Episode kehidupan saya berbalik 180 derajat
semenjak saya menjadi ibu. Semenjak kecil hingga dewasa, saya banyak
menghabiskan waktu di luar rumah. Namun secara naluriah semua itu berubah manakala
bayi pertama saya lahir. Memang saya masih tetap bekerja di kantor seperti
sebelum melahirkan. Tapi sudah tidak ada lagi acara kongkow-kongkow,
menghabiskan waktu di toko buku atau menonton film favorit di bioskop. Begitu
jam kerja berakhir, otomatis saya langsung melesat pulang menemui sang bayi. Saya
memang seolah kehilangan “kebebasan”. Jujur saja awalnya memang sedikit kaget
saat menyadari kenyataan tersebut. Tapi mana sempat saya berkaget-kaget terlalu
lama, karena ternyata saya dihadapkan pada banyak hal baru yang harus segera
saya pelajari. Memandikan bayi, memakaikan baju, menyusui sampai menidurkan
bayi. Saya seakan menjadi satu spesies yang dibawa di habitat yang baru. Saya
harus segera beradaptasi. Jika tidak, saya tidak akan survive.
Dalam perjalanan selama lebih dari 5 tahun
menjadi ibu, Anak-anak membuat saya bermutasi. Tidak hanya merubah status
lajang menjadi ibu. Mereka mengajarkan saya merubah diri dari zombie menjadi
manusia. Betul, dulu saya adalah mayat hidup. Saya bisa bergerak kian kemari,
tapi saya tidak punya tujuan kecuali mencari daging manusia untuk
dirobek-robek. Saya adalah zombie yang hidup demi mencari sesuap nasi. Bangun
pagi, ke kantor, pulang, tidur, demikian pula esok harinya. Semua seakan
berjalan secara otomatis seperti robot. Saya tidak lagi memiliki karsa. Saya merasa
senang saat gajian atau dapat bonus. Namun di saat bersamaan saya merasa miskin
karena satu-satunya yang membuat saya bahagia hanyalah uang. Bukan maksud saya
untuk tidak mensyukuri rejeki yang Tuhan berikan melalui perusahaan tempat saya
bekerja. Tentu saja saya bersyukur. Namun, jauh di lubuk hati yang terbungkus
oleh badan zombie saya, rupanya masih ada sebagian kecil nurani manusia yang
terus memberontak.
Nurani itu terus berteriak, tapi suaranya kecil
sekali seakan dia berada di kejauhan. Dulu saya memang sempat menjadi manusia
dan tidak tahu pasti sejak kapan menjadi zombie. Bisa jadi, selama dulu saya
masih menjadi manusia, sang nurani sudah berteriak sedemikian lantang. Tapi
saya tidak mau mendengarnya karena terlalu sibuk dengan dunia yang saya kira “zona
nyaman”. Dan kini, saat semua hampir terlambat dan saya sudah menjadi zombie,
suara itu masih berteriak, namun pelan. “Ada sesuatu yang salah”, demikian
suara itu berkata lagi dan lagi. Dan ketika kali pertama saya menyadarinya,
beribu tanya pun bermunculan. “Apa yang salah?”, “Apa yang harus aku lakukan?”,
“Bagaimana caranya?”.
Dan semua tanda tanya itu terjawab berkat
anak-anak. Memang prosesnya tidak instan. Butuh waktu untuk menemukan
jawaban-jawaban atas segala kebingungan saya. Saya bersyukur saya masih dalam
fase menjadi zombie saat mendengar bisikan nurani. Belum benar-benar sekarat
atau bahkan mati. Jadi masih belum terlambat untuk mencari jawaban-jawaban
semua tanya tersebut.
Dan inilah beberapa poin penting yang diajarkan
guru-guru kecil saya:
- Berani bermimpi
Saat kami sedang bicara
tentang cita-cita, saya bertanya pada gadis kecil saya: “Apa cita-cita Kakak?”.
Jawabnya dengan mantap; “Aku mau jadi Batman”. Tentu saya merasa geli mendengar
jawabannya dan spontan menjawab; “Wah keren, Kakak bisa menolong banyak orang
dong”.
Tentu saja saya menganggap
omongannya tidak masuk akal. Dalam hati saya pun berpikir; “Batman kan cuma ada
di film, mana bisa kita beneran jadi Batman?”. Jawaban spontan saya tadi
sebenarnya hanyalah semata-mata menghormati antusiasmenya akan sang superhero.
Tapi lagi-lagi saya berpikir,
gadis kecil saya tahu pasti bahwa Batman adalah seorang laki-laki. Dan dia
berani mengkhayalkan, jika sudah dewasa nanti, dia yang seorang perempuan pun
bisa jadi Batman.
Saya jadi ingat mimpi Wilbur
dan Oliver kecil yang mengkhayalkan untuk bisa terbang. Seandainya saja kedua
Wright bersaudara itu tidak berani memimpikan suatu hal yang tampak mustahil
kala itu, mungkin kita tidak akan pernah bisa bepergian dengan pesawat terbang.
Benar, segala sesuatu di muka
bumi ini, sejarah luar biasa yang pernah ditorehkan oleh tokoh-tokoh hebat di
masa lalu, semuanya berawal dari mimpi.
Dan dengan sangat sedih, saya
menyadari satu hal; selama ini saya tidak punya impian sama sekali. Atau lebih
tepatnya saya tidak berani bermimpi. Saya tidak pernah punya impian yang “edan”
seperti gadis kecil saya.
Selama ini hidup saya hanya
mengikuti aliran air. Tidak berbeda seperti zombie yang bergerak karena
mengikuti bau manusia. Semenjak itu, saya pun bertekad untuk mencari sungai
saya sendiri. Tapi justru itulah fase tersulit saat proses mutasi menjadi
manusia. Saya ingin bermimpi, tapi tidak tahu harus memimpikan apa.
Hari berganti minggu. Minggu
berganti bulan. Dan bulan berganti tahun. Butuh puluhan bulan untuk sampai pada
tahap mengerti apa impian saya sebenarnya. Dan itu pun melalui proses yang
tidak mudah. Saya mencoba beberapa hal. Tentunya riset saya itu akhirnya
merubah segalanya. Rutinitas saya berganti. Segalanya menjadi acak. Tampaknya
tidak jelas, karena usai mencoba hal ini, saya mencoba hal itu, lantas mencoba
hal lain lagi.
Namun lama kelamaan semuanya
menjadi jelas. Perlahan saya mulai menyadari apa impian saya. Dan itu bisa
dibilang cukup “edan” karena jika saya benar-benar ingin mewujudkan impian, itu
artinya merubah seluruh pakem yang selama bertahun-tahun telah saya jalani.
Tentu saja tidak mudah untuk membuat orang-orang terdekat memahaminya. Tapi
saya membuktikan kesungguhan dan keseriusan saya. Perlahan tapi pasti, sosok manusia
dalam diri saya terlahir lagi. Reborn. Menyisihkan dominasi zombie yang sudah
bertahun-tahun menguasai badan dan pikiran saya. Dan itu berkat gadis kecil
saya yang berkata; “Mama, kalau sudah besar aku mau jadi Batman”.
- Tidak mengenal kata “takut”
Suatu hari di playground
sebuah Mall. Anak saya dan seorang anak lain sedang bermain ayunan. Jika anak
lain itu cukup riang gembira dengan berayun-ayun, anak saya mengkombinasikannya
dengan meloncat lepas dari ayunan saat dia berayun di titik tertinggi. Spontan
saya menjerit kaget. Tapi melihat dia baik-baik saja dan tertawa senang, saya
lantas diam saja dan mengawasinya dari kejauhan.
Pelajaran nomor dua dari
anak-anak; mereka tidak mengenal kata “takut”. Yang ada hanyalah mereka akan
senang jika melakukan hal itu. Mereka tidak banyak berpikir akan segala bahaya
dan resiko, juga tidak memusingkan apa pendapat orang lain. Mereka sangat
spontan dan mendapatkan kesenangan dari spontanitasnya.
Sebagai orang dewasa yang
“merasa” lebih tahu segalanya ketimbang anak-anak, tentu saja saya banyak
mempertimbangkan ini itu sebelum melakukan sesuatu. Jarang sekali saya
mengambil keputusan spontan. Padahal justru yang spontan itulah yang berasal
dari hati.
Demikian halnya saat saya
mulai memahami apa yang diinginkan hati nurani saya. Tidak mudah mengenyahkan
sifat zombie yang takut akan rasa lapar. Mimpi saya sempat memudar beberapa
kali dan berniat untuk menjalani saja hidup ala zombie yang nyatanya sangat
nyaman ini.
Tapi karena fase tersulit
pencarian mimpi sudah saya lalui. Mengalahkan rasa takut terasa jauh lebih
mudah. Saya mulai belajar untuk mengambil keputusan-keputusan spontan.
Terkadang memang salah. Tapi tak mengapa. Ini sama saja dengan sifat anti takut
anak-anak yang membuat mereka sesekali jatuh, tersandung atau terbentur. Tapi
toh, mereka itu tidak akan membuat mereka takut untuk bermain di tempat yang
sama atau memainkan permainan yang sama bukan?
Saya mulai belajar
mendengarkan apa yang dibisikkan hati saya. Dan perlahan tapi pasti, ketakutan
saya memudar dan keinginan mewujudkan impian semakin mantap. Dan itu semua
karena anak saya yang berani meloncat lepas dari ayunan saat sedang berayun di
titik tertinggi.
- Memulai segalanya dari kertas kosong
Gadis kecil saya senang
menggambar. Untuk hobinya itu saya harus menyediakan berlembar-lembar kertas
kosong untuk dia gambari (Saya kerap membawa kertas bekas dari kantor). Bukan
apa-apa. Karena dia tidak suka menggambar tema yang berbeda di kertas yang
sama, walau di kertas sebelumnya masih cukup ruang untuk digambari yang baru.
Dia selalu ingin memulai segalanya dari kertas kosong.
Memang sih, anak saya itu
senang mempelajari tokoh kartun Spongebob untuk dia gambar. Dan hasilnya adalah
dia menggambar Spongebob berkaki panjang dan Squidword berkepala besar. Dia
tidak peduli walau apa yang dia lakukan melenceng dari pakem dan dia tampak
bangga dengan yang dia lakukan.
Melihatnya, saya jadi sadar
betapa asyiknya menemukan kesenangan tanpa harus latah terhadap apa yang
dilakukan orang lain.
Tadinya saya memang senang
ikut-ikutan. Mulai dari gaya berpakaian, berhijab sampai mencari ide-ide usaha.
Saya pernah menjalani beberapa hal hanya karena orang lain sukses melakukannya.
Saya tidak pernah berpikir apakah saya bakal senang hati menjalaninya atau
tidak. Sekarang anak saya telah mengajarkan saya betapa asyiknya menjalani
hal-hal yang kita senangi dan itu tidak harus sama dengan yang dilakukan orang
lain.
Saya tetap bisa bersuka hati
dengan gaya berpakaian atau berhijab saya yang lama tanpa harus mengikuti
trend. Karena memang itulah jati diri saya.
Saya tetap bisa bersuka hati
menjalani kesenangan saya untuk blogging tanpa harus mengikuti trend
kawan-kawan saya yang getol berjualan online. Karena memang itulah passion
saya.
Memang tidak ada satu pun di
dunia ini yang orisinil. Namun, perbedaan tetap bisa diciptakan jika kita mau
mengawali segalanya dari kertas kosong. Tanpa template yang sudah dibuat orang
lain. Tanpa meng-copy paste- dari apa yang sudah dikerjakan orang lain.
Proses berpikir, mencari hal baru, akhirnya
membuang sosok zombie dalam diri saya sejauh-jauhnya. Dan itu semua berkat
guru-guru kecil saya yang tanpa mereka sadari telah mengajarkan 3 hal penting
tentang kehidupan sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.
“Apa yang salah?”, kesalahan saya adalah selama
ini saya takut untuk bermimpi.
“Apa yang harus saya lakukan?”, bermimpilah,
sekalipun itu tampak “edan” dan “tak masuk akal”, tak perlu takut apa pendapat
orang lain.
“Bagaimana caranya?”, mulailah dari kertas kosong
karena di situlah jati diri kita yang asli berada.
I love you both; Rosabrille and Kairo <3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.