Ternyata saya menulis cerpen horor lagi, walau hasilnya ya ngga serem-serem amat. Hehe.
Cerpen ini ditulis untuk lomba HororProfesi. Sebagian kisah di cerpen ini adalah kisah nyata, termasuk kisah Pak Leman. Happy Reading ^-^.
---
Adalah
Pak Leman, seorang pengawas di sebuah pabrik terigu yang beroperasi 24 jam
sehari, 6 hari seminggu. Hari ini ia mendapat giliran shift ke dua. Masuk kerja
pukul 3 sore dan pulang pukul 11 malam. Jam tangannya menunjukkan pukul
setengah 6 ketika dia selesai berkeliling di area yang menjadi tanggung
jawabnya, sebuah gedung unit penggilingan setinggi 7 lantai. Ia sudah
memastikan semua mesin dalam keadaan normal, tidak ada masalah dengan terigu
yang dihasilkan dan para staffnya juga sudah melakukan tugas di posnya
masing-masing.
Adzan
maghrib beberapa menit lagi. Seharusnya dia sudah bersiap-siap ke Masjid dan
langsung disambung makan malam. Tapi saat itu dia mendapati ada hal yang kurang
pas. Beberapa sarang laba-laba tampak terjalin di langit-langit lantai empat.
Pak
Leman bukan karyawan biasa. Ia karyawan senior hasil didikan orang Eropa saat
pabrik itu mula-mula berdiri. Para ekspatriat itu tidak mengijinkan adanya toleransi
untuk debu maupun kotoran sedikit pun, sebab menurut mereka pabrik terigu
adalah pabrik makanan. Itu sebabnya, bagi Pak Leman, sarang laba-laba itu terasa
sangat mengganggu.
Alih-alih
pergi ke Masjid, Pak Leman mengambil sebuah sapu bergagang panjang. Entah
mengapa kali ini Pak Leman tidak menyuruh anak buahnya untuk membersihkan
sarang laba-laba melainkan memilih untuk melakukannya sendiri.
Pak
Leman mulai menyapu langit-langit. Kepalanya mendongak ke atas, meneliti tiap
inci langit-langit pabrik mencari jalinan jaring laba-laba yang paling halus
sekali pun. Ia tak ingin ada yang terlewat. Ia berjalan mundur...dan mundur...tanpa
menyadari ia semakin dekat dengan lubang hoist[1]
yang tak berpagar. Dia terus menyapu langit-langit, mendongak ke atas, berjalan
mundur, terus mundur, hingga ia sadar kakinya hanya menapak pada udara.
Tapi
kesadarannya terlambat. Tubuhnya terjun bebas dari ketinggian lebih dari 30
meter. Kepalanya terhempas lebih dulu di lantai dasar tanpa sempat berteriak. Tubuh
Pak Leman yang terbaring kaku di lantai keramik beserta darah kering yang
menggenang di daerah kepalanya baru ditemukan karyawan lain beberapa jam
kemudian. Nyawanya tak tertolong. Pabrik terigu itu pun berduka.
Beberapa
tahun kemudian, ketika tempat terjadinya tragedi itu sempat beralih fungsi
menjadi gudang dan beralih lagi menjadi unit Flour Mixing, aku diterima bekerja
di sana.
---
“Druuuuuummmmm....!!!!”, motor Mixer dengan
daya 150 kW di sebelahku tiba-tiba meraung.
Aku
terhenyak dan sontak berdiri, memastikan pendengaranku tidak salah. Kulihat
baling-baling motor yang hanya berjarak 5 meter dari tempatku duduk itu
berputar. Tak salah lagi. Mixer itu sedang bekerja.
Bulu
kudukku meremang. Sulit dipercaya. Mesin itu hanya bisa dijalankan melalui
layar PLC[2] di
Ruang Panel ini. Tapi aku yakin, sudah sejam sendirian dan duduk manis
memeriksa laporan kerja. Tak seorang pun menyentuh layar Siemens yang
didatangkan langsung dari Swiss tersebut. Lantas, bagaimana mesin itu bisa berputar?
Beberapa
saat kemudian, Nanang, asistenku, datang tergopoh-gopoh.
“Kenapa
Mixernya dijalankan Bu?”, tanyanya heran. Hari itu memang seharusnya Mixer baru
akan jalan setelah makan siang, dan ini masih jam 10 pagi.
“Mixernya
jalan sendiri”, desisku.
Nanang
terdiam. “Sebenarnya beberapa waktu lalu juga sudah pernah terjadi Bu. Waktu
itu Bu May sedang cuti. Saya dan Ahmad melihat sendiri motor Mixer tiba-tiba
berputar”, katanya hati-hati.
“Apa?,
kenapa nggak cerita?”
“Saya
kuatir Bu May nggak percaya”
Ya,
memang tidak bisa dipercaya. Hanya ada satu orang yang kupikir bisa memberikan
penjelasan logis atas kejadian ini. Tanganku segera meraih gagang telpon dan
menghubungi Rico, orang yang bertanggung jawab terhadap program otomatisasi
seluruh pabrik.
“Automation, selamat pagi”, suara khas
Rico terdengar setelah beberapa kali nada sambung.
“Ric,
Mixerku jalan sendiri!”, aku tak membalas sapaannya. Aku yakin Rico pasti
mengenali satu-satunya suara perempuan di pabrik ini.
“Jalan
sendiri?”
Tanpa
diminta aku menjelaskan kejadian yang baru saja kualami, termasuk kejadian yang
dialami Nanang.
Rico
terdiam agak lama, hingga kemudian dia memberikan jawaban yang membuat mataku
terbelalak. “Sepertinya mereka itu
sedang main-main, May”
“Mereka
yang mana maksudmu?”, sergahku. Perasaanku tak enak. “Please jangan bercanda Ric. Kamu kan orang tehnik. Kasih penjelasan
yang scientific dong”.
“Justru
karena aku orang tehnik, makanya aku tahu pasti Mixer itu tidak mungkin bisa
jalan tanpa kamu sentuh PLCnya. Kamu sendiri juga orang tehnik kan? Jadi kamu
pasti tahu sendiri dunia tehnik adalah dunia yang eksak. Nggak mungkin kemarin
Mixer itu berjalan normal dan hari ini abnormal tanpa ada yang mengutak-atik
program PLCnya. Satu-satunya penjelasan lain yang masuk akal adalah karena mereka”, Rico nyerocos tanpa tahu bulu
kudukku mulai meremang.
“May,
kamu tahu kan Flour Mixing adalah tempat terjadinya tragedi itu”, lanjutnya.
Tragedi?
“Pak Leman maksudmu? Iya aku tahu. Jangan diingetin soal itu dong. Kamu kan
tahu aku penakut”, gerutuku.
Ya,
siapa yang tak tahu sejarah tempat ini? Tempat tewasnya salah satu supervisor
karena jatuh dari lubang hoist. Pasca
tewasnya beliau, tempat ini dijadikan gudang yang jarang dijamah manusia,
hingga kemudian pabrik memutuskan untuk berinvestasi membangung Flour Mixing,
tepat di lokasi legendaris ini.
“Apakah
kamu juga tahu bahwa setelah beliau meninggal, kehadirannya masih tercatat di
personalia hingga beberapa hari setelah kematiannya?”
“Apa?”,
kalau yang itu aku benar-benar tak tahu.
“Kamu
tahu kan cara absen kita di sini adalah dengan memasukkan lima jari kita dalam
mesin absen. Itu tak mungkin bisa diwakilkan oleh orang lain karena bentuk jari
manusia itu unik. Saat Pak Leman meninggal sore itu, malam harinya mesin absen masih
mencatat jam pulangnya seolah dia masih hidup. Demikian juga keesokan harinya.
Dia masih tercatat datang ke pabrik dan pulang malam harinya, hingga tujuh
hari. Percaya atau tidak. Bukankah itu juga melibatkan listrik dan program
otomatisasi juga?”
Aku
melongo mendengar cerita Rico. Aku yang sedari tadi berusaha menyangkal
kejadian ini disebabkan energi tak kasat mata dari dunia lain mulai berubah
pikiran.
Kejadian
hari itu hanyalah awal. Di hari-hari berikutnya mau tak mau membuatku percaya bahwa
kami bukanlah satu-satunya bentuk kehidupan di Flour Mixing.
---
“Bu
May, Forkliftnya[3]
belum datang”, Nanang memberi laporan.
Di
pabrik ini, Forklift yang digunakan untuk mengangkut tepung dalam kemasan 25 kg
dari area produksi menuju gudang harus dipesan terlebih dahulu. Sehari
sebelumnya, aku sudah berkoordinasi dengan pihak Garasi untuk menyediakan 1
unit Forklift karena hari ini kami sedang ada jadwal produksi. Tanpa Forklift,
produksi akan terhambat karena jarak dengan gudang terigu cukup jauh.
Dengan
kesal, aku mengangkat gagang telpon dan menghubungi garasi. “Halo Pak Agus?
Kenapa Forkliftnya belum datang?”, tanyaku to the point ketika mendengar suara
Pak Agus, penanggung jawab seksi Garasi.
“Lho,
bukannya tadi Bu May sudah batalkan?”
“Membatalkan?
Tapi saya tidak membatalkan, Pak!”, tukasku gemas. Tidakkah dia sadar
pembatalan ini mengacaukan planning
yang sudah kususun rapi?
“Tadi
waktu saya telpon untuk konfirmasi, Ibu bilang tidak jadi”, nada suara pak Agus
tak terdengar merasa bersalah. Juga tak terdengar bercanda.
“Memangnya
kapan Bapak telpon saya? Seharian ini saya tidak ada di kantor Pak. Saya di
lapangan terus sejak tadi”
“Lho
tadi pagi saya telpon, ibu yang angkat kok. Perempuan di sini cuma Ibu aja
kan?”
“Bapak
pencet extension berapa?”
“476.
Benar kan Bu?”
Sebersit
perasaan tak enak terselip dalam benakku. “Bapak nggak bercanda kan?”
“Masya
Allah Bu. Buat apa saya bercanda untuk hal yang penting? Semua orang di pabrik
ini tahu kepentingan Flour Mixing adalah prioritas utama. Saya nggak akan
berani main-main. Begini saja Bu, kalau memang hari ini Ibu butuh Forklift,
akan segera saya kirim Forklift cadangan sekarang juga”
Aku
menutup telepon setelah mengucapkan terima kasih. Oke, satu masalah selesai.
Tapi kini ada satu hal yang sangat mengganggu. Siapa yang bicara dengan Pak
Agus saat aku sedang tidak dalam ruang panel?
“Ada
masalah apa Bu?”, Nanang yang sedari tadi diam kini bertanya dengan rasa
penasaran.
“Sebenarnya
kemarin juga sempat ada kejadian seperti itu Bu”, ujarnya setelah aku selesai
bercerita.
“Oh
ya?”
Lantas
bercerita lah dia. Kemarin, Nanang mendapati anak buahnya tiba-tiba berhenti
mengemas tepung, padahal target produksi yang kurencanakan belum tercapai.
Ketika dia bertanya kenapa berhenti, anak buahnya bilang itu atas perintahku.
“Ahmad
bilang, saat itu dia menelpon Ruang Panel hendak menanyakan sesuatu perihal
produksi. Dia bilang yang angkat Ibu dan Ibu memerintahkan untuk stop produksi
saat itu juga. Kemarin, bukankah Ibu sedang meeting seharian? Makanya saya
bilang Bu May nggak mungkin menyuruh produksi stop. Lantas saya suruh dia melanjutkan
produksi sesuai planning”
Aku
melongo. “Kenapa tidak cerita?”
“Saya
takut Ibu takut”, jawab Nanang.
Ah
ya, Nanang sudah lama bekerja denganku dan tahu persis bahwa aku penakut.
Apalagi sejak tahu tempat ini dulu bekas meninggalnya Pak Leman dan sejak melihat
dengan mata kepala sendiri Mixer berkapasitas setengah Ton itu bisa berputar
sendiri.
Aku
menghela napas, mencoba membesarkan hati. Sepertinya, mau tak mau, aku harus
menerima kenyataan bahwa mereka memang ada dan hidup berdampingan dengan kami di
pabrik ini. Oke, tak apa-apa lah, asalkan mereka tidak sampai menampakkan
wujudnya di hadapanku. Aku sama sekali tak menyangka, jika tak lama kemudian
aku justru bertemu dengan salah satu dari mereka.
---
Jadwal
produksi padat minggu ini. Seringkali kami harus bekerja lembur, demikian juga
hari ini.
Pukul
6 sore, semua anak buahku sudah berpamitan pulang. Tinggal aku sendiri
membereskan laporan kerja. Di luar mulai gelap.
Aku
melihat jam tangan. Sudah lewat beberapa jam dari jam pulang normalku. Aku meluruskan
punggung dan menguap. Saatnya pulang. Tadi Nanang bilang akan mengecek pipa
transfer di lantai 4 dan langsung pulang. Mungkin sekarang dia sudah di tempat
parkir.
Aku
segera mematikan breaker utama,
mengunci pintu ruang panel dan segera melangkah ke luar.
Baru
beberapa langkah di luar pabrik, baru aku ingat ponselku ketinggalan. Sepertinya
tadi kuletakkan di meja. Ah, aku harus kembali. Tapi ingatan akan ruang panel
yang gelap dan terkunci sesaat membuatku ragu. Tapi tahu sendiri kan? Jaman
sekarang ada beberapa orang yang tak bisa hidup berjauhan dengan ponselnya? Aku
termasuk yang seperti itu, jadi aku
menguatkan hati untuk kembali.
Ruang
panel yang gelap. Rencanaku adalah, segera masuk, sambar ponsel di atas meja,
langsung ngacir keluar.
Eh...tapi...mana
ponsel pintarku? Rasanya tadi kuletakkan di sini. Kenapa sekarang tidak ada?
Aku mulai panik. Masa hilang dicuri?
“Kriiiing...!!!!”,
dering interkom membuatku terlonjat kaget.
Siapa
yang menelpon Flour Mixing jam segini? Semua tahu Flour Mixing tidak beroperasi
24 jam seperti seksi lain. Dengan gemetar dan menabahkan hati aku mengangkat
gagang telpon. “Halo?”
“Laaaannnntaaaaai....emmmmpatttt....”,
terdengar suara desis yang sontak membuat bulu kudukku berdiri.
Lantai
empat? “Halo...? Halo...? Ini siapa?”, tanyaku.
“Laaaannnntaaaaai....emmmmpatttt....hhhhh.....!!!”,
terdengar dengus berat seperti suara binatang lapar.
Jantungku
berdebar kian keras. Ya Gusti, apa yang harus kulakukan? Aku memutuskan untuk
berlari ke luar. Tapi tepat beberapa meter di depan pintu ke luar, aku melihat
sesuatu yang tak pernah kuharapkan pernah kulihat. Seorang kakek berjenggot
panjang. Matanya seram melotot menatapku. Menyeramkan. Aku harus lari, pikirku.
Tapi sosok itu menghalangi pintu keluar.
Aku
lantas teringat pintu sambungan yang menghubungkan gedung Flour Blending ini
dengan gedung penggilingan di sebelah. Mereka beroperasi 24 jam, jadi aku yakin
jam segini tempat itu masih terang benderang dan pasti masih ada orang. Aku
harus ke sana. Tapi masalahnya, pintu sambungan itu ada di lanta empat. Lantai
tempat Pak Leman....
Tapi
apakah ada pilihan lain? Aku berbalik badan dan segera lari ke lantai empat.
Nafasku
memburu ketika aku tiba di lantai 4. Lampunya terang benderang. Rupanya Nanang
lupa mematikan lampu. Tapi untuk kali ini aku bersyukur dia lupa. Besok akan
kukatakan padanya agar tidak perlu mematikan lampu saat pulang, jaga-jaga jika
seandainya aku harus kembali ke tempat ini untuk mengambil barang tertinggal.
Tapi ah, itu urusan besok. Urusanku sekarang adalah melarikan diri dari sosok
kakek yang menyeramkan tadi.
Aku
berdoa semoga pintu sambungan itu tidak terkunci. Jika iya, aku tak tahu lagi
apa yang harus kulakukan?
Aku
hanya langkah sebelum sampai di pintu yang kumaksud, ketika tiba-tiba terdengar
melodi yang sangat kukenal; Ringtone ponselku. Aku berhenti, menoleh dan
berusaha mencari di mana sumber suara itu. Ah, itu dia tersembunyi di bawah
tangki. Aku bersorak girang. Ponselku tidak jadi hilang!
Aku
membungkuk demi meraih ponsel yang tergelatk di lantai. Saat itu lah aku
melihat sesuatu. Eh bukan sesuatu, melainkan seseorang, terbaring telentang di
lanati. Tak butuh waktu lama untuk menyadari itu siapa. Nanang!?
“Masya
Allah! Nanang...!!!”, aku langsung tergopoh-gopoh mendatanginya. Kuletakkan
tanganku di dadanya. Ada detak, tapi sangat lemah. Kucoba mendeteksi hembusan nafasnya.
Ada, tapi terputus-putus.
Beruntung
aku aku sudah bersatu lagi dengan ponselku. Ringtonenya
sudah tak lagi melengking. Dengan panik, aku segera menghubungi nomor telpon
pabrik ini yang jam segini otomatis tersambung dengan Security. Aku berusaha menerangkan kejadian yang kualami dan lokasi
tempat aku dan Nanang berada. Tidak butuh waktu lama bagi tim Security untuk menemukan tempat kami.
Mereka juga dengan sigap menyiapkan Ambulan yang langsung membawa Nanang ke
rumah sakit terdekat.
---
Nanang
nyaris tidak selamat. Namun puji Tuhan, beberapa hari kemudian dia sudah cukup
kuat untuk menceritakan apa yang dialaminya hari itu.
Malam
itu sebelum pulang, dia memang berniat mengecek pipa transfer tepung yang
dilaporkan bocor. Posisinya di atas
tangki. Saat hendak turun dari tangki setinggi 3 meter itu, Nanang terpeleset. Mungkin
karena melamun atau kelelahan. Saat itu kami memang nyaris tidak punya waktu
istirahat karena dikejar jadwal produksi. Beruntung dia ditemukan olehku yang
kembali demi mencari ponsel yang tertinggal.
Atau
lebih tepatnya, beruntung karena ditemukan olehku yang ketakutan karena
melarikan diri dari sosok mengerikan di pintu keluar. Jika bukan karena sosok
kakek berjenggot panjang itu, mungkin aku sudah langsung lari tanpa
mempedulikan peringatan lewat telepon yang menyuruhku ke lantai empat.
Hingga
kini, bagaimana ponselku bisa ada di lantai empat masih menjadi misteri. Nomor
yang menghubungiku tepat saat aku hendak keluar menuju pintu penghubung itu pun
hingga kini tidak bisa dihubungi. Kejadian hari itu tetap menyisakan beberapa
hal yang tidak bisa dijelaskan dengan nalar. Tapi satu hal yang membuatku
sadar; mereka memang ada, hidup berdampingan
dengan kita dalam dimensi yang berbeda. Mereka
ini, terkadang justru menjadi penolong.
---
“Kriiiing...!!!”,
interkom di ruang panel menyalak.
“Halo?”,
sahutku.
“Puuuuullllaaaaanggggg....!!!”
Bulu
kudukku meremang, aku segera menyambar tas kerjaku, dan lari terbirit-birit
dari Ruang Panel. Aku keasyikan merekap laporan kerja untuk bahan meeting besok pagi tanpa sadar di luar
gelap.
Ya,
walau aku tahu mereka berusaha
berkomunikasi denganku melalui cara yang tak lazim, aku tetap saja tidak bisa
tidak ketakutan.
Malam
itu, aku pulang tanpa mengunci ruang panel dan mematikan lampu. Biarkan saja,
pikirku. Bukankah ada mereka yang
menjaga pabrik selama aku pulang?
-selesai-
[1]
Ruang persegi yang sengaja tidak diberi lantai mulai dari lantai dasar hingga
lantai paling atas untuk menaik turunkan barang/benda berat.
[2]
Programmable Logic Controller, biasa digunakan untuk proses otomatisasi
industry.
[3]
Kendaraan berat dengan garpu di bagian depan untuk mengangkat beban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.