Walau pada akhirnya dinyatakan tidak menang, saya tetap senang karena bisa menyelesaikan proyek pribadi tentang manusia paling istimewa sepanjang sejarah; Rasulullah Muhammad SAW.
Nah, karena sudah terlanjur ditulis, sayang rasanya jika hanya mengendap di laptop. So, saya akan mempostingnya di blog ini secara bertahap. Siapa tahu, akan ada satu atau dua atau berapa pun pembaca yang bisa memetik manfaat. Aminn....
Keseluruhan tulisan ini nantinya akan berada dalam satu label/kategori (The Real Idol). Tak jadi masalah jika membacanya secara acak atau berurutan. Silahkan lihat Daftar Isi untuk melihat keseluruhan bagian "The Real Idol" untuk memilih bagian-bagian yang lebih menarik untuk dibaca.
Selamat membaca dan selamat jatuh cinta pada manusia teristimewa, kekasih Allah, Muhammad bin Abdullah :)
---
Ujian Dari Seorang Pendeta Yahudi
Suatu
ketika seorang Yahudi bernama Zaid berniat untuk mengenal Nabi Muhammad. Saat
itu, Rasulullah sedang keluar untuk berdagang bersama Ali bin Abi Thalib ketika
tiba-tiba datang seorang pria yang mendatangi mereka. Dengan tergopoh-gopoh,
dia menyampaikan maksud kedatangannya.
“Wahai
Rasulullah, desa Bani Fulan telah masuk Islam. Aku katakan pada mereka, jika
mereka masuk Islam, maka rizki-rizki mereka akan datang. Sekarang mereka
tertimpa kesulitan yang teramat sangat. Aku merasa kasihan pada mereka.
Bagaimana menurut engkau jika sebaiknya engkau mengirimkan bantuan untuk
keperluan mereka?”.
Kebetulan
Zaid si Yahudi juga sedang ada di sana menjadi pembeli barang dagangan
Rasulullah. Ketika ia menyerahkan uang sejumlah delapan puluh dinar pada Nabi untuk
barang-barang yang dibelinya, Nabi langsung memberikannya pada pria yang baru
datang tadi.
“Cepat,
berikan uang ini kepada mereka agar kehidupan mereka cukup!”, seru Nabi.
Beberapa
hari berikutnya, Zaid datang menghampiri Rasulullah yang sedang berjalan
bersama Umar Bin Khattab. Dia menarik selendang Rasulullah dengan keras
kemudian membentaknya; “Hai Muhammad, kenapa engkau belum melunasi utang
padaku? Sepengetahuanku, Bani Abdul Muthalib tidak ada yang menunda-nunda
pembayaran utang”. Sepertinya ini masih ada hubungannya dengan transaksi jual
beli mereka tempo hari.
Alangkah
marahnya Umar Bin Khattab melihat perlakukan Zaid pada Rasulullah. Pedangnya
sudah diputar-putar dan bersiap untuk memenggal leher orang yang kurang ajar
tersebut, “Hai musuh Allah, beraninya kamu berkata seperti itu pada Rasulullah.
Aku mendengar dan melihat jelas apa yang telah kau lakukan pada beliau. Demi
Dzat yang telah mengutus beliau dengan kebenaran, seandainya aku tidak takut
beliau marah, maka aku tadi akan langsung memenggal lehermu”.
Dengan
tenang, Rasulullah menahan amarah sahabatnya; “Jangan begitu. Dia mungkin lebih
membutuhkannya. Daripada marah-marah, sebaiknya kamu suruh saya melunasi
hutangnya dengan baik. Sekarang, temuilah orang itu wahai Umar! Bayar semua
piutangnya, lalu tambahkan dua puluh sha korma[1]
sebagai tambahannya”.
Umar
pun menuruti perintah Nabi yang sangat dihormatinya itu, walau sebenarnya
hatinya masih kesal pada Zaid yang menagih hutangnya dengan teramat kasar.
Dengan menahan rasa marah, dia menemui Zaid dan menyerahkan uang plus korma
sesuai instruksi Nabi.
Zaid
pun terkejut, “Apa ini?”
“Baginda
Rasul memintaku untuk memberikan tambahan ini semua kepadamu sebagai ganti dari
pengaduanmu tadi”, jawab Umar.
Zaid
tertegun mendengarnya. “Wahai Umar, tahukah kamu, siapakah aku sebenarnya?”
Umar
menggeleng; “Tidak? Siapa kamu?”
“Aku
adalah Zaid bin Sa’yah”
Kini
ganti Umar yang tertegun. “Zaid yang pendeta Yahudi itu?”
“Betul.
Aku seorang pendeta”
“Lalu,
mengapa kamu melakukan hal sekasar itu pada Rasulullah?”
“Wahai
Umar, ketahuilah bahwa aku sudah mengetahui semua tanda-tanda kenabian dalam
diri Muhammad kecuali dua perkara. Pertama, kesabarannya mampu meredam sikap
orang bodoh dan kedua, meskipun sikap orang bodoh itu sangat keterlaluan
padanya, ia tetap meredamnya dengan kesabaran. Nah, sekarang aku sudah
membuktikan sendiri bahwa kedua hal itu ada padanya. Sekarang, saksikanlah
wahai Umar, aku rela Allah menjadi Tuhanku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad
adalah seorang Nabi dan RasulNya. Aku juga berjanji untuk menyerahkan separuh
harta kekayaanku untuk jalan Ilahi. Aku adalah salah satu orang terkaya di sini
dan akan menyedekahkan sebagian besar darinya untuk umat Muhammad”.
Umar
Bin Khattab pun menyambut ucapan pendeta Yahudi itu dengan gembira. Keduanya
lantas menemui Rasulullah untuk mengucapkan kalimat syahadat.
Kawans,
lihatlah betapa kesabaran seseorang bukan berarti menandakan ia lemah dan
kalah. Kesabaran Rasulullah, di mata Zaid, telah meredam sikap-sikap bodoh yang
mengedepankan amarah. Bahkan kesabaran Rasulullah membuat seorang pendeta
Yahudi yang tadinya belum beriman menjadi berbalik menjadi Muslim yang taat.
Kisah
kesabaran Nabi yang demikian menyentuh orang-orang yang bersikap kasar terhadap
beliau juga dikisahkan dalam sebuah riwayat ketika Rasulullah bertemu dengan
seorang pengemis buta Yahudi di kota Madinah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan kritik, saran dan komentar untuk perbaikan konten blog ini.