Pagi
ini, teman kerja saya menceritakan sebuah kisah yang luar biasa;
*
Minggu
pagi, tanggal 8 Februari, saya terpaksa membatalkan niat untuk diam di rumah
dan memanjakan diri. Saya harus segera berangkat ke pabrik tempat saya bekerja,
menyelesaikan hal-hal yang hanya bisa dikerjakan di hari Minggu, ketika mesin-mesin
pabrik sedang tidak beroperasi.
Karena
masih terlalu pagi untuk sarapan di rumah, saya memilih untuk berhenti di
sebuah warung kopi yang juga menjual nasi. Tidak mahal, cukup dengan lima ribu
rupiah, saya sudah bisa menikmati nasi bungkus dengan aneka pilihan lauk. Saya
mengambil sebungkus nasi dengan tulisan “Tongkol” dan mulai menyantapnya. Ketika
mulai makan, saya langsung sadar betapa pagi itu sangat istimewa, sebab saya
sarapan dengan ditemani alunan suara orang mengaji. Suara itu berasal dari
pengeras suara Masjid yang tepat berada di sebelah warung kopi.
Satu
bungkus ternyata tidak cukup. Saya mengambil lagi sebungkus nasi, kali ini
dengan tulisan “Telur Dadar”. Saya sudah menghabiskan hampir separuh nasi
bungkus yang kedua, ketika melihat sepasang suami istri yang sudah sepuh
berjalan ke arah warung tempat saya sedang makan.
Mereka
bukan suami istri biasa. Usia keduanya saya perkirakan tidak kurang dari enam
puluh tahun dan sudah pantas dipanggil “Mbah”.
Tubuh mereka yang kurus dengan kulit terbakar matahari itu berbalut kaus oblong
berwarna kusam dan ditumpuk dengan rompi berwarna jingga khas petugas
kebersihan. Sang istri mengenakan selembar kain di atas kepala dan mengikat
kedua ujungnya di bawah dagu. Ia berjalan perlahan sambil mengamati tong sampah
di tiap-tiap rumah, sementara sang suami menarik sebuah gerobak. Setiap melewati
tempat sampah di depan rumah, mereka berhenti, lantas memindahkan isi tempat
sampah ke dalam gerobak yang mereka bawa ke mana-mana.
Keduanya
ternyata berhenti di warung tempat saya sedang makan. Sang istri lantas mendatangi
pemilik warung dan minta untuk disiapkan sepuluh bungkus nasi. Sementara itu,
suaminya menunggu agak jauh, sembari memegang gerobak sampahnya seolah takut
gerobak itu akan lari jika tidak dipegangi.
Saya
memperhatikan raut muka penjaga warung yang tengah melayani permintaan ibu
tukang sampah itu. Ekspresinya campur baur, antara heran, bingung dan curiga.
Saya menduga, pemilik warung khawatir wanita berpakaian lusuh itu tidak mampu
membayar pesanannya.
Kehadiran
perempuan itu rupanya juga menarik perhatian laki-laki yang juga tengah
menikmati sarapan dengan saya di warung yang sama. “Mborong nasi, Bu?” tanyanya dengan wajah penasaran.
“Nggih,” jawab perempuan itu singkat,
lantas membayar nasi yang dipesannya. Lima puluh ribu rupiah untuk sepuluh
bungkus nasi.
Ketika kedua
“Mbah” itu melanjutkan perjalanan, saya
menghentikan acara sarapan dan memilih untuk memperhatikan mereka. Saya sungguh
penasaran, ingin tahu hendak mereka apakan nasi bungkus sebanyak itu. Dan sungguh, saya
nyaris tidak bisa menelan nasi yang ada di hadapan saya ketika melihat apa yang
mereka lakukan.
Mereka
berjalan ke arah Masjid yang terletak tepat di sebelah warung kopi tempat saya
sedang sarapan. Nasi bungkus itu mereka berikan kepada pengurus masjid. Saya
melihat seorang lelaki berpeci dan berkain sarung menerima nasi-nasi bungkus itu. Dengan sumringah, lelaki itu mengucapkan terima kasih lantas mengucapkan sesuatu.
Wanita sepuh itu mengangguk-angguk dan menjawab “Aminnn...”. Mungkin lelaki itu baru saja mendoakannya. Setelah itu,
suami istri yang lebih pantas jika berada di rumah dan asyik bermain dengan cucu itu berjalan lagi, melanjutkan aktifitas yang sama seperti sebelumnya, mengambili
sampah dari rumah ke rumah.
Saya
tertegun melihat pemandangan yang baru saja saya saksikan. Saya tak menyangka
pasangan suami istri tukang sampah itu ternyata membelikan nasi untuk
orang-orang yang tengah membaca kalam Ilahi di Masjid. Itu benar-benar hal yang
tak pernah terbersit dalam benak saya. Sama sekali.
Pagi itu
saya sungguh malu. Saya menghabiskan dua bungkus nasi untuk memuaskan lambung
saya sendiri. Sedangkan kedua orang tua tadi, yang entah mereka sendiri sudah
makan atau belum, malah membeli makanan untuk orang lain.
Saya
merasa tertampar. Mereka dengan mudahnya mengeluarkan uang puluhan ribu untuk
berbagi dengan sesama. Sedangkan saya, yang isi dompetnya mungkin berkali-kali
lipat lebih banyak daripada suami istri tukang sampah itu, terkadang masih merasa
terpaksa ketika harus mengeluarkan uang untuk berbagi. Apalagi berbagi dengan
cara yang mereka lakukan tadi. Mereka itu, dengan pendapatan sebagai tukang
sampah yang sudah bisa dipastikan pas-pasan, dengan entengnya mengeluarkan uang
lima puluh ribu untuk membelikan nasi bungkus bagi para pemakmur Masjid.
“Kok
bisa ya mereka kepikiran untuk melakukan itu?” pertanyaan itu tak
henti-hentinya menghantui pikiran saya. Selama ini, kalaupun saya bersedekah, saya
masih pikir-pikir dulu. Pikir-pikir berapa banyak yang bisa dikeluarkan, juga pikir-pikir apakah orang yang menjadi sasaran
sedekah memang layak diberi karena tidak mampu. Nah saking banyaknya yang
dipikir-pikir, kadangkala sedekahnya malah tidak jadi. Tapi kedua suami istri
sederhana itu bersedekah tanpa banyak pikir. Mereka tidak melihat apakah
orang-orang yang sedang mengaji itu memang layak diberi karena tidak mampu
membeli makan sendiri. Suami istri itu hanya melihat bahwa di dalam Masjid itu
ada saudara-saudara seiman yang sedang berjuang di jalan Allah, memakmurkan Masjid
dengan membaca ayat-ayat Ilahi.
Saya
terpekur agak lama di warung kopi itu, sambil memperhatikan rekan-rekan kerja saya
yang melintas satu per satu, lantas saya meringis karena hati serasa teriris. Kawan-kawan saya yang baru
saja lewat itu juga tak jauh berbeda dengan saya, setiap bulan pasti menerima
gaji bulanan yang jumlahnya tidak sedikit jika dibanding dengan penghasilan
seorang tukang sampah. Tapi apa yang seringkali kami lakukan? Mengeluh “tongpes” ketika masih pertengahan
bulan, menggerutu karena kenaikan gaji yang tidak sesuai harapan, menyalahkan
harga-harga yang terus mengalami kenaikan. Pokoknya tiada hari tanpa mengeluh, menggerutu
dan menyalahkan. Begitu terus-menerus. Sedangkan suami istri yang sepuh tadi,
alih-alih mengeluhkan gaji mereka yang tak seberapa dan di bawah standar upah
minimum kota, malah dengan mudah mengeluarkan uang untuk bersedekah.
Sumpah,
saya jadi merasa kalah! Kalah dari suami istri tukang sampah. Kalah dalam hal
bersedekah. Kalah dalam hal berlomba-lomba menjadi lebih mulia di mata Sang Maha Rahmah :’(
*
Seperti dituturkan
oleh Imron Rosyadi, karyawan swasta PT ISM bogasari flour mills, Surabaya.
*
Artikel ini
diikutsertakan pada kompetisi BlogNurul Hayat : Nyala Inspirasi untuk Negeri
Kisah yang menampar sekali ini.. saya juga merasa tertampar :((
BalasHapusbtw, nice post, Mbak.. salam kenal :)
Salam kenal juga mbak. Thanks sudah mampir baca :)
HapusLate read this great story.....tp blm terlambat utk mentauladani nya, thanks to remind. Big hug for abril dan ero. Heny
BalasHapusLate read the great story, dik....tp blm terlambat utk mentauladani, thanks to reminder.
BalasHapus