Sabtu, 28 Februari 2015

[Cerpen] Perawan-Perawan Tua

“Maaf, aku tidak bisa menikah denganmu. Aku dijodohkan,” desis Sobri lirih. Tak berani ia menatap mata perempuan di hadapannya yang mulai dipenuhi kristal-kristal bening.
“Kenapa kamu tidak menolaknya dan bilang kalau kita...” perempuan itu tak kuasa melanjutkan kata-katanya yang terbenam dalam sedu sedan.
Sobri bergeming dan menunduk. Ia tak bisa menjawab.
“Karena kamu sebenarnya sudah tidak cinta sama aku lagi kan? Karena kamu lebih suka sama perempuan genit yang suka cekikikan saat mencuci di kali itu kan?” desak perempuan itu setelah berhasil mengenyahkan isakannya. Kristal di matanya sempurna jatuh di pipinya yang ranum.
Sobri menggeleng, walau dalam hati ia membenarkan. Ya, wanita yang dijodohkan dengannya itu memang lebih cantik dan menarik. Laki-laki mana yang sanggup menolak dinikahkan dengan kembang kampung semacam itu? Sekalipun itu berarti ia harus mengkhianati perempuan di hadapannya ini.
Sadar bahwa diamnya Sobri berarti membenarkan perkataannya, perempuan itu menampar pipi lelaki itu sekeras-kerasnya. Tapi itu tidak lantas membuat amarahnya mereda. Dalam duka lara yang melahirkan dendam, ia berlari pulang sembari merapalkan sebuah doa. Doa yang didengar dan dicatat oleh langit.
Saat itu, ada satu hal yang keduanya tidak sadari. Bulan depan, perempuan itu tidak lagi mendapat menstruasi.
*
“Sundari...!!! Calon suamimu mati lagi....!!!” teriak salah satu warga desa, membuat Sundari yang tengah membersihkan rumah untuk persiapan pernikahannya dua hari lagi itu terkesiap.
Mas Dulah mati? Tidak mungkin! pikir Sundari menolak percaya.
Ibunya bergegas menghampirinya dan merengkuhnya dalam pelukan. “Sabar ya, Nduk...” bisiknya.
Mendengar bisikan ibunya, Sundari sadar berita itu benar. Calon suaminya mati, untuk yang kesekian kali. Seketika, hilanglah tulang-tulang penyangga tubuh Sundari. Bukan hanya karena dia sudah sangat mencintai Dulah yang baru saja mati tertabrak kereta, namun lebih karena ini kegagalan pernikahannya yang keempat sejak pertama kali dia dipinang oleh Rifai beberapa tahun lalu.
Dulu, Rifai tiba-tiba jadi gila hanya beberapa minggu sebelum akad nikah. Tak lama, Rifai menemui ajalnya di rumah sakit jiwa.
Lantas Nyoto yang meminangnya selang setahun kemudian tenggelam di sungai saat menambang pasir.
Sundari sempat enggan menerima pinangan lagi sampai kemudian ia berjumpa dengan Taufik, pedagang mi yang selalu berwajah seperti habis mandi. Sundari jatuh cinta lagi. Namun setelah keluarganya memberikan seserahan, Taufik dirampok saat pulang berjualan mi. Rombong minya hancur dan tubuhnya ditemukan tak bernyawa dengan leher tergorok. Lagi-lagi Sundari meratap.
Butuh waktu beberapa tahun untuk melupakan Taufik sampai kemudian muncul Dulah, lelaki pendatang yang jatuh hati pada Sundari tanpa peduli pada dengungan orang-orang kampung tentang tulah yang menimpa Sundari. Ia tidak percaya bahwa siapapun yang berniat menikahi Sundari akan menemui malaikat maut dengan cara yang mengenaskan.
Setelah kematian Dulah yang hanya dua hari menjelang akad nikah, Sundari akhirnya percaya bahwa dia harus menerima kenyataan bahwa tulah itu memang benar-benar nyata. Lelaki mana pun pasti akan celaka jika berniat menikahinya. Dan itu artinya, dia harus berbesar hati menyandang status “perawan tua” sepanjang hidupnya.
Tahun demi tahun berlalu.
“Hidup tanpa suami ternyata tidak terlalu buruk ya, Mbak Sri?” tanyanya pada Sriani, teman masa kecilnya yang juga belum mendapat jodoh. Saat itu usia keduanya sudah hampir mencapai kepala lima.
Sriani tidak menjawab. Dalam benaknya terbayang ibunya yang saat ini menghabiskan hari-hari terakhirnya di tempat tidur dalam keadaan lumpuh. Bergidik dia membayangkan hal yang sama bisa saja menimpanya kelak. Siapa yang akan menyeka tubuhnya tiap hari? Siapa yang membersihkan kotorannya tiap ia buang air? Siapa yang menyuapkan makanan? Siapa yang akan menemaninya melalui hari-hari terakhir penghujung hidupnya jika ia tidak punya pendamping maupun keturunan? Sekejap terbit rasa sesal di hatinya karena di masa muda dulu dia lebih memilih untuk sibuk bekerja ketimbang menikah.
“Ngomong-ngomong bagaimana keadaan ibumu, Mbak?” tanya Sundari seraya mengangsurkan semangkuk bubur sumsum. 
“Ya masih seperti itu, Ndari. Belum ada kemajuan yang berarti. Tapi setidaknya dia tidak pernah mengomel lagi kalau melihat kita bersama,” Sriani terkekeh. Sampai sekarang ia dan Sundari tak pernah paham mengapa ibunya begitu membenci hubungan pertemanan mereka. Padahal Sundari, yang lebih muda setahun darinya, adalah anak baik-baik dari keluarga baik-baik pula, tapi ibunya selalu memandang Sundari dengan tatapan benci dan jijik, bahkan sampai mereka beranjak dewasa dan menua seperti sekarang. Hanya karena lumpuh dan sulit bicara saja, ibunya akhirnya berhenti mengomel jika Sundari datang bertandang.
*
“Bu, makan bubur sumsum ya? Dibawakan Sundari barusan,” ujar Sriani pada ibunya.
Wajah sepuh wanita di hadapannya itu tiba-tiba mengeras. Alisnya menaut. Setengah mati ia menggeleng. Tapi Sriani tak peduli, tetap saja ia menyuapkan bubur sumsum itu ke mulut ibunya yang juga dengan terpaksa menelan bubur sumsum pemberian Sundari, anak dari laki-laki yang sangat dibencinya. Sobri!
Sobri yang membuatnya jatuh cinta setengah mati sekaligus menghempaskannya dalam palung luka tak berdasar. Luka yang tak pernah tersembuhkan walaupun telah hadir seorang Parto yang menikahinya tak lama setelah Sobri meninggalkannya. Luka yang melahirkan dendam tak berkesudahan. Sejak menyimpan bongkahan dendam di hatinya, wanita yang kini hanya mampu berbaring tanpa daya itu tak pernah berhenti mendoakan agar anak Sobri kelak tidak akan pernah mendapatkan jodoh. Sebuah doa yang didengar dan dicatat oleh langit.
Tanpa diketahui siapa-siapa, perempuan itu selalu bersorak kegirangan tiap kali rencana pernikahan Sundari gagal. “Ya ya ya...anak Sobri memang harus jadi perawan tua, hahaha...!!!” soraknya dalam hati.
Sampai akhir hayatnya, perempuan itu tak pernah menyadari bahwa doa “anak Sobri harus jadi perawan tua” itu ternyata tidak hanya mengganjar Sundari, melainkan juga anak Sobri yang lain. Anak yang berasal dari benih Sobri yang bersemayam di rahimnya tepat sebelum lelaki itu meninggalkannya. Anak yang selama ini ia kira sebagai buah pernikahannya dengan Parto. Sriani.

-selesai-


“Be careful of what you wish for” - Wishmaster

Ditulis untuk tantangan @KampusFiksi, #KisahTerkutuk

5 komentar:

  1. Walah... keren-keren. Enak dibaca. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waah, matur suwun sudah mampir dan membaca

      Hapus
  2. Ukhty Boleh saya minta email anti? Ada kerjasama penulisan novel yang ingin saya tawarkan jika berkenan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masya Allah, mohon maaf saya sudah lamaa tidak cek comment di blog.
      Terima kasih sudah membaca😀

      Hapus
  3. Ukhty boleh saya minta emailnya? ada kerjasama penulisan novel yang ingin saya tawarkan jika ukhty berkenan. terimakasih.

    BalasHapus

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)