Wanita berkain sari itu menghampiriku. Senyumnya merekah, membuat wajah berlesung
pipit itu kian menawan. Ketika ia sudah tiba di hadapanku, lengannya mengembang
lantas perlahan mendekapku. Aroma tubuhnya yang wangi memberikan efek rileks
yang membuatku ingin waktu sejenak berhenti.
“Aku sangat menyayangimu, Mandira,” bisiknya lembut.
“Aku juga sayang Amma[1],”
balasku.
“Kau juga sayang Pita-ji[2],
kan?”
Aku diam dan menggeleng.
“Maafkan dia, sayang,” ujar wanita itu seraya melonggarkan dekapannya.
Matanya menatap mataku dalam-dalam.
“Tapi dia sudah menyakitimu, Amma,” aku berkilah.
“Itu sudah jadi masa lalu, Mandira. Tidakkah kau tahu bahwa satu-satunya
orang yang menderita karena di dalam hatinya memendam amarah adalah kamu
sendiri?”
Aku terhenyak. Mulutku hendak bersuara ketika wajah Amma perlahan memudar
menjadi bayangan tembus pandang. Aku berteriak-teriak memanggil namanya, namun
ia semakin samar dan akhirnya benar-benar menghilang.
*
Bangalore,
3 Desember 1984, 2:00 AM
Aku bangun dengan mata dan bantal basah. Mimpi itu lagi. Mimpi tentang Amma.
Amma yang dulu sering mendekapku, sebelum ia memutuskan untuk mengakhiri
hidupnya dengan terjun ke Chhota Talaab, sebuah danau di kota kelahiranku.
Dulu, aku tak mengerti mengapa orang yang taat pada agama seperti Amma
memilih untuk bunuh diri. Bukankah bunuh diri justru akan membawanya ke Asurya
Loka yang gelap tanpa cahaya? Tapi perlahan-lahan, aku akhirnya mengerti. Bagi
Amma, Asurya Loka jauh lebih baik daripada bertahan di sisi Pita-ji.
Sepanjang aku mengenal Pita-ji, lelaki itu selalu menyiksa Amma tanpa
ampun. Baik raga maupun jiwanya. Mungkin itu sebabnya dulu Amma sering
mendekapku, seolah dengan begitu, ia bisa sedikit melepaskan rasa sakit akibat
ulat suami yang seharusnya memperlakukannya seperti ratu.
Setelah Amma meninggal, Pita-ji menikah lagi. Kali ini ia memperlakukan
istrinya lebih dari seorang Raja memperlakukan Ratunya. Belakangan baru aku
sadar, sepertinya wanita itu lah alasan Pita-ji dulu sering menghina Amma.
“Kamu memang perempuan yang berpendidikan, Sayang. Berbeda sekali dengan
istriku yang dulu,” kata Pita-ji pada perempuan itu, tanpa menyadari aku
mendengar kata-katanya.
Sepeninggal Amma, Pita-ji selalu memandangku dengan tatapan benci. Aku
tidak mengerti apa salahku. Tapi sepertinya, wajahku (yang kata orang sangat
mirip dengan almarhum Amma) yang membuat Pita-ji dan istrinya tidak menyukaiku.
Aku beruntung mereka tidak menyiksaku dan tetap membiarkan aku bersekolah. Hanya
saja mereka menganggapku seolah-olah aku orang asing di rumah mereka.
Alangkah kelihatan suka cita di wajah mereka ketika suatu hari, setelah
dinyatakan lulus dari sekolah menengah, aku mengatakan pada mereka bahwa aku
sudah diterima di Bangalore University. Bukan karena senang aku diterima di
sebuah perguruan tinggi yang bagus, melainkan karena mereka tak perlu lagi
melihat bayang-bayang wajah Amma jika aku meninggalkan rumah.
Tak ada sedikit pun keraguan di wajah Pita-ji ketika melepaskan anak
perempuannya di sebuah kota yang berjarak 1500 kilometer jauhnya. Malah ia
terlihat begitu lega. Kelegaan yang sejujurnya sama persis dengan yang
kurasakan. Tanpa bertemu Pita-ji, aku berharap bisa melupakan kenangan
buruk tentang perlakuannya terhadap Amma.
Sudah nyaris empat tahun aku di Bangalore. Selama itu, aku tak pernah
pulang sama sekali ke kota kelahiranku. Dan Pita-ji, seperti yang sudah bisa
kuduga, sepertinya senang jika aku tak pernah pulang.
Sikap Pita-ji yang seperti itu membuatku tak pernah menyangka, bahwa
setelah sepuluh tahun berlalu sejak kepergian Amma, Pita-ji tiba-tiba
menghubungiku dan meminta maaf. Itu terjadi seminggu yang lalu.
“Maafkan Pita-ji, Mandira. Maafkan sudah menyakiti Ammamu. Maafkan tidak
pernah peduli padamu,” ujarnya dengan nada menyesal.
Aku tak percaya dengan pendengaranku. Pita-ji menyesal? Apa yang membuatnya
demikian? Ah, tapi ini sudah terlambat. Sepuluh tahun terlambat.
“Pulanglah, Mandira,” Pita-ji memohon dengan suara memelas.
Aku tidak mengiyakan, tapi juga tidak menolak.
Sejak itu Amma jadi sering hadir dalam mimpiku, dan selalu memintaku untuk
memaafkan Pita-ji.
Mengenang Amma yang
sudah meninggal membuatku tak bisa menahan air mata. Aku terisak pelan.
“Mimpi tentang Ammamu lagi ya?” tegur Padma, teman sekamarku di rumah kos ini.
Ia kawan baikku sejak di sekolah menengah dulu.
“Maaf, aku membuatmu terbangun,” kataku merasa bersalah.
Padma mendatangi tempat tidurku perlahan. “Sebaiknya kau pulang saja ke
Bhopal. Bukankah sejak tiba di sini kau tak pernah sekalipun pulang kampung?”
ujar Padma.
“Ikutlah bersama kami. Mumpung
kuliah juga sedang libur. Besok kami berangkat. Seperti biasa, Dharma akan
menyetir mobil sewaan,” lanjut Padma menawarkan.
Aku menghela napas panjang. “Baiklah, Padma. Mungkin Amma memang ingin aku
pulang dan bertemu dengan Pita-ji.”
Padma tersenyum senang mendengar keputusanku.
Tiba-tiba pintu kamar kami digedor. “Padma! Padma! Keluargamu menelepon!” suara
Bu Netravati, induk semang kami, terdengar panik.
Padma dan aku berpandangan. Ini masih pukul 2 pagi. Pasti ada yang penting
di keluarga Padma sampai mereka harus menghubungi kami sepagi ini.
Dengan panik, Padma segera keluar dan mengangkat telepon,dengan aku dan Bu
Netravati mengekor di belakangnya.
“Sepertinya ada sesuatu yang terjadi
di Bhopal, Mandira,” desis Bu Netravati dengan suara gemetar.
Dadaku berdebar kencang, dan kencangnya semakin tidak karuan ketika melihat
Padma berteriak dan menangis ketika bicara dengan entah siapa di telepon.
“Ya Tuhan. Ada apa dengan keluargamu, Nak?” tanya Bu Netravati seraya
mengelus punggung Padma, berusaha menenangkannya.
Dengan susah payah karena tenggelam dalam isak tangis, Padma menjawab; “Mandira,
ada kebocoran methyl isocyanate di UCIL. Hampir seluruh wilayah Bhopal terpapar.”
Sontak aku menangkupkan kedua tanganku menutupi mulut, berusaha agar tidak
berteriak. Jantungku serasa berhenti seolah tersengat petir. Kebocoran
gas beracun di sebuah kota berpenduduk 1,5 juta jiwa bukan berita main-main.
Sebagai mahasiswi jurusan kimia, aku tahu betapa bahayanya methyl
isocyanate. Ia akan bereaksi dengan air dalam tubuh, menyesaki pori-pori dalam
paru-paru dengan darah, menyebabkan paru-paru membengkak dan bernapas menjadi
mustahil. Seseorang yang terpapar bahan beracun itu akan mengalami gagal napas
seperti sedang tenggelam.
“Ratusan orang meninggal mendadak, Mandira. Ribuan lainnya dilarikan ke
rumah sakit. Keluargaku sendiri langsung lari meninggalkan Bhopal. Mereka
beruntung rumah kami terletak agak jauh dari UCIL. Sekarang, mereka melarangku
pulang. Untuk sementara ini, jauhi Bhopal!” sambung Padma.
“Mandira, segera hubungi keluargamu di Bhopal. Pastikan mereka tidak
apa-apa,” tukas Bu Netravati.
Aku menurutinya dan segera menelopon rumah Pita-ji. Tidak ada yang
mengangkat. Beberapa menit kemudian, aku mencoba lagi. Hingga beberapa jam
kemudian, hasilnya masih sama. Tidak ada yang mengangkat.
*
Bangalore, 10 Januari 1984
Informasi dari Padma salah besar. Bukan ratusan yang meninggal akibat
kebocoran di Union India Carbide Limited (UCIL) malam itu, melainkan ribuan.
Jumlah itu terus meningkat menjadi puluhan ribu hanya dalam hitungan hari
setelah bencana itu terjadi. Termasuk Pita-ji, istrinya dan anak mereka yang
masih kecil.
Salah satu Mamaji[3]
yang tinggal agak jauh dari kota Bhopal yang mengabarkanku tentang Pita-ji dan
keluarganya. Anak Pita-ji yang masih berusia 9 tahun langsung meninggal malam
itu di rumah setelah batuk, muntah dan sesak napas seperti tercekik. Istrinya
menyusul setelah mereka berdua sempat ke rumah sakit. Pita-ji baru meninggal
dua hari kemudian, juga dengan gejala yang sama. Gagal nafas.
Hari ini, di Bangalore, 1500 kilometer jauhnya dari jenazah Pita-ji yang
kini mungkin sudah dikremasi, aku hanya bisa berbisik lirih.
“Pita-ji, Mandira sudah memaafkanmu...”
(selesai)
Bagus! Saya menikmati tulisan ini :)
BalasHapuskeren ceritanya kak, aku suka settingnya yg di india khas banget...
BalasHapus