Minggu, 17 Mei 2015

[Cerpen] Gadis Kecil Dalam Tumpukan Sayur


“Neneng sudah terlambat, Kang. Dua bulan,” bisik istriku lirih, seraya memilin ujung kaus dengan kedua tangannya. Dia tahu, berita ini pasti akan membuatku shock.
Kalau saja Neneng mengatakan hal itu sepuluh tahun yang lalu, saat kami baru saja menikah dan harap-harap cemas menanti anak pertama, pastilah reaksiku akan berbeda. Masalahnya, jika memang keterlambatan yang dikatakan Neneng adalah karena dia betul-betul hamil, maka ini akan menjadi kehamilannya yang keempat!
“Masa masih bisa telat? Kamu teh bukannya sudah minum pil KB?” seruku dengan nada setengah menyalahkan.
Ya asal tahu saja, tadinya kami memang penganut paham “banyak anak banyak rejeki”. Malah kalau perlu, kami buat anak sebanyak-banyaknya sampai bisa bikin satu regu basket atau sepak bola. Tapi setelah kelahiran Dadang, Deden dan Entin dalam jarak waktu yang berdekatan, baru aku paham bahwa memiliki anak itu mahal. Apalagi dengan penghasilanku yang hanya jadi pengangkut sayuran dari Pasar Lembang ke pasar-pasar lain di daerah Bandung utara, ditambah harga kebutuhan pokok yang kian melambung, anak benar-benar menjadi barang mewah. Maka dari itu, setelah kelahiran Entin empat tahun yang lalu, kami sepakat untuk ber-KB.
“Anu, Kang...anu...uang yang untuk beli pil KB bulan lalu, Neneng pakai buat beli keperluan dapur...”ujarnya takut-takut.
Aku melongo. Bagaimana mungkin pil KB yang hanya seharga lima ribu perak itu sampai tidak terbeli?
“Soalnya semua harga barang teh pada naik. Uang belanja dari Akang tidak cukup. Mana kemarin harus bayar tunggakan uang sekolah si Dadang,” nada suaranya mendadak memelas, membuat siapa pun pasti akan jatuh kasihan mendengarnya. Termasuk aku.
*
“Jadi bagaimana, Cep? Jadi tidak kita menjalankan rencana itu?” tanyaku dengan nada tidak sabar.
“Sabar lah, Din. Kamu pikir cuma kamu saja teh yang butuh uang?” jawab Cecep, sejawatku yang sama-sama jadi tukang angkut sayuran. “Kita harus pikirkan dulu masak-masak, atuh. Masuk ke rumah Pak Ardiwilaga memang tidak sulit. Apalagi Pak Endang, si penjaga rumah itu teh pasti sudah ngorok sejak sore. Tapi mencuri perhiasan istri Pak Ardiwilaga? Nah, itu bukan perkara mudah. Kita harus pastikan rencana kita tidak akan gagal.”
“Apalagi yang kamu pikirkan? Rencana kita sudah sempurna. Tak akan ada yang tahu kalau kita masuk ke rumah itu dan mengambil sedikit saja perhiasan Bu Ardiwilaga,” ujarku sambil menaikkan sekeranjang kembang kol ke dalam bak mobil pick-up.
“Sedikit? Kalau ternyata ada banyak bagaimana? Yakin kamu tidak tergoda?” Giliran Cecep menaikkan puluhan ikat sawi.
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. “Ya pokoknya aku cuma mau ambil secukupnya saja untuk biaya melahirkan si Neneng...” kalimatku terputus karena aku membayangkan tumpukan perhiasan yang mungkin bisa kami temukan di rumah orang yang paling kaya di daerah ini. “Ah sudahlah Cep. Jangan kebanyakan mikir, atuh. Nanti malah ragu, lantas malah tidak jadi. Ayo segera kita laksanakan malam ini. Si Neneng bisa melahirkan kapan saja, dan aku sama sekali tidak punya uang untuk membawanya ke bidan!” desakku.
Sumpah, hanya karena terdesak saja, aku akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah yang dibenci Tuhan Yang Maha Esa. Mencuri. Habis mau bagaimana lagi? Hutangku sudah menumpuk di sana-sini. Tak ada lagi yang mau meminjamiku uang karena memang aku belum sempat mengembalikan pinjaman-pinjaman sebelumnya. Jadi, aku memutuskan untuk “meminjam” dari orang terkaya di daerah sini. Pak Ardiwilaga, pemilik perkebunan sayur paling luas di daerah Bandung utara.
Sebenarnya keputusan ini bukanlah keputusan yang mudah. Aku dan Cecep sama-sama berat hati untuk mencuri di rumah Pak Ardiwilaga yang terkenal baik dengan siapa saja itu. Tapi rasanya, hanya itu satu-satunya jalan yang rasanya bisa kami ambil untuk mendapatkan uang banyak dalam waktu singkat. Oleh karenanya, aku berniat untuk mengambil secukupnya saja dan berjanji dalam hati untuk mengembalikannya kelak jika aku sudah punya rejeki. Pokoknya yang penting, sekarang Neneng bisa melahirkan dengan tenang.
“Okelah kalau begitu, Din. Malam ini kita ke rumah Pak Ardiwilaga,” kata Cecep akhirnya, membuatku lega. “Sekarang, kita ke pasar dulu. Cari rejeki yang banyak biar nanti malam tidak perlu ambil banyak-banyak” ujarnya terkekeh, sembari duduk di kursi penumpang mobil pick up yang sudah penuh dengan sayuran.
Mobil kami bergerak perlahan meninggalkan Pasar Lembang yang sepagi ini sudah ramai dengan kegiatan jual beli. Dengung ibu-ibu yang saling tawar-menawar perlahan menghilang ketika mobil pick-up yang kukemudikan mulai memasuki jalan makadam menuju ke arah hutan.
Aku dan Cecep tak banyak berbincang. Pikiran kami disibukkan dengan rencana nanti malam. Kami sedang melintasi jalan tanah dengan pepohonan tinggi di kiri dan kanan ketika Cecep tiba-tiba bertanya, “Eh Din, denger-denger di sini banyak Kuntilanak?”
Aku diam tidak menanggapi, walau dalam hati merasa geli. Kalaupun ada, mana mungkin ada Kuntilanak muncul pagi-pagi begini? Namun ketika aku melihat pantulan tumpukan sayur mayur di bak belakang pick up melalui kaca spion, tak urung aku berpikir bahwa Cecep mungkin benar.
“Kuntilanaaaak!!!” jeritku sembari menekan rem dan langsung keluar dari mobil, diikuti Cecep.
Kami segera memeriksa bak pick up dan mendapati bahwa ternyata kami membawa penumpang gelap yang syukurlah bukan Kuntilanak, melainkan seorang gadis kecil berusia sekitar 10 tahun. Kami tak tahu bahwa selama ini ia sembunyi di bawah tumpukan sawi, kembang kol, tomat, dan daun bawang.
“Eh, adik teh saha, Neng?” tanyaku pada gadis berambut panjang itu.
“Saya Sherina temennya Sadam,” jawabnya dengan panik. Napasnya terengah. “Kemarin kita jadi korban penculikan. Makanya saya harus cepat-cepat pulang ke rumah Pak Ardiwilaga,” sambungnya.
Aku dan Cecep berpandangan. “Penculikan? Pak Ardiwilaga?”
Sebuah ide tiba-tiba terlintas di pikiranku. “Neng, kalau Neng beneran diculik. Jangan langsung pulang, atuh.”
“Jadi...? Kemana...?” tanyanya.
*
Aku tak begitu memahami apa yang sesungguhnya telah terjadi. Segalanya terasa begitu membingungkan, karena ternyata peristiwa yang dialami Sherina dan Sadam bukanlah penculikan biasa. Aku mendengar ada yang menyebut-nyebut nama Natasha, konglomerat Kertarejasa dan Pasundan Valley. Hanya saja, saat itu aku tak melihat apa benang merah yang menghubungkan nama-nama itu dengan penculikan dua anak SD yang salah satunya ternyata adalah putra bungsu Pak Ardiwilaga.
Tapi yang pasti, keluarga Pak Ardiwilaga sangat berterima kasih padaku dan Cecep karena inisiatif kami langsung membawa Sherina ke kantor polisi. Menurut Pak Ardiwilaga, kedatangan kami ke rumah beliau dengan membawa polisi benar-benar tepat waktu.
Dan yang pasti juga, malam itu kami terhindar dari berbuat maksiat, sebab Pak Ardiwilaga memberikan sejumlah “ucapan terima kasih” yang jumlahnya lebih dari cukup untuk biaya Neneng melahirkan.
-selesai-
Diikutkan dalam tantangan @KampusFiksi #CeritaSherina #InMemoriamDidiPetet


Jumat, 01 Mei 2015

[Cerpen] Nina Bobo

“Nisa bobo...O...o...Nisa bobo. Kalau tidak bobo digigit nyamuk...” aku menatap bayi 6 bulan kami yang sudah mulai tidur dengan perasaan lega luar biasa. Setelah seharian menjaga bayi super aktif yang tidak bisa diam ini, akhirnya aku bisa istirahat juga, pikirku.
“Tidak ada gunanya lagu itu dinyanyikan kalau syairnya kamu ganti-ganti, Nduk!” Suara teguran Eyang membuat mata bayiku yang sudah tiga per empat terpejam itu kembali terbuka lebar.
Duuuh...Eyang, jadi bangun lagi kan babynya? keluhku dalam hati.
“Kan Eyang sudah bilang, kalau kamu ganti syairnya, nggak bakalan bisa bikin anakmu lelap.” Kali ini nada suara Eyang setengah menegur. “Nah, benar to? Bayimu masih melek kan?”
Itu kan meleknya gara-gara kaget sama suara Eyang. Lagi-lagi aku hanya bisa mengomel dalam hati tanpa berani menjelaskan alasan aku mengubah syair lagu pengantar tidur itu dengan nama bayiku sendiri.
“Sini, biar Eyang yang menidurkan bayimu. Kamu makan dulu sana. Ibu menyusui harus banyak makan, terutama sayur dan kacang-kacangan. Biar air susunya bancar,” titah Eyang, yang kali ini kujawab dengan geming dan tatapan menantang.
Biasanya, aku akan memilih untuk segera meninggalkan Eyang sebelum ia mulai berceramah lagi. Bukan karena aku keberatan mendengar nasihat-nasihat Eyang, tapi karena aku tahu pasti sebagian besar ocehan Eyang itu hanyalah mitos belaka. Sialnya, kepercayaannya terhadap mitos-mitos itu lah yang menjadi dasar bagi Eyang untuk mengatur hidupku. Tanpa bisa dibantah oleh siapa pun.
Dulu, usai memperkenalkan calon suamiku pada keluarga besar, Eyang langsung bertanya apa wetonnya. Karena kujawab tidak tahu, Eyang ganti bertanya kapan tanggal lahirnya. Setelah aku menyebutkan satu tanggal, ibu kandung mama itu langsung membuka semacam buku kecil bersampul plastik. Setelah membolak-balik buku yang warna kertasnya mirip perkamen era Mesir kuno itu, Eyang langsung mengajukan sebuah saran, yang sayangnya lebih terdengar sebagai sebuah titah yang tidak bisa dibantah.
“Nduk, karena calon suamimu punya weton Selasa Pon dan kamu Sabtu Wage, maka kalian harus menikah di hari Selasa Wage. Ini hari terbaik menurut hitungan Jawa.”
Tentu saja aku langsung memprotes. “Kok Selasa sih Eyang? Itu kan hari kerja.”
“Lha wong menurut perhitungan weton, hari baik pernikahanmu ya hari itu kok,” kilah Eyang. “Apa kamu tidak ingin pernikahan kalian berjalan lancar?”
“Tapi kelancaran pernikahan kan bukan ditentukan hari pasaran kelahiran, Eyang. Lagipula...” rengekku.
Aku sudah hendak melancarkan protes dan sederet alasan logis yang menjadi penyebab lancar atau tidaknya sebuah hajatan, namun Mama menepuk pundakku sembari menggeleng. Seolah berkata; “Percuma saja. Tidak ada seorang pun yang bisa menolak kehendak Eyang Putri.”
Akhirnya aku pun menunduk pasrah.
Benar saja, ketika menyebarkan undangan, aku harus setengah mati menebalkan telinga demi mendengar komentar-komentar semacam “Wah, kok hajatannya pas hari kerja?” Atau “Ini pasti hasil hitung-hitungan primbon Jawa ya?”Atau “Ternyata walau sekolah di luar negeri tetap saja kamu percaya yang beginian ya?”
Saat itu juga, satu benih kebencian terhadap terhadap mitos orang Jawa pun mulai tertanam di hatiku.
Tidak cukup sampai di situ. Eyang bahkan mengatur semua prosesi pernikahanku. Aku yang menghendaki sebuah pernikahan yang sederhana namun elegan terpaksa menurut ketika Eyang menunjukkan rentetan upacara adat yang harus kujalani. Mulai dari upacara siraman, midodareni, tukar menukar kembar mayang, lempar sirih, injak telur, timbangan, kacar-kucur, dulangan, dan masih banyak lagi istilah-istilah adat yang aku tak mengerti. Kepalaku sampai tak sanggup mengingat banyaknya urutan tata cara pernikahan adat Jawa dan tetek bengeknya.
“Astaga, apakah harus seribet ini, Eyang? Tidak bisa kah kita membuat acara pernikahan yang simpel saja? Yang penting akad nikahnya sah kan?” protesku lagi sembari melirik ke arah Papa dan Mama yang sedari tadi diam saja.
“Nduk. Kamu ini keturunan orang Jawa. Biar kamu lahir dan besar di negeri orang, kamu tetap orang Jawa yang harus menghormati adat istiadatnya,” jawab Eyang setengah menyindir.
Aku memang lahir dan besar di Belanda. Begitu aku menginjak bangku kuliah, Papa yang sejak bujang sudah mulai merintis karir di Negara Kincir Angin itu memutuskan untuk kembali ke tanah air.
“Nah, kalau bukan orang Jawa sendiri yang mempertahankan adat istiadatnya, lantas siapa?” sambung nenekku disertai pandangan mata yang membuatku paham mengapa kedua orang tuaku tak ada yang berani menentang kehendak Eyang putri.
Aku mendengus sebal. Hilang sudah angan-angan mengenakan busana pengantin yang simpel dan anggun ala Kate Middleton. Lenyap sudah keinginan untuk membuat acara resepsi pernikahan di sebuah taman di pinggir kolam renang. Berganti dengan pernikahan adat Jawa dengan pelaminan gebyok kayu jati dan baju pengantin dari beludru berwarna hitam plus segala ritual adat yang bagiku tak lebih dari sekedar perlambang dan mitos belaka.
Saat itu, benih kebencian terhadap mitos-mitos tanah kelahiranku sendiri mulai tumbuh dan siap mendesak keluar seperti bom waktu.
Ketika aku dan suamiku sudah resmi menikah, Eyang putri kerap datang ke rumah kami sembari membawa bedak bayi. Katanya itu bedak bayi yang baru saja dipakai bayi lain. Ia menyuruhku melaburkan bedak itu di perutku supaya cepat ketularan punya momongan.
Duh Eyang, mana bisa mengoleskan bedak bayi di perut bisa membuatku cepat hamil? Rupanya Eyang harus lebih banyak membaca artikel-artikel kedokteran ketimbang mempercayai mitos-mitos yang tidak jelas landasan teorinya.
Tapi kenyataannya, aku memang tak perlu menunggu waktu lama untuk hamil. Dan lagi-lagi, Eyang kembali memberikan sederet pantangan dan larangan supaya kehamilanku berjalan lancar. Beberapa hal memang masuk akal, tapi lebih banyak yang tidak.
Eyang mewanti-wanti agar aku tidak melilitkan handuk di leher, katanya nanti bayiku bisa terlilit tali pusat. Eyang juga melarangku minum air es, supaya bayiku tidak tumbuh terlalu besar.
“Nanti susah melahirkan kalau bayinya terlalu besar. Lebih enak besarnya di luar saja setelah lahir,” ujar Eyang.
Itu hanya segelintir contoh larangan-larangan tak masuk akal lainnya, seperti tidak boleh makan pisang dempet agar anaknya tidak kembar siam. Juga tidak boleh makan ikan laut, supaya anaknya tidak amis. Juga tidak boleh lupa membawa gunting kecil atau senjata tajam lain dalam saku agar jabang bayi terhindar dari mara bahaya.
Karena takut diomeli, aku memilih untuk menurut. Tapi itu hanya berlaku di depan Eyang saja. Jika Eyang sudah meninggalkan rumah kami, lain lagi ceritanya. Aku akan kembali meneguk bergelas-gelas air dingin dan menikmati masakan berbahan ikan laut kegemaranku.
Ketika Nisa lahir, Eyang semakin sering berkunjung ke rumah kami. Bahkan hampir tiap hari dan seringnya malah ikut menginap. Maklum, Nisa adalah cicit pertama Eyang. Sebenarnya kami tidak keberatan ada Eyang Putri di rumah. Lumayan ada yang membantuku mengurus Nisa. Tapi ya itu tadi, kepercayaan Eyang terhadap berbagai macam mitos membuat pekerjaan mengurus bayi menjadi ribet.
Eyang mengharuskan memasang gurita di perut mungil Nisa, padahal dunia kebidanan jaman sekaran sudah lama tidak menganjurkannya lagi. Kemudian ia selalu meletakkan koin di atas pusar. Biar tidak bodong katanya. Eyang juga kerap terlihat menarik-narik cuping hidung Nisa supaya lebih mancung. Di pagi hari, Eyang sering mengoleskan cairan embun di lutut Nisa agar bayi kami cepat bisa berjalan. Sebenarnya aku tidak keberatan dengan segala hal yang dilakukan Eyang, kecuali satu hal. Eyang memaksaku mencukur habis rambut Nisa.
Oh Nooo!!! Rambut Nisa kan hitam dan tebal. Sayang banget kan kalau dicukur? Bagaimana jika nanti tumbuhnya tidak selebat dan sehitam rambutnya yang sekarang? Awalnya aku ngotot menolak, tapi Eyang bilang, rambut Nisa itu rambut kotor yang berasal dari alam rahim, makanya harus dihabiskan. Akhirnya dengan air mata berlinang, aku terpaksa merelakan Eyang yang dengan hati-hati mencukur rambut Nisa.
Saat itu lah, benih kebencian terhadap mitos-mitos Jawa sempurna berubah menjadi bom waktu yang siap meledak. Dan pemicunya adalah lagu Nina Bobo yang baru saja kunyanyikan.
Tanpa alasan yang jelas, Eyang mempermasalahkan lagu Nina Bobo yang kurubah sedikit syairnya. Padahal maksudku simpel saja. Nama anakku Nisa, bukan Nina. Kupikir tetap menggunakan syair “Nina” akan membuat bayi kami terlambat menyadari namanya sendiri. Itu sebabnya syair Nina Bobo kuganti dengan Nisa Bobo.  Tapi kata Eyang, jika lagu itu diganti syairnya, maka tak kan ampuh untuk membuat bayi kami terlelap.
Cukup sudah! Aku sudah muak dengan mitos-mitos tak masuk akal yang mengusik ketenanganku. Itu sebabnya hari ini aku memutuskan untuk bertanya, alih-alih menurut tak membantah.
“Kenapa sih Eyang? Ini kan cuma lagu pengantar tidur?” tanyaku dengan wajah sebal.
“Kamu tidak tahu sejarahnya sih, Nduk. Duduk sini, biar Eyang kasih tahu.”
Dengan mendengus kesal, aku pun mengambil posisi duduk di dekatnya.
“Kamu tahu mengapa lagu itu memakai nama Nina?”
Aku menggeleng malas.
“Karena Nina memang benar-benar ada. Dia bahkan pernah ratusan tahun yang lalu. Di sini. Di Indonesia.”
Lantas berceritalah Eyang Putri sebuah cerita yang sulit kupercaya.
Kata Eyang, Nina adalah putri keluarga Belanda yang pindah ke Indonesia saat masa penjajahan dulu. Suatu hari, tiba-tiba Nina bertingkah aneh. Ia berteriak-teriak dan berjalan dengan posisi punggung melengkung dan bertumpu pada kedua tangan dan kakinya. Ia kesurupan dan orang tuanya tidak menyadari hal itu. Mereka mengira Nina terjangkit suatu penyakit aneh. Karena tidak tahan dengan perubahan sikap Nina, orang tuanya pun memasungnya. Lantas sang ayah meninggalkan Indonesia untuk kembali ke negara asalnya. Tinggallah sang ibu dan Nina di rumah besar yang kian tak terurus. Dengan penuh kasih sayang, sang ibu mengurus Nina seorang diri hingga suatu hari Nina bisa bicara dan bersikap layaknya orang biasa. Alangkah gembira hati ibundanya karena mengira Nina sudah sembuh. Nina berkata bahwa dia capai sekali dan meminta ibunya menyanyikan sebuah lagu pengantar tidur. Lagu “Nina Bobo” itu lah yang dinyanyikan ibu Nina. Ternyata, ketika lagu itu selesai, Nina benar-benar tertidur dan tak pernah bangun lagi untuk selamanya.
Masih menurut Eyang, jika kita menyanyikan lagu itu untuk menidurkan bayi, maka roh gadis kecil bernama Nina itu akan datang dan menjaga agar si bayi bisa tidur lelap hingga pagi.
“Astaga, Eyang. Itu kan hanya dongeng. Belum tentu benar. Lagipula, kenapa sih Eyang terlalu percaya dengan mitos-mitos yang tidak jelas sumbernya seperti itu?” komentarku setelah Eyang selesai bercerita.
Eyang menghela napas panjang lantas balik bertanya, “Kenapa sih, kamu selalu menganggap omongan Eyang hanya sebagai mitos?”
Aku mengangkat bahu. “Sebab terkadang hal-hal yang Eyang katakan sama sekali tidak masuk akal,” jawabku tanpa sadar telah menancapkan duri pertama di hati Eyang.
“Masuk akal atau tidak. Segala mitos yang diwariskan turun temurun dari jaman nenek moyang pasti tujuannya untuk kebaikan to?” kilah Eyang.
“Baik menurut siapa Eyang. Menurut Eyang mungkin iya. Tapi belum tentu menurut aku kan?” Duri kedua tertancap di hati Eyang, membuat Eyang sesaat tertegun.
“Maksudmu?”
“Selama ini Eyang terlalu percaya terhadap mitos sehingga tidak mau mendengar pendapat dan keinginan-keinginanku. Mulai dari memilih tanggal pernikahan, memilih baju pengantin, memilih dekorasi untuk resepsi sampai mengurus bayi. Semuanya sesuai keinginan Eyang. Apakah selama ini Eyang pernah bertanya apakah aku suka dengan konsep pernikahan yang seharusnya menjadi momen istimewaku sekali seumur hidup itu? Apakah Eyang pernah bertanya apa aku tidak keberatan rambut lebat Nisa dicukur habis?” cerocosku tiba-tiba tanpa terkontrol.
Eyang bergeming dengan ekspresi tak percaya mendengar rentetan kata-kataku.
“Eyang mungkin lupa. Jaman sudah berubah. Aku bukan lagi generasi yang mudah dibohongi dengan mitos-mitos dan dongeng-dongeng seperti yang Eyang katakan!” seruku tanpa pernah sadar jika duri ketiga, keempat dan kelima tertanam begitu dalam di hati Eyang.
Lama Eyang terdiam sementara aku sibuk mengatur napas. Aku menatap Eyang dengan perasaan campur baur. Antara lega karena sudah mengeluarkan uneg-unegku selama ini, tapi juga khawatir Eyang Putri akan marah. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
“Maafkan Eyang, Nduk. Selama ini Eyang tidak tahu kalau kamu tidak suka dengan kemauan Eyang,” bisiknya lirih. “Mulai hari ini, Eyang janji tidak akan mengatur-ngatur kamu lagi. Eyang percaya kamu bisa jadi ibu yang baik. Maafkan Eyang yang masih mengira kamu sebagai cucu kecil Eyang yang tidak mengerti apa-apa,” sambungnya. Kali ini dengan suara gemetar.
*
Sejak hari itu, Eyang tidak pernah bertandang lagi ke rumah.
Melalui telepon, Mama bilang jika Eyang menyesal telah membuatku bersedih soal pesta pernikahanku yang sudah lalu dan Eyang bingung harus bagaimana menebusnya. Tidak mungkin kami bisa mengulangi momen pernikahan yang hanya terjadi sekali seumur hidup kan? Mama juga sempat menegurku atas keberanianku membantah kemauan Eyang. Katanya, apa sih ruginya menuruti saran Eyang?
“Tapi keyakinan Eyang terhadap mitos-mitos itu keterlaluan, Ma,” seruku. “Mama lihat sendiri rambut Nisa yang tebal dulu itu tidak juga tumbuh, kan?” sambungku masih dengan nada emosional.
“Memang mitos-mitos yang dipercaya Eyang itu terdengar berlebihan. Tapi mereka ada dan dan tetap lestari sampai sekarang di tengah-tengah masyarakat karena sebuah tujuan yang mengarah pada kebaikan. Coba ingat mitos tentang anak perawan yang dilarang duduk di depan pintu karena khawatir tidak segera dapat jodoh. Kalau dilogika, mana mungkin urusan jodoh bisa berhubungan dengan posisi duduk. Tapi yang sudah pasti adala, duduk di depan pintu itu membahayakan karena bisa membuat orang yang lewat jadi tersandung. Iya kan?”
Aku terdiam.
“Percayalah. Eyang itu selalu berharap anak dan cucunya mendapatkan yang terbaik dan jauh dari hal-hal yang buruk. Hanya itu saja kok tujuan Eyang.”
Aku tertegun. Aku memang masih kesal dengan sikap Eyang yang suka mengatur tanpa mau diajak kompromi itu. Tapi dalam hati kecil, aku juga membenarkan kata-kata Mama. Eyang memang bermaksud baik. Seberkas rasa bersalah terbersit di benakku.
Beberapa waktu berlalu tanpa kehadiran Eyang tak urung membuatku merasa kehilangan juga. Selama ini Eyang tidak hanya rajin menghujaniku dengan omelan dan ceramah seputar menjadi perempuan, istri dan ibu yang benar. Tapi Eyang juga rajin membawakanku masakan dan hadiah untuk Nisa. Eyang yang senang berkebun juga kerap menghabiskan waktu menata taman kecil di rumah kami menjadi lebih cantik. Eyang juga sangat telaten menjaga dan merawat Nisa. Ingin rasanya aku mendatangi Eyang untuk minta maaf dan memintanya kembali mengunjungi kami. Tapi nyatanya, aku masih dikuasai rasa gengsi.
Suatu hari, entah karena terdesak oleh rasa kangen pada Eyang, ketika menidurkan Nisa, aku menyanyikan lagu yang menjadi ujung perselisihanku dengan Eyang. Nina Bobo. Kali ini dengan syair aslinya.
“Nina bobo. O...o...Nina bobo. Kalau tidak bobo digigit nyamuk.”
Tak lama kemudian, Nisa tertidur dan aku pun ikut berbaring di sebelahnya. Aku tak sadar sejak kapan aku juga ikut tertidur. Ketika tengah malam aku terbangun, aku tertegun, nyaris tak mempercayai penglihatanku.
Seorang gadis kecil berambut pirang dengan rok berenda dan berpita berdiri tepat di samping Nisa!



-selesai-
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, hanya nisankah yang akan kita tinggalkan? (Papa/H. Slamet Sulaiman)