Cerpen ini adalah ide lawas yang dicoba ditulis ulang. Versi awal cerpen ini berjudul: "Batu Kryptonite Isa", merupakan cerpen fiksi pertama yang saya tulis, tentunya dengan gaya bahasa yang masih cupu. (Ya sekarang juga masih cupu sih, hehe...).
Terus pernah juga saya coba tulis dalam bentuk flash fiction di "Dua Amplop Putih".
So, ini adalah versi ketiga untuk sebuah ide yang sama. Bedanya, untuk yang ketiga ini saya lebih banyak melakukan riset. Mungkinkah terasa bedanya? Hanya pembaca yang bisa menilai.
Happy reading :)
***
Belum
pernah aku segelisah ini hanya karena melihat sebuah amplop. Padahal itu hanya
amplop biasa, berbentuk persegi panjang dan bernuansa warna merah. Oke, memang
bukan amplop itu yang membuatku gelisah hingga serasa ingin muntah, melainkan sesuatu
di dalamnya.
Di
hadapanku, lelaki dengan kacamata yang melorot hingga ke ujung hidung itu
menarik selembar kertas dari dalam amplop tersebut. Ia mempelajarinya dengan
serius, seolah kertas yang sedang digenggamnya adalah teks proklamasi
kemerdekaan. Ia membaca tanpa suara dan tak sadar bahwa keningnya yang
mengernyit membuatku serasa ingin bangkit dan lari. Di mataku, ia laksana seorang hakim yang siap
membacakan putusan. Dan aku adalah orang yang tengah duduk di kursi pesakitan.
“Polycystic ovarian syndrome,” ia
menggumam tanpa melihat ke arahku. Matanya masih terus menelusuri isi kertas di
genggamannya.
Sialan!
Hanya itu kah yang bisa dia katakan setelah apa yang selama ini ia lakukan
padaku? Menanyaiku macam-macam tentang gaya hidupku, apakah aku merokok, apakah
aku mengkonsumsi alkohol, bagaimana asupan dietku, teraturkah siklus haidku
bahkan tentang hubungan intimku. Dia bilang aku harus menjawab dengan jujur
untuk keperluan anamnesa. Aku pun menurut.
Aku
juga menurut ketika ia beberapa kali menyuruhku berbaring dengan perut
telanjang. Lantas setelah ia melapisi perutku dengan semacam jelly, ia akan
membuatku mati-matian menahan geli ketika sebuah alat, yang aku tak tahu
namanya, menjelajah perutku. Dan walau aku benci setengah mati, aku tidak
pernah membantah ketika ia memasukkan stik plastik yang telah dilapisi kondom
ke dalam kemaluanku kemudian membiarkannya memandangi layar monitor hitam putih
sambil menggerakkan-gerakkan stik itu. Sungguh saat-saat yang paling menyiksa.
Tapi aku rela melakukannya demi mendapatkan sebuah jawaban.
Ia
juga menyuruhku mendatangi laboratorium kesehatan dengan membekaliku selembar
surat pengantar. Lagi-lagi, aku tak punya pilihan lain selain menurut dan membiarkan
seorang petugas menyedot darahku untuk dianalisa. Tidak hanya sekali, melainkan
berkali-kali.
Semua
itu kulakukan untuk mendengar sebuah kesimpulan. Tapi jawaban yang keluar dari
mulut lelaki itu hari ini membuatku kian tak mengerti. Sindrom “entah apa namanya” yang entah apa
maksudnya. Kenapa sih dia tidak
memilih diksi yang mudah kupahami saja?
“Maksudnya, Dok?” aku bertanya dengan suara
gemetar.
Lelaki
itu mengangkat dagunya sedikit, matanya beralih ke arahku. Masih dengan
kacamata yang melorot, dia mulai menjelaskan dengan bahasa yang lebih bisa
kupahami. Dia mengatakan bahwa hasil laboratorium semakin menguatkan dugaannya.
Aku terkena sejenis sindrom reproduksi yang menyebabkan indung telurku jarang
atau bahkan tidak memproduksi sel telur sama sekali. Itu lah mengapa siklus
menstruasiku tidak teratur. Dengan kata lain, walau setiap hari aku berhubungan
intim, kemungkinan terjadi pembuahan dalam rahimku adalah nyaris nol.
“Apakah...apakah
karena dulu saya merokok, Dok?” tanyaku dengan cemas. Aku setengah mati
memberanikan diri untuk menanyakan itu.
Dokter
itu mengangkat bahu. “Penyebab pastinya adalah ketidakseimbangan hormon, Bu.
Pemicunya belum diketahui secara pasti. Bisa dari keturunan, bisa juga dari
gaya hidup.”
“Berarti
saya tidak bisa hamil bukan karena saya dulu perokok dan minum alkohol kan,
Dok?” tanyaku lagi. Kali ini dengan nada tidak sabar.
Dokter
itu menarik napas sebelum memilih jawaban yang diplomatis. Menurutnya, merokok
dan alkohol memang bisa mempengaruhi fertilitas seorang wanita. Tapi dia tidak
bisa memastikan apakah kedua hal itu lah yang membuatku mendapat gangguan
kesuburan. Dia menambahkan agar aku tidak perlu cemas. Kalau aku mau, dia akan
memberikan terapi untuk mengatasi masalah reproduksiku dan memperbesar
probabilitas terjadi kehamilan.
“Seberapa
besar kemungkinannya, Dok?”
“Ya
kalau soal itu kan wewenang Tuhan, Bu. Kita hanya bisa berusaha.” jawabnya
sambil membenarkan letak kacamatanya yang melorot.
Sialan!
Kenapa harus sebut-sebut Tuhan? Kalau hanya untuk mendengar hubungan antara Tuhan
dan kehamilan, aku tak perlu susah-susah menemui seorang dokter spesialis
kandungan dan merogoh dompet dalam-dalam untuk melakukan prosedur tes ini itu. Aku
menemuinya karena ingin mencari jawaban yang lebih ilmiah ketimbang masalah
takdir. Menyesal aku mengeluarkan uang ratusan ribu sekali tatap muka dengan
dokter kandungan, yang katanya paling senior di kota ini, hanya untuk mendengar
kata-kata tentang Tuhan dan wewenangNya. Sebuah variabel yang hanya makhluk
langit saja yang mengerti.
Lagi-lagi
aku terpaksa menelan makianku. Kali ini aku tidak lagi bertanya dan segera
berpamitan sebelum emosiku meledak dalam bentuk butiran air mata.
Aku
sudah tak tahan lagi. Sudah lebih dari tujuh tahun aku menikah. Itu artinya,
setidaknya sudah delapan puluh empat bulan aku selalu berharap-harap cemas.
Sudah tak terhitung berapa lusin aku membeli strip tes kehamilan dan
mencelupkannya dalam cairan kuning di pagi hari demi bisa melihat dua garis
merah yang tak kunjung muncul.
Dari
dulu aku sudah mencurigai diriku sebagai penyebab dua garis merah itu tak
pernah muncul. Aku dan rokok. Aku dan alkohol. Dua hal yang sudah sejak lama
kutinggalkan.
Aku
mulai mengenal balutan tembakau saat masih sekolah. Awalnya hanya sekedar
iseng. Tapi lama-lama, aku tak sanggup jauh-jauh dari rokok. Rokok memberiku
sensasi rasa damai tanpa sadar apa yang tengah dilakukan nikotin terhadap
sel-sel otakku. Saat itu, aku masih menghisapnya secara sembunyi-sembunyi. Takut
orang tuaku tahu. Aku masih ingat untuk tidak pernah alpa menyemprotkan aneka
wangi-wangian di seragam putih abu-abuku sebelum pulang demi menyamarkan aromanya.
Menjadi
mahasiswa membuatku lebih bebas bergaul dengan rokok. Aku tak peduli segala
peringatan yang tercetak dengan tulisan kecil di kemasan maupun iklan rokok.
Bagiku, nikotin adalah kawan terbaik. Buktinya tiap kali aku merokok, rasanya
otakku terasa terang benderang dan membuatku mudah mengerjakan tugas kuliah.
Aku tak sadar bahwa ketika nikotin membuat otakku kecanduan, racun-racun berbahaya
lainnya perlahan mulai merusak keseimbangan organ reproduksiku.
Beberapa
tahun kemudian, statusku berubah lagi. Aku sudah jadi karyawan di perusahaan
terkenal di jantung kota metropolitan ini. Kekrabranku dengan tembakau semakin
erat. Malah kini aku mendapat kawan baru. Alkohol. Kami bertiga (aku, rokok dan
minuman keras) menjadi teman yang tak terpisahkan.
Melarikan
diri dari tekanan pekerjaan adalah alasan pertama aku memilih alkohol sebagai
sahabat. Kepadatan lalu lintas yang kian parah dari hari ke hari adalah alasan
kedua. Menghabiskan waktu di bar bersama kolega, house music, rokok dan alkohol adalah pilihan yang jauh lebih baik
ketimbang menghadapi kemacetan lalu lintas dalam keadaan penat. Aku abai, bahwa
cairan yang kuanggap sebagai karib itu perlahan membuat organ reproduksiku tak
lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Aku tak menyadari bahwa siklus datang
bulanku mulai tak teratur.
Sampai
delapan tahun lalu, pertemuanku dengan seorang lelaki mengubah segalanya. Lelaki itu
membuatku mabuk kepayang melebihi mabuk karena alkohol. Lelaki itu membuatku
kecanduan, melebihi kecanduanku pada tembakau. Ternyata jatuh cinta bisa
membuat kehidupan berbalik ke arah yang tak disangka-sangka. Aku tak pernah
mengira bahwa pada akhirnya aku sanggup mengkhianati persahabatanku dengan
alkohol dan tembakau, demi seorang laki-laki yang kemudian memberiku status
baru. Istri.
Tapi
segalanya sudah terlambat. Alkohol dan rokok telah mengobok-obok organ
reproduksiku jauh sebelum ia melakukannya di malam pertama. Masa lalu yang
kukira sudah tertinggal di belakang, ternyata masih terus menempel dalam
kehidupanku seperti benalu. Mencegahku menjadi wanita sempurna untuk lelakiku.
Suamiku
memang tidak pernah membahas soal kehadiran anak. Dia bahkan selalu menghindar jika
kuajak untuk memeriksakan diri ke dokter kandungan. Dia selalu bilang,
“Sudahlah, bukankah bayi adalah titipan Tuhan? Kalau Dia merasa kita siap,
pasti akan Dia kasih juga kan?”
Tapi
hari ini, dokter kandungan yang diam-diam kutemui tanpa sepengetahuannya sudah menjawab
semua. Tuhan tak kan pernah memberiku kesempatan memiliki seorang bayi yang
berasal dari rahimku. Dan itu karena aku sendiri. Aku sendiri yang merusak
kesempatan itu dengan kebiasaan buruk. Sekalipun itu sudah jadi masa lalu.
Bukankah
ini tak adil untuknya? Walaupun dia bilang dia mencintaiku karena dia memang ingin
berbagi sisa hidupnya denganku, aku tahu jauh di dasar hatinya dia mendambakan
kehadiran bayi.
Aku
tahu dari tatapan matanya tiap kali kami mengunjungi kerabat yang baru saja
melahirkan. Aku tahu dari caranya memandang anak-anak tetangga yang kerap main
ke rumah kami. Aku tahu dia setengah mati menolak keinginan ibunya, yang sudah
tak sabar ingin menimang cucu pertama, untuk menikah lagi. Tentu saja dengan
perempuan yang tidak mandul.
Aku
tidak bisa begini terus. Demikian juga dengan suamiku. Dia tidak boleh
selamanya menunggu sesuatu yang tak kan pernah hadir di antara kami. Aku juga tak
ingin membuatnya terjepit dalam pilihan yang sulit. Aku dan ibunya.
Kugenggam
erat amplop merah yang di dalamnya terdapat hasil observasi terhadap kondisi
hormonalku. Isi amplop itu sebenarnya sudah cukup menjelaskan semuanya walau
mungkin suamiku butuh waktu untuk memahami. Tapi tak urung aku tetap meraih
selembar kertas lagi dan mulai menulis.
Bukankah
tak ada yang lebih menyakitkan daripada sebuah perpisahan tanpa ucapan selamat
tinggal?
*
Epilog:
Terburu-buru,
Anggan masuk ke dalam rumah sambil membawa sepucuk amplop. Amplop persegi biasa
dengan nuansa warna merah. Tak sabar ia untuk menunjukkan isi amplop itu pada Alena,
istrinya.
Anggan
tahu, wanita yang sudah tujuh tahun dinikahinya itu menyimpan beban pikiran
yang berat. Ia yakin, isi amplop itu sedikit banyak akan membantu mengurangi
beban pikiran Alena.
Namun
alangkah terkejutnya Anggan mendapati istrinya yang telentang kaku dengan wajah
pucat di ranjang kamar tidur mereka. Di sampingnya, terdapat sebotol pil-pil
kekuningan dan sebuah amplop dengan warna yang sama dengan amplop yang sedang
dibawanya. Amplop dengan logo laboratorium kesehatan.
Dengan
gemetar, Anggan membuka amplop tersebut. Isinya dua lembar. Yang pertama berisi
istilah kedokteran yang membuat keningnya mengernyit. Yang kedua berisi tulisan
tangan istrinya. Sebuah ucapan selamat tinggal dan penjelasan singkat mengapa Alena
memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Anggan
terduduk lemas di samping tubuh kaku istrinya. Dengan air mata meleleh, diremasnya
amplop merah yang sedari tadi digenggamnya. Apa yang ada dalam amplop itu sudah
tak ada gunanya.
Terlambat.
Seandainya saja Anggan datang lebih cepat, mungkin Alena masih sempat melihat
isi amplop itu. Isinya hanya selembar, juga berisi istilah kedokteran, hasil analisa
cairan semen milik Anggan.
Di
sana tertulis: Azoospermia*.
-selesai-
*Azoospermia:
kondisi cairan semen (air mani) yang tidak mengandung sel sperma. Pria
azoospermia tidak mungkin dapat menghamili pasangannya karena tidak ada “benih”
yang dikeluarkan saat berhubungan intim.
ya ampuuunnn.... fatal banget sih kesalahpahaman begini kalau beneran ada dalam hidup :( tragis...
BalasHapusaku belum pernah baca 2 versi sebelunya cerita ini tapi selama ini baca tulisan fiksi mbak maya, aku ngerasa ini loncatan yang tinggi banget. cara berceritaya sudah tes-tes, ngebayangin tokohnya juga terkesan bahasanya tes-tes banget, nggak kayak biasanya mbak bikin tokoh yang agak smooth. (sek ini yang agak berubah dari cara mbak nulis apa memang 'nuansa' ceritanya kudu menyesuaikan ya? aku bingung sendiri). tapi aku ngrasa ada 'ruh' baru dari cerpen ini. bahasanya itu, beda sama fiksi sampean yang lain. keren! :)
Thank you sudah baca dek :)
HapusIni tak ikutkan seleksi cerpen pilihan versi UNSA 2014. Temanya Urban dan mintanya memang gaya cerpen koran minggu.
Alhamdulillah lolos jadi finalis :)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus