Sabtu, 02 Juli 2011

2 Dosa(ku) Sebagai Seorang Ibu

Orang tua manapun pasti menginginkan punya anak yang penurut (bahasa Jawanya: manut) alias mau mengikuti apa yang diinginkan orang tua. Alangkah mudah kalau anak-anak kita (minimal anak-anak saya) tidak banyak membantah, tidak banyak merengek, diminta melakukan ini itu mau-mau saja dan tidak banyak protes. Potret anak-anak seperti itu, kata Ibu saya, banyak dimiliki oleh anak-anak produk keluaran lama. Termasuk generasi saya.

Bukannya mencap saya sebagai anak yang penurut, tapi kalau diingat-ingat sih saya memang mendekati ciri-ciri anak yang saya sebutkan di atas. Memang saya nggak baik-baik amat, sedikit nakal juga si, tapi kalau sudah dimarahi biasanya langsung kapok. Hehe...

Oke, sebelum kita berlarut-larut membahas masalah masa kecil saya, mari kita kembali ke topik bahasan utama, yakni masalah dosa. Jujur saya pilih kata yang sedemikian hiperbolik agar 2 hal yang akan saya tulis ini menjadi pengingat, paling tidak bagi saya sendiri, agar saya terhindar dari kesalahan fatal sebagai orang tua. Ya, karena anak-anak keluaran terbaru cenderung lebih banyak protes dan punya banyak kemauan hingga jika tidak di-handle with care, saya kuatir akibatnya akan jadi salah asuhan. Nah, ujung-ujungnya kita sebagai orang tua akan gagal mengemban amanat yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa, yakni mendidik dan membina anak-anak. Itulah juga salah satu alasan mengapa saya memilih kata “dosa” dan bukan kata “kesalahan”.

Dosa sebagai Ibu yang saya maksudkan bukan karena Ibu tidak bisa masak, tidak bagus menata rumah, atau Ibu yang terlalu sibuk bekerja, tidak bisa mengantar ke sekolah atau tidak bisa tidak bisa lainnya. Dosa ini sepele, namun sering terlupakan dan fatal jika kita lalai dan menganggapnya remeh, yaitu:

1. Tidak mau menunggu
“Bril, ayo mandi!”
“Sebentar Ma”
“Ayo cepet udah jam brapa ini, nanti terlambat”
“Sebentar Ma”
“Udah to, jangan nonton TV terus, ayo mandi”, sambil saya mematikan TV.
“Huaaaa.....!!!!, aku masih mau nonton....!!!”
Selanjutnya bisa ditebak, saya akan langsung nyerocos mengomeli Abril bahwa dia harus disiplin waktu dan Abril akan memprotes tindakan saya yang langsung mematikan TV. Kejadian itu akan bermuara menjadi serangkaian kata-kata amarah yang keluar dari mulut saya, tangisan Abril yang semakin keras dan yang paling parah bisa-bisa saya menampar pipinya (walau tidak terlalu keras). Akhirnya keinginan saya agar dia segera mandi tidak tercapai serta yang saya sesalkan, bisa jadi saya telah menggoreskan luka di hatinya dengan amarah dan tamparan saya.
Kejadian di atas tidak perlu terjadi seandainya saya mau sebentar saja menunggu barang sejenak. Maksudnya di sini bukan menunggu hingga acara TV kesukaannnya selesai, melainkan menunggu hingga mendapat timing yang pas. Saya bisa saja melihat apa yang dia tonton dan bernegosiasi bahwa dia harus segera mandi setelah jeda iklan, atau saya beri waktu menonton 5 menit lagi baru kemudian dia harus mandi. Ternyata sebenarnya dia mau kok mematuhi kesepakatan yang dibuat, asalkan kita sendiri juga konsisten.
Itulah problemnya. Terkadang saya (atau mungkin kita) begitu tidak sabaran sehingga tidak mau mengerti kepentingan mereka. Sebagai Ibu, saya seringkali punya kemauan agar anak melakukan perintah saat itu juga, dan tatkala mereka tidak mau melakukan, saya langsung menganggapnya tidak patuh padahal sebenarnya yang dia inginkan adalah “sedikit penundaan”. Bukankah kita sendiri juga seringkali seperti itu? Kita pun juga tidak suka jika diperintah melakukan sesuatu saat sedang berkutat dengan suatu hal. Paling tidak kita juga ingin diberi waktu sejenak untuk menswitch tenaga dan pikiran dari satu job ke job yang lain.

2. Tidak mau mendengar
Kalau saya sedang berbicara atau menasehati anak dan dia cuek saja, tentu saja saya akan marah dan sudah dipastikan saya akan mulai mencerewetinya dengan omelan.
Saya akan menganggapnya nakal karena tidak mau mendengar.
Padahal jika yang terjadi adalah sebaliknya, jika dia sedang berbicara, saya pun seringkali menganggapnya sebagai angin lalu. Ya, karena yang dibicarakan olehnya saya anggap hal yang sepele dan tidak penting.
Ya, satu lagi dosa sebagai orang tua adalah selalu menganggap omongan kita penting untuk dia dengar dan omongan anak tidak penting untuk kita dengar. Padahal anak juga butuh didengar, walaupun itu hanya sekedar pertanyaan yang menurut kita konyol atau cerita tentang teman sepermainannya. Bagi dia, ulah temannya di sekolah adalah hal super penting yang kita harus tahu.
Anak berbicara atau bertanya pada kita karena dia menghargai kita sebagai teman berbagi (sebaiknya poin ini jangan sampai dilupakan). Fatal akibatnya jika kita terlalu sering cuek terhadap ocehannya. Dia akan menganggap kita bukan lagi sebagai teman sharingnya dan dia akan mencari teman lain yang bisa dianggapnya lebih mau mendengar. Apakah dengan begitu tidak akan membuat kita semakin nelongso? Bahwa anak kita lebih memilih orang lain ketimbang orang tuanya sendiri untuk berbagi? Belum lagi kemungkinan dampak negatifnya jika dia memilih teman yang salah?

Hal yang saya tulis di atas lebih merupakan refleksi diri selama lebih dari 4 tahun menjalani peran sebagai orang tua. Mohon maaf kalau salah karena waktu 4 tahun memang masih usia kanak-kanak, jadi belum pantas kiranya kalau saya sudah menuliskan hal-hal berbau parenting advice. Syukur-syukur tulisan ini bisa bermanfaat bagi para ibu untuk kembali mengintrospeksi diri agar bisa menjadi orang tua, teman dan sahabat yang lebih baik bagi anak-anak.

Gambar diambil dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)