“Maaf, aku tidak bisa menikah denganmu. Aku dijodohkan,” desis Sobri lirih.
Tak berani ia menatap mata perempuan di hadapannya yang mulai dipenuhi
kristal-kristal bening.
“Kenapa kamu tidak menolaknya dan bilang kalau kita...” perempuan itu tak
kuasa melanjutkan kata-katanya yang terbenam dalam sedu sedan.
Sobri bergeming dan menunduk. Ia tak bisa menjawab.
“Karena kamu sebenarnya sudah tidak cinta sama aku lagi kan? Karena kamu
lebih suka sama perempuan genit yang suka cekikikan saat mencuci di kali itu
kan?” desak perempuan itu setelah berhasil mengenyahkan isakannya. Kristal di
matanya sempurna jatuh di pipinya yang ranum.
Sobri menggeleng, walau dalam hati ia membenarkan. Ya, wanita yang
dijodohkan dengannya itu memang lebih cantik dan menarik. Laki-laki mana yang sanggup
menolak dinikahkan dengan kembang kampung semacam itu? Sekalipun itu berarti ia
harus mengkhianati perempuan di hadapannya ini.
Sadar bahwa diamnya Sobri berarti membenarkan perkataannya, perempuan itu
menampar pipi lelaki itu sekeras-kerasnya. Tapi itu tidak lantas membuat amarahnya
mereda. Dalam duka lara yang melahirkan dendam, ia berlari pulang sembari
merapalkan sebuah doa. Doa yang didengar dan dicatat oleh langit.
Saat itu, ada satu hal yang keduanya tidak sadari. Bulan depan, perempuan
itu tidak lagi mendapat menstruasi.
*
“Sundari...!!! Calon suamimu mati lagi....!!!” teriak salah satu warga
desa, membuat Sundari yang tengah membersihkan rumah untuk persiapan
pernikahannya dua hari lagi itu terkesiap.
Mas Dulah mati? Tidak mungkin! pikir Sundari menolak percaya.
Ibunya bergegas menghampirinya dan merengkuhnya dalam pelukan. “Sabar ya,
Nduk...” bisiknya.
Mendengar bisikan ibunya, Sundari sadar berita itu benar. Calon suaminya
mati, untuk yang kesekian kali. Seketika, hilanglah tulang-tulang penyangga
tubuh Sundari. Bukan hanya karena dia sudah sangat mencintai Dulah yang baru
saja mati tertabrak kereta, namun lebih karena ini kegagalan pernikahannya yang
keempat sejak pertama kali dia dipinang oleh Rifai beberapa tahun lalu.
Dulu, Rifai tiba-tiba jadi gila hanya beberapa minggu sebelum akad nikah. Tak
lama, Rifai menemui ajalnya di rumah sakit jiwa.
Lantas Nyoto yang meminangnya selang setahun kemudian tenggelam di sungai
saat menambang pasir.
Sundari sempat enggan menerima pinangan lagi sampai kemudian ia berjumpa
dengan Taufik, pedagang mi yang selalu berwajah seperti habis mandi. Sundari
jatuh cinta lagi. Namun setelah keluarganya memberikan seserahan, Taufik dirampok
saat pulang berjualan mi. Rombong minya hancur dan tubuhnya ditemukan tak bernyawa
dengan leher tergorok. Lagi-lagi Sundari meratap.
Butuh waktu beberapa tahun untuk melupakan Taufik sampai kemudian muncul Dulah, lelaki pendatang yang jatuh hati pada Sundari tanpa peduli pada dengungan orang-orang kampung tentang tulah yang menimpa Sundari. Ia tidak
percaya bahwa siapapun yang berniat menikahi Sundari akan menemui malaikat maut
dengan cara yang mengenaskan.
Setelah kematian Dulah yang hanya dua hari menjelang akad nikah, Sundari
akhirnya percaya bahwa dia harus menerima kenyataan bahwa tulah itu memang
benar-benar nyata. Lelaki mana pun pasti akan celaka jika berniat menikahinya.
Dan itu artinya, dia harus berbesar hati menyandang status “perawan tua”
sepanjang hidupnya.
Tahun demi tahun berlalu.
“Hidup tanpa suami ternyata tidak terlalu buruk ya, Mbak Sri?” tanyanya
pada Sriani, teman masa kecilnya yang juga belum mendapat jodoh. Saat itu usia
keduanya sudah hampir mencapai kepala lima.
Sriani tidak menjawab. Dalam benaknya terbayang ibunya yang saat ini
menghabiskan hari-hari terakhirnya di tempat tidur dalam keadaan lumpuh. Bergidik
dia membayangkan hal yang sama bisa saja menimpanya kelak. Siapa yang akan
menyeka tubuhnya tiap hari? Siapa yang membersihkan kotorannya tiap ia buang
air? Siapa yang menyuapkan makanan? Siapa yang akan menemaninya melalui
hari-hari terakhir penghujung hidupnya jika ia tidak punya pendamping maupun
keturunan? Sekejap terbit rasa sesal di hatinya karena di masa muda dulu dia
lebih memilih untuk sibuk bekerja ketimbang menikah.
“Ngomong-ngomong bagaimana keadaan ibumu, Mbak?” tanya Sundari seraya
mengangsurkan semangkuk bubur sumsum.
“Ya masih seperti itu, Ndari. Belum ada kemajuan yang berarti. Tapi setidaknya
dia tidak pernah mengomel lagi kalau melihat kita bersama,” Sriani terkekeh.
Sampai sekarang ia dan Sundari tak pernah paham mengapa ibunya begitu membenci
hubungan pertemanan mereka. Padahal Sundari, yang lebih muda setahun darinya,
adalah anak baik-baik dari keluarga baik-baik pula, tapi ibunya selalu memandang
Sundari dengan tatapan benci dan jijik, bahkan sampai mereka beranjak dewasa
dan menua seperti sekarang. Hanya karena lumpuh dan sulit bicara saja, ibunya
akhirnya berhenti mengomel jika Sundari datang bertandang.
*
“Bu, makan bubur sumsum ya? Dibawakan Sundari barusan,” ujar Sriani pada
ibunya.
Wajah sepuh wanita di hadapannya itu tiba-tiba mengeras. Alisnya menaut.
Setengah mati ia menggeleng. Tapi Sriani tak peduli, tetap saja ia menyuapkan
bubur sumsum itu ke mulut ibunya yang juga dengan terpaksa menelan bubur sumsum
pemberian Sundari, anak dari laki-laki yang sangat dibencinya. Sobri!
Sobri yang membuatnya jatuh cinta setengah mati sekaligus menghempaskannya
dalam palung luka tak berdasar. Luka yang tak pernah tersembuhkan walaupun
telah hadir seorang Parto yang menikahinya tak lama setelah Sobri
meninggalkannya. Luka yang melahirkan dendam tak berkesudahan. Sejak menyimpan
bongkahan dendam di hatinya, wanita yang kini hanya mampu berbaring tanpa daya itu tak pernah berhenti
mendoakan agar anak Sobri kelak tidak akan pernah mendapatkan jodoh. Sebuah doa
yang didengar dan dicatat oleh langit.
Tanpa diketahui siapa-siapa, perempuan itu selalu bersorak kegirangan tiap
kali rencana pernikahan Sundari gagal. “Ya
ya ya...anak Sobri memang harus jadi perawan tua, hahaha...!!!” soraknya
dalam hati.
Sampai akhir hayatnya, perempuan itu tak pernah menyadari bahwa doa “anak Sobri harus jadi perawan tua” itu
ternyata tidak hanya mengganjar Sundari, melainkan juga anak Sobri yang lain. Anak
yang berasal dari benih Sobri yang bersemayam di rahimnya tepat sebelum lelaki itu meninggalkannya. Anak yang selama ini ia kira sebagai buah pernikahannya dengan Parto. Sriani.
-selesai-
“Be
careful of what you wish for” - Wishmaster
Ditulis untuk tantangan @KampusFiksi, #KisahTerkutuk
Walah... keren-keren. Enak dibaca. :D
BalasHapusWaah, matur suwun sudah mampir dan membaca
HapusUkhty Boleh saya minta email anti? Ada kerjasama penulisan novel yang ingin saya tawarkan jika berkenan.
BalasHapusMasya Allah, mohon maaf saya sudah lamaa tidak cek comment di blog.
HapusTerima kasih sudah membaca😀
Ukhty boleh saya minta emailnya? ada kerjasama penulisan novel yang ingin saya tawarkan jika ukhty berkenan. terimakasih.
BalasHapus