Ini
bukan yang pertama kali aku mendatangi rumah ini. Tapi ini pertama kalinya aku
ke mari dengan perasaan seperti ini. Campur aduk. Tak karuan. Marah, sedih, tak
mengerti, bingung dan ragu bercampur melebur, membuat degup jantungku tak
menentu. Aku sadar benar tanganku gemetaran seperti orang yang terkena
Parkinson saat menekan bel.
Mungkin
kalian tidak mengerti apa yang kurasakan jika tak paham bagaimana peliknya
situasi yang kuhadapi saat ini. Sebenarnya penyebabnya hanya satu hal yang
sederhana. Cemburu. Ya, rasa cemburu lah yang membuatku memberanikan datang ke
rumah mungil nan asri ini.
Rumah
bercat hijau dengan taman mungil yang terawat ini selalu membuatku kagum. Lebih
tepatnya kagum pada pemiliknya. Aku tahu pemiliknya bukanlah seorang wanita
yang banyak menghabiskan waktu di rumah seperti aku. Ia seorang wanita karir
yang terpelajar dan sibuk tentunya. Tapi toh, nyatanya ia masih bisa meluangkan
waktu untuk menata rumah dan taman mungilnya menjadi secantik ini.
Rumput-rumput
hijau terpotong rapi dan selalu tampak segar, pot-pot tanaman kuping gajah dengan daun yang gemuk
berkilauan berderet rapi di sepanjang carport,
rumpun bungan bougenville tiga warna
tumbuh subur hingga menutupi pagar setinggi lutut dan sebuah pohon kamboja
kuning yang bunganya selalu bermekaran berdiri anggun di salah satu sudut
taman, serta gemericik air dari kolam mungil berisi beberapa ekor ikan koi,
membuat siapapun akan betah berlama-lama berada di sana. Termasuk aku.
Aku
selalu suka jika diajak suamiku berkunjung ke rumah ini. Selain karena rumah
mungil yang menebarkan perasaan nyaman, pemiliknya adalah orang yang sangat
menyenangkan. Ia ramah, humoris, pintar membuat kue dan selalu menyambut
tamu-tamunya dengan hangat.
Namun
sekarang aku tahu pasti aku tidak akan suka berada di rumah bergaya modern
minimalis ini. Aku tahu aku akan didera perasaan tak nyaman yang membuatku
ingin berlari pulang. Bukan karena rumah ini kehilangan kenyamanannya,
melainkan karena pemiliknya memiliki nama yang sama dengan nama yang kerap
disebut-sebut suamiku dalam igauannya. Sri.
Aku
biasa memanggilnya Mbak Sri. Aku langsung menyukai sosoknya begitu pertama kali
berkenalan dengannya. Dia, suamiku dan seorang teman laki-laki bernama Mas Adi
adalah sahabat dekat semenjak kuliah tingkat pertama. Bahkan setelah kami
menikah, mereka masih menyempatkan diri untuk berkumpul bersama. Rumah orang
tua Mbak Sri adalah markas mereka saat masih kuliah. Kini, karena Mbak Sri
sudah punya rumah sendiri, markas mereka pun ikut-ikutan pindah. Sesekali, aku ikut
bergabung bersama mereka.
Mas
Zul, suamiku adalah orang pertama dari tiga serangkai itu yang menikah lebih
dulu. Aku, yang lima tahun lebih muda dari Mas Zul adalah anak dari sahabat
kental ibu Mas Zul. Konon, dua wanita ini (ibuku dan ibu Mas Zul) sudah
berjanji untuk besanan jika kelak aku dan Mas Zul dewasa. Saat pertama berkenalan
dengan Mas Zul, aku langsung merasa nyaman. Mungkin itu yang disebut cinta pada
pandangan pertama. Dia pria yang sangat menyenangkan. Karena Mas Zul juga tidak
keberatan dengan perjodohan itu (semoga karena dia juga merasa nyaman berada di
dekatku), maka tak lama kemudian pernikahan kami berlangsung. Itu terjadi
kira-kira 2 tahun yang lalu.
Ketika
aku diperkenalkan dengan sahabat-sahabat karibnya, aku langsung merasa diterima
dengan baik. Mbak Sri dan Mas Adi menganggapku seolah aku juga teman lama
mereka.
“Kamu
nanti bilang sama aku ya, Azizah, kalau seumpama si Zul ini macam-macam sama
kamu,” cerocos Mbak Sri.
“Lha
memangnya mau kamu apakan si Zul ini kalau memang dia macam-macam sama Azizah?”
Mas Adi bertanya dengan kening bertaut.
“Ya
aku kasih pelajaran lah. Biar ndak macam-macam sama perempuan. Opo maneh
perempuan ayu kaya Azizah begini,” jawab Mbak Sri kenes.
“Pelajaran
apa Sri? Si Zul ini sudah kenyang kamu ajari matematika dasar dari tingkat satu
sampai lulus masih belum ngerti juga. Mungkin kamu yang ndak bisa ngajar. Sudah
ngomongnya sama aku aja, Azizah, aku lebih pintar ngasih pelajaran,” seloroh
Mas Adi.
“Ya
aku pasti macam-macam to sama Azizah . Wong dia ini kan istriku. Kalau cuma
satu macam malah bisa mati bosen dia. Iya nggak?” Mas Zul menimpali sambil
melemparkan kerlingan menggoda.
Aku
tergelak.
Tapi
itu dua tahun yang lalu. Belakangan ini, Mas Zul mulai berubah.
Dia
terlihat lebih pendiam, sering terlihat murung dan letih. Dia juga jarang pulang
ke rumah. Kalau ditanya, jawabannya selalu seputar “sedang banyak kerjaan”,
“masih meeting” atau “ketemu client”. Tapi mas Zul tak pernah berubah sikap
terhadapku. Ia tetap lah suami yang manis. Walaupun wajahnya sering terlihat
kuyu, ia masih sempatkan mengecup kening dan pipiku sebelum tidur.
Paling-paling juga dia hanya berbisik, “Maaf Azizah, Mas capek sekali” ketika
aku mulai mencumbunya.
Awalnya
aku percaya saja dan lantas berhenti bertanya, membiarkan dia menikmati waktu
istirahatnya tanpa banyak kuusik. Namun beberapa hari yang lalu, aku mendengar
hal yang sulit dipercaya. Mas Zul mengigau, dan dalam igauannya, dia hanya
menyebutkan satu nama. Berkali-kali. Bahkan pernah di suatu malam, Mas Zul
merapal nama itu disertai leleran air mata. Astaga, belum pernah sekali pun aku
melihat suamiku menangis. Mengapa justru ketika dia menitikkan air mata, itu
karena seseorang yang bukan aku?
Tentu
saja aku tidak pernah membangunkannya atau kemudian bertanya-tanya mengapa nama
itu kerap ia sebut dalam tidur. Aku melakukan itu lebih karena takut mendengar
jawabannya. Aku takut mendengar sebuah kenyataan yang tak ingin kuketahui.
Bahwa Mas Zul dan Mbak Sri…
Bukankah
mereka sudah sejak lama saling kenal? Ada hari-hari panjang di antara mereka
yang aku tidak tahu. Mungkin saja mas Zul memendam perasaan pada Mbak Sri namun
juga tak kuasa menolak kehendak ibundanya untuk dijodohkan dengan aku. Ya Tuhan,
jika memang demikian, alangkah menderitanya mas Zul selama ini. Menekan
perasaannya sendiri dan berusaha membunuhnya justru di saat cintanya sedang
mekar. Mungkinkah itu juga yang menjadi alasan Mbak Sri tidak juga menikah?
Jangan-jangan, di balik tawa riangnya selama ini, sebenarnya ia menyimpan luka
yang teramat dalam tiap kali melihat aku dan Mas Zul berdua.
Aku
tak bisa marah pada mas Zul, ataupun membenci Mbak Sri. Tak ada alasan untuk
kesal pada keduanya. Aku menyayangi keduanya.
Lagipula,
Mbak Sri memang wanita luar biasa. Sulit untuk tidak menyukai Mbak Sri jika
sudah mengenalnya. Ia memiliki kepribadian yang jarang dimiliki orang lain.
Kepribadian yang bisa membuat orang langsung menganggapnya sebagai orang yang
menyenangkan, yang langsung menganggapnya sebagai teman yang sudah
bertahun-tahun kenal, yang membuatnya seolah-olah ia seorang dewi. Selain itu,
tak seorang pun meragukan kecerdasan Mbak Sri. Itu sebabnya di usianya yang
masih terbilang muda, ia menduduki jabatan sebagai vice president di sebuah
perusahaan swasta terkenal.
Kecemerlangan
karir Mbak Sri tidak lantas membuatnya besar kepala. Ia selalu tampil rendah
hati dan bersahaja. Kepada siapa saja. Aku pernah melihat bagaimana ia dengan
hangatnya memperlakukan pemulung yang mengorek-ngorek sampah di depan rumahnya,
bagaimana ia mengajak bercanda tukang bakso yang sedang lewat di depan rumah.
Mbak Sri seolah selalu menebarkan aura bahagia di sekitarnya. Itu sebabnya aku
sangat, sangat maklum jika mas Zul mencintai wanita seperti itu. Kupikir, jika
aku laki-laki, mungkin aku juga akan jatuh hati pada Mbak Sri.
Setelah
beberapa kali mendengar igauan mas Zul, sebuah chat history yang tak sengaja kubaca karena ponsel mas Zul pernah
ketinggalan di rumah semakin memperkuat dugaanku. Mbak Sri memang orang yang
sangat istimewa di hati mas Zul.
+ Aku tahu ini salah, Sri. Tapi aku tidak
sanggup melupakan apa yang pernah terjadi di antara kita.
@ Kamu harus bisa, Zul. Ingat kau sudah punya
Azizah. Dia istri yang baik.
+ Dia memang luar biasa. Tapi aku tidak mampu
membohongi diri sendiri. Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu, Sri.
@ Kamu harus coba terus.
+Kamu pikir 2 tahun terakhir ini aku tidak mencoba?
@ Kamu tahu sejak awal kita tidak mungkin bisa
bersama kan?
+ Kamu yang bilang begitu. Kamu yang selalu
bilang “ini demi orang-orang yang kita sayangi”.
@ Memang begitu kan? Kamu sendiri juga tidak
ingin menyakiti hati ibu kamu dengan mengungkapkan kenyataan bahwa aku dan
kamu...
+ Hmmm…Sepertinya kita terlalu memikirkan
kebahagiaan orang lain hingga lupa pada kebahagiaan kita sendiri, Sri.
@ Hmmmm…entahlah.
+ Lantas sampai kapan kita terus seperti ini?
@ Aku tidak tahu, Zul. Terkadang memang ada
cinta yang tak mungkin bisa kita genggam, walaupun kita jatuh cinta
mati-matian.
Aku
tak sanggup melanjutkan membaca. Mataku memburam. Entah berapa lama aku jatuh
terduduk dan membasahi lantai dengan air mata, yang tak jelas keluarnya karena
apa.
Aku
marah, tapi tak tahu marah pada siapa. Pada Mas Zul yang ternyata menduakan
aku? Pada orang tua yang menjodohkan kami? Pada Mbak Sri yang menjadi orang
ketiga?
Tidak.
Mbak Sri tidak salah. Aku lah yang sejak awal menjadi orang ketiga dalam
kehidupan mereka.
Ibuku
dan mertuaku juga tidak salah. Mereka sejak awal tak pernah memaksakan
perjodohan. Mereka selalu bilang; “Ini ikhtiar, siapa tahu Zul dan Azizah bisa
cocok. Kalau tidak saling suka juga tidak apa-apa. Tidak perlu dipaksakan.”
Mas
Zul apalagi. Dia yang paling menderita dalam hal ini karena harus memaksakan
diri untuk hidup bersama dengan orang yang tidak dia cintai. Bersandiwara
dengan menekan perasaannya sendiri. Aku terisak ketika membayangkan bagaimana
perasaan Mas Zul ketika kami bercinta? Mungkinkah ia selalu membayangkan sosok
mbak Sri manakala kami tengah bersatu?
Ya
Tuhan…bodohnya aku tidak segera menyadari. Ternyata mencintai seseorang tidak
cukup untuk bisa menyelami perasaannya. Ataukah karena Mas Zul sedemikian
pintarnya membungkus perasaannya dan meletakkannya dalam sebuah palung maha
dalam?
Aku
tak tahu apa yang akhirnya membuatku segera menghubungi nomor ponsel Mbak Sri
dan memintanya untuk bertemu. Padahal aku juga tidak tahu apa yang nanti akan
kukatakan kepadanya. Mungkin memintanya untuk menjauh dari kehidupan Mas Zul?
Atau malah memintanya untuk kembali pada mas Zul sementara aku yang mengalah?
Mbak
Sri merespon dengan baik permintaanku untuk bertemu. Ia malah membatalkan
rangkaian meetingnya hari itu demi bisa kembali ke rumah dan bertemu denganku.
Mbak Sri tidak ingin membuatku rikuh dengan mendatanginya di kantor. Ia
sepertinya tahu, hal yang kubicarakan ini akan membuatku tidak nyaman jika
diketahui banyak orang.
“Ayo
masuk, Azizah,” suara Mbak Sri membuyarkan lamunanku yang sedari tadi berdiri
di depan rumahnya. Suara lembut Mbak Sri itu serta merta membuyarkan segala
kata-kata yang sudah kususun dan hendak kusampaikan dengan runut agar urusan
ini tidak menjadi kian runyam.
Apalah
daya, perasaan yang bercampur aduk tak keruan sejak berhari-hari sebelumnya
akhirnya tumpah ruah begitu saja, menjadi ceracauan bercampur isak tangis.
Mbak
Sri mendengarkan dengan diam sambil sesekali tangannya mengelus punggungku,
berharap isakku sedikit reda dan kata-kataku bisa terdengar lebih jelas.
“Azizah
akan mengalah, Mbak. Demi Mas Zul,” akhirnya kata-kata itu lah meluncur dari
mulutku. Hatiku remuk saat mengatakannya. Tapi akan lebih remuk lagi jika harus
melihat orang yang sangat kucintai menderita karena merasa terpaksa hidup
dengan aku.
“Sudah
kuduga suatu saat kamu akan tahu juga, Azizah. Maafkan kami selama ini selalu
bersandiwara dan membuatmu merasa seolah semua baik-baik saja,” bisik Mbak Sri
lembut.
Kata-kataku
sudah tak bisa lagi meluncur. Hanya air mata yang tak bisa berhenti mengalir.
“Tapi
kamu salah memahami,” ujar Mbak Sri lagi.
Aku
mendongak menatap mata hitamnya yang bersinar lembut.
“Tunggu
sebentar ya,” Mbak Sri bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah bufet yang
menyimpan beberapa album foto. Ia mengambil salah satunya, membuka lembar demi
lembar dan setelah menemukan yang dia cari, ia kembali melangkah ke arahku.
“Memang ada orang lain yang dicintai Zul. Sejak dulu.”
Aku
menerima album foto yang diulurkan Mbak Sri. Album itu berisi foto-foto lama
Mas Zul dan kawan-kawannya semasa masih kuliah.
“Kami
sudah berjanji untuk menyimpan urusan ini rapat-rapat. Tak ada yang tahu soal
ini selain Zul, aku dan orang yang dicintainya. Tapi sekarang kamu sudah jadi
istri Zul dan kurasa kamu juga berhak tahu,” kata Mbak Sri.
Aku
menatapnya tak mengerti. “Apa maksud Mbak?”
“Dia
lah orang yang dicintai Zul selama ini, kamu juga tahu kok siapa orangnya,”
telunjuk Mbak Sri menunjuk foto seseorang.
Mbak
Sri benar. Aku kenal orang itu. Tapi…tapi itu tidak mungkin. Aku menggeleng
seraya menghunjamkan pandangan tak percaya pada obyek yang ditunjuk Mbak Sri.
“Dia
yang bernama Sri, Azizah. Sriadi,” Mbak Sri seolah bisa membaca pikiranku.
Jarinya masih menunjuk pada foto Mas Adi.
-selesai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.