“Akhirnya sampai juga” kata Pak Putu, driver mobil rental yang kusewa dari
Bandara Ngurah Rai empat jam yang lalu.
Aku
menghembuskan napas lega, demikian juga Pak Putu. Perjalanan ke tempat ini bukanlah hal yang mudah. Kami harus melewati
jalan pegunungan yang sempit, naik turun dan berkelok-kelok. Ini kali pertama
aku berkendara di sebuah lembah yang diapit kokohnya pegunungan hijau di sisi
kanan dan kemilau air danau di sisi kiri. Menurut Pak Putu, jalan ini beberapa
tahun lalu belum ada, sehingga orang-orang harus membelah danau dengan boat jika ingin sampai ke mari.
Aku
melangkah keluar dari mobil dan langsung disergap oleh hawa sejuk khas
pegunungan. Tempat ini sungguh luar biasa!, batinku ketika
mendongak ke atas dan melihat kabut yang mulai turun dari puncak gunung. Aku
sedang berada di sebuah desa terpencil di balik gunung, tepat di bibir Danau
Batur. Entah orang macam apa yang dulu
memulai peradaban di tempat ini. Jika jalan darat yang kami lewati tadi baru
ada beberapa tahun terakhir, lantas bagaimana para founding father desa ini dulu menuju ke mari? Apakah dengan perahu?
Atau dengan membabat jalan setapak di perut gunung? Untuk apa mereka membangun
sebuah desa di tempat terpencil yang terbungkus misteri ini?
Aku
membalik badan ke arah danau dan kian takjub ketika menyadari bahwa desa ini
tepat menghadap Gunung Batur yang berdiri angkuh di seberang sana. Sayangnya, aku
ke sini bukan demi melancong. Jika bukan karena Tante Wita yang kini sedang
sekarat, aku mungkin tak kan pernah ke mari.
Tante
Wita adalah adik ipar Mama. Suaminya, Om Widodo, adalah adik kandung Mama dan
sudah dua tahun lalu meninggal. Saat ini, Tante Wita sedang terbaring tak
sadarkan diri di rumah sakit di Jakarta. Dokter bilang, sudah tidak ada lagi
yang bisa dilakukan selain berdoa agar penderitaan Tante segera berakhir. Tante
Wita tidak punya anak, tapi keponakannya banyak dan aku adalah keponakan yang
paling dekat dengannya. Setiap hari, kami bergantian menjaganya.
Saat
giliranku menjaga Tante, ia sempat terjaga lantas berbisik lemah dan
terpatah-patah; “Te...ru...nyan di Bang...li to...long ca...ri I...Gus...ti...Ngu...rah...Astina.
Sam...paikan a...ku mo...honnn ma...af....” nafasnya tersengal sebelum kembali
tak sadarkan diri. Aku mencatat perkataan Tante di selembar kertas dan
menunjukkannya pada Mama.
Mama,
yang ternyata mengerti maksud tulisan itu lantas menjelaskan semuanya tentang
masa lalu Tante Wita. Nama asli Tante adalah Ni Kadek Dwiyatirta. Dia lahir dan
besar di Desa Terunyan[1],
Kabupaten Bangli, Provinsi Bali.
Adalah
cinta, hal klise namun kerap membuat rumit segala urusan, yang akhirnya
membuatnya memilih untuk mengikuti pujaan hatinya ke pulau Jawa. Ia mengabaikan
orang tuanya yang tidak setuju jika ia menikah dengan orang yang berbeda suku. I
Gusti Ngurah Astina adalah nama ayah Tante Wita. Beliau mengancam tidak akan
mengakui Tante Wita sebagai anaknya lagi. Namun Tante Wita sudah memilih untuk
membuang nama Ni Kadek Dwiyatirta dan memulai hidup baru di Jakarta. Sekarang,
ketika ia merasa ajalnya sudah dekat, ia ingin untuk terakhir kalinya memohon
ampun pada ayahandanya atas keputusannya di masa lalu.
Setelah
rapat singkat, keluarga besar kami sepakat, jika tugas menyampaikan pesan itu
diserahkan kepadaku, keponakan laki-laki tertua Tante Wita.
Begitulah
awal mula perjalananku ke Bali mencari Desa Terunyan, desa misterius dengan
deretan tempat sembahyang khas Hindu yang dibangun di sepanjang jalan masuk menuju
desa.
“Selamat
sore. Adi[2]
hendak ke makam?” sapa seorang lelaki setengah baya.
“Oh...tidak
Pak” aku gelagapan sambil mencari notes dalam ranselku. “Saya mencari Bapak...I
Gusti Ngurah Astina. Apakah Bapak kenal beliau?”.
Lelaki
itu mengernyit. “Ada keperluan apa Adi
mencari Pak Ngurah?”
“Saya
hendak menyampaikan pesan dari putrinya, Ibu Ni Kadek Dwiyatirta” jawabku
lantas menjelaskan tujuanku datang ke mari.
Lelaki
itu manggut-manggut. “Iya ya, saya kenal Dwiyatirta”
“Kalau
begitu, Bapak bisa tunjukkan di mana rumah Pak Ngurah?”
Lelaki
itu menghela napas. “Bisa saja, Adi.
Tapi beliau sekarang tinggal sana” telunjukan mengarah ke sebuah tempat di
balik bebatuan dan pepohonan yang menjorok ke danau. “Kita harus naik perahu. Mari
Bapak antar sekarang.”
Leherku
memanjang mengikuti arah yang ditunjukkan lelaki yang ramah itu. Apakah di balik batu itu juga ada
perkampungan?, pikirku.
“Ayo
kita berangkat sekarang supaya Adi
bisa segera berjumpa dengan Pak Ngurah” jawabnya sambil mulai melangkah ke arah
bibir danau.
Aku
mengikuti langkah lelaki itu menuju tempat beberapa perahu tertambat. Sesaat
aku ragu melihat perahu kayu tua yang tampak ringkih dengan cat yang sudah
mengelupas. Tapi aku tak punya pilihan lain, jadi mau tak mau aku melangkahkan
kaki memasuki perahu tradisional yang langsung bergoyang-goyang begitu satu
kakiku melangkah masuk.
Lelaki
itu (yang belakangan kutahu bernama Pak Wayan), mulai mendayung. Butuh sekitar dua
puluh menit ketika kami akhirnya merapat di sebuah dermaga kayu.
Tempat macam apa ini? batinku ketika berjalan melewati dua gapura kecil yang
masing-masing sisinya “dihiasi” sebuah tengkorak manusia. Ya betul, aku tidak
salah ketik, yang kulihat itu benar-benar tengkorak manusia!
Ternyata
tengkorak yang kulihat itu bukanlah satu-satunya. Aku segera melihat puluhan
tengkorak lain yang disusun rapi di atas batu yang mulai berlumut ketika aku masih
berdiri di pintu masuk. Sebuah pohon raksasa yang berdiri tegak tak jauh dari
tempatku berdiri langsung menarik perhatianku. Bentuknya aneh, tidak seperti
lazimnya pohon yang memiliki sebuah batang yang tegak. Batang pohon ini terdiri
dari puluhan batang-batang aneka ukuran yang saling menyatu. Tidak jelas apakah
itu memang benar batang pohon ataukah cabang-cabang pohon yang mengarah
vertikal hingga menembus tanah. Yang jelas, di mataku, pohon itu tampak
misterius. Angker.
“Ini
pohon Terumenyan, Adi. Teru artinya
pohon. Menyan artinya wangi. Dulu pohon ini berbau wangi. Tapi sekarang sudah
saling menetralkan dengan bau jenazah. Jadi pohon ini sudah tidak wangi dan
jenazah pun sudah tidak berbau” jelas Pak Wayan tanpa kuminta.
“Eh,
jenazah?” aku ternganga.
“Ya,
di sebelah sana” Pak Wayan menunjuk ke arah bahu kiriku.
Aku
menoleh dan melihat deretan anyaman bambu berbentuk prisma segitiga.
“Ini
adalah makam suci Desa Terunyan. Hanya orang yang sudah menikah dan meninggal
secara wajar saja yang boleh dimakamkan di sini” lanjut Pak Wayan.
Astaga! Jadi itu sebabnya banyak tengkorak manusia di
sini.
“Pak
Ngurah ada di sebelah sana” Pak Wayan menunjuk salah satu anyaman bambu
berbentuk segitiga. “Beliau baru seminggu yang lalu meninggal.”
Ternyata
anyaman bambu itu adalah cungkup-cungkup berisi jenazah. Kakiku setengah
gemetar menghampiri deretan almarhum yang diletakkan begitu saja dan hanya ditutupi
selembar kain. Kini aku tepat berada di depan jenazah Pak Ngurah. Aku bahkan
masih bisa melihat wajahnya yang belum terlalu rusak di sela-sela anyaman
bambu.
“Cungkup-cungkup
bambu itu dibuat untuk melindungi jenazah dari binatang buas. Maklum, tempat
ini kan dekat dengan hutan” jelas Pak Wayan. “Sayang sekali. Seandainya Adi seminggu lebih cepat datang ke mari,
mungkin masih sempat bertemu beliau. Beliau sebenarnya juga sangat ingin
mendengar kabar putrinya” katanya lagi.
Aku
tergugu mengagumi tradisi arkeologi yang masih ada di jaman modern seperti ini.
Aku merasa seperti sedang mengikuti pengambilan dokumentasi untuk majalah National Geographic.
Aku
berjingkat kaget ketika ponselku bergetar. Dari Mama.
“Dimas,
Tante Wita baru saja meninggal. Bagaimana di sana? Sudah ketemu?” Mama berkata
setengah terisak.
Aku
terdiam sejenak sebelum menjawab; “Sudah Ma, tapi sepertinya nanti Tante Wita yang akan
menyampaikan permohonan maafnya sendiri...”
-end-
Note: Cerpen ini adalah tugas 1 pasca Kampus Fiksi; membuat setting 2 tempat yang berbeda.
Mbak, ada typo---> Ternyata anyaman bambu itu adalah cungkup-cungkup berisi jenazah. Kakiku setengah gemetar menghampiri deretan almarhum yang diletakkan begitu saja dan hanya ditutupi selembar kain. Kini aku tepat berada di depan jenazah Pak Wayan. Aku bahkan masih bisa melihat wajahnya yang belum terlalu rusak di sela-sela anyaman bambu.
BalasHapusIni kan harusnya jenazah Pak Ngurah, BUKAN Pak Wayan
Tapiii, yang jelasss, ini MANTAP mbak :-)