku bukan istri yang baik yang bisa membahagiakan mas Romi.

Tapi Donita, aku sangat mencintainya. Mas Romi adalah cinta pertamaku. Aku bertemu dengannya pertama kali waktu Fakultas kami membuat acara bakti sosial. Acara itulah yang akhirnya mempersatukan aku dan dia yang beda jurusan. Menjelang wisudaku, dia yang sudah lulus beberapa tahun sebelumnya mengajakku menikah.

Masa-masa pacaran dan pernikahan kami selalu indah. Kami hampir tidak pernah bertengkar. Mas Romi sangat dewasa dan jarang sekali marah. Selama ini Mas Romi yang kukenal sangat mendukungku. Selepas kuliah S1, aku melanjutkan kuliah S2 sambil menjadi dosen. Tidak mudah memang menjadi mahasiswa sekaligus dosen. Tapi Mas Romi adalah suami yang sangat suportif. Dia sama sekali tidak keberatan jika aku harus bergadang sampai malam menyelesaikan tugas-tugas kuliahku. Atau jika aku tidak bisa bangun pagi menyiapkan keperluannya karena malamnya bergadang menyiapkan presentasi. Malah dia sendiri yang bilang bahwa kami sebaiknya menunda punya momongan sampai aku selesai kuliah.

Tidak jarang mas Romi yang memasak karena aku lebih sering berkutat dengan buku dan laptop. Dia juga sesekali menyetlika sendiri pakaian kerjanya karena aku harus buru-buru berangkat untuk mengajar atau mengerjakan penelitianku di laboratorium.

Memang sih, ada terselip rasa bersalah karena tidak bisa menjadi istri yang sempurna bagi mas Romi. Namun aku sendiri tidak berdaya menghadapi gempuran beban pekerjaan dan tugas-tugas kuliah. Dan selama ini aku selalu merasakan dukungan dari Mas Romi dengan tidak menuntutku mengerjakan tugas-tugas seorang istri. Aku selalu merasa Mas Romi sangat mengerti. Aku sudah berjanji dalam hati, jika kuliahku selesai, aku akan menjadi istri yang lebih baik dari sekarang. Aku ingin mengganti semua hal yang kulewatkan selama ini.

Namun, sehari setelah sidang thesisku dilaksanakan, aku mendapat kabar yang menyesakkan dada. Ale, sahabat kentalku semenjak kami masih S1 dulu, tiba-tiba menghubungiku dan menunjukkan foto mas Romi sedang bergandengan dengan seorang perempuan cantik berambut panjang. Bisa bayangkan perasaanku waktu itu kan Donita? Rasanya dunia ini berantakan.

Ternyata benar Donita. Seminggu kemudian, mas Romi meminta maaf padaku karena dia sudah tidak bisa lagi melanjutkan pernikahan kami. Dia bilang, aku tidak salah melainkan dia yang salah karena telah jatuh cinta pada perempuan lain.

Hatiku pilu tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Menangispun tidak. Aku merasa mas Romi tidak salah. Dia hanya menemukan apa yang tidak dia temukan di diri istrinya ada pada orang lain.

Wanita itu sungguh cantik. Sangat anggun serta keibuan. Aku bisa mengerti mengapa mas Romi jatuh hati padanya. Aku yakin suamiku akan lebih bahagia jika menikah dengannya.

Donita, entah mengapa aku hanya menurut saja. Sama sekali aku tidak berniat menghalangi mas Romi untuk beralih ke pelukan wanita lain. Apakah aku salah karena aku sama sekali tidak berjuang? Apakah itu karena aku sebenarnya tidak terlalu mencintai mas Romi? Sehingga aku biarkan saja suamiku pergi dengan gampangnya?

Bukan Donita, bukan karena aku tidak mau berjuang. Tapi karena dari awal aku sudah kalah. Aku diberi waktu 3 tahun mendampingi mas Romi dan tidak bisa membuatnya hanya mencintaiku saja. Seseorang di luar sana, tanpa kusadari, telah bisa memenangkan hati mas Romi.

Donita, justru karena aku sangat mencintainya, aku lepaskan dia untuk berada di tempat yang membuatnya lebih bahagia.

Sekarang, aku adalah prajurit kalah perang yang terluka. Tapi, aku tidak boleh terlalu lama bersedih, karena aku tahu masih ada orang membutuhkan aku. Mahasiswaku. Murid-muridku. Aku harus segera bangkit dari kesedihan walau sulit. Tiap hari aku teringat semua kenangan indah dengan mas Romi.

Mas Romi yang sesekali menemaniku bekerja dengan laptop sampai malam, sambil sesekali memijiti pundakku. Mas Romi yang sesekali membawakanku bekal makanan karena aku sering tidak sempat sarapan. Mas Romi yang kerap menungguiku mempelajari jurnal-jurnal sampai dia sendiri tertidur di sofa.

Tidak ada sedikitpun hal yang buruk yang bisa dikenang dari diri mas Romi dan itu yang membuatku sulit melupakannya. Sebagaimana aku pun sulit untuk membenci mas Romi maupun istri barunya.
Donita, terkadang cinta memang harus belajar melepaskan.
Doakan aku ya Donita, agar aku bisa segera bangkit dari kesedihan.

Dian.

...                         

Surat elektronik #2.
Dear Donita,
Jika kamu di suruh memilih, untuk menyakiti atau disakiti, mana yang lebih baik? Kalau aku, aku lebih senang disakiti. Karena ternyata, menyakiti itu rasanya jauh lebih menyakitkan. Apalagi, jika harus menyakiti orang yang kita sayangi.

Aku telah melakukannya. Aku telah menyakiti Dian, mantan istriku, orang yang amat kusayangi. Aku terpaksa meninggalkannya, sebelum aku menyakitinya lebih jauh lagi.

Aku juga tidak mengerti mengapa? Dulu aku sangat mencintai Dian. Mungkin aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku melihatnya pertama kali saat jadi panitia bakti sosial di kampus. Di mataku waktu itu, Dian sangat lucu, kecil, manis, pakaian kedodoran dan menenteng ransel yang ukurannya terlalu besar. Dian sangat bersemangat, berbicara sangat cepat, dan kalau sudah berbicara, terutama hal-hal yang menarik hatinya, matanya akan bersinar. Tangannya pun akan bergerak-gerak mengikuti kecepatan kata-kata yang meluncur dari bibirnya yang selalu tersenyum. Dian tidak pernah kelihatan capek. Dalam kondisi secapek apapun, Dian selalu melakukan satu hal. Senyum, dan senyumnya manis sekali.

Satu lagi, Dian sangat pintar. Dia selalu punya pendapat untuk semua hal. Dia adalah teman diskusi yang sempurna. Dian juga berhati emas, kepeduliannya akan sesama sangat tinggi. Cita-citanya adalah menjadi pengajar. Dia ingin menjadi dosen seperti Julia Roberts di film Mona Lisa Smile. Dosen yang out of the box istilahnya. Dia bahkan menjadi relawan untuk mengajar anak-anak jalanan sejak masih kuliah. Aku selalu membayangkan betapa indahnya jika aku bisa hidup bersama Dian sepanjang hayat. Dian, seperti namanya, akan bisa menjadi penerang dalam hidupku. Dan aku berharap aku pun bisa mejadi penerang dalam hidupnya.

Ternyata benar, hidupku selalu terang benderang. Dian adalah istri yang luar biasa. Walaupun dia mungkin tidak seperti istri-istri biasa yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tapi Dian tidak salah kok, bayangkan saja Donita, dia harus mengajar anak-anak jalanan tiap hari, dia juga harus ke kampus untuk mengajar dan dia juga adalah mahasiswa pasca sarjana yang harus melakukan penelitian untuk thesisnya.

Aku melihat, 24 jam waktu Dian dalam sehari tidaklah cukup. Dan aku sangat mengerti mengapa dia hampir tidak punya waktu untukku. Sebaliknya, aku sangat bangga bisa menjadi pendamping seorang wanita yang terus berkarya.

Seperti yang kuduga, Dian seperti namanya, sangat terang dan cemerlang. Bahkan kian hari kian benderang. Sementara aku tidak sanggup menandingi kecemerlangannya. Dian seringkali membagi pengalamannya denganku tiap kali kami punya waktu bersama. Seperti biasa dengan gaya bicaranya yang penuh spirit. Pengalamannya mendamaikan muridnya yang berantem, pengalamannya menghadapi orang tua anak-anak yang tidak suka Dian mengajari mereka, pengalamannya melakukan penelitian di lab, pengalamannya menghadapi mahasiswanya yang jatuh cinta padanya. Dian menceritakan semuanya hampir tanpa kecuali. Mulanya aku senang Dian mau berbagi, tapi lama kelamaan, aku merasa rendah sementara Dian terus meninggi. Dian sudah terang tanpa aku harus meneranginya.

Bukan, bukan karena dia sombong atau mengatakan hal-hal yang merendahkan aku. Itu lebih karena aku yang tidak bisa mengimbangi daya pikir dan semangat hidup Dian. Aku merasa menjadi pasangan hidup yang gagal. Lama kelamaan, aku bagaikan seekor pungguk yang hanya bisa memandangi bulan.

Sebenarnya aku bisa saja menghalangi Dian mengakhiri kegiatannya dan diam saja di rumah melayani kebutuhanku, toh aku suaminya. Tapi aku tak sanggup, Dian adalah matahari, matahari dibutuhkan semua makhluk. Bukan hanya aku saja yang membutuhkannya. Menghentikan Dian sama saja dengan menghentikan harapan banyak orang.

Tapi kian hari aku semakin tersiksa, sampai aku berjumpa dengan seseorang tanpa sengaja. Ilona, Adik seorang teman. Berambut panjang, kalem dan sangat keibuan, namun tubuhnya ringkih dan mudah sakit. Entah megapa, tanpa bisa kulawan, hasrat kelelakianku timbul tiap kali melihatnya. Dia bagaikan putri yang lemah tak berdaya, sementara aku bisa menjadi satria yang menyelamatkannya.
Bersamanya, aku merasa dibutuhkan.

Lama aku berpikir harus bagaimana. Aku sangat menyayangi Dian, tapi aku merasa bukan aku laki-laki yang bisa membuatnya terus meninggi. Aku tidak sanggup menghadapi kemandiriannya. Sedangkan Lona, kurasa aku telah jatuh cinta padanya, aku merasa menjadi pahlawan berkuda yang selalu dinantikan. Dengannya, aku merasa menjadi laki-laki.

Akhirnya aku sudah memutuskan, dari pada aku terus-terusan mengkhianati istriku. Dian hanya memandangiku dengan sedih. Aku tahu aku sudah menghancurkan hatinya. Dian yang kuat dan mandiri sama sekali tidak menangis. Ah, atau mungkin dia menangis di tempat yang aku tidak sadari. Yang jelas, senyum manisnya menghilang. Dia bilang, dia mengerti dan sama sekali tidak menyalahkan aku.

Sempat aku berpikir ini keputusan yang salah. Namun aku tahu aku tidak mungkin kembali ke masa-masa indah dengan Dian. Tanpaku Dian akan tetap indah. Dian akan tetap bercahaya.

Donita, cinta harus memilih sebagaimana aku memilih untuk menyakiti hati Dian. Aku tidak ingin menyesali keputusan ini sebagaimana aku tidak ingin Dian menyesal pernah mencintaiku. Ah, tapi aku tidak ingin terlalu berharap. Dian berhak membenciku sebenci-bencinya.

Aku hanya berharap semoga Dian segera menemukan senyumnya lagi. Senyum yang semanis gula.

Romi.

...

Surat elektronik #3.
Dear Donita,
Aku mengirimkan email ini karena aku tidak sanggup lagi menahan rasa bersalah. Aku telah melakukan hal yang jahat. Dan semua ini hanya bermula dari satu hal yang sangat klise. Cinta.

Tapi cinta bukan hal yang sepele. Apakah menurutmu cinta sepele? Bukankah cinta yang berada di balik banyak tragedi dalam sejarah?. Cinta yang menyebabkan Cleopatra, Julius Caesar dan Attila menemui ajalnya. Namun cinta juga lah yang menyebabkan ada bangunan seindah Taj Mahal.

Aku tak pernah meminta untuk mencintai seseorang sedemikian rupa. Aku pun setengah mati melawan perasaan. Tapi rupanya cinta lah yang memilihku untuk terus menanti seseorang yang mungkin tidak ditakdirkan untuk bisa kumiliki.

Bertahun-tahun aku memendam rasa cinta terhadap satu-satunya perempuan yang telah memerangkap hatiku dengan mudahnya. Semenjak perkenalan pertama saat kita sama-sama mahasiswa baru.

Dia sangat pintar, ceria dan lincah. Dia memiliki senyum yang sangat manis. Dan yang membuat istimewa, senyum itu hampir tidak pernah pudar dari bibirnya. Setidaknya selama kami berteman, aku tidak pernah melihatnya kehilangan senyuman, selelah apapun dia.

Kecuali saat itu, saat aku menunjukkan padanya bahwa suaminya bergandengan dengan perempuan lain. Perempuan yang dengan sengaja kupertemukan dengan suaminya untuk membuatnya berpaling.
Sepertinya ceritaku membingungkan ya? Baiklah, akan kuceritakan dari awal.

Namanya Dian. Kami bersahabat sejak kuliah. Kami saling membagi impian dan cita-cita. Sejak dulu Dian ingin menjadi pengajar. Memang dalam hal membagi ilmu, Dian sangat luar biasa. Dian bahkan mengumpulkan teman-temannya, menjadi sukarelawan untuk mengajar anak-anak jalanan. Itu dia lakukan semenjak kuliah sampai sekarang.

Tidak salah jika Dian banyak dicintai orang dan aku salah satunya. Tapi aku merasa di atas angin, karena aku adalah sahabat dekatnya. Hanya saja, Dian tidak pernah tahu kalau aku menyayanginya lebih dari seorang sahabat. Aku memang sengaja menunggu saat yang pas untuk mengatakan padanya. Rupanya aku kurang cepat, Dian lebih dulu mengenalkan calon suaminya. Romi. Dan benar saja, tak lama setelah lulus mereka menikah.

Aku patah hati. Aku menyesali kenapa aku tidak segera melakukan hal yang seharusnya segera kulakukan. Seharusnya aku lah yang menjadi pendamping Dian. Nasibku persis seperti lagu 25 Minutes.

Pernikahan Dian tidak lantas menyebabkan hubungan kami terputus. Kami masih berhubungan walaupun tidak seintens sebelumnya. Itu karena aku sendiri sudah bekerja sebagai karyawan swasta sementara Dian masih tinggal di kampus melanjutkan kuliah S2 dan mengejar karir dosennya. Dari sana, aku tahu Dian sangat bahagia dengan pernikahannya. Suaminya sangat mendukung dan tidak banyak menuntut macam-macam dari Dian. Aku selalu berpikir betapa beruntungnya Dian.

Tapi sejurus kemudian, aku masih tidak bisa menerima. Dian seharusnya menjadi milikku. Aku yakin aku memiliki porsi cinta yang lebih besar daripada yang dimiliki suaminya. Denganku, Dian akan lebih bahagia. Entah sejak kapan, Dian menjadi semacam obsesi, padahal dia sudah menjadi milik laki-laki lain.

Donita, aku tidak heran kalau kamu menganggap aku aneh. Seharusnya aku berpikir, toh masih banyak perempuan lain yang bisa menjadi pengganti Dian. Tapi Donita, Dian tidak tergantikan. Aku yakin dia lah jodoh yang sudah ditentukan Tuhan untukku.

Sudah 3 tahun Dian menikah, obsesiku terhadapnya kian menjadi-jadi. Dian harus dipisahkan dengan suaminya. Akhirnya aku meminta Lona, sahabat adikku, untuk berkenalan dengan Romi. Aku mengaturnya agar kelihatan perkenalan itu tidak disengaja. Kenyataan bahwa Lona adalah adik kenalan Romi semakin mempermudah rencanaku.

Awalnya memang Lona keberatan karena tahu Romi sudah beristri. Aku sendiri pun sedikit ragu apakah rencana ini bakal berhasil, mengingat Romi pun sangat mencintai Dian.

Aku sama sekali tidak menyangka. Lona jatuh cinta pada Romi dan begitu pun sebaliknya. Karena aku lah sutradara di balik pertemuan Romi dan Lona, dengan mudah aku bisa mendapatkan foto mesra mereka berdua dan kemudian menunjukkannya pada Dian.

Akhirnya mereka bercerai, dan itu karena aku. Dian terluka dan senyum manisnya menghilang.
Tapi Dian sungguh luar biasa tabah. Kupikir mungkin karena murid-murid dan mahasiswanya yang membuatnya tegar. Aku tidak pernah melihatnya menangis. Atau mungkin dia menangis diam-diam ya. Dia bilang padaku bahwa suaminya tidak salah. Pernikahan mereka bubar karena dia tidak sanggup membahagiakan suaminya. Melihat Dian seperti itu, hatiku tertambat kian erat padanya. Kesedihan Dian membuat cintaku padanya kian tak terkendali. Kali ini aku tidak akan menyia-nyikannya lagi.

Donita, aku mungkin telah berbuat jahat, sangat egois. Namun bisa jadi ini adalah kesempatan kedua yang Tuhan berikan untukku. Aku akan berusaha menjadi kstaria yang akan mengembalikan senyum Dian seperti dulu lagi.

Donita, cinta memang memiliki 2 sisi seperti mata pedang. Taou bisakah aku menjadikan bagian tajamnya menjadi tumpul? agar kedua sisinya tidak lagi menyakiti hati orang yang kucintai.

Ale.

...

Donita menghela napas panjang. Hatinya bertanya-tanya apakah Dian akan berlabuh di pelukan Ale suatu hari nanti?
Ah, tapi itu bukan urusannya. Donita menyimpulkan bahwa cinta terkadang mengambil jalan memutar sebelum akhirnya berhenti di tempat yang tepat. Dalam hati ia memutuskan, itulah topik siaran “Dear Donita” nanti malam.
Sekali lagi Donita menghela napas lantas kembali tenggelam dalam surat-surat elektronik lain yang belum dibacanya.

2 Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)