Tulisan ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi dan rencananya akan diikutsertakan dalam lomba menulis #AkuOraPopo by Diva Press.
Happy Reading ^-^!
---
“Saya
hamil, Pak…”, ucapanku membuat atasanku tertegun.
Pandangan
pria yang usianya nyaris 40 itu campur aduk. Antara kaget dan senang, tapi
lebih banyak khawatir. “Selamat ya...”, jawabnya setelah beberapa detik
ekspresinya berkata; “Kenapa harus
sekarang?”.
Ya,
kenapa harus sekarang? Aku pun berpikiran sama. Aku dan dia sama-sama tahu hal ini
akan terjadi, cepat atau lambat. Namun timing
terbentuknya embrio dalam tubuhku telah
menempatkan atasanku di antara dua persimpangan. Antara profesionalitas dan
rasa kemanusiaan.
Mungkin
agak lebay kalau urusan kehamilan ini
sampai kubawa-bawa ke atasanku. Bukankah di perusahaan manapun, seorang karyawan
hamil adalah hal yang lumrah? Memang sih, aku bisa-bisa saja meembiarkan
atasanku tahu dengan sendirinya melalui perutku yang nantinya akan kian
membuncit. Hanya saja, tempat kerjaku bukan tempat kerja biasa, hingga aku merasa
dia adalah orang berikutnya setelah suami dan keluarga yang perlu tahu perihal
kehamilanku.
Tiga
tahun sebelumnya, atasanku adalah satu dari pria-pria yang memandangku dengan
bingung saat aku menginjakkan kaki pertama kali di sini, di pabrik tepung terigu
ini. Lebih tepatnya di departemen Produksi, yang ratusan karyawannya semua berjenis
kelamin laki-laki. Di hari pertama aku diperkenalkan, calon rekan kerja dan
atasanku seolah tak percaya melihat kehadiranku. Mereka tak mengira, sang
General Manager jutsru memilih seorang perempuan daripada ratusan kandidat lain
untuk menduduki posisi Supervisor di bagian produksi. Posisi itu, sejak lebih
dari 3 dekade pabrik berdiri, hanya dijabat oleh laki-laki.
Area
produksi di pabrik terigu ini adalah bangunan 8 tingkat tanpa lift atau
elevator, bersuhu panas dengan tingkat kebisingan lebih dari nilai ambang batas
plus memiliki atmosfer dengan konsentrasi debu yang luar biasa padat. Sungguh
bukan tempat yang bersahabat untuk perempuan (apalagi yang sedang hamil). Saat itu
aku memang masih lajang, masih cupu
unyu-unyu, baru saja lulus kuliah dan masih semangat-semangatnya
mempelajari dunia baru di luar kampus. Aku tak berpikir panjang bagaimana
kelangsungan hidupku jika kelak menikah dan hamil.
Dua
tahun sejak pengangkatanku sebagai karyawan tetap, pabrik memutuskan untuk
berinvestasi pada sebuah Mixer berukuran jumbo untuk produk-produk terigu
spesial. Aku ditunjuk untuk bertanggung jawab terhadap operasional mesin-mesin
buatan Swiss tersebut. Tak kurang dari sepuluh hari, aku mempelajari cara kerja
plant baru itu bersama seorang programmer dan teknisi bule yang
kerjanya tak kenal waktu. Hampir tiap hari aku bekerja setidaknya 12 jam dalam
sehari, bahkan hari Minggu pun kami pakai untuk bekerja. Kami harus memastikan plant itu sudah bekerja dengan benar sebelum
dia pergi.
Tepat
seminggu setelah proses uji coba selesai dan si bule sudah pulang ke negara
asalnya, aku menyadari ada sesuatu yang tidak biasa pada tubuhku. Awalnya
kukira itu hanya gejala kelelahan biasa pasca memeras tenaga habis-habisan di
pabrik. Namun karena aku tak kunjung datang bulan, akhirnya aku memastikannya
dengan test pack. Positif! Dan hal
pertama yang terbersit dalam pikiranku adalah; atasanku harus segera diberi
tahu.
Dia
harus tahu, agar bisa maklum jika nantinya aku tak bergerak segesit sebelumnya.
Dia harus tahu, karena dalam beberapa bulan ke depan aku akan menghilang dari
pabrik selama 3 bulan untuk cuti melahirkan. Iya, dia harus tahu, sebagaimana
dia juga tahu bahwa beberapa bulan sebelumnya aku harus kehilangan janin
pertama kami melalui proses kuretase.
Yang terakhir itu lah yang jadi biang kecemasannya kini.
Kekhawatirannya
bisa dimengerti. Dari ratusan anak buahnya, hanya aku yang menguasai cara kerja
Mixer tersebut. Thomas Widmer, sang programmer
bule, hanya sempat mentransfer cara kerja rangkaian mesin baru itu padaku.
Bukan karena Thomas pelit membagi ilmu, tapi suaranya yang tertelan deru mesin
penggiling terigu hanya bisa sampai pada satu orang saja, yaitu aku. Jadi,
sepeninggal Thomas, aku menjadi orang pertama di pabrik yang paham bagaimana
cara kerja Mixer raksasa dan mesin-mesin lainnya.
Itu
lah yang membuat atasanku berpikir; “Kenapa
aku harus hamil sekarang?”. Seandainya kehamilanku terjadi beberapa bulan
sebelumnya, mungkin dia akan menunjuk orang lain untuk mengoperasikan plant baru itu. Atau jika kehamilanku
bisa ditunda beberapa bulan ke depan, mungkin aku masih punya waktu untuk
mengajari seseorang bagaimana cara kerja Mixing Plant. Tapi baik aku maupun
dia, tak bisa menolak skenario yang sudah tertulis dalam buku besar panggung
kehidupan. Aku hamil sekarang, bukan beberapa bulan lalu atau beberapa bulan lagi.
Aku hamil tepat saat Mixing Plant akan mulai beroperasi.
“Bapak
tidak usah khawatir. Saya bilang begini karena saya hanya ingin Bapak tahu saja
dan bisa maklum jika selama beberapa bulan ke depan, saya tidak bisa berjalan
secepat sebelumnya”, ujarku.
“Tapi
bagaimana kita tahu tak akan ada lagi masalah-masalah di Mixing yang belum kita
antisipasi?”.
“Bukankah
Mixing sudah didesain untuk berjalan secara otomatis? Saya tinggal tekan satu
tombol dan semua akan berjalan sendiri”, lanjutku optimis.
“Iya,
tapi kita belum pernah benar-benar mencoba untuk skala besar. Saya khawatir
Mixing Plant akan membahayakan kandunganmu, seperti dulu”
“Saya
akan hati-hati, Pak”, ujarku dengan penuh haru melihat betapa dia
mengkhawatirkanku. Bukankah semestinya dia tak perlu begitu? Bukankah aku
dibayar memang untuk bekerja? Sebagai atasan, seharusnya dia cukup memastikan
apakah aku sudah melaksanakan kewajibanku di pabrik. Soal keselamatan janinku,
itu bukanlah tanggung jawabnya.
Tapi
aku beruntung memiliki atasan yang sangat pengertian. Aku tahu dia belum lupa saat
aku minta ijin tidak masuk selama seminggu karena harus dikuret. Janinku
meninggal dalam kandungan. Penyebabnya tidak jelas, tapi diduga kuat karena aku
kecapekan. Sebagaimana aku, dia tak ingin kejadian pahit itu terulang lagi,
tapi dia juga membutuhkan aku untuk menjalankan Mixing Plant (yang menurut
prediksinya tidak akan semudah membalik telapak tangan). Sampai aku
meninggalkan ruangannya pagi itu, aku masih bisa melihat rona gelisah di
wajahnya.
Ternyata
dugaan atasanku benar. Minggu-minggu dan bulan-bulan selanjutnya adalah
saat-saat yang paling berat sepanjang sejarah aku bekerja di pabrik terigu
terbesar di Indonesia itu.
Mixer
beserta mesin-mesin lainnya ternyata tidak berjalan sesuai harapan. Thomas
masih menyisakan beberapa lubang dalam program otomatisasinya sehingga seringkali
proses kami mengalami error. Proses yang seharusnya bisa berjalan otomatis
akhirnya harus dijalankan secara semi manual. Ditambah lagi mesin-mesin
pendukung lain semacam conveyor, fan dan filter yang bekerjanya sangat jauh dari ekspektasi.
Sementara
itu, layout pabrik yang tidak bersahabat turut berkontribusi dalam beratnya
menjalani kehamilan.
Yuk,
kita jalan-jalan sebentar menjelajah pabrik tempatku mencari nafkah. Mixer
jumbo dan ruang panel ada di lantai dua. Mesin itu akan memblending tepung yang nantinya akan dikemas di unit pengemasan, dua
lantai di bawahnya. Bahan-bahan yang hendak diblending harus dituang melalui unit filling yang ada di lantai tiga. Sementara itu, tepung yang dikirim
dari departemen penggilingan, diterima melalui sebuah conveyor di lantai lima. Di lantai-lantai itu lah aku harus
mondar-mandir tiap harinya, tanpa lift, untuk memastikan semua sudah bekerja
dengan benar. Apakah valve-valve
sudah di posisi yang pas? Apakah timku sudah melaksanakan tugasnya sesuai
instruksi? Apakah semua material pendukung sudah berada di tempat yang
seharusnya? Apakah...Apakah...Apakah....? Aku harus memastikan semuanya akurat.
Tidak ada toleransi untuk berbuat kesalahan sedikit pun, karena produk Mixing
Plant adalah produk spesial untuk pelanggan yang spesial pula. Tenagaku
terkuras, demikian juga pikiranku.
Aku
bisa melihat tatapan cemas rekan setimku melihatku harus naik turun tangga
berkali-kali tiap hari.
“Mbak
May nggak usah naik turun. Duduk manis saja di sini”, kata salah satu dari
mereka sambil menunjuk kursi di ruang panel.
Aku
menggeleng kuat-kuat. Duduk manis katanya? Bagaimana aku bisa duduk manis
dengan segala permasalahan yang seakan tak ada habisnya itu? Valve yang macet,
filter yang ngebul, kualitas tepung
yang tidak sesuai permintaan, program otomatisasi yang error, sensor yang tidak
bekerja, spare part yang rusak dan lain sebagainya. Itu semua kan tak mungkin
selesai hanya dengan duduk manis. Aku bahkan tak bisa tinggal diam ketika ada
permasalahan di atas tangki setinggi 3 meter yang harus dipanjat dengan tangga
monyet. Rekan kerjaku melihatku dengan khawatir saat aku, dengan perut hamil 5
bulan, nekat memanjat tangki bermasalah tersebut.
Memang
tidak mudah, namun tak ada badai yang tak berlalu. Kehamilanku berakhir bahagia.
Syukur alhamdulillah, bayi pertamaku lahir normal tanpa halangan berarti.
Banyak orang bilang, lancarnya proses persalinanku adalah karena aku banyak
berjalan dan naik turun tangga. Tak salah mereka berkomentar demikian karena
yang mereka lihat dariku sehari-hari memang seperti itu.
Tapi
ada satu hal yang mereka tidak tahu. Bahwa aku kerap mensugesti diriku sendiri.
Berdiri di depan cermin sambil mengelus-elus perut yang kian membuncit dan
mengulang-ulang mantra ajaib yang kudapat dari sebuah radio. “Aku hamil dan aku
gembira...aku hamil dan aku gembira...”. Dengan melakukan itu tiap pagi,
sekalipun tubuh dan pikiran dalam keadaan lelah tak terkira, aku bisa menjaga
perasaanku tetap gembira. Iya betul. Gembira. Simpel saja ternyata.
Apapun
yang kita jalani, seberat apapun, akan terasa lebih ringan jika dijalani dengan
gembira. Dengan mengucapkan mantra itu tiap hari, aku senantiasa diingatkan
akan berderet alasan mengapa aku harus tetap gembira.
Aku
gembira karena sebentar lagi akan punya anak. Aku gembira karena aku punya
pekerjaan, yang artinya aku tak perlu pusing memikirkan keuangan. Aku gembira
karena aku punya keluarga dan teman-teman yang menyayangiku.
Aku
yakin masih banyak perenpuan hamil di luar sana yang berada dalam kondisi yang
lebih tidak beruntung dibanding aku. Hamil tanpa didampingi suami dan keluarga
misalnya atau hamil dalam segala keterbatasan materi. Keterlaluan sekali jika
orang seperti aku tidak merasa gembira, hanya karena menghadapi pekerjaan yang
mungkin tidak lazim dijalani perempuan berbadan dua.
Mantra
“Aku hamil dan aku gembira” telah membantuku membuktikan pada orang-orang di
sekitarku bahwa aku baik-baik saja. Sekalipun aku harus menjalani kehamilan di
tempat yang jauh dari kata nyaman. Mantra itu sungguh ampuh mencegahku untuk terlalu
banyak mengeluh dan senantiasa bersyukur atas apa yang sudah Tuhan berikan. Terutama
kehidupan yang sudah digariskanNya, untukku dan janinku di sebuah pabrik
terigu.
-selesai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.