Hari ini Pak Jago, seekor ayam jantan yang gagah, murka
luar biasa. Penyebabnya adalah Kokok. Anak lelaki satu-satunya itu baru saja
mengatakan bahwa ia ingin jadi pelukis. Pak Jago pun meradang. Ia merasa
kehormatan keluarganya ternoda.
Betapa tidak? Sejak jaman dulu kala, nenek moyang Pak
Jago sudah bertugas sebagai penanda waktu di alam raya. Begitu matahari mulai
bangkit dari peraduannya, ayam-ayam jantan di keluarga Pak Jago, secara turun-temurun
membangunkan seluruh penghuni hutan rimba dengan nyanyian mereka yang nyaring.
Begitu nyaring hingga mampu menembus tiap-tiap sudut pepohonan, gua dan sarang-sarang
hewan. Suara itu memberi tanda bahwa sudah saatnya hewan-hewan malam pulang dan
yang lain bersiap meninggalkan sarang untuk memulai aktivitasnya masing-masing.
Keluarga Pak Jago sejak dulu sangat disegani. Seluruh
penghuni hutan menganggap keberadaan ayam jantan sangatlah penting. Mereka
semua membutuhkan nyanyian ayam jantan sebagai pertanda bahwa hari telah
berganti. Tanpa suara nyanyian ayam jantan di pagi hari, niscaya kehidupan di
hutan rimba akan berantakan. Pak Burung Hantu yang seharusnya sudah pergi tidur,
akan terus bertengger dengan terkantuk-kantuk, hingga tak sadar mangsa yang
diincarnya lewat begitu saja. Sementara Pak Buaya yang keasyikan tidur, tak akan
sadar bahwa buruannya lalu lalang di hadapannya. Seluruh rantai makanan di
dalam hutan akan kacau balau tanpa nyanyian ayam-ayam jantan seperti Pak Jago.
Begitu pentingnya keberadaan ayam jantan di dalam rimba hingga
Raja Hutan pun menghormati keluarga Pak Jago dan melarang hewan mana pun mengusik
keluarga ayam tersebut.
Itu sebabnya Pak Jago marah besar. Baginya, Kokok adalah
harapan satu-satunya untuk meneruskan kehormatan keluarga. Sejak kecil, Pak
Jago sudah terus melatih vokal putranya itu agar kelak memiliki suara yang
nyaring dan merdu. Tapi dari dulu, Kokok tidak menunjukkan antusiasme. Ia malah
lebih suka mencoret-coret dan membuat aneka macam gambar. Dan kini, ketika ia
mulai beranjak dewasa, dengan berani ia mengatakan pada ayahnya untuk serius
belajar melukis karena kelak ia ingin menjadi pelukis di istana Raja Hutan.
“Bagaimana mungkin kamu ingin jadi pelukis? Kamu mau
mempermalukan keluarga, ha?!” hardik Pak Jago.
Kokok ketakutan, tak menyangka ayahnya akan semarah itu.
“Saya hanya ingin melukis, Ayah. Bukan mencuri. Melukis kan tidak memalukan,”
bisiknya lirih.
Bu Ayam, yang juga ada di situ mendengarkan pembicaraan,
hanya bisa diam. Ia sayang pada Kokok, tapi juga tidak berani melawan kehendak
suaminya.
“Melukis memang tidak memalukan. Tapi melukis tidak ada
dalam kamus keluarga kita. Tugas kita adalah berkokok, membangunkan segenap
penghuni rimba dengan nyanyian kita yang nyaring!” suara Pak Jago masih terus
meninggi. “Kau pikir bisa membangunkan seluruh penghuni rimba dengan
lukisanmu?” sambungnya.
Kokok terdiam. Ia hanya menunduk.
“Biarkan saja Kak Kokok belajar melukis, Ayah. Tugas Ayah
untuk berkokok tiap pagi biar aku yang menggantikan,” tiba-tiba Petok
menyeletuk. Petok adalah seekor ayam betina, adik bungsu Kokok.
“Ada-ada saja kamu ini, Petok! Mana ada ayam betina yang
berkokok? Tugas kamu adalah bertelur dan mengerami telur-telurmu agar kelak
menjadi bayi ayam yang sehat. Sudahlah, kamu jangan ikut-ikutan aneh seperti
kakakmu!” Pak Jago malah kian marah.
“Tapi Ayah, aku bisa kok. Aku juga berlatih tiap hari dan
suaraku hampir senyaring Ayah. Kalau sering-sering latihan aku pasti bisa,”
desak Petok, yang memang sejak dulu senang berkokok. Tidak seperti ayam betina
pada umumnya yang hanya senang berkotek-kotek, suara Petok sangat nyaring dan
lengkingannya panjang, mirip dengan suara ayam jantan.
Pak Jago kehilangan kesabaran. Ia mengibas-ngibaskan
ekornya dengan marah. “Duh! Kenapa anak-anakku tiba-tiba jadi tidak bisa
diatur? Apa memang begini anak-anak jaman sekarang? Sudah tidak mau ikut pakem
nenek moyang? Yang betina ingin berkokok, yang jantan malah ingin diam saja dan
melukis,” omelnya.
“Sudahlah Yah. Sabar. Sebaiknya Ayah istirahat dulu.
Biarkan Kokok dan Petok merenung dan berpikir. Semoga saja mereka berubah
pikiran dan melupakan cita-cita mereka yang aneh itu,” Bu Ayam berusaha
menenangkan suaminya, seraya memberi tanda pada anak-anaknya untuk segera
menjauh.
Pak Jago menurut. Ia berusaha menahan diri. Dalam hati,
ia berharap kemarahannya hari ini bisa menyadarkan Kokok dan Petok agar mau membuang
jauh cita-cita aneh mereka.
Tapi Pak Jago salah. Kokok tak pernah berhenti melukis,
sebagaimana Petok juga tak pernah berhenti berlatih bernyanyi. Keduanya
melakukan itu secara sembunyi-sembunyi karena takut Pak Jago marah lagi.
Tanpa diketahui orang tuanya, Kokok selalu berlatih melukis
ditemani sahabatnya, Merak, yang juga sama-sama gemar melukis. Mereka kerap
bertemu di pinggir danau atau di tepi sungai untuk melukis. Lukisan-lukisan
yang sudah jadi, mereka sembunyikan di dalam sebuah gua, yang kian terlihat
semarak dengan adanya lukisan-lukisan yang berwarna-warni hasil karya Merak dan
Kokok. Kokok sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Merak, yang mau
menemaninya melukis.
*
Suatu hari, Raja Hutan mengadakan lomba melukis. Pelukis
yang karya-karyanya bagus akan diangkat menjadi pelukis istana dan lukisan
hasil karyanya akan dipajang di dinding-dinding istana. Mendengar kabar ini,
tentu saja Merak dan Kokok bersorak.
“Ini kesempatan bagus,” pikir Merak.
“Jika berhasil, tentu cita-cita sebagai pelukis istana
akan terwujud,” batin Kokok.
Demi mengikuti lomba tersebut, Kokok dan Merak semakin
rajin melukis. Dan kemudian tibalah hari saat mereka harus membawa lukisan-lukisan
untuk dilombakan ke istana. Raja Hutan sendiri yang nanti akan menjadi juri.
“Bagaimana menurutmu lukisan yang ini, Merak?” tanya
Kokok.
Merak memandangi lukisan yang ditunjukkan sahabatnya. Itu
lukisan kawanan gajah berkepala terompet. Merak merengut. “Menurutku ini
lukisan yang aneh, mana ada gajah yang punya kepala terompet?”
Kokok meletakkan lukisan itu dan ganti mengambil lukisan
yang lain. Kali ini gambar bola mata raksasa yang meneteskan air mata yang
jatuh di atas sebuah kolam. “Kalau ini?”
“Aduh, ini lebih aneh lagi. Raja Hutan akan menertawakan
kamu kalau melihat lukisan ini. Mana ada bola mata sebesar kolam?”
Kokok menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Diambilnya
satu lukisan lagi. Itu lukisan sekuntum mawar yang mahkotanya terbuat dari lidah
api berbentuk siluet burung menari-nari. “Bagaimana kalau yang ini?”
“Duh, ini yang paling aneh. Coba bandingkan dengan
punyaku,” Merak meraih lukisannya. Sebuah lukisan bunga mawar yang sangat
indah, lengkap dengan kupu-kupu bersayap lembayung yang hinggap di kelopaknya.
Lukisan itu memang cantik luar biasa.
“Lantas, sebaiknya aku membawa lukisan yang mana?” desah
Kokok putus asa.
Merak angkat bahu. “Maaf Kokok. Menurutku, semua
lukisanmu tidak ada yang layak untuk dilombakan. Semuanya aneh. Mengapa sih
kamu tidak melukis gambar yang biasa-biasa saja? Seharusnya kalau mau melukis
gajah ya gajah saja, tidak usah pakai terompet. Kalau mau melukis bola mata ya jangan
yang sebesar kolam. Kau tahu kan seberapa besar ukuran bola mata? Apalagi ini,
lukisan mawarmu jadi aneh gara-gara mahkotanya kau rubah menjadi lidah api dan siluet
burung,” jelas Merak panjang lebar.
Kata-kata Merak tersebut membuat Kokok seketika
kehilangan percaya diri. Ia tak mengira lukisan-lukisannya ternyata seburuk
itu.
Ia menghela napas panjang. “Kalau begitu, kau pergilah ke
istana, Merak. Aku tidak jadi ikut. Mungkin Ayahku benar. Aku memang tidak
berbakat melukis,” bisiknya lirih. Kokok bersiap-siap mengemasi
barang-barangnya dan hendak berjalan pulang ketika Merak memanggilnya.
“Hai Kokok, lantas bagaimana dengan lukisan-lukisanmu
ini?” tanyanya seraya menuding lukisan hasil karya Kokok yang tertempel di
dinding gua.
“Kau ambil saja. Aku sudah tidak membutuhkannya lagi,”
katanya dengan tidak bersemangat.
Merak tidak lagi bertanya dan kembali memilih
lukisan-lukisan yang hendak dibawa ke istana.
Hari itu semangat melukis Kokok menguap sudah. Ia
menganggap dirinya memang tak berbakat melukis. Padahal selama ini ia selalu
belajar melukis dengan sungguh-sungguh. Tiap-tiap coretan dan goresannya adalah
hasil perenungan yang dalam tentang caranya memandang kehidupan di hutan rimba.
Ternyata di mata hewan yang mengerti tentang lukisan
seperti Merak, hasil karyanya itu justru hanya akan mempermalukan diri sendiri.
Lagi-lagi Kokok bersyukur memiliki teman seperti Merak. Untung saja Merak
mengingatkannya bahwa hasil karyanya sangat buruk dan aneh. Bagaimana jika
nanti Raja Hutan tidak hanya menertawakannya, tapi juga memurkainya gara-gara
lukisannya yang sangat tidak layak diikutkan perlombaan?
“Ah, mungkin Ayah dan Ibu memang benar, ayam jantan memang
seharusnya tidak melukis,” batin Kokok. Mulai sekarang, ia bertekad untuk menuruti
permintaan Pak Jago, yakni meneruskan tugas yang sudah turun temurun dilakoni
nenek moyang mereka. Bernyanyi tiap pagi untuk membangunkan semua penghuni
hutan rimba. Keputusan ini membuat Pak Jago dan Bu Ayam bahagia bukan kepalang.
Akhirnya putra mereka satu-satunya sadar juga.
Hanya Petok yang tampak kecewa. Tapi itu bukan masalah.
Pak Jago yakin, setelah ini Petok akan disibukkan dengan urusan bertelur dan
mengerami. Ia akan segera lupa dengan cita-citanya untuk berkokok tiap pagi.
*
Waktu berlalu. Pak Jago sudah lanjut usia. Tugasnya
membangunkan penghuni hutan sudah digantikan oleh Kokok, sesuai dengan
keinginannya dulu. Walau suara nyanyian Kokok masih belum senyaring suara Pak
Jago, tapi ia yakin Kokok akan segera memiliki suara seindah dirinya jika terus
berkokok tiap pagi.
Suatu hari, rumah Kokok dilewati beberapa binatang yang
berbondong-bondong ke arah istana. Kokok pun bertanya pada mereka, “Hendak ke
mana kalian?”
Seekor Tupai menjawab, “Tidakkah kau tahu? Di istana
sekarang sedang dibuka pameran lukisan.”
“Iya, kabarnya lukisan yang dipamerkan adalah hasil karya
seorang pelukis yang jenius. Siapa namanya? Rajawali?” timpal Kancil.
“Bukan Rajawali. Tapi Merak,” ralat Tupai.
“Oh ya betul. Merak adalah salah satu pelukis istana
sejak dia memenangkan lomba melukis beberapa waktu yang lalu. Wah kabarnya
lukisan-lukisan Merak itu tidak ada duanya.”
Kokok terperanjat. Jadi Merak berhasil memenangkan lomba
lukis itu? Pantas saja sejak mereka berpisah di gua terakhir kali, ia tak
pernah lagi menjumpai Merak. Rupanya dia sudah tinggal di istana dan menjadi pelukis
khusus keluarga Raja. Ada rasa bangga sekaligus iri terbersit di hati Kokok.
“Kami hendak ke sana, ingin melihat lukisan yang katanya
sangat legendaris. Judul lukisannya, mmm...kalau tidak salah “Kolam Air Mata””, ujar Kucing Hutan.
Apa? Kokok melongo. Rasanya ia ingat judul lukisan itu.
“Tapi yang lebih heboh adalah lukisan “Suara Gajah”, yang konon bergambar
kawanan gajah berkepala terompet. Wah, pasti unik ya?” sanggah Burung Jalak.
Apa? Kokok melongo lagi.
“Hmmm...kalian salah. Lukisan “Tarian Mawar” lah yang paling terkenal. Berkat lukisan bunga mawar
dengan mahkota lidah api berbentuk siluet burung yang menari-nari itu, Merak
menjuarai lomba lukis istana. Alangkah hebat dan beruntungnya dia,” tukas Tupai
seraya menggerak-gerakkan telunjuknya.
Apa? Lemas sudah kaki Kokok. Untung kawanan binatang itu
tidak memperhatikannya karena terlalu serius mendiskusikan soal Merak dan
lukisannya.
“Raja Hutan menyebut lukisan Merak itu sebagai lukisan suri...sure...sura...ngggg?”
Kancil berusaha mengingat-ingat.
“Surealisme maksudmu?” jawab Burung Jalak.
“Ya betul! Merak adalah pelukis surealisme. Itu aliran
baru dalam dunia lukis-melukis. Menurut Raja Hutan, fantasi Merak yang tertuang
dalam hasil karyanya sangatlah fantastis. Berbeda dengan lukisan-lukisan lain
yang hanya melulu menggambarkan pemandangan alam biasa. Merak mampu
menggambarkan hutan rimba dengan cara yang berbeda,” jelas Kancil panjang
lebar.
Kawanan binatang itu lantas melanjutkan perjalanan mereka
masih dengan memperbincangkan Merak dan lukisan-lukisan hebatnya, meninggalkan
Kokok yang masih termangu.
Ingatan Kokok seketika kembali ke masa lalu. Dia ingat
dengan jelas, “Kolam Air Mata”, “Suara Gajah” dan “Tarian Mawar” adalah lukisan-lukisan yang dahulu mendapat komentar
negatif dari Merak. Komentar yang kemudian membuatnya kehilangan rasa percaya
diri dan lantas memilih pergi.
Ah, seandainya saja saat itu Kokok tidak mengacuhkan kata-kata
Merak, mungkin ia tak kan pernah meninggalkan lukisan-lukisannya di dalam gua, bersamaan
dengan cita-cita dan impian masa kecilnya yang tidak ia bawa serta.
-selesai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.