Jumat, 06 Juni 2014

Tommy Dan Jimmy




Jimmy tertunduk lesu. Hari ini Bos marah-marah lagi. Penyebabnya adalah proposal kerjasama dengan calon client. Untuk yang kesekian kali dalam beberapa bulan terakhir, ada saja yang jadi alasan kemarahan Bos kepadanya. Mulai dari laporan event yang belepotan, slide presentasi yang nggak banget, nggak pintar arrange meeting, nggak bisa delegasi pekerjaan ke anak buah, sampai nggak becus menangani komplain rekanan. Padahal Jimmy merasa sudah mengerjakan pekerjaannya di perusahaan event organizer itu dengan seksama, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, dengan semangat empat lima pula.
Soal rekanan yang komplain, tadinya rekanan itu sempat merasa fine dengan solusi yang ditawarkan Jimmy untuk kompensasi keluhannya. Tapi tanpa sebab yang jelas, si rekanan tiba-tiba mencak-mencak dan melapor ke Bos kalau Jimmy sama sekali tidak bisa menyelesaikan keluhannya secara profesional. Waktu itu Jimmy cuma bisa garuk-garuk kepala. Ia tak mengerti mengapa situasi bisa berbalik seratus delapan puluh derajat.
Tapi Jimmy paham tabiat bos. Tak ada gunanya menyangkal jika Bos sudah marah-marah. Lebih baik diam, mengaku salah, berjanji tidak akan mengulang lagi, habis pekara.
Cuma hari ini kemarahan Bos agak keterlaluan. Kosakata kebun binatang keluar semua. Yang lelet kaya kura-kura lah, yang bego kaya keledai lah, dan yang terakhir, yang membuat Jimmy untuk pertama kali membantah saat dimarahi Bos adalah ketika Bos bilang dia beo. Tukang plagiat!
“Proposal kamu ini copy paste kan? Jadi orang yang kreatif dong. Kamu orang atau beo sih!!” bentak bos.
Jimmy terpana tak mengerti. “Maksudnya apa, Pak? Saya tidak copas,” sangkalnya.
“Kalau tidak copas, jelaskan sama saya, bagaimana bisa ada dua proposal yang isinya sama persis seperti ini!?” Bos membanting satu bendel proposal lagi. “Saya sengaja minta kamu dan Tommy membuat proposal yang sama untuk menilai siapa di antara kalian yang punya ide lebih baik. Proposal Tommy ini sudah masuk ke meja saya tiga hari yang lalu dan isinya sama persis dengan punya kamu!”
Rahang Jimmy jatuh ke lantai. Kok bisa? Bagaimana mungkin proposal yang dibuatnya bisa sama persis dengan proposal Tommy? Proposal untuk event expo sebuah perusahaan otomotif itu memang sudah selesai tiga hari lalu, namun ia sengaja menunda menyerahkan ke Bos. Siapa tahu ada hal lain yang bisa ditambahkan agar proposalnya lebih detail, pikirnya.
Namun kejadian ini kelak menjadi jawaban akan sebuah tanda tanya yang tak pernah dimengerti Jimmy.
***
“Tidak perlu jadi brilian untuk menjadi unggul, cukup benamkan si brilian agar kamu lah yang terlihat unggul.”
Itu prinsip hidup Tommy. Prinsip itu lah yang membuat dia jadi anak emas di perusahaan tempatnya bekerja sekarang. Bos selalu puas dengan hasil pekerjaannya, walaupun tidak pernah memujinya secara terang-terangan. Yang penting dia bisa menerima bonus tahunan yang lumayan. Dan terakhir, Bos bilang dia akan mengajukan namanya untuk promosi. Wow...dia akan naik jabatan jadi Manager!!!
Tommy beruntung dia satu kantor dengan Jimmy, karyawan yang luar biasa cerdas tapi luar biasa naif. Bagi Tommy, itu adalah peluang emas yang tidak boleh disia-siakan. Bukan salahnya kan kalau Jimmy terlalu lugu hingga mudah dikibuli?
Sudah sering Tommy melancarkan hasutan dan tipu daya sehingga Jimmy terlihat tidak becus bekerja. Misalnya yang dia lakukan tempo hari, saat dia menghasut rekanan yang sedang komplain. Tommy bilang, kompensasi yang diterima rekanan itu seharusnya lebih banyak daripada solusi yang ditawarkan Jimmy. Rekanan itu marah besar dan merasa ditipu. Ia langsung melaporkan pada Bos dan akibatnya Jimmy kena damprat habis-habisan.
Tommy terus saja menyebarkan tipu daya hingga Jimmy terlihat seperti pecundang di kantornya. Puncaknya adalah tiga hari lalu, ketika ia mencuri ide proposal dari komputer Jimmy dan menyerahkannya lebih dulu pada Bos. Tommy menelan senyum kemenangannya ketika dilihatnya Jimmy keluar dari ruang Bos dengan wajah tertunduk lesu.
“Ternyata ide kita bisa sama persis ya, Tom?” bisik Jimmy lemah ketika ia melewati meja kerja Tommy.
Tommy mengernyitkan kening, pura-pura tak mengerti.
“Kau mau aku menjelaskan pada Bos bahwa kesamaan ide itu hanya kebetulan, Jim?” Tommy menawarkan diri ketika Jimmy selesai bercerita. Tentu saja tawarannya itu hanya basa-basi.
Jimmy menggeleng. Ia menghempaskan pantatnya di kursi kerjanya sendiri seraya mengeluh,  “Tadi Bos bilang, kalau dia jadi aku, sudah kukemasi barang-barangku dan hengkang dari perusahaan ini.” Jimmy tertunduk sambil mengurut-urut keningnya.
Ya, jika Bos sudah bicara seperti itu, berarti hanya masalah waktu saja keberlangsungan hidupnya di perusahaan ini.
***
Jimmy sudah selesai membereskan meja kerjanya. Sisa-sisa barangnya sudah masuk dalam kardus dan siap diangkat. Ini hari terakhir dia bekerja. Bos benar-benar memberhentikannya dengan alasan dia tidak kompeten.
“Selamat tinggal, Tommy. Semoga sukses ya,” Jimmy berpamitan sambil menjabat tangan Tommy.
“Sama-sama Jim. Semoga kamu juga begitu,” jawab Tommy.
“Oh ya, katanya besok kamu mau meeting di Singapura ya? Boleh aku minta tolong?” tanya Jimmy.
“Tentu saja. Apa yang bisa kubantu?”
“Saudaraku di Singapura ulang tahun. Aku hendak mengirimkan hadiah untuknya. Biar cepat, aku ingin menitipkannya sama kamu, itu pun kalau kamu tidak keberatan, Tom,” pinta Jimmy.
 “Oke. Tidak masalah. Mana barangnya, Jim?”
“Itu. Tidak berat kok. Kalau ditimbang paling tidak sampai setengah kilo,” Jimmy menunjuk bungkusan persegi berwarna biru laut.
Tommy mengangguk seraya memasukkan bungkusan itu dalam tasnya agar dia tidak lupa.
***
Tas hitam milik Tommy berjalan sendiri di atas belt conveyor, masuk melewati sebuah lorong kecil. Seorang petugas bandara sibuk mengawasi sebuah monitor yang memperlihatkan isi tas-tas yang melewati lorong kecil tersebut.
Tommy sudah bersiap meraih tasnya di ujung lorong, namun seorang petugas mendahuluinya.
“Saya periksa dulu, Pak” petugas itu berkata singkat.
Tommy tidak membantah ketika petugas itu mulai membuka dan mengobok-obok isi tasnya. Ia memekik ketika petugas itu mengambil bungkusan biru laut titipan Jimmy dan merobek bungkusnya dengan kasar. “Jangan, Pak! Itu titipan teman saya!” pekiknya.
“Oh ya? Apakah kamu tahu jika temanmu menitipkan ini?!” sergah petugas bandara galak. Ia menunjukkan isi bungkusan itu pada Tommy. Bubuk putih!
Tommy berteriak-teriak panik ketika dua petugas merenggut lengannya dengan kasar dan menyeretnya. “Bukan, Pak! Saya hanya dititipi! Bapak harus percaya sama saya! Saya tidak bersalah!!!!”
Tapi mana petugas-petugas itu peduli? Tommy sudah tertangkap basah dan menganggap ocehan Tommy hanya alasan belaka.
***
Siapa bilang Jimmy orang yang naif? Dia memang pendiam, tapi tidak selugu yang dikira Tommy. Proposal yang sama itu yang membuatnya sadar jika Tommy sudah menikamnya dari belakang. Dan karena itu dia harus kehilangan pekerjaan. Semua itu gara-gara Tommy. Itu artinya dia harus diberi pelajaran!
Seperti dugaannya, Tommy tak akan curiga ketika ia menitipkan bungkusan (yang disiapkannya dengan menggunakan sarung tangan agar tidak meninggalkan sidik jari) untuk dibawa ke Singapura. Bungkusan yang akan membuat Tommy kehilangan segalanya. Pembalasan selalu lebih kejam, kan?
–selesai-

[1] Copas: copy paste

Note: cerpen ini ditulis untuk Tugas 3 #KampusFiksi tentang plot, yakni membuat konflik yang tidak membosankan.
Sumpah tugas ini membuat saya mumet. Secara bosan atau enggak itu kan relatif banget.
Saya nggak tahu apakah konflik di cerpen ini tidak membosankan atau justru sebaliknya.
Pembaca yang bisa menilai.
So, silahkan menilai, mengkritik, memberi saran, membantai, mengobok-ngobok cerpen ini :)

1 komentar:

  1. Ada cerita yg endingnya bikin penasaran karena tidak tuntas, walau sebenarnya tidak tuntas pun bisa ditebak arahnya...akhir konflik dalam cerita ini memilih tuntas...dan memilih memuaskan keinginan pembacanya...👍👍

    BalasHapus

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)