Gadis kecil itu bernama
Sakhi. Usianya 7
tahun dan baru saja pulang sekolah.
Lelaki yang sedang
duduk di ruang tamu itu, Sakhi tak tahu namanya, tapi dia hampir yakin, gara-gara lelaki itu, siang ini Mama tidak menghiraukan kedatangannya. Biasanya Mama selalu berdiri di teras rumah mereka yang asri bahkan sebelum
Sakhi mencapai pintu depan.
Mama
memang selalu sibuk menjahit sepanjang hari. Tapi sesibuk apa pun, Mama selalu
menyempatkan diri menyambut Sakhi ketika didengarnya suara anak gadisnya itu
membuka pagar. Sekalipun Mama sedang tenggelam dalam kertas-kertas desain, Mama
selalu menyempatkan untuk bercengkerama dengan Sakhi tiap siang. Bertanya
ini itu. Bagaimana di sekolah? Apakah Sakhi lapar? Apakah Sakhi haus?
Mama memang ibu yang paling pengertian
di dunia. Beliau tahu betul perjalanan pulang dari sekolah di bawah terik
matahari dan paparan polusi udara membuat tenggorokan Sakhi selalu terasa
kering kerontang.
“Rasanya
seperti habis berjalan di gurun Sahara,”
keluh Sakhi suatu hari yang
dijawab Mama dengan gelak tawa.
Bukankah Sakhi belum pernah ke Gurun Sahara?
Siang
ini Mama tidak muncul di teras, bahkan setelah Sakhi melepas sepatu dan
meletakkannya di rak. Jelas lelaki asing itu lah penyebabnya.
Agak
aneh melihat seorang tamu lelaki datang ke rumah. Biasanya tamu yang datang
menemui Mama kebanyakan perempuan yang minta dijahitkan atau didesainkan baju.
Atau, kalau pun ada tamu laki-laki, biasanya berseragam coklat seperti seragam
Papa yang bekerja di kantor Kejaksaan.
Lelaki
di hadapan Mama itu berkulit gelap karena sengatan matahari. Ia mengenakan kaus
tipis dengan celana kain yang warnanya sudah pudar. Kesepuluh jari tangannya
saling berpilin. Wajahnya yang gelisah tampak berkeringat. Cuaca memang panas,
tapi Sakhi yakin keringat di dahi dan pelipis lelaki itu bukan karena salah
cuaca. Bukankah dia baru saja berjalan di bawah terik matahari tapi tak
berkeringat sebanyak itu?
Rasa ingin tahu Sakhi
pada lelaki yang kedua lututnya bergoyang-goyang itu memupus rasa hausnya, sementara rasa laparnya tergerus oleh rasa penasaran
melihat wajah serius Mama yang menatap lelaki itu dengan pandangan aneh. Antara
kaget dan benci. Antara muak dan sedih.
Belum sempat Sakhi
bertanya ada apa, siapa laki-laki
itu, mengapa ia
datang
ke rumah, Mama sudah menyuruh Sakhi segera masuk kamar dan berganti baju.
Mbak Mimin, pembantu
keluarga mereka, sudah berdiri di balik sketsel pembatas ruang tamu
dan ruang keluarga. Jari telunjuknya menempel di bibirnya yang sedikit dimonyongkan, pertanda Sakhi tak usah banyak bicara.
Tentu saja ini agak sulit dilakukan bagi Sakhi yang biasanya cerewet. Tapi
melihat wajah Mama yang tak seperti biasa membuat gadis kecil itu kali ini memutuskan untuk tidak membantah.
Sakhi melempar
pandangan ke arah Mama dan lelaki itu sekali lagi sebelum menghilang ke dalam kamarnya sendiri.
Sayup-sayup terdengar suara lelaki itu berkata, “Begitulah Bu, saya tidak punya
pilihan lain selain ke mari.”
***
Malam itu, Sakhi
memejamkan mata. Ia masih tidur
di kamar yang sama dengan Papa dan Mama.
Orang
tua Sakhi mengira dia sudah tidur.
Sebenarnya Sakhi memang sudah hampir
tidur, tapi suara tinggi kedua orang tuanya membuatnya memilih untuk pura-pura
tidur.
Papa dan Mama sedang
membicarakan lelaki yang datang tadi siang.
Ternyata lelaki itu menyampaikan sesuatu tentang seseorang yang disebut Bapak.
Mama bilang, lelaki itu salah satu kawan Bapak.
Ia menyampaikan kalau Bapak sedang sakit. Paru-paru basah. Kawan-kawan Bapak sudah patungan untuk membawa Bapak ke dokter. Sekarang mereka kewalahan merawat Bapak karena Bapak tak punya tempat tinggal. Uang hasil patungan pun juga sudah
habis untuk biaya berobat. Sekarang Bapak
tidur dalam angkot, kendaraan
milik seorang juragan yang selama ini menjadi andalan Bapak untuk bertahan hidup. Angkot itu sudah beberapa hari mandek
di terminal
dekat stasiun. Untuk bangun
saja Bapak susah, apalagi narik.
Masalahnya pemilik angkot
bersikeras meminta angkotnya kembali untuk dikemudikan sopir lain.
“Siapa Bapak?” tanya Sakhi dalam hati. Kedua
alis di atas matanya yang terpejam nyaris menaut. Untung Papa dan Mama terlalu
serius berbincang hingga tak sempat melihat putri semata wayang mereka yang
sedang pura-pura tidur.
Pertanyaan
Sakhi terjawab manakala Mama berkata bahwa kawan-kawan Bapak-sesama
sopir angkot-akhirnya memutuskan untuk menghubungi Mama,
satu-satunya anak Bapak.
Sampai di sini kantuk
Sakhi sudah benar-benar musnah. Ia
menahan diri untuk tidak bangun dan bertanya. Ia
tetap memejamkan mata seraya
berharap Papa dan Mama tak berhenti bercengkerama. Betapa tidak, sejak matanya mulai bisa melihat
warna-warni dunia, Sakhi tak pernah bertemu dengan Kakek maupun Neneknya. Mama
bilang, mereka semua sudah meninggal.
Dengan
suara yang terdengar hari-hati, Papa berujar agar Mama segera
menyusul Bapak. “Kasihan Bapak kan, Ma?”
“Kasihan?! Kenapa aku harus kasihan padanya?! Dulu
dia tidak pernah kasihan pada kami?!” suara Mama tiba-tiba meninggi
“Bukan
begitu maksud Papa. Biar bagaimana pun dia darah daging Mama kan?”
“Bukan!”
tukas Mama galak. “Kalau Bapak benar-benar darah daging Mama, tak mungkin ia
tega meninggalkan kami. Tak mungkin ia tega mencampakkan Ibu hanya karena
perempuan lain!”
Papa
bergeming. Mungkin kaget dengan reaksi Mama yang di luar dugaan.
“Papa
bisa bayangkan bagaimana perasaan Ibu dulu melihat Bapak merangkul perempuan
lain di depan matanya? Bahkan Bapak tega meninggalkan Ibu di tengah jalan,
sementara ia check in di sebuah
motel!” lanjut Mama.
Sakhi
tak mengerti apa arti check in, tapi
mendengar cara Mama mengucapkannya, sepertinya itu bukan hal yang baik.
“Tapi
itu kan masa lalu, Ma. Bapak mungkin sudah menyesal sekarang”
“Kenapa
baru sekarang? Kenapa tidak dulu saat Ibu masih ada?” suara Mama mulai terisak.
Agak
lama Sakhi tak mendengar apa-apa kecuali isak tangis Mama.
“Ibu
meninggal pelan-pelan karena kelakuan Bapak. Demi perempuan lain, Bapak tega mencaci
maki dan memukul Ibu. Demi perempuan lain, Bapak tega meninggalkan kami dan tak
peduli apakah kami mati atau bisa bertahan hidup? Jadi buat apa sekarang Mama
peduli padanya?” ujar Mama di sela isak tangisnya.
Papa
tak lagi bersuara. Mungkin dia pikir tak ada gunanya mendesak wanita yang
sekian lama memendam luka yang tak pernah kering dalam hatinya. Papa hanya
mengajak Mama untuk beristirahat karena hari sudah larut. Mereka tak lagi membahas
perihal Bapak.
Kedua
orang tuanya sudah lama tertidur pulas. Sakhi bisa mendengar suara dengkur
halus keduanya. Namun gadis kecil itu tak bisa tidur. Dalam kepalanya ada satu
tanda tanya besar.
Di
mana Bapak akan tinggal jika angkot
yang selama ini dipakainya untuk berteduh diambil pemiliknya?
***
Gadis
remaja berambut sebahu itu bernama Sakhi. Usianya 16 tahun dan sore ini baru
saja pulang les. Ia mengayuh santai sepedanya membelah jalanan berpaving menuju
perumahan tempat tinggalnya.
Sakhi
belum genap setahun tinggal di perumahan baru ini. Selama lima tahun terakhir, sudah
dua kali ini ia pindah rumah. Baginya, rumah barunya ini benar-benar bisa
membuatnya bernafas lega. Bagaimana tidak? Sebelum ini, Sakhi tinggal di sebuah
rumah kontrakan kecil tanpa halaman di daerah pemukiman padat penduduk. Jauh
berbeda dengan rumah yang ia tempati sebelumnya bersama Mama, Papa dan Mbak
Mimin.
Rumahnya
yang dulu, walaupun tidak terlalu besar, tapi punya halaman yang ditumbuhi
pohon jambu dan beberapa pot tanaman hias. Rumah itu juga memiliki kolam ikan
di bagian belakang. Sakhi baru saja mulai menikmati tidur di kamarnya sendiri,
tanpa Papa dan Mama, ketika ia terpaksa harus pindah ke rumah yang jauh lebih
kecil dengan satu kamar.
Sakhi
tak lagi bisa punya kamar tidur sendiri.
Mbak
Mimin sudah tidak lagi bekerja di keluarga mereka sejak Sakhi pindah ke rumah
kontrakan itu.
Tentu
saja Mama agak kerepotan mengurus Sakhi sekaligus mengurus usaha desain
busananya. Tapi untungnya Sakhi sudah agak besar. Jadi dia bisa membantu Mama
mengerjakan pekerjaan rumah, sementara Mama mengerjakan desain dan menjahit pakaian.
Usaha
garmen Mama berkembang. Keluarga Sakhi akhirnya punya cukup uang untuk pindah
ke rumah yang lebih besar, di daerah perumahan one gate system kelas menengah yang terletak agak di pinggiran
kota. Mama ingin mencari rumah yang lebih tenang untuk mendukung pekerjaan
kreatifnya sebagai desainer.
Tentu
saja keinginan Mama itu terkabul. Di perumahan ini, tidak sembarangan orang
boleh masuk. Tukang bakso atau tukang sayur yang hendak mengais rejeki di
perumahan ini pun harus yang berijin.
Sakhi
tetap mengayuh sepedanya dengan santai, menikmati udara sore yang mulai sejuk
karena mentari sudah sedari tadi tergelincir. Setibanya di lapangan, salah satu
ruang terbuka yang disediakan Developer untuk aktivitas warga, ia melihat
sebuah gerobak bakso.
“Sepertinya
itu tukang bakso baru,” pikirnya. Sakhi belum pernah melihat gerobak berwarna
biru tersebut. Pak Toyib, tukang bakso langganan Sakhi, gerobaknya berwarna
putih. Melihat gerobak baru itu, tiba-tiba Sakhi ingin membeli. “Sekalian beli
untuk Mama ah,” pikirnya sambil mengayuh sepedanya mendekat.
Alangkah
terkejutnya Sakhi melihat tukang bakso itu bukannya sedang menunggui
dagangannya melainkan telentang di atas lapangan rumput. Matanya mendelik dan
wajahnya membiru. Kedua tangannya terkepal di dada. Lelaki itu mengeluarkan
suara mencicit bagai tikus terjepit. Sakhi tak tahu apakah tukang bakso itu
menyadari kehadirannya, tapi Sakhi tahu ia seharusnya mencari orang untuk menolong
tukang bakso yang tengah sekarat itu.
Tapi
Sakhi tidak segera mengayuh sepedanya untuk mencari bantuan. Tidak. Dia malah
berdiri mematung memandangi tukang bakso yang tengah meregang nyawa tersebut.
Dan ketika tukang bakso itu berhenti mendelik, berhenti mengeluarkan suara
tercekik, sebentuk seringai tersungging di bibir Sakhi. Ia menghela napas
sebelum akhirnya kembali mengayuh sepedanya pulang.
Masih
dengan senyum sinis di wajahnya yang manis, ingatan Sakhi melayang ke masa-masa
sembilan tahun yang lalu, ketika ia melihat lelaki yang juga sedang sekarat
seperti tukang bakso tadi. Bedanya lelaki sembilan tahun lalu itu tidak
meregang nyawa di sebuah lapangan rumput, melainkan di sebuah pos ronda di
kampung tempat tinggalnya dulu.
Sakhi
yang baru saja pulang sekolah mendelik ketakutan ketika melihat lelaki setengah
baya tengah meregang nyawa di siang hari yang terik, saat semua penduduk
kampung lebih memilih mencari kesejukan dalam rumah. Spontan ia berlari ke
rumah memanggil Mama.
Mama,
yang juga ikut melihat kondisi lelaki itu, seharusnya segera mencari bantuan.
Tapi tidak. Mama malah berdiri mematung menyaksikan orang itu perlahan kehilangan
nyawanya.
Sakhi
bahkan masih bisa melihat senyum bahagia di wajah Mama ketika menggandengnya
pulang tanpa menghiraukan Sakhi yang terus bertanya ini itu. Sakhi tak mengerti
mengapa Mama tampak gembira melihat lelaki itu meninggal dunia.
Tak
butuh waktu lama bagi Sakhi untuk akhirnya memahami seluruh rangkaian cerita. Sebab
tak butuh waktu lama bagi warga kampung untuk memergoki tubuh tak bernyawa itu.
Hampir seluruh warga kampung tahu siapa dia.
Kematian lelaki itu akhirnya menjawab
pertanyaan Sakhi ketika pertama kali mendengar soal Bapak. Setelah angkot Bapak
diminta oleh pemiliknya, pos ronda itu menjadi tempat tinggal Bapak hingga ajal mengakhiri
penyakitnya. Sakhi tahu hal itu dari orang-orang yang datang ke rumah dan
mengabarkan kematian Bapak tanpa tahu
bahwa sebenarnya Mama sudah tahu lebih dulu.
Tak
ada seorang pun yang menyalahkan sikap dingin Mama. Tak ada seorang pun yang
mencela Mama karena keengganannya merawat jenazah Bapak (walau akhirnya dilakukan juga karena desakan pengurus
kampung). Tak ada seorang pun yang mencap Mama sebagai anak durhaka. Seluruh
warga kampung itu tahu bagaimana Bapak
dulu memperlakukan Mama dan ibunya.
Sore
ini, di lapangan perumahan yang sepi, lagi-lagi Sakhi menjumpai lelaki yang
tengah meregang nyawa.
Bayangan
lelaki yang sekarat itu menari-nari dalam benaknya. Sakhi tahu siapa dia. Sakhi
tak mungkin salah mengenali lelaki itu.
Lelaki
itu adalah lelaki yang sama dengan lelaki yang menggandeng mesra pinggang Mbak
Mimin.
Bibir
lelaki itu adalah bibir yang sama dengan bibir yang menempel pada bibir tebal
milik Mbak Mimin.
Tubuh
kurus lelaki itu adalah tubuh yang sama dengan tubuh gagah yang dulu selalu
mengenakan seragam coklat khas pegawai Kejaksaan.
Tangan
lelaki itu adalah tangan yang sama dengan tangan yang menampar pipi Mama,
ketika Mama bertanya mengapa? Mengapa Mbak Mimin?
Kaki
lelaki itu adalah kaki yang sama yang menendang ulu hati Mama seraya membanting
setumpuk pakaian. Lantas dengan teriakannya yang bagaikan halilintar mengoyak
kedamaian langit, memerintahkan Mama dan Sakhi untuk keluar dari rumah. Rumah warisan
Nenek, ibu Mama. Lima tahun yang lalu.
Nama
lelaki itu adalah nama yang sama dengan nama lelaki yang sejak kecil selalu Sakhi
panggil dengan sebutan “Papa”.
-selesai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.