Kamis, 04 Juni 2015

[Cerpen] Kala Rau


Jika ada yang menyamai badai amuk yang menggelora dalam dada Ni Luh Abhilasha saat ini, mungkin itu adalah amarah yang dirasakan Kala Rau ketika mendapat hukuman dari Dewa Wisnu.
Abhilasha sadar dia tidak sepenuhnya benar. Dia tahu ia telah melakukan sebuah kesalahan. Tapi kesalahannya itu terlalu kecil dibanding hukuman yang kini harus diterimanya. Sama dengan Kala Rau, yang harus menanggung konsekuensi berat karena ingin mencicipi tirta amerta.
Tragedi yang dialami Kala Rau itu bermula saat Dewa Wisnu tengah membagi-bagikan Tirta Amerta bagi para dewa. Nyaris tak ada seorang pun mengetahui bahwa di antara barisan dewa-dewa yang menunggu pembagian Tirta Amerta adalah Kala Rau yang menyamar. Sialnya, ada seseorang yang menyadari hal itu. Dia lah Dewi Ratih, yang langsung mengadu pada Dewa Wisnu. Akibatnya, Kala Rau harus menerima konsekuensi yang sangat berat. Cakram Dewa Wisnu memenggal lehernya tepat ketika Tirta Amerta sempat mengaliri tenggorokannya. Tubuh bagian bawah Kala Rau pun mati, namun kepalanya tetap hidup dan terus melayang-layang di angkasa.
Alangkah kesalnya Kala Rau. Ia tak mengerti mengapa para dewa itu bisa begitu arogan dan merasa mereka lebih mulia ketimbang golongan raksasa seperti dirinya.
Apakah para dewa itu sudah lupa dari mana asal tirta amerta? Apakah mereka lupa bahwa berkat bantuan para raksasa, tirta amerta beserta harta karun yang bersemayam dalam lautan susu di Sangkadwipa akhirnya muncul di permukaan? Apakah mereka tidak ingat ketika mereka bekerja sama memindahkan Gunung Mandara dan mengikatnya pada tubuh Naga Besuki demi mengaduk lautan susu? Apakah mereka lupa bahwa harta karun yang ada dalam perut lautan juga telah mereka kuasai tanpa sedikit pun menyisakannya untuk para raksasa? Kini, setelah tirta amerta berhasil mereka dapatkan, mengapa hanya para dewa yang boleh menikmati air keabadian tersebut? Apakah karena para dewa memiliki derajat yang lebih tinggi, yang membuat para raksasa seperti Kala Rau tidak boleh menikmati segala keistimewaan yang dimiliki para dewa?
Ketidakmengertian Kala Rau itu sama dengan yang dialami Ni Luh Abhilasha saat ini. Apakah karena terlahir di tingkatan kasta yang berbeda, maka ia tidak boleh sedikit saja merasakan kesenangan seperti yang dirasakan oleh Gusti Amita?
Abhilasha sering bertanya-tanya dalam hati, sekalipun segala kemewahan yang ada di sekitarnya ini bukanlah haknya, apakah ia tidak boleh mencicipi sedikit saja? Bukankah ia dan Gusti Amita sama-sama perempuan Bali yang hidup jauh dari kampung halaman? Apakah Gusti Amita yang dipersunting pengusaha kaya ibukota membuatnya menjadi lebih mulia ketimbang Abhilasha yang terpaksa menerima pinangan lelaki yang dahulu pernah berusaha memperkosanya di tepian Danau Kintamani?
Dulu, ketika hendak dinikahkan dengan lelaki itu, Abhilasha sudah berusaha meyakinkan orang tuanya bahwa lelaki itu bukan lelaki yang baik. “Dia laki-laki bajingan yang hendak memperkosaku!” serunya dengan bulir air mata yang terus menganak sungai di pipinya.
Tapi mana ada yang percaya padanya? Demikian juga dengan orang tuanya. Mana mungkin anak lelaki pemilik kebun jeruk paling luas di desa mereka itu hendak memperkosa anak buruh tani miskin seperti Abhilasha? Alih-alih melindungi putri mereka, kedua orang tua Abhilasha malah memarahinya karena merasa Abhilasha telah menggoda anak lelaki orang. Tak ada satu pun yang percaya bahwa sekalipun lelaki itu rajin pergi ke Pura, sesungguhnya ia tidak sesaleh penampilannya. Sayangnya, ketika kata-kata Abhilasha terbukti benar, semuanya sudah terlambat.
Setelah keduanya menikah, lelaki itu ternyata kerap menyiksanya dan lantas pergi entah kemana, meninggalkan Abhilasha yang tengah hamil muda.
Demi para dewa di nirwana, wanita mana yang sudi melahirkan bayi tanpa suami? Apalagi anak itu adalah anak dari lelaki yang dibencinya setengah mati. Sungguh, Abhilasa tidak sudi. Maka dari itu, segala jenis ramuan dan jamu dia tenggak, berharap Dewa Brahma mengambil kembali bayi dalam rahimnya. Tapi rupanya Dewa Brahma berkehendak lain. Bayi itu lahir dengan satu daun telinga yang tak sempurna.
Namun bayi itu dikaruniai mata cantik yang bersinar laksana kejora di langit malam, membuat Abhilasha yang remuk raga dan hatinya tidak bisa tidak jatuh hati pada bayi yang dulu hendak dibuangnya itu. Ia memberinya nama Luh Putu Dewi Swastika.
Abhilasha baru saja bertekad untuk membuka lembaran baru dengan berjuang menjadi ibu yang baik bagi Swastika, ketika lagi-lagi orang tuanya berniat menikahkannya lagi dengan pria lain.
Trauma. Kesengsaraan yang dialaminya di pernikahan sebelumnya menorehkan bekas luka yang tak pernah tersembuhkan. Abhilasha yang tak mampu menolak kehendak orang tuanya memilih melarikan diri dengan sebelumnya meletakkan Swastika yang masih berusia beberapa bulan di depan pintu panti Asuhan. Ia berjanji dalam hati, kelak jika mempunyai bekal yang cukup untuk hidup mandiri, ia akan kembali untuk menjemput Swastika.
Tahun-tahun berlalu. Kehidupan yang penuh cahaya terang tak pernah mendekati Abhilasha. Setelah berganti-ganti pekerjaan, mulai dari berdagang jeruk Bali sampai menjadi tukang pijat di Legian, perempuan yang kecantikannya mulai memudar tergerus kejamnya hidup itu kini terdampar di ibukota. Di sebuah rumah mewah di bilangan Kelapa Gading. Di rumah milik seorang pengusaha mebel dan ukir-ukiran khas Bali itu lah, untuk pertama kalinya Abhilasha berjumpa dengan Gusti Amita, sang nyonya rumah.
Dulu Abhilasha berpikir, dengan bekerja di rumah orang yang dimiliki orang yang sekampung dengannya, ia akan mendapat perlakuan lebih baik. Nyatanya tidak begitu. Bagi Gusti Amita, Abhilasha tetaplah seorang babu.
*
Alangkah beruntungnya perempuan itu, batin Abhilasha tiap kali melihat nyonya rumahnya yang setiap hari selalu berpenampilan layaknya artis-artis sinetron yang kerap ia lihat di televisi. Ia tahu, jika ditotal, benda-benda yang dikenakan Gusti Amita bisa bernilai puluhan juta rupiah. Sungguh jauh berbeda dengan dirinya yang hanya mengenakan pakaian seadanya yang sudah tidak jelas warna aslinya.
Abhilasha juga selalu iri melihat bagaimana mesranya hubungan Gusti Amita dan suaminya. Sungguh, Abhilasha juga seorang perempuan. Ia juga ingin ditatap dengan pandangan penuh cinta oleh lelaki yang juga menghujaninya dengan kemewahan, layaknya suami Amita yang selalu menggamit mesra lengan istrinya setelah mereka makan malam.
Di kamarnya yang lembab dan sempit, Abhilasha kerap membayangkan apa yang keduanya lakukan di kamar mereka yang luas dan berpendingin udara setelah makan malam. Gusti Amita pastilah mendapatkan sentuhan penuh cinta dan kenikmatan tiada tara dari suaminya yang tampan dan gagah.
Sungguh, Abhilasha juga menginginkan itu. Ia juga perempuan biasa yang seumur hidup tidak pernah merasakan sentuhan lelaki yang memandangnya dengan pandangan seolah ia adalah seorang Dewi. Yang ada, adalah sentuhan beringas mantan suaminya yang hanya sekedar menitipkan benih di rahimnya lantas pergi. Atau sentuhan lelaki-lelaki nakal di pasar yang meremas payudaranya ketika ia berjualan jeruk Bali. Atau tindihan lelaki-lelaki di panti pijat yang disertai dengan hembusan napas serupa banteng jantan yang tengah birahi.
Abhilasha tak mengerti, mengapa nasib manusia bisa sedemikian berbeda? Bukankah ia dan Gusti Amita diciptakan oleh Tuhan yang sama? Bukankah ia dan Gusti Amita sama-sama pergi ke Pura untuk menyembah Tuhan yang sama?
Apakah ia telah berbuat dosa yang membuat murka para Dewa? Ataukah ia terkena karma akibat dosa yang telah diperbuat oleh leluhurnya? Atau apakah memang ia telah ditakdirkan menjadi manusia yang tak pernah bergelimang cahaya seperti yang dirasakan Gusti Amita?
Ah, betapa bahagianya menjadi perempuan yang memiliki segalanya seperti Gusti Amita. Perempuan itu cantik, bahkan tanpa pulasan make up dan benda-benda mahal yang menempel di tubuhnya. Perempuan itu hidup enak, bermandikan kemewahan dan tak pernah merasakan panas dan bersimbah keringat karena bekerja keras sepanjang hari seperti Abhilasha. Perempuan itu bisa mendapatkan apa saja yang dia inginkan dengan mudah, tidak seperti Abhilasha yang harus banting tulang sepanjang hari demi kehidupan yang lebih baik dan modal untuk membawa kembali Swastika ke pelukannya.
Begitu teringat Swastika, lagi-lagi hati Abhilasha didera rasa iri. Tidak seperti dirinya yang harus rela berjauhan dengan putri kecilnya, alangkah beruntungnya Gusti Amita bisa berdekatan sepanjang hari dengan gadis kecilnya yang juga bermata serupa kejora di langit malam, Salila.
Perempuan mana yang tidak ingin menjadi Gusti Amita? Abhilasha pun ingin. Tapi ia tahu diri. Di rumah ini, ia tak lebih dari seorang babu. Maka dari itu ia, selama ini tak berani menyentuh barang-barang milik Gusti Amita, sekalipun ia ingin sekali mencoba mengenakan lingerie seksi seperti yang dijemurnya pagi ini, sembari membayangkan bagaimana jika ia mengenakannya di hadapan lelaki yang memandangnya seperti memandang seorang bidadari. Abhilasha juga setengah mati menahan diri untuk tidak mencoba mengenakan kebaya mahal yang semalam baru saja dipakai Gusti Amita ke resepsi pernikahan. Ia hanya bisa mengaguminya sejenak, sebelum dengan hati-hati melipatnya dan memasukkannya ke dalam plastik untuk di-dry clean di laundry.
Tapi hari ini, ia ingin sekali, mencicipi kebahagiaan yang dimiliki Gusti Amita. Walaupun sudah mewanti-wanti dirinya agar tidak melakukan itu. Bukan, Abhilasha tidak ingin macam-macam. Ia toh tidak menginginkan perhiasan bertatahkan batu-batu mulia yang membuat kecantikan Gusti Amita kian bersinar. Ia juga tidak menginginkan memakai pakaian bagus dan make up mahal milik Gusti Amita.
Ayolah, tidak apa-apa. Ini hanya beberapa tetes minyak wangi. Abhilasha tidak bisa melawan dorongan dari dalam dirinya untuk meraih botol eau de perfume di atas meja rias sang nyonya rumah. Botol kristal berbentuk bulat berisi minyak wangi beraroma melati dan jeruk itu membuat Abhilasha ingin mencoba menyeprotkannya ke tubuhnya sendiri, berharap aroma tubuhnya yang didominasi aroma keringat, detergent dan obat pel desinfektan itu menjadi lebih mendingan.
Abhilasha menggenggam botol kristal itu dengan tangan gemetaran. Seumur hidupnya, itu lah benda termahal yang pernah dipegangnya. Dengan ragu tapi penuh rasa ingin tahu, dicobanya menyemprotkan minyak wangi itu di balik telinganya, seperti yang sering ia lihat di televisi. Seumur-umur, Abhilasha tidak pernah menyemprotkan minyak wangi. Tawas murahan yang dibelinya di toko kelontong adalah satu-satunya andalannya untuk mencegah bau badan. Bedak talk saja ia tidak pernah menggunakan, apalagi minyak wangi mahal yang hanya bisa diperoleh di luar negeri.
Kemudian ia juga menyemprotkan satu semprotan lagi di bawah telapak tangannya dan menggosokkannya dengan bawah telapak tangan yang satunya. Dihirupnya dalam-dalam lembutnya melati bercampur segarnya citrus.
Untuk sesaat, aroma itu seolah menghipnotisnya. Untuk sesaat, ia merasa bukan menjadi Abilasha yang seorang babu. Ia perempuan gedongan yang bergelimang perhiasan dan kemewahan.
Khayalannya itu membuat Abilasha tak sadar bahwa Gusti Amita sudah berdiri di depan pintu. Memandangnya dengan tatapan jijik.
“Berani-beraninya kamu menyentuh barang-barang saya!” bentak Gusti Amita, membuat Abhilasha terkesiap dan tak sadar menjatuhkan botol minyak wangi yang harganya bisa dipakai untuk membeli beras selama setahun.
Pyar! Seluruh isi botol kristal itu berhamburan dan menguarkan aroma pewangi ke seluruh penjuru kamar. Bau yang harum itu membuat perut Abhilasha mual. Bukan karena harumnya terlalu tajam mencucuk hidungnya, namun karena bau itu seolah menghipnotis Gusti Amita menjadi seperti seorang raksasa yang murka. Abhilasha tak kuasa memandang Gusti Amita yang memandangnya dengan ekspresi seperti raksasa yang hendak menelannya bulat-bulat.
Sang nyonya rumah murka luar biasa. Bukan karena ia harus merelakan minyak wanginya pecah berantakan. Bukan itu, karena toh dia bisa mendapatkan berbotol-botol minyak wangi yang sama hanya dengan menggesekkan kartu plastik di pusat perbelanjaan. Yang membuat Gusti Amita meradang adalah karena ia tidak rela kehormatannya sebagai nyonya rumah ternoda oleh ulah pembantunya. Sebab nyonya rumah mana yang rela jika penampilannya disamai oleh si pembantu rumah tangga?
“Kamu harus ganti itu. Sebagai hukuman, gaji kamu tiga bulan lalu tidak akan saya bayar dan tiga bulan ke depan, kamu tidak dibayar!” bentak Gusti Amita lagi, membuat tubuh Abhilasha yang tadinya gemetar ketakutan luruh ke lantai seolah kehilangan tulang-tulang penyangga tubuh. Ketakutannya berubah menjadi kesedihan. Dan kesedihannya perlahan menjadi amarah.
Alangkah teganya Nyonya Gusti Amita. Alangkah tidak adilnya para Dewa.
Mendadak Abhilasha merasa ia seperti kisah Kala Rau yang harus merelakan tubuh dan kepalanya terpisah karena terkena cakra Dewa Wisnu. Hanya karena ia ingin mencicipi Tirta Amerta, Kala Rau harus mendapat murka Dewa Wisnu. Sungguh tak sebanding.
Menurut cerita yang didengar Abhilasha saat masih kanak-kanak, sebagai bentuk balas dendam, Kala Rau tak henti-hentinya mengejar Dewi Ratih, Dewi yang ia anggap sebagai biang keladi terpisahnya tubuh dan kepalanya. Ketika Dewi Ratih sang dewi bulan itu tertangkap, Kala Rau segera menelannya bulat-bulat. Walau Dewi Ratih selalu dapat meloloskan diri karena perut dan kepala Kala Rau yang sudah terpisah, namun momen saat Kala Rau menelan Dewi Ratih itu dipercaya sebagai penyebab terjadinya gerhana bulan.
Kini Abhilasha paham, mengapa Kala Rau sedemikian murka, sebab ia pun saat ini merasakan hal yang sama. Hukuman yang ia terima sama sekali tak sebanding dengan kesalahan yang ia lakukan. Padahal ia tadi hanya ingin mencoba setetes dua tetes minyak wangi. Hanya itu. Tidak lebih. Sungguh kelakuannya tadi seharusnya tidak membuat nyonya rumahnya merugi. Hanya setetes dua tetes minyak wangi, apakah itu artinya dibanding dengan tumpukan berlian yang ada dalam lemari besi yang selalu terkunci? Ah, seandainya Gusti Amita tidak tiba-tiba muncul dan mengagetkannya, pastilah botol minyak wangi itu masih utuh hingga kini.
Abhilasha tak bisa mencegah dendam yang mulai membara di hatinya. Ia tak terima diperlakukan seperti itu dan untuk itu, Gusti Amita harus mendapat balasannya.
Gusti Amita harus merasakan seperti apa rasanya gerhana. Dia harus tahu bagaimana rasanya jika cahaya yang di sekitarnya diambil secara paksa. Dan Abhilasha tahu, salah satu cahaya yang dimiliki Gusti Amita adalah Salila, gadis kecil bermata laksana kejora yang bersinar di langit malam.
Abhilasha bukannya membenci Salila. Ia pun sangat menyayangi gadis kecil itu, karena gadis itu mengingatkannya akan Swastika. Namun hari ini amarahnya sungguh tak terkendali. Ia tahu, ia terlalu lemah untuk melawan Gusti Amita. Dan satu-satu cara untuk menyakiti nyonya rumahnya itu adalah melalui orang-orang yang dicintainya. Salila salah satunya.
Malam itu, ketika membuatkan segelas susu untuk Salila, Abhilasha membubuhkan racun ke dalamnya. Ia tak perlu menunggu terlalu lama ketika Salila roboh dan kejang-kejang dengan mulut berbusa. Senyum puas tersungging di bibirnya.
Ia mungkin tak akan bisa lepas dari kecurigaan jika ketahuan bahwa kejadian yang menimpa Salila adalah akibat racun. Tapi setidaknya ia sudah puas, karena apa yang menimpa Salila hari ini sudah pasti akan merenggut cahaya yang dimiliki Gusti Amita.
Lagi-lagi, Abhilasha dapat merasakan kepuasan yang dirasakan Kala Rau ketika berhasil menelan Dewi Ratih.
Ketika Salila roboh, rambutnya tersingkap dan Abhilasha bisa melihat jelas telinga dan tengkuk Salila yang selama ini tertutup rambut.  Ia melihat sesuatu yang sukar dipercaya. Senyum puas di wajahnya menghilang, berganti cemas dan pias.
Salila yang cantik dan bermata jernih seperti bintang kejora itu ternyata memiliki daun telinga yang sama tak sempurnanya dengan daun telinga bayi kecilnya dulu. Tapi bukan hanya itu yang membuat Abhilasha tertegun. Salila juga mempunyai tanda lahir dengan bentuk yang unik tepat di tengah tengkuknya. Ya, Abhilasha tak mungkin salah, itu tanda lahir dengan bentuk dan posisi yang sama dengan yang dimiliki bayi perempuannya. Tanda lahir berbentuk swastika dan membuat Abhilasha memilih nama simbol itu untuk menamai bayi mungil yang dulu ia letakkan di panti asuhan.


-selesai-
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)