Minggu, 01 Juni 2014

Angel's Trumpet





Beberapa sudut di Universitas itu masih terang benderang walau malam mulai beranjak tua. Namun pemandangan seperti itu bukanlah hal yang aneh karena tiap malam memang banyak mahasiswa yang tinggal di lab-lab Universitas untuk menyelesaikan penelitian tugas akhir.
Salah satu dari laboratorium itu memiliki papan persegi bertuliskan “Laboratorium Kimia Organik” yang tergantung tepat di atas pintu masuk. Empat mahasiswa dan dua mahasiswi tampak tekun bekerja di sana. Ada yang bekerja dengan laptop, ada yang sedang menggoyang-goyangkan labu erlenmeyer, ada yang dengan takzim mengawasi kolom destilasi, ada yang tengah menyiapkan tabung-tabung reaksi, juga ada yang dengan kening mengernyit mempelajari jurnal-jurnal.
“Hffft...! Ini akan jadi malam yang panjang” keluh salah satu mahasiswa seraya menguap. Diraihnya mug berisi kopi pahit favoritnya, lantas menghabiskan isinya dalam sekali tenggak.
Rekannya tersenyum melihat caranya meminum kopi. “Kamu minum kopi seperti minum air putih saja, Ren” komentarnya.
Yang dikomentari hanya diam. Lidahnya merasa kopinya malam ini tidak biasa. Tapi hal itu tak diindahkannya hingga beberapa saat kemudian dia merasa sakit kepala yang amat sangat. Tak tahan dengan rasa sakitnya, dia ambruk dengan mata terbelalak dan pupil membesar.
“Ya Tuhan! Renooo....!!!” rekan-rekannya berteriak panik. Mahasiswa dari laboratorium lain mendengar teriakan itu dan berhamburan ke arah sumber kehebohan. Kejadian yang terlalu tiba-tiba itu membuat mereka hanya bisa berteriak panik, tak tahu apa yang harus dihadapi demi menolong rekannya yang tengah meregang nyawa.
***
Empat hari yang lalu, Doktor Adrian sudah menggerus biji-biji bunga Angel’s Trumpet, bunga putih berbentuk terompet yang tumbuh berderet di jalan menuju perpustakaan Universitas. Ia melarutkan hasil gerusan itu dengan methyl alcohol untuk mengekstrak atropine yang banyak terkandung dalam biji bunga yang punya nama latin Datura stramonium itu. Larutan itu ia sembunyikan dalam sudut tersembunyi selama empat hari. Hari ini, sebagian besar atropine pasti telah larut dalam methyl alcohol. Doktor lulusan Perancis itu kini tinggal menguapkannya untuk mendapatkan butiran kristal atropine dalam cawan porselen. Tidak banyak memang. Kalau ditimbang, mungkin hanya sekitar 50 miligram. Tapi itu sudah lebih dari cukup untuk membuat seorang pria dewasa kehilangan nyawa.
Doktor Adrian sudah memutuskan untuk melakukannya malam ini. Korbannya pun sudah sejak lama ia tentukan.
Sebagai kepala Laboratorium Kimia Organik yang sering menghabiskan waktu untuk mendampingi mahasiswa-mahasiswanya melakukan penelitian, mudah baginya untuk mengamati kebiasaan para mahasiswa di sana. Termasuk kebiasaan “si korban”.
Korbannya itu, seperti halnya mahasiswa lain, selalu menginvetaris cangkir, piring dan peralatan makan pribadi di laboratorium. Cangkir milik korban adalah sebuah mug porselen putih bergambar hati dengan tutup berpola senada.
Sore itu, ketika lab sedang sepi, Doktor Adrian diam-diam meletakkan 50 miligram kristal atropine di dasar mug tanpa diketahui siapa pun. Doktor termuda di Universitas itu tinggal berharap malam ini “si korban” akan menggunakan mug itu untuk menyeduh kopi pahit, kopi andalannya untuk mengusir kantuk.
Sepanjang sore hingga malam, Doktor Adrian mengawasi labnya dengan cemas. Ia cemas jika ada orang lain yang menggunakan mug itu tanpa sengaja. Ketika dilihatnya “si korban” mengambil mug, menuangkan bubuk kopi hitam dan air panas, barulah ia merasa lega. Seperti biasa, korbannya akan mendiamkan cangkirnya selama beberapa menit lantas meminum habis isinya dalam sekali tenggak.
Senyum merekah di bibir Doktor Adrian. Kebiasaan “si korban” untuk menghabiskan kopinya sekali tenggak akan mempercepat kinerja atropine untuk mencabut nyawanya.
Doktor Adrian memutuskan untuk meninggalkan laboratorium ketika dilihatnya “si korban” sudah mulai mengaduk kopi lantas meletakkannya di meja, menunggu suhu kopi agak dingin. Ia sudah berada di dalam mobil ketika beberapa mahasiswa yang masih bekerja di lab-lab lain Universitas itu seketika berhamburan keluar demi mendengar teriakan panik yang bersumber dari Laboratorium yang dipimpinnya.
Ia menyeringai ketika beberapa mahasiswa itu meneriakkan nama korbannya. Reno. Rencananya berhasil. Racun itu tepat sasaran. Segera dia menyalakan mesin mobil dan memacunya membelah kegelapan malam.
***
“Jadi kamu benar-benar berhubungan dengan Bella, Ren?” tanya Robert serius.
Reno nyengir lebar. “Kalau iya, memangnya kenapa?”
“Gadis itu kan pendiam dan kutu buku. Beda sekali dengan tipe gadis-gadis yang selama ini kamu kencani. Lagipula penampilannya jauh dari standard minimal seleramu” Robert mengangkat bahu.
Reno terbahak. “Biarpun begitu, dia anak owner perusahaan besar, Rob. Jika aku bisa dekat dengan Bella, itu akan mempermudah aku untuk mendapatkan posisi di perusahaan ayahnya” lanjut Reno dengan senyum culas.
Kening Robert mengernyit. “Maksudmu? Kamu hanya mau memanfaatkannya?”
“Ada ribuan alasan yang bisa dibuat untuk meninggalkan dia. Aku tinggal gunakan salah satunya kelak jika karirku sudah mapan.” sebelah mata Reno berkedip nakal.
“Sinting kamu, Ren...” sergah Robert sambil meninju lengan Reno. Tentu saja tinjunya tidak membuat Reno kesakitan melainkan terbahak semakin keras.
Ketika itu keduanya tidak menyadari, jika sepasang telinga mendengar pembicaraan mereka. Doktor Adrian menahan geram dengan tangan terkepal. “Kurang ajar sekali. Berani-beraninya dia mempermainkan Bella!” batinnya. Terbayang di matanya, sosok Bella, mahasiswa tingkat tiga yang kerap ditemuinya di Perpustakaan. Gadis berkacamata tebal itu sering bertanya berbagai hal padanya. Bella memiliki rasa ingin tahu yang besar dan daya analisa yang luar biasa. Itu sebabnya, ia dan Bella kerap terlibat diskusi panjang.
Dengan semakin bertambahnya frekuensi pertemuan dengana Bella, Doktor Adrian merasa ada yang tidak biasa dengan perasaannya. Perasaan aneh itu belum pernah ia rasakan selama ini. Tidak butuh waktu lama bagi Doktor Adrian untuk menyadari bahwa untuk pertama kali dalam hidupnya, ia jatuh cinta, pada mahasiswi yang belasan tahun lebih muda.
Yang jadi masalah adalah, otak brilian doktor Adrian tidak lantas membuatnya dengan mudah menyatakan perasaan pada gadis pujaan hatinya. Doktor Adrian masih mencari saat yang tepat untuk itu hingga sore ini, perbincangan Robert dan Reno membuyarkan segalanya.
Ini tidak bisa dibiarkan!” rahang Doktor Adrian mengeras. Kepala jeniusnya langsung berpikir keras. Ia tak mungkin memberi tahu Bella apa yang baru saja didengarnya. Gadis itu tak akan semudah itu percaya.  
Doktor Adrian berjalan ke arah perpustakaan seraya berpikir keras. Sebuah rencana seketika muncul di kepalanya ketika melihat deretan bunga Angel’s Trumpet di pintu masuk perpustakaan. Tak banyak yang tahu jika seluruh bagian bunga itu mengandung atropine, racun yang bisa membahayakan nyawa manuasia hanya dengan dosis 16 miligram saja.
Ia menyeringai ketika teringat mug porselen milik Reno yang selalu tertutup. Itu akan memudahkannya menempatkan racun di dalamnya tanpa disadari sang pemilik. Seringainya kian lebar ketika ingat kebiasaan Reno meminum kopi pahit. Itu akan sangat membantu menyamarkan rasa atropine yang agak pahit.
Bayangan wajah Bella menari-nari dalam pikirannya ketika Doktor Adrian melangkah perlahan mendekati salah satu pohon Angel’s Trumpet.  

-selesai-

Note: cerpen ini tugas 2 pasca Kampus Fiksi; membuat karakter villain yang bisa bikin pembaca jatuh cinta. Waktu dapat tugas ini, yang kepikir cuman satu karakter. Snape. Semakin dipikir cuma Snape yang kepikiran. Akhirnya terciptalah Doktor Adrian, tokoh villain yang (hopefully) lovable. Hehe..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)