Walau pada akhirnya dinyatakan tidak menang, saya tetap senang karena bisa menyelesaikan proyek pribadi tentang manusia paling istimewa sepanjang sejarah; Rasulullah Muhammad SAW.
Nah, karena sudah terlanjur ditulis, sayang rasanya jika hanya mengendap di laptop. So, saya akan mempostingnya di blog ini secara bertahap. Siapa tahu, akan ada satu atau dua atau berapa pun pembaca yang bisa memetik manfaat. Aminn....
Keseluruhan tulisan ini nantinya akan berada dalam satu label/kategori (The Real Idol). Tak jadi masalah jika membacanya secara acak atau berurutan. Silahkan lihat Daftar Isi untuk melihat keseluruhan bagian "The Real Idol" untuk memilih bagian-bagian yang lebih menarik untuk dibaca.
Selamat membaca dan selamat jatuh cinta pada manusia teristimewa, kekasih Allah, Muhammad bin Abdullah :)
---
Pendeta Nasrani dari Busra
Selain
tertulis dalam Taurat. Kenabian Muhammad juga telah tertulis dalam Injil. Kisah
pertemuan Nabi Muhammad saat beliau masih kecil dan seorang pendeta Nasrani
membuktikan hal tersebut.
Nabi
sudah menjadi yatim sejak masih dalam perut Ibunya. Ketika masih kecil, sang
Ibu pun ikut menyusul ayahnya sehingga Nabi kecil pun diasuh oleh kakeknya
Abdul Munthalib.
Sepeninggal
Abdul Muthalib, pengasuhan Nabi diserahkan pada pamannya yang bernama Abu
Thalib. Abdul Muthalib sengaja mewasiatkan pengasuhan Nabi pada Abu Thalib yang
sesungguhnya tidak begitu berharta karena tahu baiknya akhlak saudara kandung
ayah Nabi tersebut.
Pilihan
tersebut tidak salah. Abu Thalib sangat menyayangi Nabi bahkan melebihi
putranya sendiri. Ke manapun Nabi keluar rumah, ia pun ikut untuk menemaninya.
Kerinduan terhadap putra Abdullah itu melebihi kerinduannya terhadap keluarganya
sendiri.
Dalam
sebuat riwayat dikisahkan bahwa jika keluarga Abu Thalib makan bersama atau
sendiri tanpa adanya Nabi, mereka tidak merasa kenyang. Namun jika Nabi makan
bersama mereka, mereka merasa kenyang. Abu Thalib pun meyakini bahwa keponakannya
itu membawa berkah.
Dalam
riwayat lain dikisahkan, ketika Abu Thalib sedang berada di kota Dzulmajaz
bersama Nabi, ia merasa sangat kehausan. Lantas ia mengadukan hal itu pada
Nabi; “Wahai putra saudaraku, aku dahaga”. Mendengar itu, Nabi langsung menancapkan
tumitnya ke tanah dan dari sana muncullah air. Abu Thalib pun bersuka cita dan
langsung meminum air dari sana.
Dalam
kisah yang diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam
dan dalam banyak kitab sejarah yang lain, terdapat kisah rombongan Abu
Thalib yang bertemu dengan seorang pendeta Nasrani. Cerita ini telah disepakati
oleh banyak ulama mengenai kebenarannya dan dipercaya bahwa kisah berikut ini
memang benar-benar terjadi.
Suatu
hari, Abu Thalib pergi berdagang ke negeri Syam. Nabi kecil yang waktu itu baru
berusia 9 tahun pun turut serta dalam rombongan. Sesampainya mereka di kota Busra, mereka
melewati sebuah gereja yang di dalamnya tinggal seorang Rahib Nasrani yang saleh dan gemar menjamu rombongan
kafilah dagang. Rombongan Paman Nabi pun salah satu yang dijamunya.
Tidak
seperti saat menjamu rombongan yang lain, kali ini Sang Rahib melihat suatu hal
yang tidak biasa dari rombongan dagang Abu Thalib, yakni segumpal awan yang
selalu berjalan di atas rombongan kafilah tersebut.
Ketika
rombongan tersebut dijamu oleh sang Rahib, Nabi ditinggalkan seorang diri di
bawah pohon. Sang Rahib pun keheranan karena segumpal awan itu tak lagi tampak
menaungi tamu-tamunya. Lantas dia bertanya; “Apakah ini sudah semua? Apakah tak
ada lagi orang yang tertinggal di belakang?”
“Ya,
tapi hanya seorang anak kecil”, jawab seorang anggota kafilah.
“Demi
Tuhan, panggillah dia kemari wahai penduduk Quraisy. Jangan sampai ada seorang
pun yang tertinggal untuk menikmati hidanganku”, kata sang Rahib.
Saat
itu lah Rahib tersebut menyadari bahwa segumpal awan itu berjalan tidak
menaungi semua anggota kabilah, melainkan hanya menaungi seorang bocah lelaki
yang sempat tertinggal. Maka pendeta itu pun memperhatikan anak kecil dengan
seksama.
Ketika
jamuan itu bubar, sang Rahib memanggil bocah tersebut. Ia memperhatikan kening
sang bocah dan memaksanya untuk menunjukkan punggungnya. Muhammad kecil pun
menurut walau benaknya dipenuhi tanda tanya. Alangkah takjubnya sang Pendeta
melihat tanda kenabian yang berbentuk seperti buah apel di antara kedua pundak bocah
lelaki tampan tersebut. Ciri-ciri yang ada dalam diri anak kecil itu semuanya
cocok dengan ciri-ciri munculnya Nabi akhir zaman seperti yang tertulis dalam
kitab Injil yang diimaninya. Saking terharunya, sampai-sampai dia menciumi tanda
tersebut. Tentu saja sang paman, Abu Thalib, merasa kuatir melihat bagaimana
Rahib tersebut memperlakukan keponakannya.
Pendeta
yang saleh itu kemudian berkata pada Abu Thalib; “Bawalah pulang kemenakanmu
itu. Jangan sampai anak itu ditemukan orang Yahudia agar tidak dibunuh. Anak
kecil itu kelak akan menjadi Nabi akhir zaman”. Mendengar perkataan Rahib yang
ikhlas itu, pamanda Nabi langsung cepat-cepat pulang dan melindungi Nabi dari
hal-hal yang tidak diinginkan. Hingga di akhir hayatnya, Abu Thalib senantiasa
melindungi Nabi bahkan hingga keponakannya itu untuk pertama kalinya menerima
wahyu dari Allah.
Kisah
di atas juga dikenal di kalangan kaum Nasrani. Sayangnya, kisah tersebut
dijadikan dasar untuk menuduh Nabi Muhammad sebagai Pengarang Alquran. Nabi
dituduh mendapat pelajaran tentang apa yang tertulis dalam Al Quran berdasarkan
pertemuannya dengan seorang Rahib Nasrani di kota Busra.
Tentu
saja tuduhan itu jelas tidak berdasar dan hanya berniat untuk menyerang
kerasulan Nabi Muhammad. Mana mungkin akidah Tauhid yang diajarkan Rasulullah
disamakan dengan ajaran Trinitas yang sudah jauh berbeda? Mana mungkin seorang
Rahib Nasrani dapat menceritakan kejadian 40 tahun yang akan datang mengenai
kemenangan Bangsa Romawi atas Persia yang sebelumnya pernah mengalahkan bagsa
Romawi, seperti yang tercantum dalam Surat Ar Ruum?
“Bangsa
Romawi telah dikalahkan. Di Negeri yang terdekat dan mereka setelah
kekalahannya itu akan mendapat kemenangan. Dalam beberapa tahun lagi, bagi
Allah lah urusan sebelum dan sesudahnya. Dan pada hari itu, bergembiralah
orang-orang yang beriman” – Ar Ruum (2-4)
Ketika
ayat itu diturunkan, bangsa Romawi yang kala itu beragama Nasrani dan memiliki
Kitab Suci dikalahkan oleh bangsa Persia yang beragama Majusi dan menyembah
berhala. Ketika tersiar kabar bahwa Romawi telah dikalahkan oleh Persia, kaum
Musyrikin Mekkah bersuka cita karena mereka memihak bangsa Persia. Sebaliknya
kaum Muslimin berduka cita karenanya. Oleh karena itu Allah menurunkan ayat ini
yang menerangkan bahwa beberapa waktu setelah kekalahannya, bangsa Romawi akan
mendapatkan kemenangan. Dan benar saja, beberapa tahun kemudian, Raja Heraclius
dari Romawi dapat merebut kembali daerah Byzantium yang direbut orang Persia.
Kejadian ini terjadi pada tahun ke dua setelah Nabi berhijrah ke Madinah,
sementara surat Ar Ruum adalah surat Makkiyah alias diturunkan di Mekkah.
So,
bagaimana mungkin seorang Muhammad yang hidup di tanah Arab dapat mengetahui
kabar kejadian di masa depan jika tidak diberitahu oleh sang Arsitek Kehidupan?
Surat ini seakan menegaskan kenabian dan kerasulan Muhammad bin Abdullah yang
memang benar-benar mendapat wahyu dari Allah dan bukannya didiktekan oleh
seorang Rahib Nasrani bernama Buhaira yang pernah menjumpainya di kota Busra.
Namun
lepas dari tuduhan tak berdasar yang menggunakan pertemuan Nabi kecil dan Rahib
Nasrani di kota Busra, kisah tersebut menunjukkan bahwa kehadiran Muhammad bin
Abdullah sebagai Nabi akhir zaman sebenarnya telah tertulis dalam Injil, hal
yang seharusnya tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.