Senin, 19 Januari 2015

[Flash Fiction] Sebuah Nama

Ibu jariku sudah nyaris menyentuh satu nama di layar ponsel, ketika sebongkah ragu tiba-tiba muncul. Seharusnya ini tidak sulit, desahku sembari melepaskan ponsel dari genggaman.

Terlintas lagi ucapan sahabatku tadi siang, “Adrian masih menunggumu, Almira. Perasaannya tidak berubah.”

“Tidak mungkin. Bukankah dia sudah...”

“Dia terpaksa. Tapi kamu masih bisa meralatnya.”

“Caranya?”

“Dia bilang, jika kamu bersedia kembali, dia bersumpah akan membatalkan pertunangannya.”

Aku meraih ponselku lagi dan menatap nama itu. Adrian Perwira. Ya, aku masih mencintainya. Tapi aku tahu diri. Dia penghuni langit dan aku penduduk bumi.

Air mataku mengambang ketika ibu jariku menekan nama itu agak lama. Kalimat “Hapus kontak terpilih?” muncul di layar ponsel ketika aku menyentuh icon tempat sampah.

Dua bulir air sempurna jatuh membasahi pipi ketika aku memilih; “OK”.



(diikutsertakan dalam #FiksiLaguku, berdasarkan lagu "Tahu Diri" by Maudy Ayunda)

Minggu, 04 Januari 2015

[Cerpen] Sebuah Jawaban Dari Bangalore

Wanita berkain sari itu menghampiriku. Senyumnya merekah, membuat wajah berlesung pipit itu kian menawan. Ketika ia sudah tiba di hadapanku, lengannya mengembang lantas perlahan mendekapku. Aroma tubuhnya yang wangi memberikan efek rileks yang membuatku ingin waktu sejenak berhenti.
“Aku sangat menyayangimu, Mandira,” bisiknya lembut.
“Aku juga sayang Amma[1],” balasku.
“Kau juga sayang Pita-ji[2], kan?”
Aku diam dan menggeleng.
“Maafkan dia, sayang,” ujar wanita itu seraya melonggarkan dekapannya. Matanya menatap mataku dalam-dalam.
“Tapi dia sudah menyakitimu, Amma,” aku berkilah.
“Itu sudah jadi masa lalu, Mandira. Tidakkah kau tahu bahwa satu-satunya orang yang menderita karena di dalam hatinya memendam amarah adalah kamu sendiri?”
Aku terhenyak. Mulutku hendak bersuara ketika wajah Amma perlahan memudar menjadi bayangan tembus pandang. Aku berteriak-teriak memanggil namanya, namun ia semakin samar dan akhirnya benar-benar menghilang.
*
Bangalore, 3 Desember 1984, 2:00 AM
Aku bangun dengan mata dan bantal basah. Mimpi itu lagi. Mimpi tentang Amma. Amma yang dulu sering mendekapku, sebelum ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan terjun ke Chhota Talaab, sebuah danau di kota kelahiranku.
Dulu, aku tak mengerti mengapa orang yang taat pada agama seperti Amma memilih untuk bunuh diri. Bukankah bunuh diri justru akan membawanya ke Asurya Loka yang gelap tanpa cahaya? Tapi perlahan-lahan, aku akhirnya mengerti. Bagi Amma, Asurya Loka jauh lebih baik daripada bertahan di sisi Pita-ji.
Sepanjang aku mengenal Pita-ji, lelaki itu selalu menyiksa Amma tanpa ampun. Baik raga maupun jiwanya. Mungkin itu sebabnya dulu Amma sering mendekapku, seolah dengan begitu, ia bisa sedikit melepaskan rasa sakit akibat ulat suami yang seharusnya memperlakukannya seperti ratu.
Setelah Amma meninggal, Pita-ji menikah lagi. Kali ini ia memperlakukan istrinya lebih dari seorang Raja memperlakukan Ratunya. Belakangan baru aku sadar, sepertinya wanita itu lah alasan Pita-ji dulu sering menghina Amma.
“Kamu memang perempuan yang berpendidikan, Sayang. Berbeda sekali dengan istriku yang dulu,” kata Pita-ji pada perempuan itu, tanpa menyadari aku mendengar kata-katanya.
Sepeninggal Amma, Pita-ji selalu memandangku dengan tatapan benci. Aku tidak mengerti apa salahku. Tapi sepertinya, wajahku (yang kata orang sangat mirip dengan almarhum Amma) yang membuat Pita-ji dan istrinya tidak menyukaiku. Aku beruntung mereka tidak menyiksaku dan tetap membiarkan aku bersekolah. Hanya saja mereka menganggapku seolah-olah aku orang asing di rumah mereka.
Alangkah kelihatan suka cita di wajah mereka ketika suatu hari, setelah dinyatakan lulus dari sekolah menengah, aku mengatakan pada mereka bahwa aku sudah diterima di Bangalore University. Bukan karena senang aku diterima di sebuah perguruan tinggi yang bagus, melainkan karena mereka tak perlu lagi melihat bayang-bayang wajah Amma jika aku meninggalkan rumah.
Tak ada sedikit pun keraguan di wajah Pita-ji ketika melepaskan anak perempuannya di sebuah kota yang berjarak 1500 kilometer jauhnya. Malah ia terlihat begitu lega. Kelegaan yang sejujurnya sama persis dengan yang kurasakan. Tanpa bertemu Pita-ji, aku berharap bisa melupakan kenangan buruk tentang perlakuannya terhadap Amma.
Sudah nyaris empat tahun aku di Bangalore. Selama itu, aku tak pernah pulang sama sekali ke kota kelahiranku. Dan Pita-ji, seperti yang sudah bisa kuduga, sepertinya senang jika aku tak pernah pulang.
Sikap Pita-ji yang seperti itu membuatku tak pernah menyangka, bahwa setelah sepuluh tahun berlalu sejak kepergian Amma, Pita-ji tiba-tiba menghubungiku dan meminta maaf. Itu terjadi seminggu yang lalu.
“Maafkan Pita-ji, Mandira. Maafkan sudah menyakiti Ammamu. Maafkan tidak pernah peduli padamu,” ujarnya dengan nada menyesal.
Aku tak percaya dengan pendengaranku. Pita-ji menyesal? Apa yang membuatnya demikian? Ah, tapi ini sudah terlambat. Sepuluh tahun terlambat.
“Pulanglah, Mandira,” Pita-ji memohon dengan suara memelas.
Aku tidak mengiyakan, tapi juga tidak menolak.
Sejak itu Amma jadi sering hadir dalam mimpiku, dan selalu memintaku untuk memaafkan Pita-ji.
Mengenang Amma yang sudah meninggal membuatku tak bisa menahan air mata. Aku terisak pelan.
“Mimpi tentang Ammamu lagi ya?” tegur Padma, teman sekamarku di rumah kos ini. Ia kawan baikku sejak di sekolah menengah dulu.
“Maaf, aku membuatmu terbangun,” kataku merasa bersalah.
Padma mendatangi tempat tidurku perlahan. “Sebaiknya kau pulang saja ke Bhopal. Bukankah sejak tiba di sini kau tak pernah sekalipun pulang kampung?” ujar Padma.
 “Ikutlah bersama kami. Mumpung kuliah juga sedang libur. Besok kami berangkat. Seperti biasa, Dharma akan menyetir mobil sewaan,” lanjut Padma menawarkan.
Aku menghela napas panjang. “Baiklah, Padma. Mungkin Amma memang ingin aku pulang dan bertemu dengan Pita-ji.”
Padma tersenyum senang mendengar keputusanku.
Tiba-tiba pintu kamar kami digedor. “Padma! Padma! Keluargamu menelepon!” suara Bu Netravati, induk semang kami, terdengar panik.
Padma dan aku berpandangan. Ini masih pukul 2 pagi. Pasti ada yang penting di keluarga Padma sampai mereka harus menghubungi kami sepagi ini.
Dengan panik, Padma segera keluar dan mengangkat telepon,dengan aku dan Bu Netravati mengekor di belakangnya.
 “Sepertinya ada sesuatu yang terjadi di Bhopal, Mandira,” desis Bu Netravati dengan suara gemetar.
Dadaku berdebar kencang, dan kencangnya semakin tidak karuan ketika melihat Padma berteriak dan menangis ketika bicara dengan entah siapa di telepon.
“Ya Tuhan. Ada apa dengan keluargamu, Nak?” tanya Bu Netravati seraya mengelus punggung Padma, berusaha menenangkannya.
Dengan susah payah karena tenggelam dalam isak tangis, Padma menjawab; “Mandira, ada kebocoran methyl isocyanate di UCIL. Hampir seluruh wilayah Bhopal terpapar.”
Sontak aku menangkupkan kedua tanganku menutupi mulut, berusaha agar tidak berteriak. Jantungku serasa berhenti seolah tersengat petir. Kebocoran gas beracun di sebuah kota berpenduduk 1,5 juta jiwa bukan berita main-main.
Sebagai mahasiswi jurusan kimia, aku tahu betapa bahayanya methyl isocyanate. Ia akan bereaksi dengan air dalam tubuh, menyesaki pori-pori dalam paru-paru dengan darah, menyebabkan paru-paru membengkak dan bernapas menjadi mustahil. Seseorang yang terpapar bahan beracun itu akan mengalami gagal napas seperti sedang tenggelam.
“Ratusan orang meninggal mendadak, Mandira. Ribuan lainnya dilarikan ke rumah sakit. Keluargaku sendiri langsung lari meninggalkan Bhopal. Mereka beruntung rumah kami terletak agak jauh dari UCIL. Sekarang, mereka melarangku pulang. Untuk sementara ini, jauhi Bhopal!” sambung Padma.
“Mandira, segera hubungi keluargamu di Bhopal. Pastikan mereka tidak apa-apa,” tukas Bu Netravati.
Aku menurutinya dan segera menelopon rumah Pita-ji. Tidak ada yang mengangkat. Beberapa menit kemudian, aku mencoba lagi. Hingga beberapa jam kemudian, hasilnya masih sama. Tidak ada yang mengangkat.
*
Bangalore, 10 Januari 1984
Informasi dari Padma salah besar. Bukan ratusan yang meninggal akibat kebocoran di Union India Carbide Limited (UCIL) malam itu, melainkan ribuan. Jumlah itu terus meningkat menjadi puluhan ribu hanya dalam hitungan hari setelah bencana itu terjadi. Termasuk Pita-ji, istrinya dan anak mereka yang masih kecil.
Salah satu Mamaji[3] yang tinggal agak jauh dari kota Bhopal yang mengabarkanku tentang Pita-ji dan keluarganya. Anak Pita-ji yang masih berusia 9 tahun langsung meninggal malam itu di rumah setelah batuk, muntah dan sesak napas seperti tercekik. Istrinya menyusul setelah mereka berdua sempat ke rumah sakit. Pita-ji baru meninggal dua hari kemudian, juga dengan gejala yang sama. Gagal nafas.
Hari ini, di Bangalore, 1500 kilometer jauhnya dari jenazah Pita-ji yang kini mungkin sudah dikremasi, aku hanya bisa berbisik lirih.
“Pita-ji, Mandira sudah memaafkanmu...”
(selesai)




[1] Amma : Ibu (bahasa Hindi)
[2] Pita-ji : Ayah (bahasa Hindi)
[3] Mamaji : Paman (bahasa Hindi)
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)