Jimmy
tertunduk lesu. Hari ini Bos marah-marah lagi. Penyebabnya adalah proposal kerjasama
dengan calon client. Untuk yang
kesekian kali dalam beberapa bulan terakhir, ada saja yang jadi alasan
kemarahan Bos kepadanya. Mulai dari laporan event
yang belepotan, slide presentasi yang nggak banget,
nggak pintar arrange meeting, nggak
bisa delegasi pekerjaan ke anak buah, sampai nggak becus menangani komplain rekanan.
Padahal Jimmy merasa sudah mengerjakan pekerjaannya di perusahaan event organizer itu dengan seksama,
dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, dengan semangat empat lima pula.
Soal
rekanan yang komplain, tadinya rekanan itu sempat merasa fine dengan solusi yang ditawarkan Jimmy untuk kompensasi
keluhannya. Tapi tanpa sebab yang jelas, si rekanan tiba-tiba mencak-mencak dan
melapor ke Bos kalau Jimmy sama sekali tidak bisa menyelesaikan keluhannya
secara profesional. Waktu itu Jimmy cuma bisa garuk-garuk kepala. Ia tak mengerti
mengapa situasi bisa berbalik seratus delapan puluh derajat.
Tapi
Jimmy paham tabiat bos. Tak ada gunanya menyangkal jika Bos sudah marah-marah.
Lebih baik diam, mengaku salah, berjanji tidak akan mengulang lagi, habis
pekara.
Cuma
hari ini kemarahan Bos agak keterlaluan. Kosakata kebun binatang keluar semua.
Yang lelet kaya kura-kura lah, yang
bego kaya keledai lah, dan yang terakhir, yang membuat Jimmy untuk pertama kali
membantah saat dimarahi Bos adalah ketika Bos bilang dia beo. Tukang plagiat!
“Proposal
kamu ini copy paste kan? Jadi orang
yang kreatif dong. Kamu orang atau beo sih!!” bentak bos.
Jimmy
terpana tak mengerti. “Maksudnya apa, Pak? Saya tidak copas,” sangkalnya.
“Kalau
tidak copas, jelaskan sama saya,
bagaimana bisa ada dua proposal yang isinya sama persis seperti ini!?” Bos
membanting satu bendel proposal lagi. “Saya sengaja minta kamu dan Tommy membuat
proposal yang sama untuk menilai siapa di antara kalian yang punya ide lebih
baik. Proposal Tommy ini sudah masuk ke meja saya tiga hari yang lalu dan isinya
sama persis dengan punya kamu!”
Rahang
Jimmy jatuh ke lantai. Kok bisa? Bagaimana mungkin proposal yang dibuatnya bisa
sama persis dengan proposal Tommy? Proposal untuk event expo sebuah perusahaan
otomotif itu memang sudah selesai tiga hari lalu, namun ia sengaja menunda
menyerahkan ke Bos. Siapa tahu ada hal
lain yang bisa ditambahkan agar proposalnya lebih detail, pikirnya.
Namun
kejadian ini kelak menjadi jawaban akan sebuah tanda tanya yang tak pernah
dimengerti Jimmy.
***
“Tidak perlu jadi brilian untuk menjadi unggul, cukup
benamkan si brilian agar kamu lah yang terlihat unggul.”
Itu
prinsip hidup Tommy. Prinsip itu lah yang membuat dia jadi anak emas di
perusahaan tempatnya bekerja sekarang. Bos selalu puas dengan hasil
pekerjaannya, walaupun tidak pernah memujinya secara terang-terangan. Yang
penting dia bisa menerima bonus tahunan yang lumayan. Dan terakhir, Bos bilang
dia akan mengajukan namanya untuk promosi. Wow...dia akan naik jabatan jadi
Manager!!!
Tommy
beruntung dia satu kantor dengan Jimmy, karyawan yang luar biasa cerdas tapi
luar biasa naif. Bagi Tommy, itu adalah peluang emas yang tidak boleh
disia-siakan. Bukan salahnya kan kalau Jimmy terlalu lugu hingga mudah
dikibuli?
Sudah
sering Tommy melancarkan hasutan dan tipu daya sehingga Jimmy terlihat tidak
becus bekerja. Misalnya yang dia lakukan tempo hari, saat dia menghasut rekanan
yang sedang komplain. Tommy bilang, kompensasi yang diterima rekanan itu
seharusnya lebih banyak daripada solusi yang ditawarkan Jimmy. Rekanan itu
marah besar dan merasa ditipu. Ia langsung melaporkan pada Bos dan akibatnya Jimmy
kena damprat habis-habisan.
Tommy
terus saja menyebarkan tipu daya hingga Jimmy terlihat seperti pecundang di
kantornya. Puncaknya adalah tiga hari lalu, ketika ia mencuri ide proposal dari
komputer Jimmy dan menyerahkannya lebih dulu pada Bos. Tommy menelan senyum
kemenangannya ketika dilihatnya Jimmy keluar dari ruang Bos dengan wajah
tertunduk lesu.
“Ternyata
ide kita bisa sama persis ya, Tom?” bisik Jimmy lemah ketika ia melewati meja
kerja Tommy.
Tommy
mengernyitkan kening, pura-pura tak mengerti.
“Kau
mau aku menjelaskan pada Bos bahwa kesamaan ide itu hanya kebetulan, Jim?”
Tommy menawarkan diri ketika Jimmy selesai bercerita. Tentu saja tawarannya itu
hanya basa-basi.
Jimmy
menggeleng. Ia menghempaskan pantatnya di kursi kerjanya sendiri seraya
mengeluh, “Tadi Bos bilang, kalau dia
jadi aku, sudah kukemasi barang-barangku dan hengkang dari perusahaan ini.”
Jimmy tertunduk sambil mengurut-urut keningnya.
Ya,
jika Bos sudah bicara seperti itu, berarti hanya masalah waktu saja
keberlangsungan hidupnya di perusahaan ini.
***
Jimmy
sudah selesai membereskan meja kerjanya. Sisa-sisa barangnya sudah masuk dalam
kardus dan siap diangkat. Ini hari terakhir dia bekerja. Bos benar-benar
memberhentikannya dengan alasan dia tidak kompeten.
“Selamat
tinggal, Tommy. Semoga sukses ya,” Jimmy berpamitan sambil menjabat tangan
Tommy.
“Sama-sama
Jim. Semoga kamu juga begitu,” jawab Tommy.
“Oh
ya, katanya besok kamu mau meeting di
Singapura ya? Boleh aku minta tolong?” tanya Jimmy.
“Tentu
saja. Apa yang bisa kubantu?”
“Saudaraku
di Singapura ulang tahun. Aku hendak mengirimkan hadiah untuknya. Biar cepat,
aku ingin menitipkannya sama kamu, itu pun kalau kamu tidak keberatan, Tom,” pinta
Jimmy.
“Oke. Tidak masalah. Mana barangnya, Jim?”
“Itu.
Tidak berat kok. Kalau ditimbang paling tidak sampai setengah kilo,” Jimmy menunjuk
bungkusan persegi berwarna biru laut.
Tommy
mengangguk seraya memasukkan bungkusan itu dalam tasnya agar dia tidak lupa.
***
Tas
hitam milik Tommy berjalan sendiri di atas belt
conveyor, masuk melewati sebuah lorong kecil. Seorang petugas bandara sibuk
mengawasi sebuah monitor yang memperlihatkan isi tas-tas yang melewati lorong
kecil tersebut.
Tommy
sudah bersiap meraih tasnya di ujung lorong, namun seorang petugas mendahuluinya.
“Saya
periksa dulu, Pak” petugas itu berkata singkat.
Tommy
tidak membantah ketika petugas itu mulai membuka dan mengobok-obok isi tasnya.
Ia memekik ketika petugas itu mengambil bungkusan biru laut titipan Jimmy dan
merobek bungkusnya dengan kasar. “Jangan, Pak! Itu titipan teman saya!”
pekiknya.
“Oh
ya? Apakah kamu tahu jika temanmu menitipkan ini?!” sergah petugas bandara
galak. Ia menunjukkan isi bungkusan itu pada Tommy. Bubuk putih!
Tommy
berteriak-teriak panik ketika dua petugas merenggut lengannya dengan kasar dan
menyeretnya. “Bukan, Pak! Saya hanya dititipi! Bapak harus percaya sama saya!
Saya tidak bersalah!!!!”
Tapi
mana petugas-petugas itu peduli? Tommy sudah tertangkap basah dan menganggap
ocehan Tommy hanya alasan belaka.
***
Siapa
bilang Jimmy orang yang naif? Dia memang pendiam, tapi tidak selugu yang dikira
Tommy. Proposal yang sama itu yang membuatnya sadar jika Tommy sudah menikamnya
dari belakang. Dan karena itu dia harus kehilangan pekerjaan. Semua itu
gara-gara Tommy. Itu artinya dia harus diberi pelajaran!
Seperti
dugaannya, Tommy tak akan curiga ketika ia menitipkan bungkusan (yang disiapkannya
dengan menggunakan sarung tangan agar tidak meninggalkan sidik jari) untuk
dibawa ke Singapura. Bungkusan yang akan membuat Tommy kehilangan segalanya. Pembalasan
selalu lebih kejam, kan?
–selesai-
[1] Copas:
copy paste
Note: cerpen ini ditulis untuk Tugas 3 #KampusFiksi tentang plot, yakni membuat konflik yang tidak membosankan.
Sumpah tugas ini membuat saya mumet. Secara bosan atau enggak itu kan relatif banget.
Saya nggak tahu apakah konflik di cerpen ini tidak membosankan atau justru sebaliknya.
Pembaca yang bisa menilai.
So, silahkan menilai, mengkritik, memberi saran, membantai, mengobok-ngobok cerpen ini :)
Saya nggak tahu apakah konflik di cerpen ini tidak membosankan atau justru sebaliknya.
Pembaca yang bisa menilai.
So, silahkan menilai, mengkritik, memberi saran, membantai, mengobok-ngobok cerpen ini :)
Ada cerita yg endingnya bikin penasaran karena tidak tuntas, walau sebenarnya tidak tuntas pun bisa ditebak arahnya...akhir konflik dalam cerita ini memilih tuntas...dan memilih memuaskan keinginan pembacanya...👍👍
BalasHapus