Walau pada akhirnya dinyatakan tidak menang, saya tetap senang karena bisa menyelesaikan proyek pribadi tentang manusia paling istimewa sepanjang sejarah; Rasulullah Muhammad SAW.
Nah, karena sudah terlanjur ditulis, sayang rasanya jika hanya mengendap di laptop. So, saya akan mempostingnya di blog ini secara bertahap. Siapa tahu, akan ada satu atau dua atau berapa pun pembaca yang bisa memetik manfaat. Aminn....
Keseluruhan tulisan ini nantinya akan berada dalam satu label/kategori (The Real Idol). Tak jadi masalah jika membacanya secara acak atau berurutan. Silahkan lihat Daftar Isi untuk melihat keseluruhan bagian "The Real Idol" untuk memilih bagian-bagian yang lebih menarik untuk dibaca.
Selamat membaca dan selamat jatuh cinta pada manusia teristimewa, kekasih Allah, Muhammad bin Abdullah :)---
Ketabahan Rasulullah Ketika Memulai Dakwah
Kawans
pasti pernah punya masalah kan? Pasti pernah merasa sakit hati kan? Pernah juga
merasa putus asa dan ingin lari dari masalah yang sedang dihadapi kan? Mustahil
jika jawabannya “tidak pernah”. Setiap manusia pasti punya masalah, yang tidak
punya masalah mungkin hanya bayi dan orang gila.
Nah,
jika kawans merasa galau, tertekan, seolah dunia tak lagi terasa bersahabat,
ingatlah pada kisah-kisah Nabi Muhammad. Ia adalah manusia dengan cobaan yang
luar biasa dengan ketabahan yang luar biasa pula. Beliau tak pernah lari, tak
pernah menghindar dari takdir yang sudah ditetapkan Allah untuknya.
Ketika
kita membaca dan berusaha membayangkan cobaan yang dihadapi beliau, insya Allah
kita akan merasa bahwa cobaan yang kita hadapi tidak ada apa-apanya.
Galau karena tugas-tugas sekolah atau kuliah yang
menumpuk tak ada apa-apanya dibandingkan dengan tugas menyampaikan pemahaman
bahwa Allah hanya satu-satunya Dzat yang wajib disembah kepada kaum yang sudah
terbiasa menyembah berhala. Galau karena ditinggalin seseorang yang disayang
juga ngga ada apa-apanya dibanding Nabi yang sedari kecil sudah yatim piatu dan
juga pernah ditinggal meninggal oleh istri dan pamanda tercintanya di tahun
yang sama. Tak ada apa-apanya ketika Nabi ditinggal mati para sahabat dan sanak
saudaranya sebagai syuhada dalam perang melawan orang-orang kafir.
Cerita-cerita berikut ini akan menggambarkan
ketabahan dan kesabaran hati Nabi Muhammad.
Ketabahan Memulai Dakwah
Bisakah
terbayangkan di benak kita masing-masing? Bagaimana sulitnya posisi Rasulullah
di masa-masa awal kenabiannya? Ketika mayoritas penduduk Mekkah tenggelam dalam
kebejatan dan kejahiliyahan, beliau mendapatkan tugas dari Allah untuk
menyampaikan risalah tauhid. Ketika mayoritas penduduk Mekkah menyembah
patung-patung berhala yang sudah menjadi kepercayaan turun-temurun, beliau
mendapat tugas untuk menyampaikan pada kaumnya bahwa apa yang telah mereka
lakukan selama itu salah, bahwa hanya ada satu Tuhan yakni Allah. Bagi kita
yang sudah menjadi muslim sejak lahir mungkin tak pernah membayangkan bagaimana
sulitnya Rasulullah meyakinkan kaumnya bahwa beliau benar-benar utusan pembawa
risalah dari Allah? Hanya segelintir orang yang langsung percaya bahwa Allah
telah memberikan wahyu melalui perantara Malaikat Jibril. Sebab itu, masa-masa
awal pasca turunnya wahyu pertama adalah saat-saat yang berat bagi Rasulullah.
Sama
halnya dengan penduduk Arab yang lain, Nabi tidak mengerti apa itu “wahyu” atau
“kenabian”. Karena itu, ketika menerima wahyu yang pertama di Gua Hira, beliau
pulang ke rumah istrinya dengan gemetar sambil berkata; “Selimutilah aku,
selimutilah aku...”.
Khadijah
mendengarkan cerita suaminya tentang kejadian yang baru dialaminya. Kemudian,
walaupun dia tidak benar-benar mengerti apa yang telah menimpa suami
tercintanya, dia tetap berusaha menenangkan Nabi dengan berkata; “Demi Allah,
Allah tak akan menyusahkanmu. Engkau adalah orang yang selalu menghubungi sanak
kerabat, selalu menolong orang susah, memberikan jamuan pada tamu dan selalu
menyampaikan amanat pada yang empunya”.
Tak
lama kemudian, didorong oleh rasa penasaran yang menghantui benaknya, Khadijah
menjumpai salah satu sepupunya, Waraqah bin Naufal. Dia bermaksud meminta pendapat
Waraqah yang saat itu adalah seorang Kristen yang taat dan mengerti Kitab
Taurat dan Injil. Waraqah meminta Khadijah untuk membawa Nabi agar beliau dapat
menceritakan sendiri kejadian yang dialaminya di Gua Hira.
Setelah
Rasulullah selesai bercerita, Waraqah berkata; “Demi Allah yang jiwaku ada di
tanganNya. Sesungguhnya engkau adalah Nabi untuk umat ini. Engkau telah
didatangi Malaikat Jibril yang pernah datang kepada Musa. Dan kelak engkau akan
didustakan, disakiti, diusir bahkan diperangi oleh kaummu”.
Mendengar
perkataan sepupu istrinya itu, Rasulullah terperanjat tanda tak percaya karena
selama ini ia merasa selalu diperlakukan baik oleh kaummnya. “Apakah mungkin
mereka akan mengusirku?”, tanya Nabi masih dengan tak percaya.
Waraqah
pun menjawab; “Demi Allah. Setiap orang yang diangkat menjadi Nabi seperti kamu
pasti akan dimusuhi dan diperangi kaumnya. Jika aku, pada waktu kamu dimusuhi
masih hidup, pasti kamu akan kubela sekuatnya”.
Jika
orang normal mendengar perkataan Waraqah pastilah akan gentar. Bayangkan saja,
siapa yang tak takut dimusuhi dan dibenci oleh orang-orang yang selama ini
menjadi teman baik? Orang normal pastilah akan memilih jalan aman dengan
mengunci mulut rapat-rapat agar tidak memancing perkara.
Namun
Rasulullah tidak demikian. Awalnya memang beliau berdakwah diam-diam di
kalangan keluarga dan sahabat dekatnya saja, hingga kemudian turun wahyu;
“Sebab
itu siarkanlah apa yang telah diperintahkan kepada engkau dan janganlah engkau
pedulikan orang musyrikin” (Al Hijr 94).
Setelah
turun wahyu ini, Rasulullah mulai berani berdakwah secara terang-terangan
sekalipun beliau tahu resikonya adalah menerima kebencian dari orang-orang
sesukunya. Ia berdiri di bukit Shafa dan berteriak dengan lantang; “Ya
Sabaakha! Ya Sabaakha!”. Teriakan itu biasa digunakan bangsa Arab untuk
mengumpulkan orang-orang jika ada sesuatu yang penting.
“Hai
Banu Abdul Munthalib, hai Banu Fihr, hai Banu Kaab, bagaimanakah pendapat kamu
sekalian jika aku kabarkan bahwa di belakang gunung ini ada sepasukan kuda
musuh yang datang akan membinasakan kamu? Apakah kamu percaya dengan apa yang
kukatakan?”, seru Rasulullah.
“Ya,
kami akan percaya”, jawab kaumnya yang sudah berkumpul. Benak mereka dipenuhi
tanda tanya, gerangan apa yang menyebabkan Al-Amin[1]
mengumpulkan mereka di tengah kesibukan.
Mendengar
jawaban mereka, Nabi merasa sedikit berbesar hati bahwa kaumnya akan
mempercayai kata-katanya yang selanjutnya beliau ucapkan. “Ketahuilah oleh kamu
sekalian bahwa aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kamu tentang akan
datangnya siksa oleh Allah”.
Abu
Lahab adalah orang pertama yang memprotes kata-kata Nabi, sementara yang lain
masih terhenyak dan mencerna perkataan lelaki yang selama ini sangat mereka
hormati sebagai orang yang cakap dan bijak. “Sungguh celaka kamu sepanjang hari
ini, hanya untuk inikah kamu mengumpulkan kami?”. Kata-kata Abu Lahab itu
menjadi awal mula cobaan berat yang akan mendera Rasulullah selama tahun-tahun
kenabiannya.
Dan
benar saja, sejak itu kaum Musyrikin Mekkah yang tidak mau menerima ajaran
Rasulullah seolah bersepakat memusuhi beliau. Mereka mulai resah manakala
Rasulullah mulai berdakwah secara terang-terangan ke tengah-tengah masyarakat
Mekkah. Mereka galau melihat Rasulullah rajin mendatangi orang-orang yang
berkumpul di dekat Ka’bah maupun di pasar dan mengajak mereka menyembah Allah
Yang Maha Esa. Mereka khawatir akan gerak-gerik Rasulullah yang mengajak
orang-orang Mekkah meninggalkan berhala dan agama yang sudah dianut mereka
sejak lama. Mereka kalut melihat mulai banyaknya orang Mekkah yang mengikuti
ajaran Muhammad. Kekhawatiran mereka lambat laun berubah menjadi kebencian yang
teramat sangat karena menganggap Rasulullah menghina dan mencaci agama nenek
moyang mereka.
Langkah
pertama yang dilakukan kaum Kafir Quraisy saat itu adalah mendatangi rumah
paman Nabi, Abu Thalib, dan memintanya agar mencegah kemenakannya itu
meneruskan dakwahnya.
“Wahai
Abu Thalib, sesungguhnya anak saudaramu telah mencaci maki tuhan-tuhan kami dan
mengejek nenek moyang kami. Karena itu kami harap engkau cegah dia atau biarkan
kami yang akan menghadapinya sendiri. Dan engkau termasuk orang yang sama
dengan kami dalam satu agama dan kepercayaan”, keluh mereka pada Abu Thalib.
Abu
Thalib yang saat itu memang sama-sama menjadi penyembah berhala seperti mereka
menanggapi keluhan kawan-kawannya dengan kepala dingin. Dengan kata-kata yang
manis, beliau mencoba menenangkan mereka sampai kemudian mereka pulang ke rumah
masing-masing dengan puas hati.
Keberadaan
Abu Thalib ini lah yang membuat kaum Kafir Quraisy segan dan menahan kemarahan
mereka terhadap Nabi hanya dalam dada masing-masing. Namun ketika ajaran
Rasulullah mulai berkembang pesat ke seantero kota Mekkah, mereka tak bisa
menahan diri dan lagi-lagi pergi menemui Abu Thalib.
“Hai
Abu Thalib, sesungguhnya engkau adalah orang tua dan terpandang di tengah kita.
Kami telah minta engkau agar mencegah anak saudaramu, namun tidak engkau
lakukan. Sungguh kami sudah tidak dapat bersabar lebih dari ini, kami tidak
dapat membiarkan dia mencaci nenek moyang kami dan menghinakan tuhan-tuhan
kami. Kami harap kamu cegah dia atau kami sendiri yang menghadapinya sampai
salah satu, dia atau kami yang binasa”, keluh mereka.
Abu
Thalib benar-benar ditempatkan dalam dilema. Di satu sisi ia sangat menyayangi
keponakannya yang sudah sejak kecil diasuhnya seperti anak kandungnya sendiri.
Namun di sisi lain, ia tidak bisa serta merta tidak mengacuhkan kaum Quraisy
yang menyembah Tuhan yang sama dengan dirinya. Akhirnya dia memutuskan untuk
berbicara dengan Rasulullah.
“Hai
anak saudaraku, kaummu telah datang kepadaku dan mengeluh ini itu, janganlah
engkau bebani berat kepadaku yang tidak dapat kutanggung”, ujar Abu Thalib.
Alangkah
sedih hati Rasulullah mendengar ucapan paman yang sudah dianggapnya seperti
ayah sendiri. Beliau mengira pamandanya itu memihak kaum kafir Quraisy. Namun bagaimana
pun juga tekad Rasulullah untuk menegakkan ajarah tauhid sudah sangat kuat.
Dengan
bercucuran air mata, beliau menjawab; “Wahai pamanku, demi Allah jika mereka
meletakkan matahari di kananku dan bulan di kiriku agar aku meninggalkan dakwah
Islamiah, pasti tak kan kutinggalkan sebelum aku diberi keberhasilan oleh Allah
atau aku binasa karenanya”. Setelah itu Nabi langsung menyingkir dari hadapan
Abu Thalib.
Barulah
kemudian Abu Thalib sadar betapa berat beban yang ditanggung keponakannya.
Lantas dia memanggil Rasulullah; “Hai kemenakanku, datanglah kemari”.
Nabi
pun menghampiri pamannya.
“Teruskan
saja apa yang telah kamu kerjakan sekehendak hatimu. Demi Allah aku tidak akan
menyerahkan kamu kepada mereka sedikit pun”.
Nabi
yang sudah sejak kecil diasuh oleh pamannya sudah sewajarnya mengharapkan
dukungan dari Abu Thalib yang sudah dianggap sebagai tetua kaum Quraisy. Tapi
nyatanya, ketika Abu Thalib sempat memperlihatkan keraguannya untuk mendukung
kegiatan Nabi, Nabi tidak ambil pusing. Baginya yang paling penting adalah
perlindungan dari Allah. Nabi merasa yakin beliau berada di jalan yang benar
dan diridhoi oleh Allah sehingga tak perlu merasa takut sedikit pun walaupun
pamannya tidak melindunginya lagi. Nabi yakin satu-satunya tempat untuk meminta
perlindungan adalah Allah ta’ala, bukan orang-orang yang disegani seperti Abu
Thalib (terlepas dari rasa hormat dan rasa sayang beliau terhadap saudara
kandung ayahnya tersebut).
[1]
Al-Amin, gelar yang diberikan kaum Quraisy pada Muhammad bin Abdullah, artinya;
yang terpercaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.