Sabtu, 18 Oktober 2014

[Cerpen] Dear Donita





Tumpukan surat di atas meja kerja Donita adalah pemandangan biasa. Setiap hari, ada belasan surat baru yang diterimanya. Semuanya berisikan curahan hati. Donita tak pernah bosan membaca surat-surat tersebut. Dia memang tidak boleh bosan karena membaca surat-surat itu tiap pagi adalah bagian dari pekerjaannya.
Donita memiliki profesi yang menarik, penyiar radio sekaligus psikolog. Yang pertama sudah dilakoninya sejak masih berstatus mahasiswa jurusan Psikologi. Setelah lulus, dengan latar belakang pendidikan yang dimilikinya, radio meminta Donita untuk menjadi pembawa acara “Dear Donita”, sebuah acara yang membahas seputar human relationship yang dihubungkan dengan ilmu psikologi. Materinya diangkat dari kisah nyata. Oleh karena itu radio mengundang pendengar untuk berbagi kisah melalui surat untuk kemudian dibacakan Donita tiap malam.
Surat yang diterima Donita bermacam-macam isinya. Mulai dari masalah hubungan orang tua dan anak, karir, asmara sampai masalah warisan.
Pagi ini, ketika Donita membaca surat-surat untuk memilih topik yang pas dijadikan bahan siarannya nanti malam, ada hal yang menarik perhatiannya. Kening Donita berkerut. Sesekali dia manggut-manggut, tersenyum, lantas keningnya berkerut lagi.
Hari ini ada tiga pucuk surat yang agak tidak biasa.
---
Surat #1.
Dear Donita,
Sekarang ini tiap kali melihat bus tingkat 30A yang dulu tiap hari mengantarkan aku ke kampus UI di Salemba, hatiku serasa diiris-iris. Betapa tidak? Di bus itu, aku pertama kali berkenalan dengan dia, di bus itu dia mengajakku menikah dan di bus itu juga dia mengatakan bahwa pernikahan kami harus berakhir.
Ya Donita, aku baru saja bercerai, setelah sempat 3 tahun menikah. Suamiku memutuskan untuk memulai hidup baru dengan wanita lain.
Memang dia lah yang menghendaki kami berpisah (dia mengatakannya sambil berkali-kali meminta maaf), tapi aku tak sanggup menyalahkannya karena aku sadar, aku bukan istri yang baik.
Aku terlalu sibuk, Donita, hingga tak punya banyak waktu untuk mengurus suamiku. Itu lah yang membuatnya berpaling pada wanita yang jauh lebih anggun, lebih cantik, lebih keibuan. Aku bisa mengerti mengapa suamiku jatuh hati padanya.
Mungkin kamu akan berpikir aku sedemikian mudahnya menyerah dan membiarkan lelaki yang sangat kucintai jatuh di pelukan perempuan lain. Tapi justru karena aku sangat mencintainya, aku melepaskan dia untuk berada di tempat yang membuatnya lebih bahagia.
Bukankah cinta memang harus belajar melepaskan? Hanya saja, aku belum belajar menghilangkan kesedihan karena kehilangan orang yang sangat kucintai.
Donita, apakah kau tahu bagaimana caranya?

Jakarta, 25 Maret 1995
Dian
---             
Surat #2.
Dear Donita,
Aku baru sadar bahwa menyakiti itu rasanya jauh lebih menyakitkan daripada disakiti.
Aku telah melakukannya. Aku telah menyakiti mantan istriku, orang yang amat kusayangi. Aku terpaksa meninggalkannya, sebelum aku menyakitinya lebih jauh lagi.
Sebenarnya, aku sangat mencintainya. Bertemu dengannya membuatku percaya bahwa jatuh cinta pada pandangan pertama itu memang ada. Seorang teman mengenalkanku padanya saat kami sedang sama-sama naik bus tingkat nomor 30A. Bus itu menjadi saksi bagaimana cinta kami bersemi, sekaligus bagaimana cinta kami berakhir.
Ketika di bus itu aku melamarnya dan dia menerimanya, aku seolah terbang ke awang-awang. Tapi kemudian, kenyataan yang harus kuhadapi setelah pernikahan membuatku terjerembab ke dasar bumi. Kecerdasannya membuat karir istriku menanjak dengan pesat, jauh melampaui aku dan membuatku kehilangan rasa percaya diri sebagai seorang laki-laki.
Tapi dia tidak salah, Donita. Aku lah yang salah. Aku yang berkhianat. Aku jatuh cinta lagi, pada seorang perempuan yang sanggup membangkitkan kembali rasa percaya diriku yang sempat hilang karena tidak sanggup mengimbangi kecemerlangan mantan istriku.
Sekarang, palu hakim sudah diketuk. Kami sudah berpisah. Tapi aku tak bisa mengenyahkan rasa bersalah ini.
Donita, apakah kau tahu bagaimana caranya?

Jakarta, 25 Maret 1995
Romi.
---
Surat #3.
Dear Donita,
Apakah menurutmu cinta adalah hal sepele? Menurutku tidak. Bukankah cinta, yang berada di balik banyak tragedi dalam sejarah? Cinta yang menyebabkan Cleopatra, Marc Anthony dan Achilles yang perkasa menemui ajalnya dengan cara yang menyedihkan. Bahkan di balik kemegahan Taj Mahal pun menyimpan kepedihan yang bermuara dari cinta. Bagiku cinta bukanlah hal sepele. Buktinya aku sanggup melakukan hal yang jahat atas nama cinta.
Aku sudah jatuh cinta pada seorang wanita sejak lama. Dia tetanggaku, sekaligus teman kuliah di Salemba dulu. Hampir tiap hari kami sama-sama naik bus tingkat No. 30A yang melewati daerah rumah kami di Rawamangun.
Suatu ketika, secara kebetulan, kami bertemu dengan teman lamaku saat sekolah dulu. Karena aku, mereka berkenalan. Bodohnya, tindakanku itu justru meletakkan benih cinta di antara mereka. Benih itu kemudian berkecambah, tumbuh, mengakar kuat dan perlahan menyingkirkan aku dari kehidupan keduanya. Mereka mengabarkan akan menikah justru saat aku berniat menyatakan perasaan yang sudah kupendam sejak remaja.
Akhirnya mereka menikah. Aku tidak bisa terima. Aku lebih dulu mencintainya. Seharusnya aku yang menjadi suaminya. Mereka harus berpisah, begitu pikirku. Karenanya, aku mulai memikirkan cara agar mereka tak lagi bersama.
Aku sempat mengurungkan niatku itu ketika melihat bahwa dia ternyata hidup bahagia bersama suaminya. Aku hampir saja mengubur dalam-dalam keinginanku untuk menghancurkan rumah tangganya ketika suatu hari sang suami mendatangiku dan menceritakan betapa cemerlang karir istrinya. Kenyataan bahwa ia merasa kehilangan rasa percaya diri karena penghasilan istrinya yang jauh lebih tinggi membuatku merasa mendapat angin segar. Keinginanku untuk memisahkan mereka timbul kembali.
Lagi-lagi aku memperkenalkannya dengan seorang perempuan. Tentu saja dengan harapan perempuan itu bisa menjadi orang ketiga dalam kehidupan pernikahan mereka. Rencanaku berhasil. Perkenalan itu untuk kedua kalinya meletakkan benih cinta yang kemudian berkecambah, tumbuh, mengakar dan menyingkirkan wanita yang kucintai dari kehidupan keduanya. Kudengar, hakim sudah memutuskan perceraian mereka.
Wanitaku terluka. Aku tahu itu. Bagiku, ini lah saatnya aku muncul sebagai ksatria berkuda dan berjubah putih yang muncul di hadapannya sebagai pahlawan. Bagiku, ini lah kesempatan kedua untuk memilikinya.
Donita, apakah menurutmu aku sudah melakukan hal yang keliru?

Jakarta, 25 Maret 1995
Alex
---
Donita menghela napas yang semenjak tadi tertahan. Satu benang merah telah menghubungkan tiga penulis surat yang baru saja dibacanya. Bus tingkat nomor 30A.
Donita tersenyum. Ia membayangkan akan seperti apa akhir cerita ketiga orang itu kelak.
Ah, tapi itu bukan urusannya. Donita menyimpulkan bahwa cinta terkadang harus mengambil jalan memutar sebelum akhirnya berhenti di tempat yang tepat. Ia memutuskan, itulah topik siaran “Dear Donita” nanti malam.

-selesai-

Ditulis untuk tantangan @kampusfiksi #CerpenRadio #Jakarta1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)