Suatu sore yang sendu di toko buku.
“Ustadzah…Ustadzah…!!!”.
Aku menoleh mendengar suara panggilan tersebut, walau aku bukan seorang
Ustadzah. Aku tersenyum melihat seorang bocah laki-laki 7 tahunan yang
memandangku dengan mata bulatnya yang polos.
“Yah…ada Ustadzah…!!!”, tangannya
menarik kaos Ayahnya demi menarik perhatian lelaki dewasa berkulit gelap di
sebelahnya. Sang Ayah, yang sedang menekuni sebuah buku, mengangkat wajahnya
dan melihat ke arahku. Terlihat sekali raut wajahnya langsung tampak malu
karena ulah anaknya.
“Hush..nggak boleh begitu. Ayo minta maaf”, titahnya.
Sang anak pun menurut. “Maaf yaa….”, ujarnya lirih.
Aku terkekeh. “Nggak apa-apa Pak. Anaknya pintar sekali”
“Iya Mbak. Anak ini kalau lihat perempuan pakai kerudung selalu dipanggil
Ustadzah”, Ayahnya menjelaskan tanpa kuminta.
“Oh…mungkin karena sama dengan gurunya di sekolah ya Pak?”
“Oh nggak Mbak. Soalnya kita baru
kenal Islam. Baru….lima bulan”, lanjut Bapak itu.
Oh…muallaf…Entah kenapa, Bapak ini membuatku tertarik untuk melanjutkan
obrolan. Dari bincang-bincang singkat, aku tahu dia ternyata bekerja di
Kalimantan, walau aslinya orang Madiun. Bapak ini punya 3 anak. Yang paling
besar ya yang memanggilku Ustadzah tadi, sementara Istri dan dua anaknya yang
lain saat ini sedang di Kalimantan. Sore itu, dia dan anaknya berada di toko
buku karena ingin melewatkan waktu sambil menunggu keberangkatan kapalnya ke
Kalimantan beberapa jam lagi.
Tak lama kemudian, Bapak berkaus merah itu mengambil sebuah buku yang sampulnya
bergambar seorang perempuan yang sedang shalat. Kami memang sedang berada di
bagian buku agama Islam.
“Ini lho Mbak, kalau perempuan shalat kan harusnya seperti ini ya? Pakai
mukenah”, komentarnya tiba-tiba.
Aku mengernyit bingung. “Iya Pak”, jawabku.
“Istri saya belum punya mukenah. Jadi kalau shalat pakai taplak meja”
Apa? Taplak meja?, aku merasa seolah rahangku jatuh ke lantai
saking kagetnya.
“Karena kami sekeluarga masuk Islam, bantuan dari Gereja distop. Dulu kami
masih dapat bantuan beras dan biaya sekolah. Makanya sejak masuk Islam, anak
saya ini berhenti sekolah. Karena keluarga kami pas-pasan, saya juga masih
belum bisa membelikan istri saya mukenah. Makanya saya suruh dia pakai taplak
meja kalau shalat”, tiba-tiba Bapak itu menerangkan latar belakang keluarganya
tanpa kuminta.
Aku mengangguk-angguk dengan kening berkerut. Anak putus sekolah dan
ketiadaan beras bukanlah cerita baru. Tapi...shalat dengan mengenakan taplak
meja? Rasa kagetku mendengar masih ada orang yang shalat tanpa mukenah membuatku
tak bisa berkata-kata.
“Seharusnya perempuan kan pakai kerudung kaya Mbak ini. Istri saya juga
minta dibelikan kerudung. Tapi saya bilang, kalau saya punya uang, akan saya
belikan dia mukenah dulu”, lanjutnya.
“Ngg...sebenernya tidak harus pakai mukenah si Pak. Kalau ada celana
panjang dan baju lengan panjang dan kaus kaki juga bisa dipakai solat”, kataku
lirih setelah kebingungan hendak berkomentar apa.
“Istri saya cuma punya satu celana panjang Mbak. Itu memang dipakai solat,
tapi kalau sedang dicuci, ya akhirnya dia pakai baby doll segini sama taplak
meja”, tangan Bapak itu menunjuk lutut dan sikunya.
Aku pun terdiam lagi. Tiba-tiba secercah ide melintas di kepala, tapi aku tak
tahu bagaimana caranya mengatakan pada Bapak itu. Aku meliriknya yang masih
melihat-lihat buku.
“Ngg...boleh saya minta alamat Bapak di Kalimantan? Nanti saya kirim
Mukenah, mau?”, tanyaku memberanikan diri karena takut dia tersinggung.
Bapak itu langsung menggeleng cepat. “Ohh..nggak usah Mbak. Saya ini cuma
cerita aja kok nggak bermaksud apa-apa. Lagian rumah saya itu nggak ada
alamatnya. Soalnya ada di tengah hutan”
Eh? Tak punya alamat? Bapak ini macam
datang dari negeri antah berantah saja, pikirku.
“Atau mungkin alamat kantor kelurahan atau alamat apa gitu yang bisa
dikirimi surat?”, tanyaku penuh selidik.
“Sebenarnya ada sih Mbak, alamat tempat saya kerja. Tapi beberapa waktu
lalu ada teman yang hendak berkirim surat ke sana, malah suratnya balik lagi ke
pengirim karena tidak sampai”
Masya Allah...ini Bapak hidup di era mana
sih? Kok ya masih ada tempat yang masih tak tersentuh peradaban di jaman modern
begini. Di indonesia lagi.
“Kalau gitu, Bapak ikut saya aja ya. Rumah saya dekat kok. Masih ada waktu
kan sebelum naik kapal?”, desakku lagi.
Bapak itu menggeleng lagi. “Oh...nggak usah Mbak...saya nggak mau
merepotkan...”, tolaknya.
Buntu lagi. Tapi Bapak itu benar juga. Aku naik motor dan hanya bawa 1
helm. Bagaimana aku bisa memboncengnya tanpa helm dan melintasi jalan tengah
kota di sore yang padat seperti hari itu?
Akhirnya aku diam. Aku sudah kehilangan akal bagaimana caranya agar bisa
memberikan mukenah dan kerudung untuk istrinya.
Keinginan membeli buku sore itu musnah sudah. Aku tak sanggup lagi
berkonsentrasi memilih buku gara-gara pikiranku dipenuhi gambaran seorang
perempuan yang shalat tanpa menutup auratnya dengan sempurna. Sungguh aku
merasa berdosa jika mengetahui hal itu tapi lantas tak bisa berbuat apa-apa.
Tak lama aku berpamitan pulang. Bapak itu mengangguk sopan dan bilang bahwa
sebentar lagi ia juga akan segera ke Pelabuhan.
Di atas kendaraan, gerimis yang semenjak tadi membasahi hatiku kini
benar-benar berubah menjadi hujan deras yang menggenangi pipiku. Setelah puas
menangis, baru aku sadar aku telah berbuat bodoh.
Kenapa Bapak itu tidak kusuruh saja
menunggu di toko buku sementara aku pulang mengambilkan mukenah? Kalau sekarang
aku cepat-cepat pulang terus ambil mukenah terus balik lagi ke sana masih
keburu nggak ya? Jangan-jangan dia sudah ke Tanjung Perak? Sia-sia dong aku
balik. Lagian, aduh, capek banget badanku ini. Aku pengen segera sampai rumah
dan menghabiskan sisa hari di dalam rumah saja. Etapi, mana tega aku membiarkan
seorang perempuan solat tanpa mukenah, sementara di rumah aku memiliki banyak
mukenah? Tapi, gimana nanti kalau Bapak itu sudah balik ke Kalimantan?
Aneka pikiran bersliweran dalam otakku, termasuk pikiran-pikiran buruk.
Gimana kalau Bapak itu tadi menipu? Siapa
tahu dia berharap aku kasih dia uang untuk beli Mukenah? Makanya dia setengah
mati menolak dikirimi Mukenah? Lagian, mana ada sih tempat yang tak bisa
dijangkau Pos Indonesia? Masa sih ada orang yang hanya punya 1 celana panjang?
Etapi, gimana kalau yang diceritakan tadi tidak mengada-ada? Lagian, Bapak itu
tadi sama sekali tidak memasang wajah memelas yang minta dikasihani. Sepertinya
dia tidak punya maksud apa-apa selain berbagi cerita denganku. Bagaimana kalau
yang diceritakannya memang benar? Bahwa masih ada seorang Muslim yang tak bisa
menutup auratnya saat menghadap Allah? Masya Allah...
Setibanya di rumah, entah apa yang membuatku seperti orang kesurupan. Tanpa
lepas sepatu dan helm, aku masuk ke kamar dan langsung menuju lemari mukenah.
Kuambil salah satu dengan asal, termasuk beberapa lembar kerudung dari laci
kerudung. Benda-benda itu kumasukkan dalam tas berisi sajadah yang kebetulan
kuperoleh dari seorang teman yang baru pulang Umrah.
Si Bibi yang menjaga anak-anakku keheranan melihat tingkahku yang tidak
biasa. “Ada apa, Mbak? Mau ke mana lagi?”, tanyanya begitu melihatku naik lagi
ke atas motor.
“Nanti aja ceritanya Buk. Aku buru-buru!!!”.
Ya, aku sudah memutuskan untuk kembali lagi ke toko buku itu. Aku tak tahu
apakah dalam waktu setengah jam sejak berpamitan dengan Bapak tadi, dia masih
akan ada di toko buku itu. Yang aku tahu, hatiku memerintahkan untuk berbuat
begitu. Kupikir, kalaupun tak bertemu, setidaknya aku sudah lega karena sudah
berusaha.
Ya Allah, tolong jangan biarkan umatMu
menghadapMu dengan busana yang tidak layak. Ini aku sedang berusaha
mengantarkan mukenah untuk dia, aku berkata dalam hati selama memacu kembali motor bebekku ke toko buku.
Setibanya di sana, alangkah kecewanya aku melihat Bapak tadi tak terlihat
di tempat terakhir aku melihatnya, yakni di bangku panjang depan toko buku.
Dengan harapan yang sudah musnah, aku masuk kembali dan bertanya pada Mas-Mas
yang bertugas menyampul buku.
“Mas, lihat Bapak kaus merah yang tadi duduk sini? Sudah pergi ya?”
“Oh...yang sama anak laki-laki ya?”
Aku mengangguk girang berharap Mas itu tahu ke mana Bapak itu pergi.
“Tadi memang duduk sini, tapi kayanya sudah pergi”
Lemas rasanya badanku mendengar jawabannya. Bukan. Bukan karena merasa
sia-sia aku kembali demi mengantar Mukenah. Tapi karena membayangkan istrinya
yang masih belum bisa memakai Mukenah untuk shalat. Aku sudah siap-siap balik
badan dan kembali ke tempat parkir ketika Mas penyampul buku mencegahku.
“Eh...tapi lihat aja dulu di dalam Bu. Siapa tahu tadi masuk lagi”
Dengan malas aku kembali masuk. Dia
pasti sudah pergi, pikirku putus asa. Mas penyampul buku pun ikut menyusul
masuk dan membantuku mencari orang yang kumaksud.
Baru aku meletakkan tas dan jaket di tempat penitipan barang, Bapak itu
muncul lagi. Sungguh rasanya macam bertemu dengan orang yang sudah lama tak
ketemu. Aku girang luar biasa, demikian juga dengan Mas penyampul buku yang
tampaknya ikut lega melihatku bertemu dengan orang yang kucari.
“Pak, saya kembali bawa Mukenah. Tolong diterima ya...”, kataku hati-hati,
masih dengan khawatir dia marah tersinggung dan menolak.
Dia memandangku tak percaya. “Saya jadi merepotkan”
Aku menggeleng.
“Untung saya belum pergi...”, ujarnya lagi.
Aku tersenyum.
Aku tepat waktu. Dia memang sudah berniat hendak melangkah keluar toko buku
saat aku datang. Berulangkali dia mengucapkan terima kasih sampai aku tak enak sendiri.
Sebab yang kuberikan padanya bukanlah uang atau barang berharga lainnya,
melainkan hanya sepasang Mukenah dan kerudung yang tidak dalam keadaan baru.
Aku menghela napas lega saat mengendarai motorku kembali ke rumah.
Benar-benar sore yang luar biasa. Luar biasa heboh. Terutama hebohnya pikiranku
beberapa waktu sebelumnya ketika memikirkan bagaimana caranya Mukenah itu bisa
sampai di Kalimantan, in the middle of
nowhere, di mana ada seorang Muslimah yang shalat dengan taplak meja.
Memang sempat terbersit pikiran buruk bahwa Bapak itu berbohong, tapi aku
tak peduli. Kalaupun dia mengarang cerita dengan tujuan tertentu, itu bukanlah
urusanku. Urusanku adalah mendengar kata hati dan melakukan apa yang
diinstruksikan hatiku. Urusanku adalah menghindari rasa sesal yang menyesaki
dadaku karena aku tidak melakukan apa yang harus kulakukan. Kurasa, itu lah
pelajaran paling utama yang kudapat sore itu.
“Listen to your heart. It won’t betray
you. It won’t tell you a lie. It will tell you what Allah wants you to do...”
Allahu Akbar. Thank you to let me born as a Moslem :’)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.