Beberapa
sudut di Universitas itu masih terang benderang walau malam mulai beranjak tua.
Namun pemandangan seperti itu bukanlah hal yang aneh karena tiap malam memang banyak
mahasiswa yang tinggal di lab-lab Universitas untuk menyelesaikan penelitian
tugas akhir.
Salah
satu dari laboratorium itu memiliki papan persegi bertuliskan “Laboratorium
Kimia Organik” yang tergantung tepat di atas pintu masuk. Empat mahasiswa dan
dua mahasiswi tampak tekun bekerja di sana. Ada yang bekerja dengan laptop, ada
yang sedang menggoyang-goyangkan labu erlenmeyer,
ada yang dengan takzim mengawasi kolom destilasi, ada yang tengah menyiapkan
tabung-tabung reaksi, juga ada yang dengan kening mengernyit mempelajari
jurnal-jurnal.
“Hffft...!
Ini akan jadi malam yang panjang” keluh salah satu mahasiswa seraya menguap. Diraihnya
mug berisi kopi pahit favoritnya, lantas menghabiskan isinya dalam sekali
tenggak.
Rekannya
tersenyum melihat caranya meminum kopi. “Kamu minum kopi seperti minum air putih
saja, Ren” komentarnya.
Yang
dikomentari hanya diam. Lidahnya merasa kopinya malam ini tidak biasa. Tapi hal
itu tak diindahkannya hingga beberapa saat kemudian dia merasa sakit kepala yang
amat sangat. Tak tahan dengan rasa sakitnya, dia ambruk dengan mata terbelalak
dan pupil membesar.
“Ya
Tuhan! Renooo....!!!” rekan-rekannya berteriak panik. Mahasiswa dari
laboratorium lain mendengar teriakan itu dan berhamburan ke arah sumber
kehebohan. Kejadian yang terlalu tiba-tiba itu membuat mereka hanya bisa
berteriak panik, tak tahu apa yang harus dihadapi demi menolong rekannya yang
tengah meregang nyawa.
***
Empat
hari yang lalu, Doktor Adrian sudah menggerus biji-biji bunga Angel’s Trumpet, bunga putih berbentuk
terompet yang tumbuh berderet di jalan menuju perpustakaan Universitas. Ia
melarutkan hasil gerusan itu dengan
methyl alcohol untuk mengekstrak atropine
yang banyak terkandung dalam biji bunga yang punya nama latin Datura stramonium itu. Larutan itu ia
sembunyikan dalam sudut tersembunyi selama empat hari. Hari ini, sebagian besar
atropine pasti telah larut dalam methyl alcohol. Doktor lulusan Perancis
itu kini tinggal menguapkannya untuk mendapatkan butiran kristal atropine dalam cawan porselen. Tidak
banyak memang. Kalau ditimbang, mungkin hanya sekitar 50 miligram. Tapi itu sudah
lebih dari cukup untuk membuat seorang pria dewasa kehilangan nyawa.
Doktor
Adrian sudah memutuskan untuk melakukannya malam ini. Korbannya pun sudah sejak
lama ia tentukan.
Sebagai
kepala Laboratorium Kimia Organik yang sering menghabiskan waktu untuk
mendampingi mahasiswa-mahasiswanya melakukan penelitian, mudah baginya untuk
mengamati kebiasaan para mahasiswa di sana. Termasuk kebiasaan “si korban”.
Korbannya
itu, seperti halnya mahasiswa lain, selalu menginvetaris cangkir, piring dan
peralatan makan pribadi di laboratorium. Cangkir milik korban adalah sebuah mug
porselen putih bergambar hati dengan tutup berpola senada.
Sore
itu, ketika lab sedang sepi, Doktor Adrian diam-diam meletakkan 50 miligram
kristal atropine di dasar mug tanpa
diketahui siapa pun. Doktor termuda di Universitas itu tinggal berharap malam
ini “si korban” akan menggunakan mug itu untuk menyeduh kopi pahit, kopi
andalannya untuk mengusir kantuk.
Sepanjang
sore hingga malam, Doktor Adrian mengawasi labnya dengan cemas. Ia cemas jika ada
orang lain yang menggunakan mug itu tanpa sengaja. Ketika dilihatnya “si
korban” mengambil mug, menuangkan bubuk kopi hitam dan air panas, barulah ia
merasa lega. Seperti biasa, korbannya akan mendiamkan cangkirnya selama
beberapa menit lantas meminum habis isinya dalam sekali tenggak.
Senyum
merekah di bibir Doktor Adrian. Kebiasaan “si korban” untuk menghabiskan
kopinya sekali tenggak akan mempercepat kinerja atropine untuk mencabut nyawanya.
Doktor
Adrian memutuskan untuk meninggalkan laboratorium ketika dilihatnya “si korban”
sudah mulai mengaduk kopi lantas meletakkannya di meja, menunggu suhu kopi agak
dingin. Ia sudah berada di dalam mobil ketika beberapa mahasiswa yang masih
bekerja di lab-lab lain Universitas itu seketika berhamburan keluar demi
mendengar teriakan panik yang bersumber dari Laboratorium yang dipimpinnya.
Ia
menyeringai ketika beberapa mahasiswa itu meneriakkan nama korbannya. Reno. Rencananya
berhasil. Racun itu tepat sasaran. Segera dia menyalakan mesin mobil dan
memacunya membelah kegelapan malam.
***
“Jadi
kamu benar-benar berhubungan dengan Bella, Ren?” tanya Robert serius.
Reno
nyengir lebar. “Kalau iya, memangnya kenapa?”
“Gadis
itu kan pendiam dan kutu buku. Beda sekali dengan tipe gadis-gadis yang selama
ini kamu kencani. Lagipula penampilannya jauh dari standard minimal seleramu” Robert
mengangkat bahu.
Reno
terbahak. “Biarpun begitu, dia anak owner
perusahaan besar, Rob. Jika aku bisa dekat dengan Bella, itu akan mempermudah
aku untuk mendapatkan posisi di perusahaan ayahnya” lanjut Reno dengan senyum
culas.
Kening
Robert mengernyit. “Maksudmu? Kamu hanya mau memanfaatkannya?”
“Ada
ribuan alasan yang bisa dibuat untuk meninggalkan dia. Aku tinggal gunakan
salah satunya kelak jika karirku sudah mapan.” sebelah mata Reno berkedip
nakal.
“Sinting
kamu, Ren...” sergah Robert sambil meninju lengan Reno. Tentu saja tinjunya
tidak membuat Reno kesakitan melainkan terbahak semakin keras.
Ketika
itu keduanya tidak menyadari, jika sepasang telinga mendengar pembicaraan
mereka. Doktor Adrian menahan geram dengan tangan terkepal. “Kurang ajar sekali. Berani-beraninya dia
mempermainkan Bella!” batinnya. Terbayang di matanya, sosok Bella,
mahasiswa tingkat tiga yang kerap ditemuinya di Perpustakaan. Gadis berkacamata
tebal itu sering bertanya berbagai hal padanya. Bella memiliki rasa ingin tahu
yang besar dan daya analisa yang luar biasa. Itu sebabnya, ia dan Bella kerap
terlibat diskusi panjang.
Dengan
semakin bertambahnya frekuensi pertemuan dengana Bella, Doktor Adrian merasa
ada yang tidak biasa dengan perasaannya. Perasaan aneh itu belum pernah ia
rasakan selama ini. Tidak butuh waktu lama bagi Doktor Adrian untuk menyadari
bahwa untuk pertama kali dalam hidupnya, ia jatuh cinta, pada mahasiswi yang
belasan tahun lebih muda.
Yang
jadi masalah adalah, otak brilian doktor Adrian tidak lantas membuatnya dengan
mudah menyatakan perasaan pada gadis pujaan hatinya. Doktor Adrian masih
mencari saat yang tepat untuk itu hingga sore ini, perbincangan Robert dan Reno
membuyarkan segalanya.
“Ini tidak bisa dibiarkan!” rahang Doktor
Adrian mengeras. Kepala jeniusnya langsung berpikir keras. Ia tak mungkin
memberi tahu Bella apa yang baru saja didengarnya. Gadis itu tak akan semudah
itu percaya.
Doktor
Adrian berjalan ke arah perpustakaan seraya berpikir keras. Sebuah rencana
seketika muncul di kepalanya ketika melihat deretan bunga Angel’s Trumpet di pintu masuk perpustakaan. Tak banyak yang tahu
jika seluruh bagian bunga itu mengandung atropine,
racun yang bisa membahayakan nyawa manuasia hanya dengan dosis 16 miligram
saja.
Ia
menyeringai ketika teringat mug porselen milik Reno yang selalu tertutup. Itu
akan memudahkannya menempatkan racun di dalamnya tanpa disadari sang pemilik. Seringainya
kian lebar ketika ingat kebiasaan Reno meminum kopi pahit. Itu akan sangat
membantu menyamarkan rasa atropine
yang agak pahit.
Bayangan
wajah Bella menari-nari dalam pikirannya ketika Doktor Adrian melangkah
perlahan mendekati salah satu pohon Angel’s
Trumpet.
-selesai-
Note: cerpen ini tugas 2 pasca Kampus Fiksi; membuat karakter villain yang bisa bikin pembaca jatuh cinta. Waktu dapat tugas ini, yang kepikir cuman satu karakter. Snape. Semakin dipikir cuma Snape yang kepikiran. Akhirnya terciptalah Doktor Adrian, tokoh villain yang (hopefully) lovable. Hehe..
Note: cerpen ini tugas 2 pasca Kampus Fiksi; membuat karakter villain yang bisa bikin pembaca jatuh cinta. Waktu dapat tugas ini, yang kepikir cuman satu karakter. Snape. Semakin dipikir cuma Snape yang kepikiran. Akhirnya terciptalah Doktor Adrian, tokoh villain yang (hopefully) lovable. Hehe..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.