Kalau ada yang bilang menerapkan 5S di tempat kerja itu sulit, apalagi jika
tempat kerjanya sudah terlanjur berantakan bin chaos tak karuan, saya berani bilang bahwa itu tidak benar. Soalnya
saya sudah buktikan sendiri, bahwa 5S tidak sesulit membuat roket, walau memang tidak semudah membalik telapak tangan.
Nah, di postingan kali ini, untuk pertama kalinya sejak saya mengenal blogging,
saya ingin sharing tentang hal-hal yang berbau pekerjaan, yakni langkah-langkah penerapan 5S yang sudah dan sedang
kami terapkan di tempat kerja.
Tujuan saya hanya satu, mematahkan pemahaman bahwa aplikasi 5S di tempat kerja itu sulit.
*
Saya bekerja di bogasari flour mills, sebuah pabrik penggiling gandum
menjadi terigu yang berlokasi tepat di tepi pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Saya
bertanggung jawab mengelola sebuah workshop yang bernaung di bawah Departemen
Produksi, bernama Mill Support.
Akan memakan waktu yang lama dan panjang untuk menceritakan apa
sesungguhnya yang saya kerjakan di Mill Support. Pokoknya dari namanya, sudah
jelas tugas seksi kami adalah memberikan support untuk Mill (Penggilingan).
Support apa? Apa saja selama kedua tangan dan kaki-kaki kecil kami sanggup
mengerjakan. #halah. Oke bercanda. Kami punya jobdes (job description) kok.
Tentu saja, jika datang pekerjaan yang di luar jobdes, kami berwenang untuk
menolak. Tapi seringnya, karena saking
multi taskingnya para anggota tim Mill Support, yang ada kami lebih sering
menerima job daripada menolaknya. Hihi...
Bengkel Mill Support berukuran kurang lebih 20 x 8 meter dengan 9 orang
karyawan (termasuk saya). Saya membaginya menjadi 5 area, dengan
mempertimbangkan jenis dan sifat pekerjaan;
1.
Area
Outdoor (untuk pekerjaan-pekerjaan yang menimbulkan debu)
2.
Area
Sewing (untuk pekerjaan dengan mesin jahit)
3.
Area
Mesin Press (untuk pekerjaan pembuatan ayakan tepung)
4.
Area
Pneumatic (untuk pekerjaan servis pneumatic Roll)
5.
Area
Carpentry (untuk pekerjaan pertukangan).
Ups lupa, ada tambahan satu area lagi yakni Area Meeting (yang menjadi
tempat saya menerima teman-teman, dan bahkan calon supplier, yang lagi pengen
curhat, hehe).
Nah, sebelum saya cerita lebih jauh, mungkin ada pembaca yang belum
mengerti apa itu 5S. Jadi kita tinggalkan sejenak workshop Mill Support untuk
membahas selayang pandang tentang 5S.
5S sebenarnya berakar dari Jepang, dengan singkatan Seiri, Seiso, Seiton,
Seiketsu, Shitsuke, merupakan metode pengorganisasian lokasi kerja. Tujuannya
membuat area kerja menjadi lebih teratur, tidak berantakan, segala sesuatu
mudah ditemukan dan membuat pekerjaan menjadi lebih efektif dan efisien. Konon,
dengan Metode 5S ini lah, Jepang yang di tahun 1945 menjadi negara yang
mengalami kehancuran karena tragedi Hiroshima dan Nagasaki, kini bisa menjadi
salah satu negara maju. Konsep 5S ini pertama kali digagas di Toyota.
Sesuai namanya, ada 5 langkah dalam 5S (atau ada juga yang menyebut 5R
dalam versi bahasa Indonesia);
1.
Seiri/
Ringkas, adalah kegiatan pemilahan. Yakni menyimpan barang-barang yang
diperlukan dan menyingkirkan sisanya.
2.
Seiton/Rapi,
adalah kegiatan penataan material sehingga tempat kerja menjadi lebih rapi, material mudah ditemukan dan jumlah stok lebih terkontrol. Contoh aplikasi Seiton ini ada di film Big Hero Six, saat adegan Hiro berkunjung ke Lab di kampus Tadashi. Di sana, ada seorang tokoh bernama Wasabi yang begitu telitinya menata alat-alat kerjanya. Dia bahkan
berkata; “There are place for everything and everything in its place” (ya sort
of that lah, maap kalau salah).
3.
Seiso/
Resik, adalah kegiatan pembersihan. Yakni membersihkan lokasi kerja agar bebas
dari kotoran, sampah, debu, sawang, ceceran oli, genangan air dan lain-lain.
4.
Seiketsu/Rawat,
adalah sebuah usaha agar 3S yang sudah dijalankan sebelumnya senantiasa terjaga
keistiqomahannya. Jangan sampai, area
kerja yang sudah dirapikan dan dibersihkan kembali berantakan.
5.
Shitsuke/Rajin
adalah menjadikan 5S sebagai sebuah budaya.
Nah, kenapa sih 5S ini begitu penting untuk diterapkan di sebuah
organisasi? Bahkan untuk organisasi kecil semacam sebuah rumah tangga? Coba
deh, bayangkan sebuah toko alat tulis yang tidak terorganisir, dimana buku,
bolpoin, penggaris, kertas krep bercampur baur. Apa akibatnya? Pembeli akan
sulit menemukan barang yang dicari, beberapa item barang akan terakumulasi
secara berlebihan dan beberapa lainnya akan stock out tanpa ketahuan. Dan yang
sudah pasti, melihat segala sesuatu yang berantakan sudah pasti membuat mood jadi
turun. Belum apa-apa, pembeli udah kabur duluan melihat penampilan toko yang
acakadul. Jadi, sebenarnya kalau mau ditarik benang merah, 5S itu erat sekali
kaitannya dengan duit! Masih nggak paham, saya kasih contoh lagi yah;
a.
Karena
akumulasi barang yang berlebihan, sebuah perusahaan sampai harus membeli lemari
atau kontainer baru atau bahkan menyewa gudang baru. Padahal, belum tentu
barang-barang yang ada memang harus disimpan.
b.
Sebuah
bengkel sepeda motor yang seharusnya bisa melayani pelanggan dalam waktu
singkat membutuhkan waktu lebih lama karena alat kerja yang berantakan dan
sulit ditemukan. Akibatnya, jumlah pelanggan pun berkurang.
c.
Sebuah
perusahaan pengolah makanan ditinggalkan pelanggannya karena menganggap
perusahaan tersebut tidak menerapkan program kebersihan sebagaimana mestinya.
Nah balik lagi ke Mill Support. Bangunan workshop Mill Support boleh
dibilang punya kisah seperti Cinderella. #halah.
Dulu, sekitar tahun 2007 sampai sekitar awal 2011, bangunan workshop kami hanya berupa
dinding-dinding kayu dan papan-papan bekas mengangkut mesin dari Swiss.
Beberapa bagian yang bocor kami tambal dengan kardus. Duh, mirip banget kaya
bangunan stren kali. Melas banget. Sungguh tak sepadan dengan bangunan-bangunan
Mill di kanan kirinya yang berdiri megah.
 |
Gambar-gambar Kondisi Workshop Mill Support era Gubug Derita |
Akhirnya, setelah merengek-rengek
(bahasa alaynya negosiasi) pada atasan, akhirnya pembangunan workshop Mill
Support dengan dinding permanen dimulai. Sekarang, Mill Support menjadi
bangunan pertama di bogasari yang warna catnya boleh pilih sendiri (sehingga
sempet bikin beberapa orang jadi iri, hihi). Saya pilih kombinasi warna peach
dan orange untuk warna dinding workshop. Sebab konon, nuansa warna orange
merangsang kreatifitas.
 |
Workshop Mill Support Sekarang |
Pokoknya, bangunan seksi kami kini sudah jauh lebih
cantik ketimbang beberapa tahun sebelumnya. Namun sayang, kecantikan bangunan
Mill Support tidak diikuti dengan keelokan pengorganisasian alat-alat di
dalamnya.
Saya masih sering mendapati alat-alat kerja yang berserakan, kain-kain
majun berklimbrukan dan sering juga ditegur atasan karena rak-rak yang berdebu
dan ditumbuhi sawang. Bahkan atasan dari atasan saya kerap menyindir; “Kapan
Mill Support mau dijadikan percontohan untuk 5S?”
Oh my dear Sir, tidakkah kau lihat anak
buahmu ini banyak pekerjaan? Begitu sering saya menjawab dalam hati. Mana sempet saya menata workshop kalau tiap hari dihajar pekerjaan
tiada henti?. Namun akhirnya saya sadar, pekerjaan di Mill Support tidak
akan pernah ada habisnya dan 5S tidak akan pernah teraplikasikan jika saya
tidak memulai melakukan sesuatu. Maka dari situ lah, saya bulatkan tekad untuk
mulai ber-5S, tak peduli saat itu pekerjaan saya luar biasa bejibun.
Nah, saat-saat bersejarah itu dimulai di hari Senin. Kira-kira Senin
sebulan yang lalu. Itu adalah hari Senin yang sudah saya niatkan untuk menjadi
titik balik Mill Support dalam hal 5S. Sialnya, Senin itu tim Mill Support
hanya berlima termasuk saya L Tapi saya sudah meniatkan itu jauh-jauh hari
sehingga saya tidak mau mundur. So, dengan tekad membara, saya mulai menerapkan
sebuah siklus; Motret-Briefing-Evaluasi.
Detailnya adalah begindang;
1.
Di
hari pertama, saya pilih satu sudut workshop yang ingin saya benahi. Sebab
kalau tidak begitu, jujur saya bingung harus mulai berbenah dari mana karena
hampir seluruh sudut workshop dalam keadaan berantakan (termasuk meja kerja saya).
Sebagai permulaan, satu sisi di Area Carpentry menjadi sasaran.
2.
Saat
briefing pagi (berdoa dan briefing memang sudah secara rutin kami lakukan tiap
pagi), saya intruksikan pada tim Carpentry untuk tidak menerima job order apa
pun hari itu. Kecuali order yang sangat urgent. Saya minta mereka untuk memilah
barang-barang di workshop, menyimpan yang masih dipakai dan membuang sisanya.
Tentu saja saya juga menjelaskan kriteria barang seperti apa yang boleh
disimpan dan tidak. Saya menggunakan foto-foto yang saya ambil untuk
menjelaskan rencana saya.
3.
Di
hari pertama itu, saya sendiri melakukan pemilahan dokumen di Ruang Meeting. Hasilnya,
lebih dari 3 kardus besar akhirnya berakhir di TPS ^-^ (Oh my God, ternyata
selama ini saya hidup berdampingan dengan sampah).
4.
Hari berikutnya,
saya mengevaluasi hasil pekerjaan kemarin. Lumayan, tempat penyimpanan terlihat
lebih lega. Tapi alat-alat kerja, mur, baut, paku dan kawan-kawan masih campur
baur. Lagi-lagi saya mengambil foto. Kali ini saya juga membuka seluruh lemari
dan laci kerja.
5.
Saat
briefing, saya menggunakan foto-foto itu untuk meminta mereka melakukan
penataan alat-alat kerja. Saya terangkan di mana peralatan harus diletakkan dan
meminta mereka memasang label pada tiap laci dan memberi tanda untuk penempatan
alat kerja.
6.
Secara
bersamaan, hari itu saya melanjutkan melakukan pemilahan dan penataan ruang
meeting. Kali ini sasaran saya adalah lemari peralatan dan spare part.
Hasilnya, lagi-lagi berkardus-kardus sampah berakhir dengan manis di TPS.
7.
Begitulah
saya mengawali hari selama 2 minggu berikutnya. Pagi-pagi sebelum briefing,
saya memotret. Lantas menerangkan rencana saya saat briefing. Memberi
kesempatan pada tim untuk mengeksekusi tanpa membebani mereka dengan pekerjaan
rutin. Setelah selesai di bagian Carpentry, pekerjaan itu terus merambat ke
arah Area Pneumatic, Mesin Press, Sewing hingga ke Outdoor.
Di hari pertama minggu ketiga, saya merasa sudah cukup puas dengan kegiatan
Pemilahan dan Penataan. Tibalah saatnya melakukan Seiso, kegiatan pembersihan
ekstrim!
Kami melipatgandakan jumlah anggota tim untuk melakukan Seiso
(Pembersihan). Kegiatan pembersihan yang biasanya dilakukan tiap hari Senin
oleh 2 orang itu saya tambah menjadi 4 orang. Demi kegiatan pembersihan yang
ekstrim, besar-besaran dan paripurna, saya tunda satu agenda yang sudah menjadi
kegiatan rutin kami tiap Senin; distribusi ayakan ke semua Mill.
Hasilnya memuaskan!
Setidaknya beberapa orang yang bertandang ke Mill Support sempat
berkomentar; “Kok sekarang Mill Support jadi beda ya?”. Saya sendiri sempat
merasa agak surprise ketika sekitar minggu ketiga saya datang ke workshop. Saya
merasa ruangan kami terasa begitu lega, begitu terang, begitu luas.
Berikut ini dokumentasi kegiatan Seiri, Seiton dan Seiso di Mill Support
 |
Area penempatan plat, acrylic dan teflon sheet |
 |
Area Carpentry |
 |
Lemari Alat |
Oke, tapi kami masih belum boleh berpuas diri. Masih ada S yang ke-4 dan
ke-5. Dua S yang terakhir ini menjamin agar lokasi kerja kami tidak kembali
amburadul, sekaligus membangun sebuah habit baru yang lebih baik dalam
memperlakukan tempat kerja menjadi rumah kedua bagi para karyawannya.
Jadi, demi menjaga konsistensi Seiri, Seiton dan Seiso, setiap hari saya
datang lebih pagi. Dengan bekal kamera hape, saya menginspeksi tiap sudut dan
area kerja, lantas mengambil foto jika diperlukan. Ketika briefing, setelah Foreman
selesai membagi jobdes, giliran saya yang bicara. Selain tambahan-tambahan
detil tentang pekerjaan, saya juga menambahkan poin-poin terkait kegiatan 5S. Yang
paling sering adalah membicarakan finding dari inspeksi pagi yang saya lakukan
di hari itu.
Agak geli kalau melihat ekspresi anggota tim ketika saya mulai membuka HP. Sebab,
foto yang akan saya tunjukkan secara tidak langsung akan menunjukkan personel
yang bertanggung jawab terhadap area kerja yang menurut saya tidak benar. Misalnya;
peralatan kerja yang tidak dikembalikan ke tempatnya atau jika masih ada sampah
yang tidak masuk di tempat sampah.
Awalnya, setiap hari pasti saya masih menemukan sesuatu. Kaleng thinner
yang masih di atas meja, celemek yang diselipkan di rak kawat, kain majun di
bawah kursi, slang air bergelantungan di wastafel, sapu laba-laba yang
disandarkan di dinding, kabel-kabel jigsaw dan gerinda bergelantungan, tempat
alat yang tidak sesuai penempatannya, seal-seal bekas di lantai, mesin gerinda
yang berdebu tebal, bahkan lap bekas oli di tempat spon cuci gelas milik saya!
#hadeeeh.
Tapi belakangan ini, jujur saya mulai kesulitan mendapatkan temuan. Mungkin karena anggota tim tidak ingin "dipermalukan” saat briefing karena lokasi kerjanya
berantakan.
Sejalan dengan bergulirnya waktu, temuan pagi saya kian "ngaco". Saya mulai mempermasalahkan hal-hal kecil yang dulu dengan mudah saya tolerir. Misalnya; prosedur mencuci tangan yang salah, yakni dengan mencipratkan air bekas cuci tangan di lantai, atau juga habit mengaduk kopi dengan plastik sachet yang digulung kemudian dibuang begitu saja ke tempat sampah sehingga menyebabkan tutup tempat sampah di dekat meja kerja saya bernoda. #duh
Setelah kurang lebih sebulan berlalu sejak hari Senin yang menjadi turning
point itu, saya belajar beberapa hal terkait penerapan 5S;
1.
Bahwa
5S tidak akan pernah bisa dijalankan jika tidak ada komitmen dari pimpinan.
2.
Bahwa
5S memang tidak bisa dijalankan seorang diri.
3.
Bahwa
5S memerlukan konsistensi pimpinan untuk menjaga budaya kerja yang baik.
Jika satu saja dari ketiganya tidak ada, maka 5S hanya akan menjadi sebuah
kegiatan yang hangat-hangat pisang goreng, hanya ramai jika akan kedatangan
tamu atau auditor saja, hanya akan menjadi materi in class training yang
menguap begitu kelas usai, hanya menjadi sebuah teori belaka.
Sekarang, setelah 5S mulai teraplikasi di Mill Support, saya merasa jauh
lebih berbahagia dibanding sebelumnya. Dan semoga demikian juga yang dirasakan
anggota tim Mill Support yang lainnya J
Because we never rest, for 5S!