Akhirnya kami memutuskan untuk ke Kaliandra hari
Minggu (23 September 2012) lalu. Awalnya kami hanya ingin refreshing sekalian
makan-makan di luar rumah memperingati hari jadi Papa yang ke-60.
Kaliandra dipilih karena memenuhi beberapa
kriteria; lokasi yang tidak terlalu jauh dari rumah kami di Surabaya, tempatnya
belum pernah kami kunjungi, serta (harapannya) tidak crowded seperti halnya
tempat hiburan lain di pegunungan (seperti misalnya Taman Safari, Jatim Park,
atau Batu Secret Zoo). Satu alasan lagi adalah kami terprovokasi oleh seorang
teman asal Jerman yang memuji-muji keindahan Kaliandra. Tidak hanya jadi ingin
tahu, tapi juga jadi tidak ingin kalah. Masa bule Eropa sudah pernah ke sana
sedangkan kami yang penduduk lokal malah belum?
Cuman masalahnya adalah, tidak ada satu pun dari
kami yang mengetahui persis di mana lokasi Kaliandra dan harus lewat mana untuk
sampai ke sana. Untunglah ada Blackberry dan Google yang membantu menemukan
arah-arah ke Kaliandra. Akhirnya kami sampai di Kaliandra tanpa acara kesasar
^-^
Bagaimana
Mencapai Kaliandra?
Sangat gampang. Ikuti saja jalan yang menuju
Taman Safari II, Prigen. Mau lewat yang ada patung gading gajahnya boleh, mau
lewat jalan yang lama (akses lama yang melewati pasar) juga monggo. Sesaat
menjelang loket masuk Taman Safari II lagi-lagi kita akan ketemu sama patung
gading gajah, nah tepat sebelum patung gading gajah itulah ada jalan ke arah
kanan. Kalau memang berniat ke Kaliandra, segeralah berancang-ancang mengambil
haluan plus menyalakan lampu sein untuk bermanuver ke kanan, begitu sudah
melihat patung gading gajah dari kejauhan.
Setelah belok kanan, tinggal ikuti saja papan
petunjuk yang ada di sepanjang jalan. Kira-kira dari belokan tadi jaraknya
sekitar 2 kiloan lah. Memang sih papan penunjuknya tidak terlalu menyolok, tapi
cukup kelihatan kok kalau kita jeli melototin jalan ^-^
Gerbang
Kayu nan Sederhana
Jalan itu membawa kami ke sebuah gerbang kayu
yang (menurut saya) sangat biasa. Sempat juga mengira bahwa bukan itu tempat
yang kita cari. Tapi melihat tanda-tanda di depan gerbangnya, kami langsung
curiga bahwa memang itulah Kaliandra.
Seorang petugas security keluar dan menyambut
kami yang masih diliputi tanda tanya. Ternyata kami sudah berada di jalan yang
benar. We’ve found Kaliandra. Setelah mengisi form tamu, bapak security yang
ramah tersebut mengantar kami ke kantor marketing.
Begitu masuk, kami tidak merasa ada di tempat
wisata, melainkan sedang bertamu ke rumah dengan halaman yang luas. Saya duduk
di teras bergaya Jawa sambil menunggu petugas marketing yang dimaksud. Sambil
menunggu sempat juga melihat sitemap lokasi Kaliandra. Hooo...di situ saya
melihat ada Bharatapura, ada Hastinapura. Acara mempelajari sitemap
terinterupsi karena seorang mas-mas yang tampak ramah menyapa saya sembari
tangannya membawa brosur Kaliandra dan kartu nama.
Setelah berbasa-basi sejenak, kami memutuskan
untuk makan dulu. Si mas yang ternyata memang ramah tadi berjanji untuk
mengantar kami berkeliling kompleks Kaliandra setelah kami makan.
Makanan
ala Restoran Kaliandra
Konon makanan yang diolah di restoran Kaliandra
ini dibuat tanpa tambahan MSG. Sudah begitu, sayur-sayurannya pun adalah
sayuran organik yang ditanam sendiri. Harganya relatif tidak mahal dan rasanya
pun enak. Beberapa menunya pun cukup khas karena belum pernah saya lihat di
tempat lain, taruhlah “Ikan Tengiri Bumbu Dabu-Dabu” atau “Tim Gurami dan Bunga
Kecombrang”. Saya sendiri mencoba seporsi sop buntut, secangkir teh rosella
hangat dan secangkir teh susu mint.
Seekor lebah yang berukuran lumayan besar turut
bergabung bersama kami, turut mencomoti gumpalan nasi berbumbu dan membawanya
terbang entah ke mana.
Sepertinya memang makanannya dimasak tanpa MSG,
karena jika ada MSGnya kemungkinan tidak akan ada serangga yang berminat untuk mencicipi
(begitu sih kata orang-orang tua).
Oya satu hal lagi, semua makanan itu kami nikmati
sambil nongkrong di atas gazebo.
Bharatapura
dan Hastinapura
Melihat gaya bangunan dan penataan layout
Kaliandra membuat kita merasa berada di kompleks bangunan candi-candi Hindu.
Ruang-ruang pertemuan didesain bergaya pendopo yang terbuka. Belum lagi
penempatan beberapa patung-patung di beberapa lokasi. Ditambah lagi penamaan
kompleks penginapannya yang juga beraroma Hindu; Bharatapura dan Hastinapura.
Bharatapura terletak di bawah sedangkan
Hastinapura di atas. Kompleks penginapan yang dekat dengan pintu masuk adalah
Bharatapura dan terdiri atas kamar-kamar twin atau single serta cottage-cottage
bergaya asrama. Sedangkan Hastinapura merupakan kompleks bungallow yang
berlokasi 7-10 menit berjalan kaki dari Bharatapura. Ada 5 (atau 6 ya?)
bungallow berkapasitas 6 orang di sana plus sebuah kolam renang kecil bergaya
pemandian jaman Majapahit. Air kolam tersebut katanya diambil langsung dari
mata air Gunung Arjuna. Saya jadi mambayangkan betapa asyiknya berendam di
kolam tersebut. Betapa tidak? Lokasinya yang dikelilingi pepohonan hijau dan
beberapa arca dewa-dewa Hindu yang diletakkan di pinggiran kolam, membuat kita
sejenak tidak merasa ada di Jawa Timur.
Kecantikan
Tersembunyi di Lereng Gunung Arjuna
Yang membuat tercengang dan terbengong-bengong
adalah saat kami sedang berjalan dari Bharatapura menuju Hastinapura. Kami
melihat istana. Ya, istana di tengah hijaunya pepohonan Gunung Arjuna. Istana
bergaya Eropa nan mewah, lengkap dengan seekor burung Merak jantan yang
dibiarkan lepas berkeliaran di terasnya.
Pendengaran saya jadi agak-agak kabur karena
masih tercengang dengan pemandangan di depan mata. Sehingga penjelasan dari
sang pemandu jadi terdengar samar-samar. Sependengaran saya, bangunan semacam
itu ada lebih dari satu. Yang satu ditempati oleh sang pemilik Kaliandra, dan
yang lainnya lagi untuk disewakan dengan rate yang lebih mahal ketimbang rate
hotel JW Mariott. Biasanya penyewanya adalah para ekspatriat.
Masih belum hilang kebengongan kami yang
membayangkan bagaimana membawa material untuk membangun istana semacam itu di
tengah gunung semacam ini, kami disuguhi kejutan lain. Di depan mata kami kini
ada kolam teratai dan yang menjadi backgroundnya adalah villa bergaya kastil
Eropa kuno lengkap dengan kolam renangnya. Bangunan itu ternyata juga
disewakan, dibangun tahun 2004, namun eksteriornya sengaja dibuat seakan-akan
itu adalah bangunan kuno abad 19. Satu-satunya sentuhan yang membuat sadar
bahwa itu adalah bangunan modern adalah 1 set kursi teras berwarna putih yang
masih tampak baru.
Mengapa
Kaliandra Ada?
Melihat dan menjelajahi tiap sudut Kaliandra,
terasa sekali tempat itu bukan dibangun untuk tujuan komersial. Berbeda dengan
Wisata Bahari Lamongan, Jawa Timur Park atau Taman Wisata Selecta. Maksud saya
begini,tempat tujuan wisata pada umumnya akan banyak dikelilingi orang
berjualan, berwarna-warni dan meriah, papan-papan penunjuk jalan yang
besar-besar tetapi “dingin”. Maksudnya “dingin” itu begini, tempat wisata
biasanya bersifat “silahkan menikmati jika sudah membayar”. Tapi di Kaliandra
tidak. Di sini, “hospitality” (saya kok lebih seneng menuliskan hospitality
ketimbang keramahtamahan) bahkan sudah terasa semenjak kami belum melewati
gerbang utama. Semakin terasa saat kami mulai memesan makanan dan berkeliling
di lahan seluas 21 hektar tersebut. Kami benar-benar merasa seperti tamu yang
dijamu, tidak seperti mengunjungi wahana wisata.
Saat itu hari Minggu dan Kaliandra sedang full
booked, tapi sama sekali tidak terasa crowded. Kalau biasanya jika ke tempat
wisata, yang dirasakan adalah capek karena harus ngantri membeli makanan maupun
merasakan wahana permainan. Di Kaliandra, kami benar-benar merasa refresh,
recharge, walaupun harus berjalan cukup jauh menjelajahi kompleks Bharatapura
dan Hastinapura. Ini baru namanya wisata. Ini baru namanya tetirah. Sekalipun
kami tidak sampai menginap.
Kaliandra konon katanya dimiliki oleh seorang
pengusaha Indonesia berdarah Cina-Belanda. Konon lagi, saat ini beliau sudah
berusia 70 tahunan. Beliau menginginkan Kaliandra menjadi sebuah “legacy” (saya
kok lebih senang menuliskan legacy ketimbang warisan atau pusaka). Dari situlah
tercipta Kaliandra, yang - menurut saya - merupakan perpaduan yang harmonis
antara pendidikan, alam dan budaya. Dan melihat Kaliandra, saya rasa keinginan
beliau telah terlaksana. Kaliandra telah menjadi sebuah “legacy” bahkan sebelum
sang pemilik berpulang ke alam baka.
Kaliandra dengan segala pesona dan
keramahtamahannya telah menawan hati kami. Kami bertekad untuk suatu saat
kembali ke sana, melihat pemandangan yang belum kami lihat Minggu siang
kemarin. Yakni melihat bagaimana wajah Kaliandra di waktu senja dan malam hari.
Masih banyak yang bisa diceritakan tentang
Kaliandra, walaupun kunjungan kami ke sana sebenarnya termasuk singkat. Tapi saya tidak ingin bercerita terlalu banyak. Ini
memang saya sengaja agar Kaliandra tetap menjadi misteri. Agar kecantikan
Kaliandra bisa dibuktikan lewat lensa-lensa mata kita sendiri. Namun jika ingin
melihat seperti apa Kaliandra, fasilitasnya, program-program yang ditawarkan
dan lain-lain, silahkan kunjungi www.kaliandrasejati.org.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.