Lana dan Robi. Robi dan Lana. Semenjak kecil, mereka sudah tak terpisahkan.
Setelah remaja, mereka jatuh cinta. Ketika dewasa, mereka menikah. Tak ada yang
heran. Tak ada yang menentang. Lana dan Robi seakan sudah ditakdirkan untuk hidup
bersama sejak lahir.
Robi lahir sebagai bayi yang sehat dan berparas rupawan. Kulitnya sedikit
gelap dan berambut ikal. Dia tumbuh menjadi balita yang sehat dan pemuda yang
gagah.
Sementara Lana yang lahir di hari berikutnya tidak seberuntung Robi. Komplikasi
kehamilan yang masih belum bisa dijelaskan melalui ilmu kedokteran kala itu
telah merenggut nyawa ibu Lana. Karena tidak bisa menikmati air susu ibu, tubuh
Lana mudah sakit. Tapi Lana cantik. Rambutnya tebal dan panjang. Kulitnya pucat
karena hampir tidak pernah tersentuh matahari.
Di bawah asuhan ayahnya, Lana tumbuh menjadi gadis yang pendiam dan lemah
lembut. Dia tidak banyak bermain-main di luar seperti Robi. Waktunya banyak dihabiskan
untuk belajar merajut.
Sejak kecil Robi sering mengunjungi rumah Lana. Kadangkala Robi membawakan
kecebong, kupu-kupu, bunga terompet dan ikan yang ditangkapnya dari danau.
Lana ingin melihat danau tapi ayah tidak pernah mengijinkan karena takut
Lana sakit. Walau begitu, melalui cerita Robi, Lana bisa membayang seperti apa
indahnya danau. Pepohonan hijau, padang rumput dan bunga-bunga wangi
bermekaran, air danau yang jernih hingga bisa dipakai bercermin dan jika hujan,
akan ada pelangi yang meliuk indah di atas telaga.
Keakraban masa kecil menjadi kisah percintaan yang sudah diduga banyak
orang. Lana dan Robi akhirnya menikah.
Robi membangun rumah mungil untuk mereka berdua di tepi danau. Rumah
sederhana berdinding dan beratap kayu. Bagi Lana, rumah itu seperti rumah yang
keluar dari impian masa kanak-kanaknya. Pemandangan yang bisa dia lihat begitu
keluar di beranda adalah pemandangan yang tidak pernah diihatnya dari kecil. Ayah
tidak pernah sekali pun mengajak Lana mengunjungi telaga, walau hanya berjarak
beberapa ratus meter dari rumah mereka. Ayah, seperti kebanyakan pria di
kampung mereka, menenggelamkan diri dalam kesibukan mengurus kebun-kebun sayur
mereka. Lana tahu, ayah melakukannya karena berusaha mengusir kesepiannya
karena ibu tidak ada.
Lana sangat bahagia menjadi istri Robi. Tiap hari, Lana menyiapkan masakan
untuk suaminya. Setiap Robi datang sepulang kerja, dia akan mendapati meja
mungil mereka telah ditata dengan rapi. Dua buah piring yang tertelungkup di
atas alas piring hasil rajutan tangan Lana. Dua buah gelas porselen hadiah
perkawinan dari seorang kerabat berdiri anggun di sudut kanan atas dari alas
piring. Sendok dan garpu berdampingan rapi di sebelah kiri. Lana selalu menata meja makan mungilnya
seperti itu. Tidak pernah berubah.
Lana juga seakan tahu kapan Robi akan pulang. Itu sebabnya, tiap kali Robi
membuka pintu rumahnya, dia akan mendapati nasi dan masakan yang masih terlihat
kepulan hangatnya. Juga istrinya yang dengan setia menunggunya di satu sisi
meja sambil merajut. Itu adalah pemandangan yang tiap hari dilihat oleh Robi.
Tak ada satu kata yang bisa melukiskan kebahagiaan mereka. Namun rupanya itu
tidak lama. Perang pecah dan Robi dipanggil ke medan perang. Robi harus
meninggalkan Lana. Yang dia khawatirkan adalah siapa nanti yang menjaga Lana. Robi
menawarkan agar Lana tinggal sementara waktu di rumah orang tuanya.
“Tidak apa sayang, jangan khawatirkan aku. Lebih baik aku di sini.
Menunggumu sampai kau pulang. Lagipula, Nyonya Rosa tiap minggu akan datang
kemari mengambil rajutanku”, ujar Lana dengan mantap. Nyonya Rosa adalah salah
satu penduduk kampung yang membantu menjualkan hasil rajutan Lana. Beliau
pulalah yang membawakan benang serta keperluan Lana lainnya.
“Tapi aku akan lebih tenang kalau kau tinggal bersama Ibu. Lagipula,
bagimana jika aku tidak akan kembali? Bagaimana jika aku tewas di medan
pertempuran?”, mata Robi menatap istrinya dengan gundah.
Lana menempelkan telunjuknya di bibir Robi. “Apapun yang terjadi, aku akan
menunggumu, seperti biasa di meja makan itu”. Ekor matanya menatap meja makan
tempat mereka menghabiskan waktu bersama sambil menunggu malam.
Robi tahu tidak ada gunanya mendesak Lana. Dengan berat hati, ia pergi ke medan perang,
membela negaranya, sambil terus berharap untuk bisa bertemu lagi dengan Lana. Harapannya
terkabul. Perang usai dan Robi adalah salah satu prajurit yang selamat. Malam
ini, Robi dan teman-temannya yang juga selamat akan pulang ke kampung
masing-masing.
Namun rupanya, nasib menentukan lain. Truk yang ditumpangi Robi dan
kawan-kawannya jatuh ke jurang di sepanjang perjalanan menuju rumah mereka.
Sepertinya tidak ada yang selamat.
Di kampung Lana, berita selesainya perang sudah terdengar. Lana bersuka
cita seperti halnya perempuan-perempuan lain yang sama-sama ditinggal suami
atau kerabatnya. Tapi Lana tidak tahu kapan Robi akan pulang.
“Robi bisa pulang kapan saja”, pikirnya. Oleh sebab itu, dia mulai menata
meja makan lagi. Agar jika Robi pulang, dia akan melihat pemandangan yang sama
seperti dulu. Dua piring tertelungkup, alas makan rajutan, dua gelas porselen
dan sepasang sendok garpu. Tiap malam,
Lana juga duduk menanti sambil merajut di kursi meja makannya. Terkadang ia
menunggu Robi sampai tertidur.
Tapi Robi tidak kunjung pulang. Para pemuda dan pria lain yang selamat
telah kembali ke rumah mereka masing-masing. Tapi Robi tidak. Hingga hari
berganti minggu dan minggu berganti bulan.
“Sudahlah Lana, mungkin Robi sudah tewas. Kau ikhlaskan saja dia ya”, ujar Nyonya
Rosa saat mengambil rajutan Lana, “Ini sudah hampir 2 tahun sejak perang usai,
semua lelaki yang masih selamat dari perang sudah pulang dan kembali mengurus
ladang”, lanjutnya.
“Aku akan tetap menunggunya Bu, suamiku masih hidup”, dia berkata dengan
yakin, namun air mata mengambang di sudut mata Lana.
“Kalau dia masih hidup, seharusnya di sudah pulang kan? Sudahlah Nak,
jangan kau menyiksa dirimu dengan menyiapkan meja makan seolah suamimu
benar-benar akan pulang. Itu hanya akan membuatmu sedih”, kata Nyonya Rosa
sambil mengusap air mata Lana.
Lana tahu Nyonya Rosa tidak bermaksud jahat. Dia hanya kasihan melihatnya
terus menanti Robi dengan penuh harap, sekalipun mungkin Robi sudah mati.
Mati? Tidak, Robi masih hidup dan Lana bisa merasakan itu. Hanya saja, ada sesuatu
yang telah menghalangi Robi untuk kembali ke padanya. Lana yakin itu dan dia
bertekad untuk terus menunggu. Suatu hari nanti Robi akan kembali.
Hingga akhir tahun ke-3 setelah usai perang, Robi belum juga kembali, namun
Lana masih terus menata meja makan seolah-olah suaminya akan pulang.
Memasuki pertengahan tahun ke-4, Robi pulang. Selama ini Lana benar, dia
memang tidak tewas. Hanya saja, kecelakaan mobil tersebut telah merenggut
seluruh kenangannya. Robi hilang ingatan dan hidup menggelandang selama
bertahun-tahun. Ingatannya kembali saat suatu hari ia tiba di sebuah telaga.
Saat itulah sebuah gambaran akan danau lain tiba-tiba muncul dalam kepalanya.
Dia ingat semua, Lana, rumah mungilnya yang beratap jerami, yang berada di tepi
telaga. Telaga yang airnya sejernih kaca.
Dengan dipenuhi rasa syukur, Robi memulai perjalanannya pulang. Dia sampai
di kampungnya saat sudah lewat tengah malam. Saat itu cuaca dingan dan
berkabut. Tak ada seorangpun yang mengetahui kehadiran Robi.
Membuncah perasaan rindu dalam dada Robi. Kekangenannya semakin menjadi
tatkala rumah di tepi danau yang dirindukannya kini sudah ada di depan mata.
Dan di dalamnya, ada wanita yang dirindukannya lebih dari siapapun. Ia sudah
tidak sabar ingin memeluk Lana dan mengajaknya bercinta.
Robi hanya beberapa langkah kini di depan pintu rumah mereka. Dia melihat
jendela rumah sedikit terbuka. Entah kenapa dia mengurungkan niatnya untuk
membuka pintu dan memutuskan untuk mengintip melalui jendela.
Alangkah terkejutnya Robi, mendapati istrinya tidur terduduk di meja makan
mungil mereka. Dan lagi, di meja itu ada tatanan piring dan gelas dan makanan
yang sudah tidak lagi hangat. Tatanan meja yang sama seperti dulu. Istrinya
sedang menunggu seseorang. Siapa?
Lana tidak tahu aku akan pulang, tidak ada seorang pun di kampung ini yang
tahu. Jadi untuk apa Lana menyipakan meja makan seperti dulu tiap dia menyambut
kepulanganku?
Sejurus kemudian terbit air mata di pelupuk mata Robi. Mungkin Lana sudah
menikah dengan orang lain. Itu sebabnya dia menata meja makan. Ya, itu pasti
untuk menyambut suami barunya. Seperti
dulu saat dia menyambut aku.
Dua alur sungai kini menghiasi pipi Robi. Betapa dia sangat merindukan
istrinya. Terpukul rasanya melihat kenyataan bahwa istrinya telah menikah lagi.
Tapi itu bukan salah Lana. Wajar jika Lana menganggapnya sudah mati karena
dia tidak kunjung pulang bahkan bertahun-tahun setelah perang usai. Wajar jika Lana
berhenti menunggu dan menikah lagi.
Robi harus mau menerima kenyataan, betapapun besar rasa rindu dan cintanya
pada istrinya. Lana sudah bukan lagi menjadi miliknya.
Dilihatnya wajah tidur istrinya sekali lagi. Lalu ditutupnya perlahan
jendela rumah mungil mereka agar hawa dingin subuh hari tidak masuk.
“Selamat tinggal Lana...”, bisiknya sedih lalu melangkah pergi menuju
perbatasan. Robi merasa tak sanggup tinggal di sana jika harus melihat Lana
bersama lelaki lain.
Beberapa puluh meter dia melangkah, Robi merasa mendengar bisikan; “Apapun
yang terjadi, aku akan menunggumu, seperti biasa di meja makan itu”. Suara itu
seperti suara Lana saat dia akan berangkat berperang dulu.
Robi menghentikan langkahnya dan menoleh, tidak ada siapa-siapa. Bisikan
itu hanya khayalannya. Robi melihat rumah di tepi danau untuk terakhir kali.
Dia bertekad untuk tidak kembali. Kemudian dia melangkah tanpa menoleh lagi.
9 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.