Cerpen ini ditulis dalam rangka belajar bikin cerpen gaya koran Minggu dan rencananya mau diikutkan seleksi cerpen pilihan UNSA 2014. Happy reading ^-^
Anak-Anak Ayam
Dulu
ibuku sering bercerita tentang surga. Dia bilang, surga adalah tempat yang sangat
mempesona hingga tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Sungai-sungai yang
airnya sebening kaca (bahkan katanya ada pula yang dialiri susu), pepohonan
yang rindang, juga padang bunga yang luar biasa cantik. Kata ibu, di sana kita
bisa dapatkan apa pun yang kita mau. Tinggal membatin dalam hati, misalnya “aku ingin jeruk”, maka cling!, jeruk nan segar dan manis sudah
tersedia bahkan sebelum mata sempat berkedip. Pokoknya, masih menurut ibu, di
surga itu enak, tidak ada sakit, tidak ada sedih, tidak ada lapar.
Ayahku
juga sering bercerita tentang surga, walaupun tidak sesering ibu karena ia
harus bekerja dari pagi hingga sore. Katanya, surga hanya diperuntukkan untuk
orang-orang yang baik. Di sana tidak ada orang jahat, melainkan
bidadari-bidadari yang cantik dan anggun. Sayangnya ayah keburu meninggal
sebelum sempat mengatakan bagaimana caranya agar bisa menjadi bidadari penghuni
surga.
Dan
sepeninggal ayah, ibu pun berhenti bercerita.
Lambat
laun, gambaran surga di kepalaku memudar, tergerus aneka tragedi pasca ayah
tiada. Hingga suatu hari, aku menemukan tempat yang membuatku ingat akan cerita
masa kecilku dulu.
Tempat
yang kumaksud ini memang tidak persis sama dengan cerita ibu. Di sini mengalir
sungai, tapi airnya coklat dengan akumulasi sampah di sana-sini. Di waktu-waktu
tertentu, sungai ini memancarkan bau yang menyengat. Di sini tidak ada
pohon-pohon yang rindang melainkan deretan bangunan semi permanen yang dibangun
seadanya. Tidak ada padang bunga yang mempesona melainkan tumpukan kaleng dan
plastik bekas karena sebagian besar penduduk di sini bekerja sebagai pemulung.
Tapi
seandainya ibu masih hidup, aku akan ceritakan padanya betapa tempat ini
membuatku nyaman walaupun jika aku mengangankan sesuatu, tidak lantas cling!, sesuatu itu langsung tersedia di
depan mata. Perasaan betah dan bahagia menyesaki seluruh pori-pori kulit dan
pembuluh darahku ketika aku sedang berada di kompleks pemulung ini. Di tempat
ini aku tak pernah merasakan sakit, perih, apalagi sedih. Duhai Ibu, seperti
ini kah rasanya di surga?
Silahkan
tertawa, atau tersenyum juga boleh. Kalian pasti berpikir aku aneh karena
menganggap deretan bangunan semi permanen di bantaran Kali Mas ini adalah
surga. Aku maklum jika kalian tidak mengerti jalan pikiranku, sebab kalian memang
tidak menjalani hidup seperti aku.
Tadinya
aku juga seperti kalian. Hidupku sempurna. Lahir dari pasangan suami istri yang
saling mencintai. Aku memiliki ayah yang bertanggung jawab, juga ibu yang dengan
kecintaannya mengurus kami berdua. Kami bertiga hidup bahagia walaupun
sederhana. Tapi kecelakaan kerja yang dialami ayah merenggut segalanya.
Kejadian yang mengantarkan tulang punggung keluarga kami ke alam baka itu
adalah titik pangkal menghilangnya kata “pilihan”
dalam kamus kehidupan kami.
“Assalammualaikuuummm....!!!”,
suara sapaan ceria menghentikan lamunanku.
“Walaikumsalaammm...!”,
sahutku tak kalah ceria. Senyumku mengembang menyambut anak-anak yang
berbondong-bondong mendatangi Musholla tempatku menunggu sejak sebelum adzan Ashar
berkumandang. Tubuh mereka bau sabun. Beberapa dari mereka bedaknya tampak coreng
moreng. “Yang belum cuci kaki, tidak boleh masuk”, lanjutku sambil
memperhatikan kaki-kaki kurus mereka.
Beberapa
anak yang merasa belum cuci kaki urung memasuki Musholla. Dengan wajah
malu-malu, mereka menuju tempat wudhu untuk mencuci kaki terlebih dulu. Tak
lama kemudian, tak kurang dari selusin anak-anak sudah duduk di hadapanku.
Senyum merekah di wajah polos mereka, wajah mereka antusias seperti menunggu
seorang tukang sulap mengayunkan tongkatnya.
“Jadi,
siapa yang sudah mengerjakan PR?”, tanyaku.
Mereka
beramai-ramai mengangkat tangan. Teriakan “Saya Kak!” bersahut-sahutan.
“Sip...yang
sudah mengerjakan PR nanti boleh mendengarkan Kakak mendongeng. Agil sudah
mengerjakan PR?”, tanyaku pada seorang bocah sembilan tahunan yang sedari tadi
duduk diam di pojokan. Matanya yang sebening telaga menatapku sayu. Ia
mengangguk pelan.
Aku
mengacungkan dua ibu jariku ke arahnya. “Nah, sekarang kita mau belajar apa
dulu? Matematika? Ilmu Alam? Bahasa?”
Lagi-lagi
suara celotehan anak-anak terdengar bersahutan. Musholla mungil ini jadi
seperti kandang ayam yang riuh rendah oleh suara ceriap anak-anak ayam yang mengerubungi
induknya. “Matematika Kak”. “Jangan, Bahasa Inggris saja dulu”. “Aku mau
pelajaran Penjas[1]
saja Kak”.
“Oke-oke...satu-satu
yaaa!!!”, aku menyesal telah bertanya. Seharusnya aku tahu, pertanyaanku tadi
pasti mengundang keributan karena mereka pasti berebut untuk belajar mata pelajaran
yang mereka sukai.
Sejam
kemudian, Musholla mungil ini mulai hening. Hanya terdengar bisik-bisik di
sana-sini. Anak-anak ini mulai asyik menekuni pelajarannya. Ada yang
mengerjakan PR, membaca, menggambar, ada juga yang asyik berdiskusi dengan
seorang mahasiswi tingkat akhir yang selalu menghabiskan waktu sorenya di
Musholla ini. Ya, mahasiswi itu tak lain adalah aku.
Panjang
ceritanya bagaimana kira-kira setahun yang lalu aku bisa berada di sini, tapi
itu sama sekali tidak penting untuk diceritakan. Yang penting, aku merasa sangat
berterima kasih pada Pak Mulyadi, ketua RT di sini yang memperbolehkan kami
belajar di Musholla tiap sore. Berkat beliau, aku bisa membantu anak-anak ini
mengerjakan PR, mengajari beberapa pelajaran sekolah yang belum mereka mengerti
serta mendongeng sesekali. Di Musholla mungil ini, tiap sore aku tak ubahnya
menjadi induk ayam yang dikelilingi anak-anaknya. Tidakkah itu terdengar
menyenangkan?
“Jadi,
apa saja empat sehat lima sempurna itu?”, tanyaku pada Aziza, bocah berkulit
coklat matang dan berambut merah. Dia baru kelas tiga SD.
“Ngg...karbohidrat,
lauk pauk, buah, sayur dan...susu”
“Iya
betul”
“Berarti
aku belum makan 4 sehat 5 sempurna Kak. Soalnya di rumah tidak ada susu. Adanya
kopi. Ayah suka minum kopi”
Kopi?
Kata itu seolah menguak kenangan lama yang memilukan, tepat setelah
meninggalnya ayah.
Kepergian
ayah seharusnya tidak menjadi musibah yang mengancam kelangsungan hidupku dan
ibu, karena kami menerima uang asuransi jiwa yang cukup lumayan. Setidaknya lumayan
untuk ibu bisa membuka warung kecil-kecilan agar kami tetap bertahan hidup.
Tapi ternyata, kota ini bisa lebih kejam ketimbang hutan rimba.
Ibu
ditipu. Seseorang mengatakan padanya jika uangnya diinvestasikan, maka setiap
bulan ibu akan menerima sekian dan sekian. Seharusnya ibu tahu, sesuatu yang too good to be true itu harus dipikir
ulang. Namun ibu kepepet. Saat itu dia sendiri sedang hamil dan aku masih
sangat kecil. Ibu tak punya keahlian apa-apa kecuali mengurus rumah dan
memasak. Wajar jika tawaran orang itu akhirnya membuat ibu berpikir pendek.
Akhirnya
ibu memutuskan untuk menyerahkan seluruh uang pesangon dan asuransi jiwa ayah.
Dan tentu saja, seperti yang bisa kalian duga, uang sekian dan sekian yang
dijanjikan tak pernah muncul bersamaan dengan raibnya orang yang tega menipu
Ibu.
Ibu
stress. Dia keguguran. Bersamaan dengan itu, kesehatannya menurun. Ibu
menyambung hidup kami berdua dengan menjadi tukang cuci baju tetangga. Tahu
sendiri kan berapa upah buruh cuci? Pastinya tidak sebanding dengan biaya hidup
di kota Metropolitan yang terus melambung seiring berjalannya waktu.
Ibu
berhutang. Gali lubang tutup lubang. Demikian terus hingga aku beranjak remaja.
Ibu mulai sakit-sakitan. Tapi tekad Ibu dan tekadku sama. Aku tidak boleh putus
sekolah. Ibu tahu, hanya sekolah dan pendidikan lah harapan untuk bisa mengubah
hidup kami. Tapi apa daya? Uang sekolahku menunggak. Bersamaan dengan itu, Ibu
yang sudah menanggung derita sekian lama akhirnya benar-benar drop. Ia tak lagi
bisa beraktivitas layaknya orang normal.
Tak
ada jalan lain. Aku harus bekerja. Jika tidak, aku terpaksa putus sekolah dan tak
bisa membeli obat untuk ibu. Tapi di usia yang sedemikian belia, aku bingung
harus bekerja apa. Saat itulah seorang tetangga menawariku sebuah pekerjaan.
Menjadi pramusaji di sebuah warung kopi. Aku menyanggupi dengan senang hati
tentu saja. Sebagai ABG berumur 16 tahun, aku tidak melihat pilihan lain selain
yang ditawarkan tetanggaku. Ternyata, warung kopi itu bukan warung kopi biasa,
melainkan warung kopi remang-remang. Dan aku bukan pramusaji kopi biasa, melainkan
pramusaji kopi pangku!
Kopi
pangku. Tidakkah frasa itu terdengar lucu? Sebenarnya jenis kopi yang disajikan
di warung ini biasa saja. Hanya cara menyajikannya yang tidak biasa. Aku harus
mengaduk kopi sambil duduk di pangkuan para tamu, yang semuanya laki-laki tentu.
Sambil duduk itu lah, mereka bebas menggerayangi bagian-bagian tubuhku. Di
suatu malam, kira-kira setelah setahun lamanya aku bekerja di sana, salah satu
tamu mengajakku masuk ke dalam sebuah bilik yang hanya ditutup tirai. Di
sanalah semuanya bermula, ketika aku mulai beranggapan bumi yang kupijak ini
adalah neraka.
Ya,
untuk satu hal ini, aku tidak akan pernah melupakan cerita ibu. Ibu bilang, neraka
adalah tempat di mana kita disiksa, disakiti, dicabik-cabik. Neraka adalah
tempat bagi mereka yang banyak berbuat dosa. Dan aku adalah orang pertama yang
memastikan bahwa cerita ibu memang benar.
Tapi
seperti yang kubilang, aku tidak punya pilihan lain selain terus melakoni hidup
bertabur dosa semacam ini. Kenyataannya, aku bisa terus sekolah dan membeli
obat yang bisa sedikit memperpanjang umur ibu. Semua itu karena aku bertahan di
neraka bertajuk warung kopi pangku, sebuah tempat prostitusi terselubung di pinggiran
selatan kota Surabaya. Tak ada yang tahu jika tiap malam aku menjerit tanpa
suara, menahan dera yang menyiksa tidak hanya ragaku, tapi juga batinku.
“Kakaaak...Agil
pingsan...!!!”, jerit beberapa anak mengoyak lamunanku. Aku terpekik cemas
melihat tubuh Agil yang kurus sudah terbaring telentang di lantai dengan wajah
pucat seperti mayat.
“Agil!
Masya Allah..!!!”, tubuh Agil panas luar biasa. Damn! Seharusnya aku sadar, diamnya anak yang memang pendiam itu
hari ini berbeda dengan biasanya. Segumpal rasa bersalah menyesakkan dada.
Kenapa aku tidak menyadarinya sejak tadi, bahwa bibir Agil tidak lagi berwarna
merah muda melainkan mengarah ke ungu? Kenapa aku tadi tidak menyempatkan diri
untuk meraba dahi dan mengelus kepalanya seperti yang biasa kulakukan?
Dengan
sigap, aku segera membopong tubuh mungil Agil dan memasukkannya ke dalam Honda
Jazz metalikku. Tak sampai lima belas menit, tubuh mungil Agil sudah berpindah
di ruang Unit Gawat Darurat. Dokter dan tenaga medis di sana segera menangani
Agil tanpa prosedur berbelit-belit.
Tes
darah. Agil terinfeksi Salmonella typhosa. Kata dokter, Agil harus diopname.
Aku langsung setuju. Agil tak mungkin dirawat di kompleks bangunan semi
permanen di bantaran Kali Mas. Bukan apa-apa. Aku tahu, di rumahnya tidak ada
bapak dan ibu. Nyawa bapaknya berakhir di tangan massa karena mencuri sepeda
motor di kampung sebelah. Ibunya sedang dipenjara karena ketahuan mengutil
beberapa potong pakaian di sebuah Departemen
Store. Agil dititipkan di tetangga yang mengasuhnya sekenanya. Bukan karena
tak suka, tapi karena keterbatasan penghasilan yang sulit dibagi dengan anak-anak
kandung sang tetangga yang jumlahnya cukup berbilang. Tak mungkin menyerahkan
perawatan Agil yang sedang terkena tipus pada keluarga yang waktunya sudah
habis dipakai mengais beberapa puluh ribu rupiah tiap hari. Di rumah sakit ini,
perawatan Agil akan lebih terjamin.
Aku
memberikan sejumlah uang pada rumah sakit sebagai jaminan agar Agil mendapat
perawatan kelas satu. “Saya akan tanggung semua biayanya”, pesanku pada bagian
administrasi.
“Maaf,
Mbak ini apanya pasien?”, tanya petugas administrasi yang tak bisa menahan rasa
ingin tahunya, bagaimana anak kecil berpakaian lusuh itu bisa bersamaku yang
jelas-jelas bukan saudara atau orang tuanya.
“Saya
gurunya”, jawabku singkat. Bahasa tubuhku menunjukkan aku tidak ingin
ditanya-tanya lebih jauh. Dia pun tersenyum dan mengangguk sambil mengetikkan
sesuatu di komputer. Mencetak sesuatu dan memberikan hasil cetaknya padaku.
“Silahkan
Mbak. Kamar Adik Agil sudah siap”, katanya masih dengan senyum ramah yang tidak
dibuat-buat. Aku bertanya-tanya dalam hati, masih bisa kah dia tersenyum
semanis itu seandainya yang mengantar Agil ke rumah sakit ini adalah Bu Hindun,
sang tetangga beranak lima yang dititipi untuk mengasuh Agil?
Tak
lama kemudian, Agil sudah di kamar perawatan. Selang infus sudah terpasang,
mengalirkan cairan yang perlahan mengembalikan rona kehidupan di wajah
pucatnya. Dia tersenyum lemah.
Percayalah,
siapa pun yang melihat Agil saat itu, pasti ingin rasanya berbaring di
sebelahnya dan memeluknya. Aku hampir saja melakukan itu, berbaring di
sebelahnya, jika saja ponselku tidak bergetar. Sebuah pesan Whatsapp.
Kamu tidak lupa janji kita malam ini kan?. Dari Andre.
Duh! Aku lupa kalau ada janji.
“Kakak
pergi dulu ya. Jangan khawatir, ada kakak-kakak suster yang jagain Agil. Nanti
Kakak kembali lagi”, bisikku lembut sambil mengusap anak-anak rambutnya.
Lewat
tengah malam di hari yang sama, selepas bertemu Andre, aku kembali ke rumah
sakit demi menepati janjiku pada Agil dan melakukan hal yang tadi sempat tertunda;
memeluk salah satu anak ayamku yang bermata telaga.
“Kakak...terima
kasih ya”, bisik Agil ketika dia merasa tubuhnya kudekap. “Kakak...seperti Ibu
Bidadari...”
Bidadari?
Agil bilang Bidadari? Bukankah Bidadari adalah penghuni surga seperti yang dulu
pernah dibilang ayah?
Air
mataku menetes. Aku terisak tanpa suara seperti dulu aku juga sering menjerit
tanpa suara ketika menghabiskan malam-malamku di warung kopi pangku.
Aku
bukan Bidadari. Seandainya Agil tahu apa yang pernah dilakukan perempuan yang
dia sebut Bidadari ini di masa lalu. Seandainya dia tahu bahwa aku sama sekali
tidak memenuhi separuh saja dari kualifikasi para penghuni surga, masihkah dia
menyebutku Ibu Bidadari?
---
Beberapa
hari kemudian Agil sudah diijinkan pulang. Kehidupan kami pun berjalan normal. Tiap
sore seusai kuliah, aku kembali menanti mereka di Musholla mungil ini untuk
belajar bersama.
“Sampai
ketemu besok ya....”, pamitku sambil melambai pada ayam-ayam kecilku. Agil juga
ikut melambai. Ia masih pendiam seperti sebelumnya. Tapi setidaknya sekarang
dia sudah tidak pucat lagi. Lihatlah pipinya yang kemerahan dan bibirnya yang
merona.
Langit
malam sudah benar-benar menelan sisa-sisa cahaya sang surya. Aku memacu Honda
Jazzku membelah jantung kota Surabaya, menuju sebuah kafe yang sudah dipenuhi
musik yang berdentam-dentam. Ini malam minggu. Tempat ini sungguh ramai. Tapi
aneh, di tempat seramai ini, aku justru merasa sangat sendiri.
Minumanku
baru saja diantar ketika aku merasa seseorang menyentuh bahuku.
“Aduh,
kenapa kamu pakai baju seperti ini sayang? Tapi tak apa lah. Kamu tetap
kelihatan aduhai kok”, ujar pria berusia empat puluhan yang langsung mengecup
sudut bibirku.
“Saya
baru dari kampus Pak. Lupa bawa baju ganti”, jawabku pendek-pendek. Setengah
mati kupaksakan tersenyum.
“Sudah
kubilang jangan panggil Pak. Panggil Mas saja”, balasnya genit. “Saya sudah
bilang tak mengapa. Lagi pula, yang saya mau adalah obrolan asyik sama kamu dan
itumu”, pandangannya mengarah pada dua pahaku yang berbalut celana jeans.
Memuakkan.
“Saya
sudah booking kamar hotel terbaik di
kota ini. Tahukah kamu kalau saya sudah lama menunggu hari ini? Saya kangen
sekali sama kamu. Ngobrol sama kamu jauh lebih mengasyikkan ketimbang ngobrol
sama kolega-kolega saya. By the way,
kamu susah sekali dihubungi akhir-akhir ini. Semoga saja karena sibuk kuliah
ya. Kalau tidak, saya bisa benar-benar cemburu nih”, cerocosnya.
Aku
hanya mengulum senyum. Seandainya saja dia tahu, beberapa hari terakhir aku
sudah bermaksud menghilang. Meninggalkan kehidupan malam yang sudah sejak
remaja kulakoni, mulai dari warung remang-remang sebagai pramusaji kopi pangku
dan kini menjadi ayam kampus!
Hidupku
memang berubah. Tidak lagi bekerja di warung kopi pangku, melainkan di night club berkelas. Tidak lagi mengais
beberapa lembar uang puluhan ribu dari bilik sempit yang hanya ditutup tirai,
melainkan di kamar-kamar mewah hotel berbintang yang kemudian diakhiri dengan
seamplop gemuk uang ratusan ribu.
Sebagai
ayam kampus, penghasilanku berkali-kali lipat dibanding saat hanya menjadi
pramusaji di warung kopi. Pelangganku juga bukan orang-orang kebanyakan. Andre
adalah owner perusahaan konsultan.
Sementara yang saat ini bersamaku adalah Heru, salah satu anggota dewan yang
terhormat. Mereka dan sederet nama pria lainnya sama-sama senang mencari
kehangatan di dada kupu-kupu malam sepertiku.
Sungguh,
berkali-kali aku berpikiran untuk berhenti. Tapi berkali-kali juga aku
memikirkan mereka, anak-anak yang kutemui di Musholla tiap sore. Anak-anak kaum
marjinal yang tak pernah tersentuh program sekolah murah apalagi pendidikan gratis
di kota besar yang sekilas tampak megah dengan gedung-gedung bertingkatnya. Kota
besar yang sepintas menawarkan kemudahan menjalani hidup tapi nyatanya bisa
lebih menyiksa daripada hidup di desa terpencil.
Jangan
tanyakan padaku soal dosa dan neraka. Aku sudah sangat memahami keduanya sejak
masih remaja. Itu lah yang membuatku berkali-kali ingin berhenti. Namun di saat
yang sama aku ingin berhenti, aku teringat akan kelangsungan sekolah mereka.
Jika aku berhenti siapa yang membiayai sekolah mereka? Jika tak ada yang
membiayai mereka sekolah, mereka akan sama seperti aku dulu, hidup tanpa punya
banyak pilihan dan terjungkal dalam neraka dunia.
Malam
ini aku memantapkan hati. Aku tidak bisa berhenti. Mungkin nanti, tapi yang
jelas tidak sekarang.
Aku
membiarkan Heru merengkuh bahuku, membimbingku masuk ke dalam mobilnya yang
akan membawa kami ke hotel berbintang, tempat kami menghabiskan sisa malam ini.
Dari kejauhan, aku bisa melihat gemerlap lampu hotel berbintang yang bagiku tak
lebih dari sebuah neraka, tempat aku disiksa, disakiti dan dicabik-cabik.
Tempat yang bagiku adalah satu-satunya pilihan agar kelak anak-anak ayamku
tidak tumbuh menjadi ayam sepertiku.
-selesai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.