Seperti sebuah kebetulan, saya membaca “Totto Chan – Gadis Cilik di Jendela”
dan “Indonesia Mengajar” berbarengan dengan saatnya Abril masuk SD. Membaca
kedua buku tersebut kian memantapkan niat saya untuk mengirim putri pertama
kami itu ke Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya (SAIMS). Nah terus apa
hubungannya ya? Totto Chan - Indonesia Mengajar - SAIMS.
Totto Chan adalah sebuah kisah nyata yang dituliskan oleh Totto Chan
sendiri (Tetsuko Kuroyanagi) dalam rangka mengenang masa-masa pendidikan
dasarnya dulu. Totto Chan yang dianggap nakal di sekolah karena rasa ingin
tahunya yang sangat besar, akhirnya dikeluarkan. Kalau dipikir-pikir, mungkin
keluarnya Totto Chan dari sekolah justru sebuah anugerah, karena Mama kemudian
membawa Totto Chan ke Tomoe Gakuen.
Tomoe adalah sebuah sekolah yang dikepalai oleh Sosaku Kobayashi, orang
yang sangat dikagumi oleh Totto Chan. Tomoe adalah sekolah yang unik.
Keunikannya bisa langsung terlihat dari ruangan kelasnya yang menggunakan
gerbong kereta. Cara belajarnya pun tidak kalah unik; para murid bebas mengubah
urutan pelajaran sesuai keinginan mereka. Ada yang memulai hari dengan belajar
menggambar, ada yang fisika, ada yang bahasa dulu. Karena sekolah dan kepala
sekolahnya yang unik, maka Totto Chan sangat kerasan.
Di sekolah ini, Totto Chan tidak pernah dianggap nakal. Sekalipun ia harus
membuat Pak Kepala Sekolah mendengarkan ocehannya selama 4 jam saat perkenalan
pertama mereka. Bahkan saat ia jatuh ke lubang penampung kotoran, atau pun saat
ia menciduki isi lubang kakus saat mencari dompetnya (yang ini memang agak
menjijikkan), Totto Chan dibiarkan saja agar ia belajar arti tanggung jawab.
Pak Kepala Sekolah memiliki dedikasi dan cinta yang luar biasa terhadap
pendidikan dan anak-anak. Dengan caranya, dia membuat anak-anak yang mempunyai
keterbatasan menjadi anak yang penuh percaya diri. Lihat saja saat dia
mendesain sebuah hari olah raga yang memperlombakan kompetisi yang unik agar
Takahashi, murid yang bertangan dan berkaki pendek, bisa memenangkan hampir
semua lomba dan membuatnya lebih percaya diri.
Buku ini seakan mengingatkan saya bahwa anak yang nakal itu sebenarnya
tidak ada. Nakal sebenarnya adalah cap yang diberikan oleh orang dewasa karena
anak-anak tidak mengikuti aturan. Aturan yang dibuat oleh orang dewasa. Padahal
anak-anak dengan caranya yang unik, punya cara sendiri untuk memandang dunia.
Menurut Bapak Mohamad Molik (pendiri Nurul Hayat sekaligus pembicara
tunggal saat training Hypnoparenting yang pernah saya ikuti) segala cap yang
ditempelkan pada anak-anak, yang baik atau yang buruk, akan dengan gampang
menempel pada alam bawah sadarnya. Bagaikan software yang terinstall di komputer,
anak akan berpikir dan bertindak sesuai program yang telah terpasang. Nakal,
rajin, malas, rajin, bodoh, pintar, cengeng, lincah dan lain-lain. Dan software
ini, jika dibiarkan saja, kelak akan benar-benar membentuk karakter anak saat
ia dewasa.
Kekhawatiran akan terjadi kesalahan install program di otak Abril, adalah
alasan utama mengapa saya memilih Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya.
Abril, menurut saya, adalah anak dengan potensi kinestetik yang luar biasa.
Saya terpaksa memasukkannya ke play group sejak usia 2 tahun karena saya sudah
mati gaya. Saya tidak sanggup mengimbangi energinya yang “berlebihan”. Abril
seperti tidak mengenal kata capek dan saya kesulitan membantunya menyalurkan
energinya itu ke arah yang lebih efektif. Bahkan hingga menginjak TK B, Abril
tidak berubah. Ia masih senang berlari-lari, melompat-lompat, berguling-guling,
menjatuhkan diri atau menabrakkan tubuhnya ke pagar, tembok atau ke badan kami.
Abril sangat jarang tidur siang, tidur malam pun kalau tidak dipaksa tidak mau
tidur dan terkadang di pagi buta saat saya menulis seperti ini, dia juga sudah
ikut bangun. Hal yang membuatnya agak tenang adalah; menggambar atau mewarnai.
Melihat Abril yang seperti itu, terbetik kekhawatiran dalam benak saya jika
dia nantinya bersekolah di SD negeri. Bukan mau mengatakan bahwa SD negeri itu
buruk. Bukan. Saya dan suami pun produk sekolah negeri dari SD sampai PT. Namun
setelah saya panggil memori saya saat mengenyam bangku SD dulu, saya
mengurungkan niat untuk mendaftarkan Abril ke SD negeri. Alasan yang pertama;
saya takut dia dianggap NAKAL seperti halnya Totto Chan yang dianggap tidak
patuh hanya karena besarnya rasa ingin tahu. Alasan kedua, saya khawatir Abril
tidak bisa menjalani masa belajar yang menyenangkan jika harus duduk seharian
di bangku dengan metode pendidikan yang cenderung satu arah.
Naluri saya akhirnya membawa saya ke Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya saat
Abril masih TK B. Saya sengaja mengambil cuti untuk bertanya ini itu langsung
ke sekolah tersebut. Sayang saat itu sedang libur sekolah, jadi saya tidak bisa
melihat langsung kegiatan belajarnya seperti apa. Singkat cerita, setelah
berkunjung ke SAIMS, semakin mantap lah hati saya untuk menyekolahkan Abril di
sana, di tambah dengan mengetahui biaya sekolah yang masih terjangkau oleh
kondisi keuangan kami. Berikut ini alasan mengapa saya memilih SAIMS
(berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru di sana);
- Tidak ada tes calistung (baca tulis berhitung) untuk diterima di SAIMS.
SAIMS menganggap anak seharusnya dididik sesuai dengan umurnya. Baca dan
tulis baru diajarkan di kelas 1 SD. Sehingga untuk diterima menjadi siswa SD,
anak tidak dites kemampuan baca tulisnya.
Belakangan baru saya tahu, tes masuknya adalah berupa observasi melalui
gambar, wawancara dan beberapa aktivitas seperti meronce atau menyusun balok dalam
suasana yang santai (tidak seperti sedang di tes).
Belakangan juga baru saya tahu, bahwa kami (orang tua calon murid) juga
diobservasi melalui (tes) gambar. Mengapa begitu? Sejauh ini saya hanya
menduga-duga saja mengapa demikian.
- Lokasi belajar tidak hanya di kelas, bisa berpindah-pindah di taman, gazebo atau masjid.
Saya pikir ini cocok untuk Abril yang mudah bosan jika berada di satu
tempat dalam waktu lama.
- Metode balajarnya tematis.
Yang ini saya belum bisa cerita dengan jelas karena Abril baru akan sekolah
di sana tahun ajaran baru nanti. Menurut informasi, anak-anak tidak belajar
sesuai dengan kurikulum, melainkan melalui tema-tema yang pembelajarannya
disusun secara integrasi.
Misalnya tema pasar di mana di sana anak-anak akan belajar matematika
dengan menentukan uang kembalian. Tema pantai di mana anak-anak akan belajar
tentang ekosistem. Kurang lebih seperti itulah.
Saya sempat bertanya bagaimana mereka nantinya menghadapi UNAS jika cara
belajarnya tematis. Bukankah UNAS memakai metode “mata pelajaran”? Ternyata,
anak-anak akan mulai masuk ke mata pelajaran sekitar kelas 5 (atau kelas 4 ya,
saya lupa).
- Tidak ada rapot kuantitatif.
Ini juga masih harus saya buktikan. SAIMS tidak memberikan rapot angka
melainkan rapot kualitatif. (Namun jika diperlukan misalnya untuk keperluan
pindah sekolah, mereka bisa membuatkan).
Saya berpikir mungkin SAIMS menganggap setiap anak adalah istimewa dengan
caranya masing-masing. Memberikan rapot kualitatif akan membantu anak menemukan
keistimewaan dalam dirinya dan lantas mengasahnya menjadi sebuah keahlian yang
kelak bisa menjadi bekal untuk hidup mandiri.
Tidak seperti kebanyakan orang tua, terus terang saya tidak terlalu
berharap menjadi juara kelas adalah tujuan utama.
Beberapa orang mungkin menganggap mengirimkan anak kami ke sekolah swasta
adalah hal yang lebay. Mengapa jauh-jauh menyekolahkan anak ke sana dengan
biaya ekstra pula, toh sekolah negeri sekarang juga bagus-bagus.
Itu tidak saya pungkiri memang. Seperti yang sudah saya bilang, kami pun
tadinya berniat untuk mendaftarkan Abril di sekolah dasar tempat saya, suami
dan saudara-saudara kami sekolah. Sampai-sampai kami pindah rumah ke lokasi
yang lebih dekat dengan sekolah tersebut.
Tapi kami sadar bahwa dengan keterbatasan waktu saya dan suami yang
sama-sama bekerja, ada kebutuhan dasar anak-anak yang kami takut tidak sanggup
penuhi, yakni masalah agama. SAIMS adalah sekolah Islam. Dalam hal mengajarkan
syariat, akhlak dan akidah, kami mungkin hanya mampu memberikan contoh-contoh
saja di rumah, seperti sholat tepat waktu, berwudhu dan mengaji. Tapi dengan
sedikitnya waktu pertemuan dengan anak-anak, saya rasa kami butuh pihak ketiga
untuk mengajarkan itu semua pada anak-anak. Setidaknya dalam tataran teori dan
praktek.
Saya dengar (baru dengar saja, belum dibuktikan), anak-anak dibiasakan
untuk sholat Dhuha dan mengaji tiap pagi sebelum memulai pelajaran. Subhanallah
semoga memang demikian. Dengan demikian, harapannya kami di rumah akan jauh
lebih mudah untuk mengajak anak-anak sholat dan mempelajari Alquran.
Belajar di SAIMS dengan biaya yang sedikit lebih banyak ketimbang sekolah
negeri, terus terang membuat saya punya pengharapan lebih. Tidak hanya berharap
anak-anak kami menjadi anak-anak yang berakhlak dan berilmu, namun juga kelak
mereka bisa mandiri dengan menjalani kehidupan yang sesuai dengan passion mereka masing-masing. Saya
harap, sekolah ini bisa membantu anak-anak menemukan apa panggilan hati mereka.
Apapun itu.
![]() |
Foto diambil dari https://indonesiamengajar.org/ |
Bicara tentang passion, saya jadi
teringat dengan buku Indonesia Mengajar. Buku yang mengisahkan pengalaman
anak-anak muda Indonesia yang luar biasa ini memberikan inspirasi yang luar
biasa.
Saya mengikuti satu demi satu kisah Pengajar Muda yang dikirim ke pelosok
Nusantara. Dan jika saya disuruh merangkum keseluruhan cerita mereka, saya bisa
menggambarkannya dengan satu kata: passion.
Mereka adalah orang-orang muda yang berani mengikuti passion. Passion untuk
berbagi, untuk mendidik sekaligus belajar hal-hal yang baru. Mereka berani
mengambil keputusan untuk meninggalkan tidak hanya keluarga, tapi juga gemerlapnya
kota dan kesempatan untuk merintis karir, demi mengajar anak-anak SD di desa
terpencil di Nusantara, selama 1 tahun.
Sekalipun mungkin tidak se-spektakuler Pengajar Muda, saya berharap
anak-anak kami kelak seperti mereka. Berani mengikuti passion. Apapun hati mereka memanggil nantinya. Tentunya tetap di
koridor yang dibenarkan agama. Karena saya percaya, tiap-tiap manusia yang
dilahirkan punya tugas dan misi masing-masing selama hidup.
Setidaknya bersekolah di Sekolah Alam Insan Mulia bisa menjadi titik awal
pencarian anak-anak menemukan passionnya.
Semoga ini bukan harapan yang terlalu muluk.
Karena tidak ada yang
lebih membahagiakan selain menjalani hidup sesuai dengan panggilan hati.
Catatan: Oiya, saat mengisi formulir pendaftaran masuk SAIMS, kami tidak
perlu mengisi berapa penghasilan orang tua. Entah mengapa hal ini membuat saya
senang ^-^