Selarik cahaya membelah langit malam. Aku tertegun. Kamu terpekik tertahan.
Kita berdua tahu, seperti halnya semua orang tahu, bahwa langit malam di dusun ini
bisa meramal. Jika ada selarik cahaya yang membelah langit malam, itu artinya akan
ada penduduk dusun yang pergi. Entah meninggal, atau pergi meninggalkan dusun
dan tak pernah kembali.
“Mungkin itu ramalan untuk kamu,” bisikku lirih. “Besok kamu pergi kan?”
“Tapi aku pasti kembali.”
Aku tersenyum ragu. Siapa pun tahu, tawaran bekerja di ibukota bagi seorang
gadis desa sepertimu tak ubahnya seperti mendapat lotere berhadiah milyaran
rupiah. Aku tak menyalahkanmu yang memutuskan untuk menerima tawaran itu. Yang
berarti meninggalkan dusun ini. Meninggalkan aku.
“Aku janji, aku pasti kembali. Ramalan itu pasti bukan untuk aku,” tegasmu berusaha
meyakinkanku.
Usahamu gagal. Aku yakin ibukota akan merubahmu, seperti ia merubah
gadis-gadis lain yang sudah lebih dulu pergi dan tak pernah kembali.
*
Ternyata kamu benar. Ramalan itu bukan untukmu. Kamu bahkan tidak pernah
pergi meninggalkan kampung halaman kita. Kamu berubah pikiran, dengan alasan yang
hanya kamu yang tahu.
Namun ramalan langit kemarin malam juga tidak salah. Sore ini aku
melihatmu, tergugu di depan sebuah batu nisan yang masih baru. Nisan yang bertuliskan
Muhammad Iman. Namaku.
(selesai)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.