Jumat, 09 November 2012

Jeruk-Jeruk Mbah Ti


Tujuh tahun lebih saya menikah dengan suami. Selama 7 tahun itu pulalah saya mengenal sosok Mbah Ti. Rumah Mbah Ti memang berada tepat di depan rumah orang tua suami. Setiap kali berkunjung ke rumah mertua, saya kerap menjumpainya. Namun saya tidak benar-benar memperhatikannya hingga beberapa bulan yang lalu, ketika saya juga ikut-ikutan menjadi tetangga Mbah Ti.
Mbah Ti berusia 70an. Kurus kering dan berkulit hitam. Mbah Ti bukan orang penting karena dia sebenarnya hanyalah seorang pemulung. Pekerjaannya tiap hari mengorek-ngorek sampah di sekitar kampung. Berharap ada barang-barang bekas yang masih punya nilai untuk dijual. 
Mbah Ti di suatu sore

Kalau tidak sedang memulung, dia kerap terlihat menjemur nasi setengah basi di atas tampah di depan rumah sewaannya. Sebenarnya rumah sewaan Mbah Ti tidak tepat juga dibilang rumah. Karena hanya berupa kamar berukuran 4x2 m yang dibagi menjadi 2 bilik. Satu bilik ditempati Mbah Ti dan yang sebelahnya ditempati seorang penyewa lain. Saya tidak pernah masuk, tapi dari luar saya bisa melihat dipan tempat tidurnya, lengkap dengan bantal guling tanpa sarung yang warnanya sudah tidak jelas. Putih keabu-abuan, atau abu-abu keputih-putihan. Untungnya tempat tinggal Mbah Ti letaknya bersebelahan dengan kamar mandi umum. Jadi dia tidak perlu kerepotan kalau memerlukan fasilitas MCK.
Mbah Ti dan bilik mungilnya

Kalau malam, terutama jika udara benar-benar gerah. Mbah Ti seringkali duduk-duduk di depan rumah dengan hanya mengenakan pakaian dalam model kuno yang sudah kedodoran. Tak jarang dia tampak menggosok-gosokkan balsem di kakinya untuk membantunya mengurangi penat. Sesekali dia menyapa atau menjawab sapaan orang lewat. Ketika malam semakin larut, dia akan masuk ke bilik mungilnya yang hanya diterangi sebuah bohlam berwarna kuning. Beristirahat mengumpulkan tenaga untuk kembali mengorek-ngorek tempat sampah keesokan harinya.
Saya punya kesempatan mengenal Mbah Ti ketika pembangunan rumah kami dimulai. Kebetulan rumah itu letaknya tepat di belakang rumah orang tua suami. Seperti kebanyakan orang yang sedang membangun rumah, selama proses pembangunan dan pindah rumah tentu saja banyak barang-barang rongsokan. Entah kayu, triplek, kardus bahkan besi-besi. Oleh Ayah saya –yang kebetulan menjadi pengawas proyek pembangunan – Mbah Ti diberikan ijin penuh untuk mengambil semua barang-barang tersebut. Kegirangan Mbah Ti sungguh di luar dugaan. Berkali-kali dia mengucapkan terima kasih sambil meminta maaf karena tidak sanggup membeli barang-barang yang dia ambil. Tentu saja dia tidak perlu membayar, bagi kami barang-barang tersebut sudah tidak ada harganya. Malahan kami kan justru terbantu, karena dengan diambilnya barang-barang tersebut, kami tidak perlu kebingungan menyingkirkan barang-barang yang sudah tidak terpakai tersebut.
Rupanya Mbah Ti bukan pemulung biasa. Merasa apa yang diambilnya adalah rejeki yang luar biasa, sesekali dia datang ke rumah sambil mengantarkan 1 kresek kecil berisi beberapa butir jeruk. Dia bilang, itu untuk mengganti barang-barang bekas yang dia ambil.
Kami semua benar-benar dibuat melongo dengan apa yang dilakukan Mbah Ti. Betapa besarnya keinginan Mbah Ti untuk menunjukkan rasa terima kasih. Sekalipun itu dia tunjukkan dalam bentuk yang sangat sederhana seperti beberapa butir jeruk lokal yang dia antarkan ke rumah kami.
Bagaimana dengan kita? Saya 99% yakin Anda dan saya memiliki tingkat ekonomi yang lebih dibanding seorang Mbah Ti. Dengan kondisi keuangan yang lebih baik dari seorang pemulung sampah, sudahkah kita tunjukkan rasa terima kasih terhadap orang-orang yang bersikap baik kepada kita? Sudahkah kita tunjukkan balas budi kepada orang tua kita? Terlebih lagi kepada Allah?
Mungkin kita tidak merasa bahwa sebenarnya kita banyak sekali menerima nikmat. Terutama dari Allah. Namun alih-alih berterima kasih atau membalas budi, kita sering malah melupakan karunia yang sudah kita terima. Lebih parah lagi, kita malah menggerutu dengan apa yang sudah diberikan dan selalu saja merasa kurang. Yang paling parah, kita malah menyalahkan Allah. Naudzubillahimindzalik.
Allah telah berfirman dalam QS An Nahl:18, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Allah memang tidak sama dengan kita yang bisa saja haus  diberi ucapan terima kasih usai berbuat suatu kebaikan. Allah tidak membutuhkan balas budi dari makhlukNya. Justru kita lah yang butuh berterima kasih pada Allah, sebagai perwujudan rasa syukur. Sebagaimana Allah telah berjanji dalam QS Ibrahim:7, “Dan, tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih"”.
Kita memang butuh bersyukur, agar Allah menambahkan lagi nikmat-Nya dan agar Allah tidak menurunkan azab-Nya.
Dan dalam hal berterima kasih, Mbah Ti adalah juaranya. Kami tidak memberikan uang ataupun benda berharga. Yang kami berikan hanyalah ijin untuk mengambili barang-barang bekas di rumah. Itupun sebenarnya juga salah satu bentuk simbiosis mutualisme karena toh kami diuntungkan dengan dibantu menyingkirkan barang-barang bekas. Tapi tetap saja, Mbah Ti merasa tidak cukup hanya berterima kasih di mulut saja. Jeruk-jeruk pemberian Mbah Ti adalah bukti keinginan besarnya membalas budi.
Nah, jika tidak ingin kalah dengan Mbah Ti. Mari kita belajar berterima kasih atas segala nikmat yang telah Allah berikan. Sesederhana apapun bentuknya. Mari kita belajar mengungkapkan rasa terima kasih tidak hanya di mulut saja. Menambah intensitas ibadah dan membelanjakan harta di jalan Allah adalah beberapa di antara bentuk rasa terima kasih atas karunia Allah. Mungkin tidak selalu mudah, terutama yang bagian membelanjakan harta di jalan Allah. Tapi bukankah dalam segala keterbatasannya, toh Mbah Ti masih bisa membelanjakan uangnya untuk membelikan kami beberapa butir buah jeruk demi menunjukkan rasa terima kasihnya? 

Allah Maha Besar
Thank you to let me born as a moslem ^-^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)