Ini bulan Ramadhan 1433 Hijriyah alias Bulan Juli tahun 2012 kalau versi
Masehinya.
Sudah menjadi kebiasaan kalau di bulan Ramadhan frekuensi orang-orang
membaca Alquran menjadi lebih tinggi dibanding hari-hari biasa. Berkat kemajuan
teknologi, banyak sekali propaganda yang menyeru untuk mengintensifkan diri
dengan Alquran via jaringan sosial saat masih bulan Sya’ban. Demikian juga
halnya dengan seorang teman berkebangsaan Afrika yang berdomisili di Jeddah. Ia
membagikan sebuah pesan; “How to complete the Quran for Ramadhan in 30 days.
The Quran has appx. 600 pages. Read 20 pages per day. That’s only 4 pages after
each salat”.
Hmmm, aku tidak pernah membayangkan bahwa ternyata semudah itu caranya bisa
khatam Quran dalam waktu satu bulan penuh. Akhirnya aku bertekad untuk menjadi
korban propaganda pro Alquran ini.
Tadi malam adalah malam keempat dan aku sedang mengaji manakala sebersit
masa lalu tiba-tiba melintas. Entah kenapa tadi malam seketika aku teringat
eyang, eyang putri, ibu dari ibuku yang biasa kupanggil yangti, dan sudah
berpulang hampir 2 tahun yang lalu. Yangti pun dulu begitu, dia sangat akrab
dengan Alquran sampai sudah khatam berkali-kali. Dan saat aku tengah berusaha
mengkrabkan diri dengan Alquran, entah kenapa tiba-tiba ada rasa kangen yang
luar biasa. Rasa kangen yang membuncah dan meledak dalam bentuk linangan air
mata. I miss you so much grandma...
***
Yangti adalah seorang guru SD. Kalau tidak salah dulu di SD Putat dia
mengajar hingga pensiun. Sejak dulu keluarga nenekku beragama Islam, tapi Islam
KTP alias jarang sholat. Walaupun sholatnya bolong-bolong, yangti dan yangkung
(Eyang kakung) punya semangat hablumminannas yang tinggi. Senang sillaturahim,
rajin menjenguk orang sakit, rajin takziyah, rajin menghadiri undangan. Tak
heran sanak saudara dan teman mereka banyak sekali, mulai dari yang memang asli
saudara kandung, saudara angkat, saudara sepupu, sampai saudara jauh yang jadi
saudara setelah sang ipar menikah dengan iparnya ipar sepupu. Halah, pokoknya
mbulet jaya deh. Tapi kami senang karena keluarga kami selalu ramai, apalagi
saat tiba Lebaran.
Keluarga nenek baru mulai menjalani sholat setelah ibuku menikah dengan bapak.
Bapak adalah anak seorang petani sekaligus Lurah sebuah desa kecil di kabupaten
Jombang. Keluarga Eyang kakung dari bapak memang bukan keluarga yang terlalu
nyantri tapi cukup istiqomah menjalankan rukun Islam, termasuk sholat.
Masuknya bapak ke keluarga ibu sedikit demi sedikit mengubah yangti, yangkung
dan adik-adik ibu (ibuku anak sulung) yang tadinya hampir tidak pernah sholat
menjadi rutin sholat. Mereka pun mulai sering ikut pengajian. Dari sana, yangti
mulai punya keinginan pergi Haji. Alhamdulillah Allah memberikan jalan padanya
untuk pergi ke Baitullah. Sayangnya yangkung tidak bisa ikut berangkat karena
saat itu beliau terkena stroke.
Begitu tahu akan berangkat Haji, yangti mulai berpikir untuk belajar
membaca Alquran. Saat itu yangti benar-benar buta huruf hijaiyah. Sama sekali
alias nol putul. Dia merasa malu kalau nanti pulang Haji tidak bisa mengaji.
Makanya dia ingin belajar membaca Alquran. Tapi di kemudian hari baru aku tahu
bahwa alasan sebenarnya dia mengambil kelas baca Alquran di Masjid Al Falah
kala itu adalah karena aku.
Waktu itu yangti sudah pensiun. Aku yang waktu itu masih usia SD dan
mengetahui bahwa nenekku belum bisa mengaji bertanya; “Yangti belum bisa
ngaji?, Yangti kan sudah tua? Kok belum bisa ngaji?”. Kata-kataku yang ceplas
ceplos itu rupanya telak menohok perasaannya.
Mereka, yang saat itu memang belum terlalu sepuh, baru 60an, kembali
menjadi murid sekolah lagi. Semangat belajar kedua suami istri berusia senja
itu luar biasa. Dalam waktu singkat, mereka segera bisa membaca Alquran. Well,
mungkin karena itulah Alquran disebut-sebut sebagai mukjizat nomer satu
Rasulullah. Kitab suci paling orisinil di dunia ini ternyata mudah sekali
dipelajari, bahkan oleh orang-orang yang mulai dari nol sekalipun.
Ingatanku soal berapa lama kakek dan nenekku belajar Alquran agak kabur.
Yang jelas, tak lama setelah mengambil kelas mengaji, Alquran berukuran jumbo
kini menjadi bacaan wajib mereka berdua. Sampai akhir hayat.
***
Yangti adalah orang yang cerdas dan punya ingatan yang sangat kuat,
terutama mengenai tanggal-tanggal penting. Dia bisa ingat semua tanggal kelahiran
anak-anaknya (yang jumlahnya 6), menantu-menantunya (yang jumlahnya 6 juga),
tanggal perkawinan anak-anaknya, tanggal lahir cucu-cucu dan cicit-cicitnya (baik
yang hidup maupun tidak dan jumlahnya hampir sekodi). Bahkan tanggal kematian
saudara-saudaranya.
Yangti juga gemar mendongeng. Apa saja dia dongengkan, mulai dari dongeng
klasik anak-anak sampai sejarah hidupnya sendiri. Masa kecil yangti adalah masa
jaman perang kemerdekaan. Dia bisa ingat satu per satu episode hidupnya saat
kehilangan orang tuanya, saat dititipkan pada sanak kerabatnya, perjumpaan dan
romantikanya dengan pria yang kemudian menjadi yangkung kami, hingga
sedetail-detailnya. Dan kami cucunya (terutama aku) tidak pernah bosan
mendengarkan ceritanya yang terkadang diulang-ulang. Aku senang mendengar
sejarah hidupnya dan lagi aku senang melihatnya bernostalgia.
Yangti adalah anak paling tua. Dalam adat Jawa, saudara tua adalah saudara
yang didatangi saat Lebaran. Maka tak heran, kalau rumah Yangti selalu ramai.
Yangti selalu melakukan open house dan menu makanannya adalah Lontong Soto Ayam
ala Yangti. Belum pernah aku makan Lontong Soto seperti masakan yangti.
Belakangan baru aku tahu rahasianya adalah dari remasan bawang goreng.
Lontong Soto ala Yangti selalu dinanti-nanti para tamu. Pernah suatu kali
anak-anaknya mencoba variasi baru dengan menyajikan Lontong Cap GoMeh, tapi
rupanya menu itu membuat beberapa tamu jadi kecewa karena yang mereka harapkan
adalah makan lontong soto. Akhirnya keluarga kami kembali menyajikan Lontong
Soto di tahun berikutnya.
Aku, sebagai cucu paling tua tentu saja tidak pernah ketinggalan ambil
bagian. Waktu masih remaja aku kebagian tugas membawakan Lontong Soto untuk
para tamu. Mungkin yangti sekalian promosi kalau punya cucu perempuan yang
masih single, hahaha.... Setelah dewasa tugasku digantikan adik-adik sepupuku
sedangkan aku naik kelas menjadi tukang racik Lontong Soto di dapur.
***
April 2004, Yangkung meninggal, setelah 11 tahun semenjak serangan stroke
pertamanya. Sejak pensiun dan kemudian bisa mengaji, Yangkung punya rutinitas.
Bangun jam 3 pagi untuk sholat, kemudian mengaji hingga Subuh. Setelah Subuh
mengaji lagi sebentar lalu dilanjutkan dengan merawat koleksi
tanaman-tanamannya. Lalu istirahat, makan lantas mengaji lagi. Malam juga
demikian, usai sholat Maghrib dan Isya dia selalu membaca Alquran yang
ukurannya paling besar yang bisa dia temukan di toko buku. Memang mereka juga nonton
TV setiap hari, tapi waktu mengajinya jauh lebih banyak daripada waktunya
memandangi tabung elektronik tersebut. Hanya beberapa acara TV saja yang jadi
kegemarannya. Kebetulan mereka berdua punya kegemaran yang sama, yakni sinetron
dan telenovela. Itu pun hanya 1-2 judul yang mereka ikuti.
Yangti pun punya rutinitas yang tidak jauh berbeda. Tidak ada kitab atau
buku lain yang dibacanya selain Alquran. Makanya aku tidak kaget manakala
mengetahui mereka berdua bisa mengkhatamkan Alquran tiap bulan. Kecuali di
bulan Ramadhan, Alquran bisa mereka khatamkan sebanyak 3 kali.
Yangti sangat istiqomah. Sholat malam dan mengaji. Kalau sudah sholat,
lamaaa sekali selesainya. Sampai-sampai aku malas diajak sholat berjamaah
karena takut kelamaan. Aku kan tergolong orang yang sibuk.
Terlepas dari kebiasaan sholat dan mengaji, kebiasaan masa muda dulu untuk
“gaul” tidak ia tinggalkan. Yangti adalah orang pertama yang datang ke rumah
saudara saat dikabari ada kematian. Bahkan kain kafan dan perawatan jenazah
milik yangti seringkali dipakai oleh kerabat yang meninggal mendadak dan
kebingungan bagaimana merawat jenazah.
Yangti memang tahu bagaimana merawat jenazah setelah mengikuti semacam
pelatihan di masjid. Yangti bahkan jauh-jauh hari telah menyiapkan 2 set kain
kafan dan perlengkapan jenazah untuknya sendiri dan yangkung jika sewaktu-waktu
dipanggil Yang Maha Kuasa. Yangti tidak mau anak cucunya kerepotan menyiapkan
tetek bengek perawatan jenazah untuknya.
Bulan April 2011, yangti menyusul yangkung di usianya yang ke 73, tepat 7
tahun setelah yangkung meninggal. Walaupun usianya kepala 7, jangan
membayangkan yangti adalah nenek-nenek bongkok dengan rambut kelabu. Well, memang
sih rambutnya sudah tidak ada yang hitam dan kulitnya memang tidak bisa
menutupi kesenjaan usianya. Bahkan anakku senang sekali memainkan kulit eyang
buyutnya yang keriput. Walaupun kulitnya keriput dan rambutnya memutih, Yangti
berbadan sangat sehat dan sangat fashionable.
Yangti adalah mantan pemain badminton dan tidak pernah bisa diam. Hobinya
jalan sehat dan senam. Bahkan setelah pensiun, kakek nenekku itu pernah
beberapa kali menempuh jarak Dukuh Kupang-Bratang Gede(rumah Ibuku) dengan
berjalan kaki. Setelah usianya 70an pun, yangti masih rutin melakukan senam
Jantung Sehat.
Yangti juga sangat senang bercocok tanam. Aku masih ingat waktu aku akan
menempati rumah baru, dia menanyakan apa warna kesukaanku dan aku jawab oranye.
Ternyata menjelang hari kepindahanku, Yangti telah menyiapkan 40 pot tanaman
yang semuanya berwarna oranye menyala. Dia tahu cucunya ini sama sekali tidak
gemar berkebun, makanya dia menyediakan hal-hal yang aku pasti tidak memikirkan.
Sungguh aku girang luar biasa melihat deretan pot berwarna oranye di halamanku.
Dan itu semua dia cat sendiri, satu per satu, dengan tangannya.
Yangti juga sangat fashionable. Kalau melihat koleksi pakaiannya, dijamin
akan membuat geleng-geleng kepala. Yangti sangat gemar berdandan. Dia gemar
pakaian dan aneka kerudung maupun aksesoris. Kalau aku sedang bertugas
mengantarnya ke kondangan, terkadang aku merasa minder. Yangti sangat cantik,
make up lengkap walau tidak menor, pakaian yang sangat feminin berupa kebaya
dan seweknya, serta kerudung berlapis-lapis. Dan kesemuanya serba match dengan
tas atau dompet tangan atau selopnya.
Sedangkan aku, haha...bagai bumi dan langit. Tas tanganku ya itu-itu saja,
warna hitam dan hanya dipakai ke kondangan. Selopku juga bernasib sama, hanya
sepasang selop berwarna gold yang hanya keluar dari dusnya kalau aku mau ke
kawinan. Bedak tipis, sedikit blush on dan lipstick warna natural menjadi
andalanku. Untuk baju pesta, seringkali aku meminjam kebaya milik Ibuku. Dan karena
aku hanya bisa satu macam gaya berjilbab, itu lah yang kupakai baik ke
kondangan maupun ke kantor; jilbab segi empat yang disemat di bawah dagu ala
anak-anak madrasah.
Kadangkala Yangti mengkritik penampilanku, kalau sudah begitu biasanya
Ibuku akan meminjamkan koleksi tas tangannya, brosnya, maupun selopnya atau
sekedar menambahkan eye shadow untuk menyelamatkan keadaan. Pernah juga dia
bilang aku ini sederhana, namun sampai sekarang aku tidak yakin apakah itu
pujian atau kritikan.
Hanya sekali di sebuah pesta dia bilang aku cantik. Waktu itu, seperti
biasa hampir semua yang menempel di badanku adalah pinjaman dari Ibuku. Aku
memang sedang hamil muda dan tiba-tiba jadi senang berdandan kala itu. “Wah,
kowe nek ngene ayu banget lho Wuk (Nduk), anakmu wedok paling”, kata Yangti
setelah mendaratkan ciuman di pipiku. Hahaha, aku mau ge er jadi batal, berarti
aku jadi cantik karena bawaan bayi.
***
Proses meninggalnya Yangti cukup singkat, walaupun tidak dikategorikan
mendadak.
Saat Lebaran terakhirnya, tidak biasanya Yangti mengumpulkan anak cucunya.
Well, biasanya kami memang berkumpul, tapi sepulang sholat kami langsung
melakukan acara sungkeman kemudian bagi-bagi uang untuk anak-anak. Hari itu
sedikit berbeda, Yangti membuka acara sungkeman dengan pidato singkat. Isinya
meminta maaf pada kami semua jika seandainya ada kata-katanya yang menyakitkan
hati kami. Tak ada yang menyadari mungkin bahwa saat itu adalah tanda bahwa
tahun depannya dia tidak akan ada lagi di antara kami.
Lebaran terakhir itu sudah tidak ada lagi Lontong Soto, berganti dengan
menu masakan Cina dan bakso daging sapi yang disajikan prasmanan. Yangti cepat
merasa lelah hingga anak-anaknya memutuskan untuk meniadakan Lontong Soto dan
menggantinya dengan alternatif yang lebih praktis..
Beberapa bulan setelah itu, kami mendapat kabar Yangti masuk rumah sakit.
Waktu itu sebenarnya fisiknya tidak sakit, sangat sehat seperti biasanya. Hanya
saja tiba-tiba Yangti jadi pelupa, pelupa yang parah. Yangti pernah salah masuk
kamar, kamar sepupuku dia kira kamarnya (waktu itu Yangti sudah tinggal bersama
Tante). Yangti pernah salah memasukkan pakaian kotor ke keranjang sampah, bukan
keranjang pakaian kotor. Kejadian yang paling parah, Yangti salah masuk ke
rumah tetangga, mengira itu adalah rumahnya. Sebelum tinggal di rumah Tante,
Yangti tinggal di rumahnya sendiri dan sering sekali lupa mematikan kompor.
Waktu aku menjenguknya di rumah sakit, dia memanggil namaku dengan nama
sepupuku. Waktu aku sudah beberapa lama duduk di samping ranjangnya dia bertanya
apa aku baru datang. Waktu aku pamitan, lagi-lagi dia menyebut namaku dengan
nama sepupuku yang lain lagi. Tentu saja hati ini miris melihat keadannya.
Yangti yang dulunya ingat tiap detail-detail sejarah, tiba-tiba jadi lupa nama
cucunya sendiri.
Seminggu di rumah sakit, ternyata Yangti terdiagnosa kena tumor otak. Tapi
ukurannya masih sangat kecil dan belum perlu dilakukan operasi. Dokter bilang,
tumor itu butuh waktu lama untuk tumbuh dan menjadi bahaya. Akhirnya Yangti
boleh keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumah Ibuku dengan alasan lokasi
yang paling dekat dengan rumah sakit.
Di rumah, penyakit lupanya semakin parah di minggu pertama. Yang paling
parah, Yangti buang air di kamar tidur karena mengira kursi sebagai kloset dan
mug air minumnya sebagai gayung. Tidak hanya itu, Yangti seolah kembali menjadi
anak kecil. Makan pun tidak mau jika tidak diingatkan, apalagi mandi dan minum
obat.
Dalam kondisi demikian, yangti tidak lagi berkebun, tidak lagi berolah
raga, tidak lagi nonton sinetron dan juga tidak lagi mengaji. Alquran jumbonya
tak lagi tersentuh. Padahal beberapa bulan sebelumnya Yangti membeli Alquran
baru yang ada terjemahannya karena dia ingin mulai memahami arti ayat-ayat yang
dibacanya. Lagi-lagi itu dia lakukan karena terprovokasi olehku.
Dia bilang, “Biarlah ngga ngerti artinya, yang penting dapat pahala dari
tiap huruf yang dibaca”. Kemudian aku mempromosikan Alquran yang punya
kalimat-kalimat yang sangat indah dan sudah saatnya naik level dari “hanya mengaji”
menjadi “tahu artinya”. Akhirnya dia memintaku mengantarnya ke toko buku. Seperti
dugaanku, ukuran Alquran baru tersebut super besar, dua jilid lagi. Sayangnya,
aku tidak pernah tahu sudah sampai manakah dia membaca Alquran barunya itu.
Seminggu terakhir di rumah Ibu, nenekku itu seperti bukan nenek yang selama
ini aku kenal. Yangti benar-benar kembali seperti anak kecil. Dari semua
kebiasaan masa lalunya, hanya satu yang masih konsisten dia jalani. Dia tetap
sholat. Awalnya masih bisa sambil berdiri tapi lama-lama dia memilih sambil
duduk di tempat tidur. Entah karena kondisi otaknya yang sudah tidak normal
atau tubuhnya yang sudah sedemikian akrab dengan sholat, Yangti bisa sholat
berlama-lama. Dia bilang dia belum sholat padahal dia sudah salam. Dia sholat
lagi dan lagi. Dia bisa sholat Dhuhur sampai 2-3 kali. Kami biarkan saja dia
berlama-lama dengan mukenahnya di atas tempat tidur, menunggu sampai dia
melepaskan mukenahnya dan berbaring lagi.
Yangti tidak lagi suka menonton televisi, padahal sebelumnya dia sangat
suka sinetron Putri Yang Tertukar. Sebelum sakit, saking senangnya dengan
sinetron, Yangti sangat bangga kalau aku bertanya-tanya bagaimana nasibnya si
anu atau si itu di episode kemarin. Kalau sudah begitu dia akan bercerita
dengan berapi-api. Sejujurnya aku juga tidak terlalu ingin tahu bagaimana
nasibnya si Nikita Willy. Tapi aku senang saja melihatnya berbangga hati karena
merasa lebih tahu daripada aku.
Entah seperti apa Yangti melihat dunia saat jatuh sakit. Pandangannya tidak
kosong tapi redup. Bicaranya pendek-pendek dan sepotong-potong, padahal dulu
Yangti sangat doyan bercerita. Sehari-hari kerjanya melamun, dunianya hanyalah
kamar tidur, kamar mandi, ruang keluarga atau teras. Itu pun kebanyakan
dilaluinya dengan bengong atau dialog-dialog pendek. Yangti seperti ada di
dunianya sendiri. Terkadang dia seperti tidak menyadari keberadaanku yang menungguinya
di samping ranjang, atau ikut berbaring di sampingnya. Melihat Yangti yang
seperti itu, aku seringkali merasa kangen ingin dikeloni seperti waktu kecil
dulu. Waktu tangannya menepuk-nepuk pahaku sambil menyanyikan tembang
Dandanggula yang judulnya Semut Ireng.
Semut ireng
Anak-anak sapi
Kebo bongkang nyabrang kali bengawan
Keong gondang crah sungute
(seterusnya lupa)
Maka itu aku sering menemaninya di kamar sambil ikut berbaring. Kadang
sambil kutanya-tanya ini itu, dan dia selalu menjawab dengan kalimat
pendek-pendek. Tapi sering juga aku berbaring di sebelahnya tanpa kata-kata. Aku
memandanginya dengan diam, tapi dia seakan tidak tahu aku ada.
Yangti seperti berada di negeri asing. Seperti komputer yang terkena virus,
seluruh ingatan di kepalanya kini hilang dan hanya menyisakan potongan-potongan
fragmen. Dalam dunianya itu, aku kerap melihat bibir Yangti bergerak-gerak.
Belakangan baru aku sadar, Yangti sedang bertasbih, menyebut nama Allah tiada
henti. Aku menyadarinya karena melihat jemarinya yang bergerak lemah seperti sedang wiridan dan samar-samar aku
mendengar kata “Allah, Allah...”.
Minggu kedua di rumah, kondisi Yangti semakin drop, bahkan tidak sadar. Lagi-lagi
Yangti masuk rumah sakit. Perkiraan dokter yang menyatakan tumor Yangti akan bertambah
ukuran dalam waktu lama ternyata salah. Ukuran tumor di otaknya sudah semakin membesar
hanya dalam waktu 2 minggu. Yangti tidak pernah sadar lagi. Saat itu aku sadar,
sepertinya saatnya akan segera tiba. Aku tidak tahu apakah ibuku juga menyadari
hal yang sama.
Mata Yangti tidak pernah lagi terbuka. Namun bibirnya merespon manakala
kami bisikkan kalimat tasbih, tahlil maupun istighfar di telinganya. Anak cucunya
bergantian mengaji di sampingnya. Kalaupun ada jeda kami berhenti mengaji, giliran
mp3 murottal Quran yang menggantikan kami.
Karena Yangti orangnya “gaul”, sanak saudara dan teman-teman tidak berhenti
membezuk Yangti. Bahkan karena ke”gaul”an Yangti menular pada anak-anaknya,
teman-teman dan saudara Ibuku, Bapakku, Om dan Tanteku juga datang membezuknya.
Kalau aku datang ke rumah sakit, aku tidak pernah membawa apa-apa, yang ada
malah membawa berbagai jenis buah, roti dan cake karena bawaan para pembezuk
yang menumpuk di kamar paviliun. Anak dan menantunya bergantian menjaganya. Aku
sendiri memang tidak pernah kebagian tugas jaga karena waktu itu anakku masih
menyusu, tapi sepulang kantor hampir tiap hari aku ke rumah sakit sampai malam.
Walau nenekku itu tidak pernah bicara lagi pada kami, kelopak matanya
bergerak-gerak tiap kali kami ajak bicara. Sesekali mulutnya terbuka seperti
hendak mengucapkan sesuatu. Kalau sudah begitu kami menuntunnya untuk menyebut
nama Allah.
***
Hari Jumat subuh yang gerimis, telfonku berdering, dari Bapak. Entah kenapa
aku tahu apa alasan Bapak menelfonku sepagi itu bahkan sebelum aku menjawab
telfonnya. Benar, Yangti sudah meninggal dan aku sudah menduga. Seharusnya aku
tidak terkejut, tapi aku tidak bisa tidak menangis.
Aku datang terlambat ke rumah duka. Yangti sudah dimandikan. Aku hanya bisa
menatapnya. Aku ingin menciumnya tapi takut air mata ini menetesi wajah
bersihnya.
Yasin pertama untuknya. Aku tidak sanggup membacanya karena sibuk
mengendalikan isakan. Potongan-potongan kenangan dengan Yangti terus berputar
di kepalaku sepanjang hari. Rasanya seperti melihat film-film lama. Air mataku,
yang hampir tidak pernah diekspose di depan umum, kini mengalir terus tanpa
kendali, sampai jenazah Yangti masuk ke liang lahat. Ah tapi biarlah, kulihat
sekelilingku, semua orang juga melakukan hal yang sama.
Pelayat Yangti banyak sekali seakan nenekku itu adalah seorang pejabat.
Kebanyakan dari mereka tidak aku kenal karena mereka adalah teman atau saudara
dari saudaranya saudaraku. Deretan mobil memanjang hingga ratusan meter. Ah,
betapa beruntungnya Yangti dilayat banyak orang seperti ini. Yangti memang
terkenal di kalangan tetangga sebagai orang yang sayang sama semua orang.
Untuk beberapa saat, aku merasa iri pada nenekku. Iri melihat
keistiqomahannya, iri melihat proses kepergiannya, iri melihat akhir hidupnya
yang insya Allah husnul khotimah, juga iri melihat keakrabannya dengan Alquran
dan sholat malam. Sebagai orang yang mengenal tuntunan Islam lebih dulu
daripada dia, aku merasa kalah. Terlepas dari segala kekurangannya, Yangti
telah berhasil memikat hati orang-orang di sekelilingnya, dengan perhatian dan
kasih sayangnya.
Allah telah mengajarkan banyak hal lewat proses sakit dan meninggalnya
nenekku. Yangti pun juga telah mengajarkan banyak hal yang mungkin tak pernah
ia sadari, termasuk bagaimana menjalin ikatan kuat dengan Alquran.
***
Kini Alquran jumbo Yangti dan Yangkung tersimpan rapi di lemari. Tak ada
yang ingin membacanya. Entah karena ukurannya terlalu besar dan tidak handy
atau karena takut terkenang pada pemilik lamanya. Suatu hari mungkin, kalau
mataku tidak lagi setajam sekarang, Alquran jumbo itu bisa saja kembali
menemani hari-hari kami. Seperti saat ia menemani tahun-tahun terakhir
perjalanan hidup kakek dan nenekku.
Ditulis dengan tinta kerinduan untuk: Yangti, Hj. Erwijasih
Citra Harmoni, 5 Ramadhan 1433 H (25 Juli 2012)
Jam 02.35.
Terima kasih May sudah melihat Yangti dengan "kacamata" yang sangat indah. Semoga bermanfaat dan memberikan kebaikan untuk semua yang membacanya. Aamiin.Oom Icok
BalasHapus