Senin, 09 Februari 2015

Sepuluh Bungkus Nasi

Pagi ini, teman kerja saya menceritakan sebuah kisah yang luar biasa;
*
Minggu pagi, tanggal 8 Februari, saya terpaksa membatalkan niat untuk diam di rumah dan memanjakan diri. Saya harus segera berangkat ke pabrik tempat saya bekerja, menyelesaikan hal-hal yang hanya bisa dikerjakan di hari Minggu, ketika mesin-mesin pabrik sedang tidak beroperasi.
Karena masih terlalu pagi untuk sarapan di rumah, saya memilih untuk berhenti di sebuah warung kopi yang juga menjual nasi. Tidak mahal, cukup dengan lima ribu rupiah, saya sudah bisa menikmati nasi bungkus dengan aneka pilihan lauk. Saya mengambil sebungkus nasi dengan tulisan “Tongkol” dan mulai menyantapnya. Ketika mulai makan, saya langsung sadar betapa pagi itu sangat istimewa, sebab saya sarapan dengan ditemani alunan suara orang mengaji. Suara itu berasal dari pengeras suara Masjid yang tepat berada di sebelah warung kopi.
Satu bungkus ternyata tidak cukup. Saya mengambil lagi sebungkus nasi, kali ini dengan tulisan “Telur Dadar”. Saya sudah menghabiskan hampir separuh nasi bungkus yang kedua, ketika melihat sepasang suami istri yang sudah sepuh berjalan ke arah warung tempat saya sedang makan.
Mereka bukan suami istri biasa. Usia keduanya saya perkirakan tidak kurang dari enam puluh tahun dan sudah pantas dipanggil “Mbah”. Tubuh mereka yang kurus dengan kulit terbakar matahari itu berbalut kaus oblong berwarna kusam dan ditumpuk dengan rompi berwarna jingga khas petugas kebersihan. Sang istri mengenakan selembar kain di atas kepala dan mengikat kedua ujungnya di bawah dagu. Ia berjalan perlahan sambil mengamati tong sampah di tiap-tiap rumah, sementara sang suami menarik sebuah gerobak. Setiap melewati tempat sampah di depan rumah, mereka berhenti, lantas memindahkan isi tempat sampah ke dalam gerobak yang mereka bawa ke mana-mana.
Keduanya ternyata berhenti di warung tempat saya sedang makan. Sang istri lantas mendatangi pemilik warung dan minta untuk disiapkan sepuluh bungkus nasi. Sementara itu, suaminya menunggu agak jauh, sembari memegang gerobak sampahnya seolah takut gerobak itu akan lari jika tidak dipegangi.
Saya memperhatikan raut muka penjaga warung yang tengah melayani permintaan ibu tukang sampah itu. Ekspresinya campur baur, antara heran, bingung dan curiga. Saya menduga, pemilik warung khawatir wanita berpakaian lusuh itu tidak mampu membayar pesanannya.
Kehadiran perempuan itu rupanya juga menarik perhatian laki-laki yang juga tengah menikmati sarapan dengan saya di warung yang sama. “Mborong nasi, Bu?” tanyanya dengan wajah penasaran.
Nggih,” jawab perempuan itu singkat, lantas membayar nasi yang dipesannya. Lima puluh ribu rupiah untuk sepuluh bungkus nasi.
Ketika kedua “Mbah” itu melanjutkan perjalanan, saya menghentikan acara sarapan dan memilih untuk memperhatikan mereka. Saya sungguh penasaran, ingin tahu hendak mereka apakan nasi bungkus sebanyak itu. Dan sungguh, saya nyaris tidak bisa menelan nasi yang ada di hadapan saya ketika melihat apa yang mereka lakukan.
Mereka berjalan ke arah Masjid yang terletak tepat di sebelah warung kopi tempat saya sedang sarapan. Nasi bungkus itu mereka berikan kepada pengurus masjid. Saya melihat  seorang lelaki berpeci dan berkain sarung menerima nasi-nasi bungkus itu. Dengan sumringah, lelaki itu mengucapkan terima kasih lantas mengucapkan sesuatu. Wanita sepuh itu mengangguk-angguk dan menjawab “Aminnn...”. Mungkin lelaki itu baru saja mendoakannya. Setelah itu, suami istri yang lebih pantas jika berada di rumah dan asyik bermain dengan cucu itu berjalan lagi, melanjutkan aktifitas yang sama seperti sebelumnya, mengambili sampah dari rumah ke rumah.
Saya tertegun melihat pemandangan yang baru saja saya saksikan. Saya tak menyangka pasangan suami istri tukang sampah itu ternyata membelikan nasi untuk orang-orang yang tengah membaca kalam Ilahi di Masjid. Itu benar-benar hal yang tak pernah terbersit dalam benak saya. Sama sekali.
Pagi itu saya sungguh malu. Saya menghabiskan dua bungkus nasi untuk memuaskan lambung saya sendiri. Sedangkan kedua orang tua tadi, yang entah mereka sendiri sudah makan atau belum, malah membeli makanan untuk orang lain.
Saya merasa tertampar. Mereka dengan mudahnya mengeluarkan uang puluhan ribu untuk berbagi dengan sesama. Sedangkan saya, yang isi dompetnya mungkin berkali-kali lipat lebih banyak daripada suami istri tukang sampah itu, terkadang masih merasa terpaksa ketika harus mengeluarkan uang untuk berbagi. Apalagi berbagi dengan cara yang mereka lakukan tadi. Mereka itu, dengan pendapatan sebagai tukang sampah yang sudah bisa dipastikan pas-pasan, dengan entengnya mengeluarkan uang lima puluh ribu untuk membelikan nasi bungkus bagi para pemakmur Masjid.
“Kok bisa ya mereka kepikiran untuk melakukan itu?” pertanyaan itu tak henti-hentinya menghantui pikiran saya.  Selama ini, kalaupun saya bersedekah, saya masih pikir-pikir dulu. Pikir-pikir berapa banyak yang bisa dikeluarkan, juga pikir-pikir apakah orang yang menjadi sasaran sedekah memang layak diberi karena tidak mampu. Nah saking banyaknya yang dipikir-pikir, kadangkala sedekahnya malah tidak jadi. Tapi kedua suami istri sederhana itu bersedekah tanpa banyak pikir. Mereka tidak melihat apakah orang-orang yang sedang mengaji itu memang layak diberi karena tidak mampu membeli makan sendiri. Suami istri itu hanya melihat bahwa di dalam Masjid itu ada saudara-saudara seiman yang sedang berjuang di jalan Allah, memakmurkan Masjid dengan membaca ayat-ayat Ilahi.
Saya terpekur agak lama di warung kopi itu, sambil memperhatikan rekan-rekan kerja saya yang melintas satu per satu, lantas saya meringis karena hati serasa teriris. Kawan-kawan saya yang baru saja lewat itu juga tak jauh berbeda dengan saya, setiap bulan pasti menerima gaji bulanan yang jumlahnya tidak sedikit jika dibanding dengan penghasilan seorang tukang sampah. Tapi apa yang seringkali kami lakukan? Mengeluh “tongpes” ketika masih pertengahan bulan, menggerutu karena kenaikan gaji yang tidak sesuai harapan, menyalahkan harga-harga yang terus mengalami kenaikan. Pokoknya tiada hari tanpa mengeluh, menggerutu dan menyalahkan. Begitu terus-menerus. Sedangkan suami istri yang sepuh tadi, alih-alih mengeluhkan gaji mereka yang tak seberapa dan di bawah standar upah minimum kota, malah dengan mudah mengeluarkan uang untuk bersedekah.
Sumpah, saya jadi merasa kalah! Kalah dari suami istri tukang sampah. Kalah dalam hal bersedekah. Kalah dalam hal berlomba-lomba menjadi lebih mulia di mata Sang Maha Rahmah :’(
*
Seperti dituturkan oleh Imron Rosyadi, karyawan swasta PT ISM bogasari flour mills, Surabaya.
*
Artikel ini diikutsertakan pada kompetisi BlogNurul Hayat : Nyala Inspirasi untuk Negeri


4 komentar:

  1. Kisah yang menampar sekali ini.. saya juga merasa tertampar :((
    btw, nice post, Mbak.. salam kenal :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga mbak. Thanks sudah mampir baca :)

      Hapus
  2. Late read this great story.....tp blm terlambat utk mentauladani nya, thanks to remind. Big hug for abril dan ero. Heny

    BalasHapus
  3. Late read the great story, dik....tp blm terlambat utk mentauladani, thanks to reminder.

    BalasHapus

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)