Kamis, 23 Oktober 2014

[Cerpen] Suamiku Dan Seseorang Bernama Sri



 Ini bukan yang pertama kali aku mendatangi rumah ini. Tapi ini pertama kalinya aku ke mari dengan perasaan seperti ini. Campur aduk. Tak karuan. Marah, sedih, tak mengerti, bingung dan ragu bercampur melebur, membuat degup jantungku tak menentu. Aku sadar benar tanganku gemetaran seperti orang yang terkena Parkinson saat menekan bel.
Mungkin kalian tidak mengerti apa yang kurasakan jika tak paham bagaimana peliknya situasi yang kuhadapi saat ini. Sebenarnya penyebabnya hanya satu hal yang sederhana. Cemburu. Ya, rasa cemburu lah yang membuatku memberanikan datang ke rumah mungil nan asri ini.
Rumah bercat hijau dengan taman mungil yang terawat ini selalu membuatku kagum. Lebih tepatnya kagum pada pemiliknya. Aku tahu pemiliknya bukanlah seorang wanita yang banyak menghabiskan waktu di rumah seperti aku. Ia seorang wanita karir yang terpelajar dan sibuk tentunya. Tapi toh, nyatanya ia masih bisa meluangkan waktu untuk menata rumah dan taman mungilnya menjadi secantik ini.
Rumput-rumput hijau terpotong rapi dan selalu tampak segar, pot-pot tanaman kuping gajah dengan daun yang gemuk berkilauan berderet rapi di sepanjang carport, rumpun bungan bougenville tiga warna tumbuh subur hingga menutupi pagar setinggi lutut dan sebuah pohon kamboja kuning yang bunganya selalu bermekaran berdiri anggun di salah satu sudut taman, serta gemericik air dari kolam mungil berisi beberapa ekor ikan koi, membuat siapapun akan betah berlama-lama berada di sana. Termasuk aku.
Aku selalu suka jika diajak suamiku berkunjung ke rumah ini. Selain karena rumah mungil yang menebarkan perasaan nyaman, pemiliknya adalah orang yang sangat menyenangkan. Ia ramah, humoris, pintar membuat kue dan selalu menyambut tamu-tamunya dengan hangat.
Namun sekarang aku tahu pasti aku tidak akan suka berada di rumah bergaya modern minimalis ini. Aku tahu aku akan didera perasaan tak nyaman yang membuatku ingin berlari pulang. Bukan karena rumah ini kehilangan kenyamanannya, melainkan karena pemiliknya memiliki nama yang sama dengan nama yang kerap disebut-sebut suamiku dalam igauannya. Sri.
Aku biasa memanggilnya Mbak Sri. Aku langsung menyukai sosoknya begitu pertama kali berkenalan dengannya. Dia, suamiku dan seorang teman laki-laki bernama Mas Adi adalah sahabat dekat semenjak kuliah tingkat pertama. Bahkan setelah kami menikah, mereka masih menyempatkan diri untuk berkumpul bersama. Rumah orang tua Mbak Sri adalah markas mereka saat masih kuliah. Kini, karena Mbak Sri sudah punya rumah sendiri, markas mereka pun ikut-ikutan pindah. Sesekali, aku ikut bergabung bersama mereka.
Mas Zul, suamiku adalah orang pertama dari tiga serangkai itu yang menikah lebih dulu. Aku, yang lima tahun lebih muda dari Mas Zul adalah anak dari sahabat kental ibu Mas Zul. Konon, dua wanita ini (ibuku dan ibu Mas Zul) sudah berjanji untuk besanan jika kelak aku dan Mas Zul dewasa. Saat pertama berkenalan dengan Mas Zul, aku langsung merasa nyaman. Mungkin itu yang disebut cinta pada pandangan pertama. Dia pria yang sangat menyenangkan. Karena Mas Zul juga tidak keberatan dengan perjodohan itu (semoga karena dia juga merasa nyaman berada di dekatku), maka tak lama kemudian pernikahan kami berlangsung. Itu terjadi kira-kira 2 tahun yang lalu.
Ketika aku diperkenalkan dengan sahabat-sahabat karibnya, aku langsung merasa diterima dengan baik. Mbak Sri dan Mas Adi menganggapku seolah aku juga teman lama mereka.
“Kamu nanti bilang sama aku ya, Azizah, kalau seumpama si Zul ini macam-macam sama kamu,” cerocos Mbak Sri.
“Lha memangnya mau kamu apakan si Zul ini kalau memang dia macam-macam sama Azizah?” Mas Adi bertanya dengan kening bertaut.
“Ya aku kasih pelajaran lah. Biar ndak macam-macam sama perempuan. Opo maneh perempuan ayu kaya Azizah begini,” jawab Mbak Sri kenes.
“Pelajaran apa Sri? Si Zul ini sudah kenyang kamu ajari matematika dasar dari tingkat satu sampai lulus masih belum ngerti juga. Mungkin kamu yang ndak bisa ngajar. Sudah ngomongnya sama aku aja, Azizah, aku lebih pintar ngasih pelajaran,” seloroh Mas Adi.
“Ya aku pasti macam-macam to sama Azizah . Wong dia ini kan istriku. Kalau cuma satu macam malah bisa mati bosen dia. Iya nggak?” Mas Zul menimpali sambil melemparkan kerlingan menggoda.
Aku tergelak.
Tapi itu dua tahun yang lalu. Belakangan ini, Mas Zul mulai berubah.
Dia terlihat lebih pendiam, sering terlihat murung dan letih. Dia juga jarang pulang ke rumah. Kalau ditanya, jawabannya selalu seputar “sedang banyak kerjaan”, “masih meeting” atau “ketemu client”. Tapi mas Zul tak pernah berubah sikap terhadapku. Ia tetap lah suami yang manis. Walaupun wajahnya sering terlihat kuyu, ia masih sempatkan mengecup kening dan pipiku sebelum tidur. Paling-paling juga dia hanya berbisik, “Maaf Azizah, Mas capek sekali” ketika aku mulai mencumbunya.
Awalnya aku percaya saja dan lantas berhenti bertanya, membiarkan dia menikmati waktu istirahatnya tanpa banyak kuusik. Namun beberapa hari yang lalu, aku mendengar hal yang sulit dipercaya. Mas Zul mengigau, dan dalam igauannya, dia hanya menyebutkan satu nama. Berkali-kali. Bahkan pernah di suatu malam, Mas Zul merapal nama itu disertai leleran air mata. Astaga, belum pernah sekali pun aku melihat suamiku menangis. Mengapa justru ketika dia menitikkan air mata, itu karena seseorang yang bukan aku?
Tentu saja aku tidak pernah membangunkannya atau kemudian bertanya-tanya mengapa nama itu kerap ia sebut dalam tidur. Aku melakukan itu lebih karena takut mendengar jawabannya. Aku takut mendengar sebuah kenyataan yang tak ingin kuketahui. Bahwa Mas Zul dan Mbak Sri…
Bukankah mereka sudah sejak lama saling kenal? Ada hari-hari panjang di antara mereka yang aku tidak tahu. Mungkin saja mas Zul memendam perasaan pada Mbak Sri namun juga tak kuasa menolak kehendak ibundanya untuk dijodohkan dengan aku. Ya Tuhan, jika memang demikian, alangkah menderitanya mas Zul selama ini. Menekan perasaannya sendiri dan berusaha membunuhnya justru di saat cintanya sedang mekar. Mungkinkah itu juga yang menjadi alasan Mbak Sri tidak juga menikah? Jangan-jangan, di balik tawa riangnya selama ini, sebenarnya ia menyimpan luka yang teramat dalam tiap kali melihat aku dan Mas Zul berdua.
Aku tak bisa marah pada mas Zul, ataupun membenci Mbak Sri. Tak ada alasan untuk kesal pada keduanya. Aku menyayangi keduanya.
Lagipula, Mbak Sri memang wanita luar biasa. Sulit untuk tidak menyukai Mbak Sri jika sudah mengenalnya. Ia memiliki kepribadian yang jarang dimiliki orang lain. Kepribadian yang bisa membuat orang langsung menganggapnya sebagai orang yang menyenangkan, yang langsung menganggapnya sebagai teman yang sudah bertahun-tahun kenal, yang membuatnya seolah-olah ia seorang dewi. Selain itu, tak seorang pun meragukan kecerdasan Mbak Sri. Itu sebabnya di usianya yang masih terbilang muda, ia menduduki jabatan sebagai vice president di sebuah perusahaan swasta terkenal.
Kecemerlangan karir Mbak Sri tidak lantas membuatnya besar kepala. Ia selalu tampil rendah hati dan bersahaja. Kepada siapa saja. Aku pernah melihat bagaimana ia dengan hangatnya memperlakukan pemulung yang mengorek-ngorek sampah di depan rumahnya, bagaimana ia mengajak bercanda tukang bakso yang sedang lewat di depan rumah. Mbak Sri seolah selalu menebarkan aura bahagia di sekitarnya. Itu sebabnya aku sangat, sangat maklum jika mas Zul mencintai wanita seperti itu. Kupikir, jika aku laki-laki, mungkin aku juga akan jatuh hati pada Mbak Sri.
Setelah beberapa kali mendengar igauan mas Zul, sebuah chat history yang tak sengaja kubaca karena ponsel mas Zul pernah ketinggalan di rumah semakin memperkuat dugaanku. Mbak Sri memang orang yang sangat istimewa di hati mas Zul.
+ Aku tahu ini salah, Sri. Tapi aku tidak sanggup melupakan apa yang pernah terjadi di antara kita.
@ Kamu harus bisa, Zul. Ingat kau sudah punya Azizah. Dia istri yang baik.
+ Dia memang luar biasa. Tapi aku tidak mampu membohongi diri sendiri. Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu, Sri.
@ Kamu harus coba terus.
+Kamu pikir 2 tahun terakhir ini aku tidak mencoba?
@ Kamu tahu sejak awal kita tidak mungkin bisa bersama kan?
+ Kamu yang bilang begitu. Kamu yang selalu bilang “ini demi orang-orang yang kita sayangi”.
@ Memang begitu kan? Kamu sendiri juga tidak ingin menyakiti hati ibu kamu dengan mengungkapkan kenyataan bahwa aku dan kamu...
+ Hmmm…Sepertinya kita terlalu memikirkan kebahagiaan orang lain hingga lupa pada kebahagiaan kita sendiri, Sri.
@ Hmmmm…entahlah.
+ Lantas sampai kapan kita terus seperti ini?
@ Aku tidak tahu, Zul. Terkadang memang ada cinta yang tak mungkin bisa kita genggam, walaupun kita jatuh cinta mati-matian.
Aku tak sanggup melanjutkan membaca. Mataku memburam. Entah berapa lama aku jatuh terduduk dan membasahi lantai dengan air mata, yang tak jelas keluarnya karena apa.
Aku marah, tapi tak tahu marah pada siapa. Pada Mas Zul yang ternyata menduakan aku? Pada orang tua yang menjodohkan kami? Pada Mbak Sri yang menjadi orang ketiga?  
Tidak. Mbak Sri tidak salah. Aku lah yang sejak awal menjadi orang ketiga dalam kehidupan mereka.
Ibuku dan mertuaku juga tidak salah. Mereka sejak awal tak pernah memaksakan perjodohan. Mereka selalu bilang; “Ini ikhtiar, siapa tahu Zul dan Azizah bisa cocok. Kalau tidak saling suka juga tidak apa-apa. Tidak perlu dipaksakan.”
Mas Zul apalagi. Dia yang paling menderita dalam hal ini karena harus memaksakan diri untuk hidup bersama dengan orang yang tidak dia cintai. Bersandiwara dengan menekan perasaannya sendiri. Aku terisak ketika membayangkan bagaimana perasaan Mas Zul ketika kami bercinta? Mungkinkah ia selalu membayangkan sosok mbak Sri manakala kami tengah bersatu?
Ya Tuhan…bodohnya aku tidak segera menyadari. Ternyata mencintai seseorang tidak cukup untuk bisa menyelami perasaannya. Ataukah karena Mas Zul sedemikian pintarnya membungkus perasaannya dan meletakkannya dalam sebuah palung maha dalam?
Aku tak tahu apa yang akhirnya membuatku segera menghubungi nomor ponsel Mbak Sri dan memintanya untuk bertemu. Padahal aku juga tidak tahu apa yang nanti akan kukatakan kepadanya. Mungkin memintanya untuk menjauh dari kehidupan Mas Zul? Atau malah memintanya untuk kembali pada mas Zul sementara aku yang mengalah?
Mbak Sri merespon dengan baik permintaanku untuk bertemu. Ia malah membatalkan rangkaian meetingnya hari itu demi bisa kembali ke rumah dan bertemu denganku. Mbak Sri tidak ingin membuatku rikuh dengan mendatanginya di kantor. Ia sepertinya tahu, hal yang kubicarakan ini akan membuatku tidak nyaman jika diketahui banyak orang.
“Ayo masuk, Azizah,” suara Mbak Sri membuyarkan lamunanku yang sedari tadi berdiri di depan rumahnya. Suara lembut Mbak Sri itu serta merta membuyarkan segala kata-kata yang sudah kususun dan hendak kusampaikan dengan runut agar urusan ini tidak menjadi kian runyam.
Apalah daya, perasaan yang bercampur aduk tak keruan sejak berhari-hari sebelumnya akhirnya tumpah ruah begitu saja, menjadi ceracauan bercampur isak tangis.
Mbak Sri mendengarkan dengan diam sambil sesekali tangannya mengelus punggungku, berharap isakku sedikit reda dan kata-kataku bisa terdengar lebih jelas.
“Azizah akan mengalah, Mbak. Demi Mas Zul,” akhirnya kata-kata itu lah meluncur dari mulutku. Hatiku remuk saat mengatakannya. Tapi akan lebih remuk lagi jika harus melihat orang yang sangat kucintai menderita karena merasa terpaksa hidup dengan aku.
“Sudah kuduga suatu saat kamu akan tahu juga, Azizah. Maafkan kami selama ini selalu bersandiwara dan membuatmu merasa seolah semua baik-baik saja,” bisik Mbak Sri lembut.
Kata-kataku sudah tak bisa lagi meluncur. Hanya air mata yang tak bisa berhenti mengalir.
“Tapi kamu salah memahami,” ujar Mbak Sri lagi.
Aku mendongak menatap mata hitamnya yang bersinar lembut.
“Tunggu sebentar ya,” Mbak Sri bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah bufet yang menyimpan beberapa album foto. Ia mengambil salah satunya, membuka lembar demi lembar dan setelah menemukan yang dia cari, ia kembali melangkah ke arahku. “Memang ada orang lain yang dicintai Zul. Sejak dulu.”
Aku menerima album foto yang diulurkan Mbak Sri. Album itu berisi foto-foto lama Mas Zul dan kawan-kawannya semasa masih kuliah.
“Kami sudah berjanji untuk menyimpan urusan ini rapat-rapat. Tak ada yang tahu soal ini selain Zul, aku dan orang yang dicintainya. Tapi sekarang kamu sudah jadi istri Zul dan kurasa kamu juga berhak tahu,” kata Mbak Sri.
Aku menatapnya tak mengerti. “Apa maksud Mbak?”
“Dia lah orang yang dicintai Zul selama ini, kamu juga tahu kok siapa orangnya,” telunjuk Mbak Sri menunjuk foto seseorang.
Mbak Sri benar. Aku kenal orang itu. Tapi…tapi itu tidak mungkin. Aku menggeleng seraya menghunjamkan pandangan tak percaya pada obyek yang ditunjuk Mbak Sri.
“Dia yang bernama Sri, Azizah. Sriadi,” Mbak Sri seolah bisa membaca pikiranku. Jarinya masih menunjuk pada foto Mas Adi.

-selesai-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)